Kang Yatiman (3) : Memilih Rakyat, Bukan Capres

Tumben, Kang Yatiman pagi-pagi sekali berkunjung ke rumahku. Sudah lama sekali, sejak kunjunganku waktu lalu mengundang Haul Kyai Yahya kami tidak bertemu.
“Kang, tolong beri aku nasehat atau petunjuk...”
“Loh, sebagai kyai mosok minta bantuan orang macam saya?
“Ah, jangan gitu Kang Sakur. Sudahlah, beri saja saya petunjuk”
“Soal apa?”
“Pilpres. Menurut sampean, pasangan siapa yang harus dipilih?“
Kang Yatiman mengakui, akhir-akhir banyak warga yang bertamu atau jamaah yang hadir di majelisnya menanyakan soal itu. Maklum, sebagai kyai tentu ditunggu pendapatnya. Bagi jamaahnya, pendapatnya akan membuat tentram hati mereka.
“Ah, jaman sekarang gak usah begitu-begituan Kang”
“Lha gimana to Kang, wong mereka tetap meminta pendapatku”
“Ya, jawab saja sekenanya. Atau serahkan pilihan pada mereka. Kan beres”
“Itu dia, masalahnya, sudah saya lakukan begitu, tetap saja selalu ditanya”.

 

Kang Yatiman, tetap saja mendesakku untuk memberikan jawabannya.

“Wes, Kang. Begini saja. Mulai besok sampai tujuh hari ke depan, sampean saya tugasi marung, jagong di warung kopi”.

“Loh, apa hubungannya?”

“Lah, sampean minta petunjuk. Itu petunjukku. Mau ya sudah, tidak mau ya monggo. Beres.”

 

==

Hari pertama, Kang Yatiman njagong di warung Kopi dekat rumahnya. Seharian dia ngobrol bersama pengunjung lain. Obrolan orang-orang di sana, tak beda jauh dengan yang di rumah. Soal Pilpres tetap jadi pembahasan yang anget. Dia mencoba mencerna bagaimana sebenarnya suara orang-orang itu. Tetap saja, ada dua kubu yang saling memperkuat pilihannya masing-masing.

“Ah, sama saja. Tambah pusing saja. Di mana-mana kok soal capres yang diurus.” Begitu kesimpulannya njagong hari pertama. Demikian juga hari berikutnya, dia mencoba njagong di warung kopi yang agak jauh dari rumah. Sama saja hasilnya. Sampai hari keenam, kesimpulan itu saja terus menerus. Sampai-sampai dia mempertanyakan apa maksud dari Kang Sakur memberi nasehat tersebut.

==

Sudah hampir enam jam dia njagong di warung kopi dekat rumahnya. Itu adalah hari terakhir seperti petunjuk Kang Sakur. Tidak banyak berbeda. Sejak jam delapan pagi, yang didengar adalah obrolah soal capres dan cawapres. Semakin memuakkan saja baginya mendengar diskusi-diskusi seperti itu.

Kang Yatiman tidak menyadari, bahwa masih ada seseorang yang juga duduk di warung tersebut hampir selama yang dilakukannya.

“Kyai, saya perhatikan kok panjenengan lama sekali di warung ini,”

Sedikit kaget, “Oh, kang yanto. Ya kang, saya pengen njagong saja. Lama saya tidak njagong di sini. Padahal dekat dengan rumah.”

“Ooooh. Refreshing begitu kyai?”

“Ya, begitulah. Sampean sendiri sedang apa?”

“Kalau saya sudah biasa begini kyai. Gak ada pekerjaan. Daripada di rumah diomelin istri, mending di sini, cukup modal dua ribu bisa duduk dan ngobrol lama sekali. Nanti kalau sudah sore baru pulang”.

“Sampean kerjanya apa?”

“Gak mesti kyai, serabutan. Pekerjaan saya membuat kasur.”

“Bagus itu.”

“Nggeh, bagus. Tapi kalau sepi order begini saya dak bisa memberi uang belanja kepada istri, apalagi buat biaya sekolah anak-anak”.

“Loh, kenapa tidak datang ke rumah? Kalau pas nganggur begini. Kan dekat dengan rumah saya?”

“Malu kyai, saya tidak bisa ngaji. Jarang shalat. Apa pantas kumpul dengan mereka yang ahli ibadah dan mengaji?”

 

==

Baru kali ini selama masa melakukan petunjuk Kang Sakur. Obrolan ringan, tidak membahas capres, tidak membahas politik. Tetapi membahas soal pekerjaan, soal nafkah keluarga sehari-hari, soal keberagamaan. Padahal, Kang Yanto adalah tetangga dari Kang Yatiman.

Sejak obrolannya dengan Kang Yanto tersebut, Kyai Yatiman memutuskan tidak mau membahas soal capres apalagi memberi pertimbangan dalam memilih capres. Dia baru menyadari bahwa, selama ini sebagai kyai, dia terlalu disibukkan dengan urusan dan kepentingan tamu-tamunya, kepentingan mereka yang suka beribadah, suka mengaji. Tetapi lupa, kepada tetangga yang masih kekurangan ekonomi dan malu beribadah.