Samin Surosentiko

Orang kebanyakan lebih mengenal Mahatma Gandhi dalam hal perjuangan melawan kolonial tanpa kekerasaan. Tetapi di sisi lain memandang Samin Surosentiko sebagai ikon orang-orang bodoh yang tak beradab dan seenaknya sendiri. Ia lahir di Kedhieren Randu Blatung Blora, dengan nama Kohar, putra Raden Surowijoyo, seorang priyayi dari Bojonegoro, pada tahun 1859.

Soetomo, tokoh pergerakan nasional, malah menjadikan gerakan Samin sebagai inspirasi perjuangannya di kemudian hari setelah berdirinya Budi Utomo. Orang Samin adalah orang-orang yang memegang teguh ajaran pemimpinnya. Meski aturan itu hanyalah tutur ucapan.

Ada yang menyebut masyarakat Samin lahir dari sebuah upaya perlawanan terhadap kolonial Belanda yang terus menerus menindas rakyat kecil, khususnya ketika Belanda hendak terus memperluas hutan Jati di wilayah Bojonegoro. Melawan dengan senjata, maka sudah ratusan tahun tak kunjung menang. Sikap Sikep yang memegang teguh pendirian menjadi tradisi mereka. Dan mereka menyebut dirinya sebagai orang sikep (wong sikep).

Mulanya hanyalah sikap melawan kolonialisme dengan sikap “konyol”, tetapi mereka selalu mempunyai filosofi tersendiri. Misalnya ketika terjadi kerja paksa disuruh mengangkat kayu, orang samin ya hanya mengangkat kayu saja (tidak memindahkannya sama sekali), karena perintahnya hanya mengangkat. Ketika ditanya jumlah anaknya menjawab dua : laki-laki dan perempuan. Jawaban-jawaban yang terkesan konyol ini sebenarnya merupakan sikap untuk melakukan perlawanan dengan caranya sendiri. Bahkan ketika diinterogasi oleh polisi dan ditampar sekalipun orang samin akan meringis saja, tidak akan melawan apa lagi kemudian membakar pos polisi.

Kemudian, ajaran Samin berkembang menjadi sebuah identitas dengan berbagai ajaran menyangkut banyak hal, termasuk soal agama. Mereka menyebut agamanya adalah agama Adam (manusia). Secara garis besar, mereka berpandangan bahwa apa yang menjadi milik mereka adalah miliknya tanpa boleh campur tangan dari pihak lain. Untuk melindungi hak milik mereka akan dilakukan berbagai upaya verbal atau perilaku yang menunjukkan ketidaksenangan kepada pihak lain yang berusaha menguasai hak milik mereka. Maka ketika menghadapi pajak, masyarakat Samin akan menolak, karena mereka merasa tidak berurusan dengan negara. Namun bagi mereka yang bisa memahami orang Samin akan mengatakan :”Dulur...saya ikut menggunakan uangmu ya untuk bangun balai desa...”, maka orang Samin akan memberikan uangnya yang jumlahnya bisa sama dengan pajak atau sumbangan yang harus diberikan.

Mereka merasa sebagai pemegang kedaulatan atas diri mereka, atas tanah mereka, atas sawah mereka dan sebagainya. Namun hebatnya, dalam mempertahankannya, tidak dengan menghunuskan pedangnya.

Saat ini mungkin bangsa Indonesia membutuhkan inspirasi dari Samin dalam rangka mempertahankan identitas kebangsaan dan kedaulatannya.