Kang Yatiman (5) : Istikhoroh Pilitik Kyai


Kyai Sujak bagi kang Yatiman adalah sosok yang sangat dikagumi. Selama ini sudah menjadi jujukannya meminta nasehat, pendapat bahkan banyak hal yang paad akhirnya pendapatnya dipakai kang Yatiman. Perkenalannya dengan kyai Sujak sudah lama, sehingga kang Yatiman paham betul bahwa pendapat kyai Sujak bukan sekedar berpendapat, tetapi sudah ditimbang masak dan diupayakan secara ruhani.


Demikian pula Kyai Juki. Dia adalah teladan yang selama ini memberi inspirasi, contoh dan tuntutan bagi kang Yatiman. Sudah lama apa yang diikuti dari kebiasaan kyai Juki diamalkan oleh kang Yatiman. Jangan tanya manfaat yang didapat. Barokahnya demikian melimpah diterima kang Yatiman sekeluarga. Itulah yang menjadi keyakinan kang Yatiman.


Menjadi sulit untuk saat ini bagi kang Yatiman. Harus mengikuti siapa. Ikut kyai Sujak berarti dia mendukung capres yang selama ini tidak disukainya. Sementara membuntut langkah kyai Juki berarti dia harus siap-siap dikritik habis teman dan tetangganya. Tidak mampu kang Yatiman memberi alasan bagi pilihannya itu.


“Kyai,” kang Yatiman matur ke kyai Sujak.
”Mengapa kyai memberi dukungan pada capres yang itu?”.
“Saya sudah pikirkan matang. Sudah istikhoroh. Hasilnya ya itu. Aku mendukung dia.”
“Kang dia itu orangnya punya masa lalu yang buruk?”
“Apa kamu tahu betul latar belakang dia? Kehidupannya di masa lalu?”
“Tidak kyai”
“Ya sudah. Aku saja tidak berani begitu. Aku hanya yakin atas ikhtiarku untuk membuat pilihan”.


Apa yang disampaikan oleh kyai Sujak tidak beda jauh dengan kyai Juki. Keduanya sama-sama atas ikhtiar atau ijtihad yang sudah dilakukannya. Kang Yatiman benar-benar galau, harus pilih yang mana dari kedua pendapat tersebut.


==

Biasanya kang Yatiman meminta pendapat untuk urusan begini dari kang Sakur.
“Kang Sakur, piye menurutmu?”
“Benar semua”
“Kok bisa? Tidak mungkin. Salah satu harus ada yang benar dan satunya salah”.
“Loh, ini kan bukan soal benar salah. Bukan soal ujian anak-anak SD itu kang”
“Ya, tapi apa saya harus memilih keduanya? Kan tidak sah nanti dalam pemilu?”
“lha kan enak, tinggal pilih salah satu. Katanya keduanya menurut sampean baik semuanya? Jadi milih salah satu yang tentu baik. Ya khan?”
“Saya masih bingung, kang”.
“Wes, gini saja kang Yatiman. Seandainya ada sepuluh santri jomblow semua berusaha mencari jodohnya. Kemudian mereka sama-sama istikhoroh. Apa hasilnya sama? Nek, jawabane satu gadis apa tidak gelut? Ha ha ha ....”
“Ini kan urusan presiden, bukan jodoh”
“Ya sama saja. Sama-sama bukan urusan dalil to? Bukan urusan wahyu to?. Ketika satu santri dapat isyarat jodohnya A, ya memang itu yang cocok buatnya. Begitu santri-santri lainnya. Jadi poro kyai itu punya jodoh masing-masing dalam urusan calon presidennya”.
“kalau nanti ternyata yang dipilih itu tidak baik? Apa kyai tidak malu?”
“kenapa mesti malu? Wong itu didasari ilmu dan istikhoroh ruhani kok. Yang suka bikin malu itu kan mereka yang milih jomblow tapi pura-pura istikhoroh...”
“Maksudnya?”
“Ha ha ha ....”

Rupanya kang Yatiman jadi mikir kalimat kang Sakur. Begitulah, harusnya dia mendapat penjelasan gamblang untuk satu hal, tetapi dia malah mencari soal baru yang butuh jawaban lagi.