MENCARI TUHAN : BERMULA DARI URUSAN MAKAN

Konon kepercayaan manusia kepada Tuhan, Allah Yang Maha Kuasa bermula dari kesadaran manusia akan urusan makan, urusan perut. Ketika manusia membutuhkan makanan untuk keberlangsungan hidup dan bertahan (sruvive), maka manusia mencoba untuk mencari sumber-sumber makanan dari binatang dan tanaman.  Keyakinan manusia pada makanan sebagai materi sumber energi yang paling menentukan kemudian dijadikan tempat bergantung dari kehidupan manusia. Berburu, bercocok tanam, meladang atau semacamnya menjadi aktivitas manusia yang utama. Keyakinan kepada Zat yang berkuasa selanjutnya disematkan kepada kekuatan-kekuatan yang berada di balik sumber energi tersebut. Tidak mengherankan bila ditemukan bekas-bekas peninggalan peradaban masa lampau yang menunjukkan hal demikian. Kepercayaan kepada Dewa Padi, Dewa Bumi, Dewa Ular, dan sebagainya banyak bermunculan pada peradaban purba. Hal ini bisa dimengerti karena keyakinan yang muncul akibat kebergantungan manusia pada sumber makanan tersebut.


Ketika, sumber makanan semakin beragam, serta cara memperolehnya berkembang, maka diikuti pergeseran-pereseran keyakinan atas Zat yang Kuasa. Manusia sudah mulai mengenal pengolahan materi (makanan) dasar menjadi beraneka ragam jenis makanan. Demikian pula, cara yang digunakan tidak hanya sekedar berburu dan bercocok tanam. Sistem pertukaran sudah mulai menjadi sistem survive dari masyarakat. Kepercayaan manusia mulai bergeser kepada kekuatan-kekuatan yang berada diluar dirinya, dan lingkungan alam sekitarnya. Kepercayaan kepada matahari sebagai sumber energi alam semesta menjadi jenis kepercayaan yang nampak universal ditemui di berbagai peradaban manusia berikutnya.


Di samping perkembangan akan persoalan energi kehidupan  tersebut, ternyata manusia juga dihadapkan pada persoalan kematian, sakit (yang mengancam daya tahan hidup). Manusia tidak mencoba bergantung kepada satu sumber, seperti pada kekuatan/energi hidup, tetapi manusia mencari energi yang bisa mengancam dan mematikan bagi keberlangsungan hidup manusia. Manusia mulai percaya kepada kekuatan alam kegelapan, alam kematian. Manusia dapat memilih zat yang diyakini dalam urusan energi kehidupan dengan mudah dan begitu beragam, tetapi mengalami kesulitan dalam mendefinisikan kekuatan yang mematikan tersebut. Berbagai pengorbanan yang ditujukan kepada zat pemberi kehidupan dimulai, demi mencegah kematian, mempertahankan keberlangsungan hidup ataupun demi memperoleh kenikmatan (seperti hidup di dunia) setelah mati. Ada masyarakat yang memberikan pengorbanan penyembelihan hewan, pemberian berbagai makanan (sesaji), bahkan pengorbanan kepada manusia adalah bentuk rasa kekhawatiran manusia atas ancaman yang menimpa kehidupan mereka.


Maka, di saat besamaan, saat keyakinan akan zat yang kuasa menghidupkan, juga muncul keyakinan atas zat yang kuasa atas mematikan. Keyakinan pada dua kekuatan tersebut dapat dijumpai dengan berbagai sebutan dan berbagai bentuk. Secara garis besar, maka keyakinan kepada zat yang kuasa pada dua hal, yaitu zat yang kuasa atas kehidupan dan kematian.


Ilmu pengetahuan dapat dikatakan sebagai pembuka perubahan yang radikal, cepat dan kompleks. Dengan berbekal ilmu pengetahuan manusia mampu mencitpakan teknologi yang dapat mengembangkan keragaman model pencarian sumber energi hidup dan mampu membangun sistem pengelolaan sumber-sumber tersebut. Pekerjaan muncul sebagai suatu cara yang sistematis dan terstruktur untuk memperoleh sumber kehidupan. Berbagai jenis pekerjaan mulai berkembang, sehingga manusia tidak lagi hanya mengandalkan alam. Mata uang menjadi bentuk baru dari nilai kehidupan, karena dengan uang manusia menyerahkan segala sumber energi untuk dikonversi.


Sistem sosial mulai berkembang dan kompleks. Bahkan dalam sistem sosial yang masih sederhana sekalipun, diferensiasi, spesialisasi telah membentuk tatanan masyarakat tersendiri. Apakah ini berpengaruh kepada jenis keyakinan?


