Kang Yatiman (Ke-2)

Kudengar Kang Yatiman sekarang menjadi kyai. Memang tidak punya pesantren, tetapi sudah banyak orang bertamu, meminta nasehatnya dan tentu minta amalan-amalan doanya. Kebiasaan sowan kyai masih saja dilakukan. Sudah jarang aku diajak konsultasi, sebab kyai yang dikunjungi demikian banyak. Tihak hanya Kyai Yahya. Kyai-kyai ternama di Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, bahkan Madura dikunjunginya. Maklum, dengan usaha yang digelutinya, tidak mengharuskan dia sendiri yang harus menjalankan sendiri. Tinggal telpon atau sms bisnis sudah bisa berjalan.

Temanku pernah bercerita, “Yai Yatiman itu hebat loh kang,” dia membuka kisahnya,”tidak sekedar bisa kasih do’a, tetapi dia sendiri sudah mampu membuktikan keampuhan do’anya. Dia kaya, anak istrinya juga baik. Pokoknya semuanya baik.” Tak perlu kuceritakan padanya bahwa sebenarnya kukenal Kang Yatiman. Bagi temanku tadi, Kang Yatiman adalah contoh sekaligus guru yang tepat, karena do’a-do’a yang diberikannya sudah terbukti dan semua muridnya sangat mengaguminya. “Saya tidak meragukan sedikitpun padanya,” masih lanjut temanku tadi, “banyak kyai, hanya bisa memberi amalan, sementara dia sendiri tidak bisa menunjukkan keampuhan do’anya. Saya sudah dikasih banyak do’a oleh kyai untuk bisnis, tetapi kyai sendiri tidak kaya, sedankan Yai Yatiman beda, dia sudah mencapai puncak pembuktian.” “Duh!,” batinku menyeru, “benarkah Kang Yatiman sudah menghasilkan murid-murid seperti ini, yang meremehkan para Kyai yang tidak kaya?”.

***---------

Sengaja aku mampir warung kopi yang tidak jauh dari rumah Kang Yatiman. Benar, banyak tamu yang datang ke rumahnya.”Biasanya kalau hari minggu lebih ramai mas,” ungkap si Mbok penjual kopi,”tamunya dari mana-mana, ada yang minta doa agar bisnisnya lancar, ada yang untuk kepentingan sekolah anaknya, bahkan ada juga lo pejabat yang minta dido’akan agar karirnya sukses,”. Aku langsung menyahut,”Sampean kok tahu betul tamu-tamu Yai Yatiman?”, bagaimanapun aku juga harus memanggilnya Yai. “Loh, banyak tamu yang mampir ke sini mas, mereka suka bercerita, malah kadang ada yang datang ke sini dulu, sambil nanya-nanya tentang Yai Yatiman,”.

Tak berapa lama, datang seseorang, penampilannya gagah, seperti seorang tentara. “Bu, saya minta kopinya,” pintanya kepada Si Mbok tadi,”wah susah juga ya ketemu sama Yai Yatiman”, tiba-tiba dia mengeluh,”saya mengantar Bapak saja harus menunggu 2 jam lebih baru bisa diterima. Padahal, Bapak itu pejabat penting di pemerintahan,” dia masih melanjutkan, “heran juga, Bapak kok ya begitu fanatiknya sama Yai Yatiman,” langsung saja Si Mbok menjawab, “loh sampean belum tahu to mas, Yai Yatiman itu ampuh, banyak orang yang datang berhasil, kabul kajatnya, dan Yai Yatiman sendiri sudah tidak begitu membutuhkan uang, dia sendiri juga sudah kaya kok,” timpal Si Mbok sambil menaruh kopi di hadapan pemuda tadi.

Seorang Bapak yang sudah duduk lama di seberang meja menimpali, “bener itu Mbok, saya sendiri pernah, mau memberi uang kepada Yai Yatiman, dia menolak halus. Yai, menyuruhku memasukkan ke kotak amal buat pembangunan masjid”, timpalnya”. Si Mbok menyahuti, “ah itu sih iya, malah saya sering kecipratan uang-uang itu, tidak banyak, tapi lumayan buat jajan anak-anak”. Dari pembicaraan mereka semakin yakin, kalau memang ilmu kang Yatiman benar-benar bermanfaat bagi tamunya dan tetangganya.

****-----

Tiga bulan berikutnya aku memang sengaja berkunjung ke Kang Yatiman. Selama ini hanya kudengar beritanya dari orang-orang lain. Sengaja aku ke sana untuk melihat dan mendengar langsung darinya. Namun, sebenarnya ada kabar yang akan aku sampaikan kepadanya, tentang Kyai Yahya. “Kang, bagaimana kabarmu?,” demikian aku memulai pembicaraan dengannya di ruang tamu. “Alhamdulillah kang, kamu lihat sendiri, aku sudah demikian. Semua itu adalah jasa para kyai, guru-guru yang selama ini aku sowani. Tidak sia-sia mereka memberikan ilmu kepadaku,” demikian ia ungkapkan kisahnya dengan sedikit membanggakan para gurunya. “Kabarmu sendiri bagaimana kang?,” dia tanya kepadaku, “yah, biasa to, dari dulu aku ya begini ini, Jadi orang biasa saja,” jawabku singkat.

“Kang Yatiman, sebenarnya kedatanganku ke sini membawa kabar,” aku memberanikan diri untuk menyampaikan, “kabar apa kang?” tanyanya, “sampean saya undang acara haul,” dia langsung bertanya,”haulnya kyai siapa, kang?”, jawabku, “Kyai Yahya, ini adalah yang pertama”, di saat kalimat ini didengar dia langsung terdiam, wajahnya pucat dan kaget luar biasa, ”loh kenapa kang?, bukankah selama ini sampean sering sowan kepada Kyai Yahya? Bukankah sampean menyatakan kalau mendapat manfaat luar biasa darinya? Bukankah sampean mengakui kalau Kyai Yahya sangat berjasa dalam bisnis sampean?”, aku tak sadar menerocos mengajukan pertanyaan tersebut.

“Kang Sakur,” dengan nada berat dan terdiam cukup lama, “aku sudah lama, tidak sowan kepada beliau sehingga tidak tahu kabar berita tentangnya, bahkan soal kewafatannya,” sambil tersedu dia mengaku, “Ya Allah, maafkanlah diriku, aku selama ini hanya mengejar ilmu, mengejar fadlilah dari do’a-do’a para kyai, sementara kyainya aku lupakan...”

“Kang Sakur, antarkan aku ke makamnya, sekarang juga”, desaknya padaku, “aku tahu, aku sudah salah, sudah lupa akan asal ilmuku, sekali lagi bantu aku untuk menemukan jalan asalku,” aku tak kuasa menolaknya, “Baiklah kang, mari”. Kami bergegas pergi meninggalkan rumah, sementara tamu-tamu yang sudah antre ditinggalkan semuanya, tanpa penjelasan apapun dari Kang Yatiman, hanya dia bilang, “ngapunten semuanya, terserah panjenengan mau ikut atau mau nunggu atau mau pergi, terserah, aku tak peduli”.