Kang Yatiman

Kebiasaannya sowan kepada kyai kira-kira sudah lebih dari dua tahun. Kulihat Kang Yatiman sekarang berbeda dengan dulu. Sekarang, sebentar-bentar sowan ke kyai. Apakah ada masalah atau tidak. “Loh, kang kok sowan ke Kyai Ismail?”. Dia menjawab, “Ah hanya ngalap barokah kok kang”. Dulu dia bercerita kepadaku, bahwa kebiasaannya sowan kepada kyai telah banyak merubah hidupnya. Usaha jualan kambingnya makin maju. Ditambah lagi, istrinya yang buka warung juga banyak pelanggannya. Anak-anak mereka rajin mengaji, shalatnya rutin dan berbagai macam kebaikan-kebaikan yang diperolehnya.

Aku pernah bertanya, apa saja yang diberikan oleh kyai-kyai itu kepadanya. “Yah, waktu aku jualan kambing dulu itu sulit laku. Aku sowan ke Kyai Yahya, dia memberikan wirid, membaca alam nasyroh sebanyak 12 kali setiap hari, kamu tahu kang? Setelah dua minggu aku lakukan, kok yang biasanya sulit membeli kambingku, malah datang ke rumah.” Itu adalah salah satu contoh manfaat yang dia ceritakan kepadaku, dari hasil kebiasaannya sowan kepada kyai.

Katanya juga, waktu anak perempuannya sakit panas, dia sowan ke Kyai Suleman, diberi air untuk diminumkan anaknya. Tak lama, sembuh. Pokoknya bagi Kang Yatiman, banyak manfaat hasil dari sowan kepada kyai. Itu termasuk kemajuan warung istrinya yang sekarang. Kemudahan hidup dan kemakmuran begitu melimpah setelah Kang Yatiman rutin sowan kepada kyai-kyai. Memang, dia tidak pernah lupa bersedekah atau memberi amplop ala kadarnya kepada kyai-kyai tersebut.

Meski tidak ada masalah atau keperluan, Kang Yatiman tetap sowan kepada kyai. Waktunya bisa tiap dua hari atau bahkan tiap hari dalam seminggu. Rasanya tidak enak jauh dari kyai. Pernah dia, beberapa kali lupa sowan ke kyai karena harus mencari kambing ke daerah untuk dijual. Yang terjadi adalah dia begitu sulit mendapatkan kambing. Akhirnya dia teringat bahwa masalah tersebut diakibatkan karena dia lupa sowan kepada kyai. Harusnya dia mencari kyai di sekitar daerah yang dikunjungi, tapi dia benar-benar lupa. Para blantik menjadi jujugannya. Saat kejadian itu, warung istrinya juga ndilalah menjadi sepi pengunjung. Kemudian Kang Yatiman berkesimpulan bahwa sowan ke kyai adalah cara terbaik menjaga kestabilan hidup dan keluarganya. Termasuk kemakmurannya.

Lama sekali, aku tidak berjumpa dengannya, ya kira-kira selama dia menekuni kebiasaannya itu. Maklum, aku bukan kyai atau kalangan santri yang bisa diharapkan berkahnya. Aku pikir, hanya diriku yang mendapat perlakuan seperti itu. Rupanya teman-teman yang dulu sering jagongan dengannya juga lama tidak dikunjungi. Persis sama denganku. Beberapa waktu lalu, pernah kutanyakan kepada Kang Yatiman, “Kang, apa kamu sudah lupa sama aku? Sama teman-teman dulu yang sering jagongan, sering mendengar keluh kesahmu?”. Dengan agak berat dia menjawab, “Kang Sakur, bukan begitu. Aku hanya ingin menjaga hatiku, keimananku. Kedekatanku kepada kyai-kyai selama ini telah menyelamatkan kehidupanku. Dulu banyak dosa yang bisa kulakukan tiap hari. Sekarang, itu sudah jauh bisa kutinggalkan, karena ada kyai-kyai yang selama ini menasehatiku, mengingatkanku. Dan jangan lupa kang, kehidupanku jelas berubah lebih baik,” jawaban yang kedengarannya memukul batin persahabatanku. Namun aku tetap berusaha tenang untuk mendengarnya sambil menyeruput kopi dan menghisap rokok. Dia masih melanjutkan jawabannya, “Maaf lho kang Sakur, bukan kemudian aku menilai sampeyan itu tidak baik, menyebabkan aku jadi orang tidak baik, bukan, bukan seperti itu. Menurut pengalamanku, setelah aku sowan ke kyai-kyai dan dekat dengan mereka, aku jadi lebih tentram, lebih makmur kehidupanku dan anak-anakku, jadi lebih giat beribadah”.