Jika pada masa, berburu, bercocok tanam, manusia tidak lagi mempersoalkan zat yang mana atau siapa yang paling berkuasa dalam memberi kehidupan bagi manusia. Setiap masyarakat mempunyai keyakinan yang berbeda. Misalnya keyakinan yang menyembah dewi padi tidak mengganggu masyarakat yang menyembah harimau, dan sebagainya. Semuanya bersanding dan diberi tempat, karena setiap sumber makanan tidak ada yang lebih tinggi. Seiring pengalaman manusia pada tatanan sosialnya, mereka mulai menyadari akan adanya struktur yang paling tinggi.


Saat seperti itulah manusia mulai mempedebatkan soal zat kuasa tertinggi, yang paling berkuasa. Saat tatanan sosial menempatkan kepala suku menjadi super prime dari sebuah komunitas, maka masyarakat memerlukan zat yang super prime juga. Kepercayaan kepada zat tunggal paling berkuasa mulai muncul. Perkembangan ini tentu tidak berjalan mulus, tetapi juga diikuti dengan kehendak menaklukan masyarakat atau kelompok lain sekaligus memperkenalkan tuhan yang tertinggi yang disembah. Benturan budaya, benturan kekuasaan menjadi hal yang biasa dalam masa-masa tersebut.


Perkembangan masyarakat yang demikian ternyata tidak menghapus seluruh kepercayaan dan keyakinan yang berkembang sebelumnya. Proses perubahan yang saya sebut tadi tidak berjalan secara linear (gari lurus), tetapi perkembangan yang mana tetap ada bagian-bagian masa lalu yang terikutkan.








Penyembahan kepada zat berkuasa yang berada di luar diri manusia demikian lama berlangsung. Manusia semakin merasa dirinya juga mempunyai kekuatan yang hebat yang mampu mengendalikan lainnya; mengendalikan manusia, binatang, dan lainnya. Kesadaran demikian pada akhirnya jatuh kepada pemberhalaan pada diri manusia. Manusia atau raja yang mempunyai kekuasaan tinggi dalam struktur sosial diberi kedudukan seperti dewa, atau bahkan menjadi dewa itu sendiri. Hal tersebut tentu terjadi dengan berbagai cara pembenaran dan penjelasan yang bisa diterima masyarakat saat itu. Dalam kisah Al Qur’an, disimbolkan dalam diri Firaun.



Dalam tatanan sosial seperti itu, kehidupan seseorang dalam sebuah masyarakat banyak dipengaruhi oleh kebijakan rajanya. Manusia tidak sekedar bergantung hidup kepada makanan, tetapi kepada sebuah kekuasaan yang mengatur kehidupannya. Dengan demikian, maka penyembahan kepada raja/manusia menjadi perkembangan berikutnya.



Manusia, tidak menyerah dengan kondisi yang dihadapi untuk memperoleh sumber makanan/energi baru ketika mereka terhimpit. Sama seperti ketika, berburu sudah tidak bisa diandalkan, manusia berubah bercocok tanam, dan kemudian memasak, dan mengolah bahan makanan yang beragam. Keragaman tersebut memberi pelajaran kepada manusia bahwa tidak ada satu individu yang bisa menguasai semua sumber kehidupan tersebut.



Meski kekuasaan raja demikian besar, masih ada manusia yang berusaha untuk mencari sumber penghidupan yang tidak bergantung kepada raja. Mata uang sebagai alat pertukaran kemudian menjadi bentuk kekuasaan baru. Dimana orang yang mempunyai uang banyak, maka dia akan mampu mendapatkan sumber penghidupan yang banyak pula. Muncullah para pengusaha, saudagar seperti Qorun yang diabadikan dalam Al Quran. Penyembahan kepada kekuasaan modal/harta, kekuasaan uang muncul menjadi zat/entitas yang baru sebagai pengganti tuhan-tuhan yang sudah lama atau sebagian ditinggalkan.



Bagaiaman dengan penguasa kematian? Keyakinan akan hal ini juga berkembang mengikuti keyakinan pada kehidupan, sebab kematian juga dipandang sebagai kehidupan sebelumnya. Pada awal sudah saya uraikan, bahwa kepercayaan kepada zat tunggal sudah berkembang. Dengan demikian zat tunggal tersebut juga berkuasa atas kematian. Pemberian upeti pada penguasa kematian, seperti uang logam/kekayaan yang dibawa oleh mayat diharapkan dapat memudahkan urusan di alam kematian.



Masyarakat sudah demikian komplek mengenal sumber-sumber hidup, kehidupan dan berbagai ragam cara memperolehnya. Keyakinan egosentris, sudah merubah secara radikal keyakinan umat manusia yang sebelumnya percaya kepada kekuatan di luar diri manusia, menjadi pemuja diri sendiri. Penyembahan kepada manusia, berkembang beriring dengan sikap saling merebut sumber penghidupan di luar diri manusia. Begitu kompleks persoalan manusia untuk mempertahankan eksistensinya.



