Memahami Sastra-Gendhing

Ajaran mengenai yang lahir dan batin menjadi begitu sangat penting dalam khazanah budaya Jawa. Keduanya berbeda, keduanya berhubungan, dan keduanya tak dapat dimenangkan sementara lainnya diabaikan. Mengenal dualitas dalam kehidupan adalah sebuah kewajiban bagi hidup manusia Jawa, Ibarat mengenal Sastra dan Gendhing. Orang Jawa yang hanya pandai Gendhing, nembang, bernyanyi, tetapi tak mengenal Sastra dibalik Gendhing yang ditembangkan, maka dia tidak diakui sebagai “famili”. Sebaliknya mereka yang mampu memahami keduanya dan menguasai puncak Sastra disebut sebagai pria sejati, sebagai trah Mataram. Demikianlah dawuh Sultan Agung dalam bait Sastra Gendhing :

“Marma sagung trah-Mataram/Den putus olah raras/Sasmita sandining kawi/Yekti angger satria/Ngolah sastra”.

“Maka segenap trah-Mataram/Hendaknya sempurna melatih-rasa/Rahasia dalam sastra/Kerena setiap satria sejati/Adalah ahli-sastra”.

Sastra dan Gendhing menjadi simbol dua hal yang berbeda, bertolak belakang, namun keberadaannya tak dapat dipisahkan. Gendhing adalah ibarat sebuah rangkaian suara indah yang tertata dan berirama. Gendhing adalah petunjuk bagi manusia dalam mengenal Tuhannya.

“…. Pramila gending yen bubrah/Gugur sembahe mring Widdhi/Batal wisesaning salat/Tanpa gawe ulah gending..”

Gendhing ibarat syariat, sedangkan sastra adalah hakikatnya. Demikianlah hendaknya manusia Jawa (muslim) mengenal syariatnya dan rahasia hakikatnya.

Manusia seringkali asyik masyuk dan terbuai oleh indahnya gendhing. Bahkan banyak yang berebut dan pamer memainkan gendhingnya. Parahnya lagi mereka melawan kepada para ahli sastra. Semua itu hanya dilakukan karena kesombongan dan pamer keahlian memainkan gendhing semata.

Sastra dan gendhing dapat menjadi simbl banyak hal. Yang fana adalah gendhing, sedangkan yang abadi adalah sastra. Tidak mungkin yang fana mendahului yang abadi. Hati dan pikiran, suami dan istri, zat dan sifat, yang bercermin dan bayangan, suara dan gema, laut dan ikannya, pemain musik dan alatnya. Kesemuanya ibarat sastra dan gending. Sastra dan gendhing dijadikan ibarat untuk banyak hal.

Jadilah seperti nayaga yang memahami makna dalam suaranya, serta masing-masingnya (gending). Meski demikian :

“Tan dadya nistanya/Minta patweng ulama/Malah tamibeng utami/Yen wus mupakat/Tiga sekawan ngalim”

“Tidak ada celanya/Meminta fatwa para ulama/Malah akan lebih utama/Bila telah rujuk pendapat/Tiga atau empat orang alim”.