Bulan Ruwah

Saya menduga nama Ruwah untuk bulan Sya’ban bagi orang Jawa berasal dari kata Arwah (para ruh-yang sering dirujukkan kepada mereka yang sudah meninggal). Penamaan bulan dalam kalender Hijriyah dalam lisan Jawa, nampaknya tidak semuanya menyerap nama asal arabnya. Bulan poso dan ruwah bisa dijadikan contoh. Mengapa orang Jawa menyebut demikian? Saya sedikit berhipotesa, sebab saya temukan ada tradisi di banyak desa yang mentradisikan penghurmatan arwah dilakukan secara massal pada bulan tersebut. Menjadi wajar kemudian, bulan ini diberi nama Ruwah (Arwah), karena di dalam bulan itu masyarakat mempunyai hajat bersama untuk menghurmati para arwah leluhur atau keraba mereka (yang sudah meninggal dunia).

Pertanyaannya kemudian, mengapa tidak pada bulan lain? Bahwa ada sebuah do’a yang sering dilantunkan saat memasuki bulan Rajab, “Allahumma baarik lanaa fii rajaban wa sya’banan wa ballighna ramadhana”. Dalam do’a tersebut ada 3 bulan dalam satu rangkaian. Pada bulan Rajab, masyarakat diajarkan untuk banyak melakukan ibadah, lebih-lebih puasa sunnah. Ini juga ditujukan dalam rangka mempersiapkan diri menyambut Ramadhan. Bukankan ujung do’a tersebut adalah sampainya kesempatan beribadah di bulan Ramadhan? Ibaratnya, pada bulan Rajab manusia diajarkan melatih diri segi fisik dan jiwa/spirit yang ujungnya adalah berjihad di bulan Ramadhan.

Nah, lantas apa berkah dalam bulan Sya’ban kemudian? Para leluhur kita dulu mengajarkan untuk tidak lupa bahwa amal kita yang bisa dilakukan saat ini, bagaimanapun adalah kelanjutan dan ada keterkaitan dengan orang tua atau kerabat atau saudara kita, meski itu sudah meninggalkan dunia. Membangun ketersambungan amal (jariyah) semacam ini menjadi penting jika dilhat dari keberkahan 3 bulan yang disebut. Jadi, persiapan diri dan restu atau kesadaran akan perjuangan leluhur menjadi bekal lebih besar dalam menjalankan ibadah Ramadhan. Harapannya tentu ibadah Ramadhan bisa terlaksana dengan baik dan membawa dampak bagi kehidupan.

Namun dalam prakteknya tradisi menghurmat arwah ini kemudian ditempatkan pada penghujung akhir dan biasa disebut megengan. Sebuah tradisi menyambut Ramadhan dengan tetap mengingat leluhur. Ini tentu menjadi cermin yang sangat berguna. Jika orang tua dulu mampu menjalankan ibadah Ramadhan dengan capaian katakanlah tingkat 5, maka untuk kita bisa ditingkatkan lebih dari itu. Paling tidak jangan jauh-jauh kisarannya. Demikianlah salah satu nasehat yang disampaikan melalui tradisi megengan atau hurmat arwah.

Bagi anda yang mempunyai tradisi hurmat arwah dengan ziarah ya silakan. Cukup dengan tahlilan ya monggo. Melalui sedekah yang ditujukan untuk leluhur yang silakan. Atau sekedar memperbanyak doa habis shalat yang monggo. Atau apalagi yang biasa anda lakukan. Lagi-lagi, jangan membuang isi, hanya karena tidak suka bungkusnya.

Wallahu ‘alamu bishshowab