Dalam masyarakat secara diam-diam maupun terang-terangan juga mulai meragukan berbagai keyakinan yang ada. Sikap tersebut kemudian berkembang dalam berbagai bentuk, ada yang skeptis dengan keyakinan yang berkembang dan menolak semua keyakinan yang ada. Bagi kamu skeptis, satu-satunya realitas yang layak diterima hanyalah kenyataan yang dihadapi manusia. Begitu skeptisnya, mereka tidak percaya keberadaan zat yang harus disembah atau yang mahakuasa, apakah yang ada diluar bumi, diluar manusia atau bahkan manusia itu sendiri. Tidak ada urusan dengan zat lain yang layak dijadikan tujuan hidup dan menggantungkan kehidupan manusia. Dalam perkembangannya mereka disebut kaum atheis.



Sikap yang lain adalah mencoba mencari pembuktian akan keyakinan yang diyakini oleh para pendahulu atau yang berkembang di masyarakat. Seperti Plato tentang manusia gua (Ide), Tales, Socrates dan sebagainya. Salah satu kisah proses pencarian jejak pembuktian eksistensi akan Zat Mahakuasa, dalam Al Quran diwakili oleh keberanian Ibrahim dalam mencari pembuktian yang melelahkan dan penuh resiko.



Pengembaraan dan penaklukan manusia atas makanan, sumber energi dengan segala bentuk variasinya, baik yang berasal dari perut bumi atau berkaitan dengan langit, melahirkan keyakinan baru dimana zat tunggal tersebut adalah yang Mahakuasa atas semua yang ada di bumi dan di langit. Zat tersebut meliputi segalanya, mengatur segalanya yang tidak terjangkau oleh manusia, baik akal, logika, dan indranya. Manusia mulai menggunakan hati untuk menangkap keberadaan zat tunggal tersebut. Zat tersebut juga menguasai kehidupan dan kematian, karena sifatnya yang meliputi segalanya.



Keyakinan, berkembang menjadi persoalan hati, intuisi, akal budi, yang berada jauh dalam diri manusia, tetapi tidak menjadi bagian dari manusia itu sendiri. Muhammad SAW mendapatkan pengalaman dan keyakinan untuk menyembah kepada zat yang tunggal tersebut dengen definisi kalimah persaksian “Laa ilaaha illallah..”. bentuk penegasian kepada ilah-ilah yang sudah ada, berkembang, dengan segala nama, segala bentuk, baik ilah purba, maupun ilah modern. Dan itu menuntun Muhamamd SAW ke arah penyembahan kepada Zat Mahatunggal (Tuhan) setelah penegasian semuanya. Keyakinan ini memang mengandung pemahaman yang demikian sulit untuk dipahami, karena bentuk negasi dan afirmasi dalam satu kalimah persaksian (konradiktsi logika). Tetapi itulah kunci pemahaman yang bisa diterima, baik oleh filsafat, obyektivitas ilmu pengetahuan, maupun bahasa batin.



Muhammad SAW mendapat kesempurnaan persaksian tersebut melalui bentuk latihan yang berat dan disiplin. Ia meniru tradisi Ibrahim a.s dengan proses pembuktian yang melelahkan. Ia meneruskan Musa a.s yang berusaha menangkap kalimat-kalimat Tuhan dengan hati. Ia meneruskan Isa a.s dalam keheningan menangkap ayat-ayat Tuhan. Saat di gua hiro, Muhamamd SAW menerima jawaban atas kegelisahan manusia dalam mencari Tuhan yang sudah lama dilakukan, melewati jebakan obyektivitas, menanggalkan keangkuhan akal, memperdalam keheningan dalam sebuah gua. Pada suatu malam, diantara malam-malam atau waktu yang sudah dilaluinya, jawaban tersebut begitu tegas, Tuhan memperkenalkan diriNYA dan menunjuk Muhamamd SAW menjadi pembawa pesanNYA, itulah Lailatul Qodar.



Malam itu hanya terjadi pada bulan Ramadhan. Bulan dimana manusia diperintah berpuasa. Bulan dimana manusia diajarkan untuk kembali menapaktilasi perjalanan manusia sejak purba untuk mencari Zat Mahakuasa, Allah SWT. Dengan belajar manahan makan, minum, begitu sederhana memang, tetapi bukankah itu awal dari semua pencarian manusia akan Tuhannya???



