Kang Yatiman (4) : "Lurah Kyai Yatiman"

Kali ini, Kyai Yatiman menghadapi problem pilihan yang rumit. Dua santrinya, Joko dan Bowo maju sebagai calon kepala desa. Kalau soal restu, sebenarnya mereka sudah mendapat restu untuk maju. Tapi soal dukungan, itulah yang menjadi masalahnya. Tidak mungkin, Kyai Yatiman hanya memberi dukungan kepada salah satunya. Atau membagi santrinya untuk mendukung mereka. Pasti tidak bisa persis. Karena jumlah santrinya juga tidak diketahui persis.

Jauh sebelum masa pendaftaran, Kyai Yatiman menyampaikan pendapatnya. “Monggo, Kang Joko silakan maju sebagai calon kepala desa. Saya bangga, seandainya kelak sampean yang terpilih.” Kalimat seperti itu juga berlaku bagi Bowo. Tanpa ada penambahan atau pengurangan makna pesannya.  Masa pendaftaran masih terbuka. Namun, calon yang ada masih saja hanya mereka. Padahal, masih memungkinkan adanya calon lain. Pilihannya pada akhirnya ya salah satu dari mereka. Mau tidak mau.

Ada keprihatinan lain bagi Kyai Yatiman. Isu-isu yang beredar berhembus tentang upaya saling menjegal dengan kampanye buruk. Kampanye hitam saling menjelekkan. Situasi seperti ini tentu tidak baik bagi mereka berdua. Apalagi bagi Kyai Yatiman. Semuanya santrinya, tetapi dalam kampanye saling menjelekkan. Ini tidak boleh terjadi.

“Apa benar kamu menjelekkan kang Joko, Wo?” suatu waktu Kyai Yatiman menegur Kang Bowo.
“Bukan kyai. Saya tidak bermaksud demikian. Tetapi, saya dengar di masyarakat ada yang berusaha menjelekkan saya. Membuat fitnah terhadap saya. Tentu ini dari timnya Kang Joko. Apa saya harus diam saja kyai? Apa njenengan rela saya difitnah semacam itu?” Kilah Kang Bowo.
“Lha apa tidak ada cara lain, misalnya sampean datangi langsung Kang Joko?”
“Tidak mungkin kyai, kuatir salah paham, malah kemudian konflik. Kalau saya diam, saya bisa kalah kyai.”
“Oooh, soal kalah menang to ini?”
“Lha inggih kyai. Pilkades kan mencari pemenang?”

 
Rasanya sulit sekali bagi Kyai Yatiman untuk mendamaikan keduanya. Bisa saja, Joko dan Bowo bisa tidak ada masalah. Tim sukses yang menghendaki mereka menang itu tentu tidak terima atau tidak ingin calon yang diusung kalah.
 
==

 
“Assalamu ‘alaikum,”
“Waalaikum salam kyai. Apa yang bisa saya bantu?”
“Saya mau daftar jadi calon kades, pak!”
“Yang benar saja kyai?”

Petugas pendaftar pilkades keheranan. Kenapa Kyai Yatiman mendaftar jadi calon kades. Kedatangannya tidak pernah diduga oleh petugas. Pikiran mereka barangkali Kyai Yatiman akan memberi nasehat atau masukan kepada panitia. Tapi tidak sama sekali. Kyai Yatiman maju sebagai calon kades.

 
Syarat sudah terpenuhi. Kyai Yatiman berhak maju sebagai calon kades. Pilihannya menjadi tiga calon. Kabar ini kemudian diketahui masyarakat luas. Joko dan Bowo benar-benar bingung dengan kondisi ini. Bagi mereka Kyai Yatiman jelas menjadi ancaman. Bersaing dengan gurunya sendiri tentu mereka kalah. Masyarakat jelas lebih condong kepada Kyai Yatiman. Itu jelas dari hitung-hitungan di atas kertas ataupun kondisi riilnya.

 
Bersepakatlah mereka. Kyai Yatiman adalah ancaman kemenangan mereka. Strategi bersama disepakati. Pokoknya jangan sampai kalah dari Kyai Yatiman. Dan benar, kampanye mereka berbalik untuk melemahkan suara pendukung Kyai Yatiman.

 
==
 
Kyai Yatiman. Kyai Yatiman. Joko. Bowo. Kyai Yatiman. Demikian juru hitung pilkades. Sampai jam 3 sore perhitungan selesai, Pemilih yang ikut nyoblos hampir 100 persen. Hasil penghitungan diketahui. Kyai Yatiman memperoleh suara 1233, Joko 543, dan Bowo 542. Jelas hasil ini pukulan telak bagi Joko dan Bowo. Bagaimana bisa kekuatan bersama mereka bisa kalah dengan Kyai Yatiman. Tetapi mereka lupa, bagaimanapun suara mereka dibagi dua, tidak seperti suara Kyai Yatiman yang utuh hanya untuk dirinya.

 
Hasil tersebut kemudian ditetapkan Kyai Yatiman sebagai pemenangnya.
“Terima kasih saudara-saudara atas suara yang diberikan kepada saya. Demikian juga untuk dua santri saya, Joko dan Bowo yang sudah bekerja keras turut serta dalam pemilihan ini” begitulah pidatonya. Tetapi kemudian, “...namun demikian, saat ini juga saya mengundurkan diri sebagai pemenang Pilkades. Tugas saya mengajar tidak bisa saya tinggalkan....”. Semua yang hadir terdiam. Kaget, tidak tahu apa maksud dari semua ini.

 
Kondisi itu tentu menempatkan Joko sebagai pemenang, karena lebih banyak dari Bowo, meski hanya  satu suara. Bagi Joko tetap saja tidak senang dengan hasil ini. Meski menang itu hanya suara sedikit. Bukan yang sebenarnya. Demikian pula kelebihannya dari Bowo. Hal yang lebih membuat Joko tidak suka adalah, kenyataan Kyai Yatiman harus dipenjara. Karena mengundurkan diri dari proses pilihan yang sudah ditetapkan.

 
Joko dan Bowo benar-benar menyesal, kenapa Kyai Yatiman harus masuk penjara akibat pilkades. Saat mereka besuk di penjara kepolisian, Kyai Yatiman berkata kepada mereka,”apakah cara ini bisa membuat kalian rukun?” Sungguh pertanyaan yang menyesakkan dada mereka. Mereka tidak sadar selama ini, keikutsertaan Kyai Yatiman hanya untuk menyadarkan kepada mereka untuk tidak saling menjatuhkan dalam kampanye.

“Tapi...tidak apa-apa itu pilihanku. Toh masyarakat yang menentukan kalian. Dan aku terbebas dari beban memberi dukungan kepada salah satu dari kalian”.
“Tapi kyai”, Joko dan Bowo menyela, “mengapa harus sampai seperti ini?”
“Ketahuilah kalian, do’a restuku itu jauh lebih berharga dari sekedar suara dukunganku”.