Tiba-tiba kami dengar suara salam, “Assalamu ‘alaikum...”, kuberanjak dari kursi dan menyambutnya, “wa alaikum salam.....oh....sampean to kang, monggo-monggo”. Kang Yatiman yang semula duduk di kursi, sontak berdiri dan menyalami tamu yang baru kupersilakan masuk, “Assalamu ‘alaikum kyai...... kok kyai sudah kenal sama Kang Sakur?”.

“Loh, gak kenal gimana to Man? Wong dia itu temanku ngaji dulu”, jawab Kyai Yahya yang membuat Kang Yatiman kaget dan wajahnya penuh selidik. Aku hanya diam dan tersenyum. “Kamu sendiri, di sini lah opo Man?”, “Ya, main-main saja kyai”, jawab segera Kang Yatiman. “Lha yo eman to Man, wong sama Kang Sakur kok mung dolan?”, kulihat wajah Kang Yatiman semakin penuh selidik.

“Sudah-sudah, monggo Kang Yahya, pinarak,” sergahku memotong pembicaraan keduanya. Setelah duduk, mereka kutinggalkan. Ke belakang aku membuat kopi kesukaan Kang Yahya. Namun, kudengar juga Kang Ilyas dengan nada agak keras, “Man, weruho yo, Kang Sakur itu dulu yang ngasih wirid alam nasyroh itu. Dulu waktu Kyai Dasuki sebelum sedo, sebelum sedo beliau mewasiatkan wirid itu kepada Kang Sakur, meski aku ada disebelahnya. Namun, Kang Sakur memohon kepada Kyai Dasuki agar aku juga ikut diijazahi. Atas permintaannya itu, akhirnya dapat ijazahnya. Jadi secara tidak langsung sebenarnya Kang Sakur itu yang memberi wirid itu kepadaku, dan pantas jadi guruku,”.

“Ah, ndak usah buka-buka rahasia to kang...”, aku segera memutus kata-kata Kang Yahya, “yo tetep sampean mendapat ijazah itu, mosok yang ada dua orang kok hanya aku yang dikasih kan ya tidak elok. Maka saya minta sampean juga diberi ijazah”. Sambil menaruh kopi itu di hadapan Kang Yahya, dia memotong omonganku, “Ah ya ndak gitu kang, wong dari dulu Kyai Dasuki itu pengennya sampean jadi penerusnya. Sampean saja yang ndak mau jadi kyai. Maunya jadi petani saja”. Seketika itu berubah wajah Kang Yatiman, dan dalam pembicaraan berikutnya dia menggunakan bahasa halus kepadaku. Agar suasana tetap cair, aku katakan kepada Kang Yatiman, “sudah dak usah sungkan Kang, kyai atau bukan itu kan hanya sebutan to, yang penting kan ilmu dan amalnya to?”.

Sejak kejadian itu, Kang Yatiman berbeda perlakuannya kepadaku. Bahkan setiap mau sowan kepada Kyai Yahya dia selalu menanyakan dulu hal-hal yang nanti akan ditanyakan kepada Kyai Yahya.