Sejarah Peringatan Kematian

Selama ini banyak di antara kita berkeyakinan bahwa tradisi “kirim do’a” atau mendo’akan keluarga yang meninggal dengan hitungan 3, 7, 40, 100 dan 1000 hari adalah tradisi asli Jawa. Bahkan ada yang menyebut itu berasal dari sisa-sisa ajaran Hindu, karena tumbuh subur sejak jaman kerajaan Majapahit yang Hindu.

Menurut Muhammad Sholihin (2010) dalam bukunya Berjudul “Ritual dan Tradisi Islam Jawa” menyebutkan bahwa tradisi kematian tersebut berasal dari tradisi sosio-religi bangsa Campa Muslim. Sementara mereka mewarisinya dari kultur kaum mulsim kawasan Turkistan, Persia, Bukhara dan Samarkand, dimana dari kawasan tersebutlah Islam berkembang sampai ke Nusantara.  Di Nusantara, salah satu tokoh yang menyebarkan tradisi tersebut adalah Sunan Ampel, yang diteruskan oleh Sunan Bonang, Sunan Kalijaga, Sunan Gunung Jati dan sebagainya.

Sedangkan dalam masyarakat Jawa asli, dan demikian pula dalam Hindu serta Budha, tradisi peringatan kematian hampir tidak ada, kecuali yang disebut sraddha, yakni sebuah upacara meruwat arwah orang yang meninggal dilakukan pada tahun ke-12 tahun Jawa (sekitar 11,5 tahun Masehi). Dalam naskah-naskah Jawa disebutkan tradisi tersebut dilakukan oleh Prabu Hayam Wuruk (Nagarakertagama pupuh 2/1 dan pupuh 63-67). Upacara ini dilakukan pada bulan Badra tahun Jawa 1284 atau 1362 Masehi. Sebelum datangnya pengaruh muslim dari Campa yang dipengaruhi tradisi Persia dan Samarkand, tradisi peringatan kematian belum dikenal masyarakat Jawa.

Sumber :

KH. Muhammad Sholihin, 2010, “Ritual dan Tradisi Islam Jawa”, Penerbit Narasi, Yogyakarta. Halaman :437-440.