Selama sebulan penuh manusia diajari untuk mengendalikan diri dalam menghadapi sumber energi, dari yang paling sederhana, makan dan minum. Pemahaman manusia akan sumber energi, sumber hidup itulah yang akan menuntun manusia kepada pengenal kepada Tuhannya, yang layak disembah dan digantungkan segala urusan kehidupannya. Ketika proses itu dilalui, maka di saat selesai, memasuki Syawal, manusia bisa memahami apa makna : makan dan minum; hidup, kehidupan bahkan kematian. Saat berbuka, manusia akan menjadi kembali fitri, kembali berbuka, kembali makan dengan spirit baru, penemuan makna hidup lebih segar, sehingga layak menjalani kehidupan berikutnya yang lebih luas dan bersih.



Pertanyaan buat diri kita : apa yang benar-benar menjadi gantungan hidup dan kehidupan kita saat ini? Jawaban atas itu, akan menuntun kita pada jawaban akan keyakinan kita pada Tuhan yang hendaknya disembah.



Selamat menunaikan ibadah puasa Ramadhan, semoga kita menjalaninya dengan penuh keimanan dan kehati-hatian. Semoga bermanfaat bagi hidup dan kehidupan kita, semoga Allah memudahkan untuk kita menjalaninya.



Wallahu 'alamu bisshowab






















Ahmad yang Tahu Diri

Ahmad anak lelaki dari Abdullah cucu dari Abdul Mutholib begitu dipuji oleh mereka yang ada di langit dan dibumi. Disanjung oleh malaikat dan disegani oleh iblis sekalipun. Dia diterima oleh orang Arab, dan menjadi bagian dari kaum Ajam (nonArab). Begitu ia dibela dan dilindungi oleh Abu Tholib pamannya yang tidak menjadi pengikutnya. Para pemuka kabilah di Mekkah menaruh kepercayaan kepadanya untuk urusan yang sangat gawat bagi persekutuan dan kesatuan mereka. Banyak dari generasi saat ini bahkan masa depan begitu mencintainya, meski tidak pernah bertemu atau bertatap wajah dengannya. Bahkan makhluk halus dari bangsa jinpun mengimaninya sebagai rasulnya. Begitu tinggi derajat beliau!!!.

Apakah itu semua didapat take for granted ? Sering diantara kita menjawabnya, “ya wajarlah karena beliau utusan Allah, manusia pilihan”....jawaban itu bagiku adalah jawaban yang merendahkan keagungan beliau. Menafikan kepayahan, pahit getir, perjuangan keras, kesungguhan, konsistensi yang dilakukan oleh Ahmad. Bahkan menganggap Allah menunjuk utusanNYA dengan cara yang ngawur, tidak beralasan dan seenaknya sendiri.

Dengan menggunakan metode verstehen milik Max Weber, saya berusaha menggali jejak-jejak Ahmad yang fenomenal dan penting. Dengan cara berusaha menjadi dirinya, merasakan apa yang dirasakan atau untuk memahami dokter, anda tidak perlu menjadi dokter.

Ahmad bukanlah orang yang lahir dan dibentuk oleh tradisi ilmiah. Tidak seperti Plato, Arsitoteles, Phytagoras dan lainnya yang membiasakan diri dengan tradisi intelektual ilmiah, filsafat dan literer. Tetapi ia adalah seorang yang buta huruf, tidak berpendidikan di sebuah akademia atau sebuah kelompok kaum terpelajar. Memang ia seorang ummy.

Ia tidak seperti Gautama, Sulaiman atau Khidir yang terlahir dari keluarga bangsawan yang mempunyai kuasa untuk mendapatkan berbagai hal yang ia butuhkan. Ahmad juga bukan Isa al masih, Yusuf, Ismail yang mempunyai nasab dekat dengan para nabi atau utusan Allah yang mempunyai tradisi pendidikan keagamaan, ketauhidan. Dia adalah keturunan Ismail a.s yang lahir dengan jarak begitu jauhnya dari moyang tersebut. Dia tidak terlahir dalam masyarakat Yerussalem, Tibet, China, Mesopotamia yang mewarisi tradisi religiusitas dari para pendahulunya. Tetapi ia lahir dalam masyarakat yang kapitalis, pusat perdagangan, metropolis meski di dalamnya menyimpan sisa-sisa ketauhidan Ibrahim dan Ismail yang sudah terkubur oleh perilaku kejahiliyahan masyarakatnya.

Ahmad tidak terlalu memusingkan siapa Tuhan, dimana Tuhan atau seperti apa itu Tuhan? Tetapi yang menjadi keprihatinan dia adalah bagaimana kehadirannya di dunia ini memberi manfaat bagi yang lainnya. Hasrat membantu orang lain, mengasihi sesama manusia sudah tertanam jauh sebelum dia diangkat sebagai Rasul Allah. Ia begitu yakin akan nilai kejujuran dalam kehidupan. Kejujuran benar-benar menjadi bagian hidupnya, jalan hidupnya. Semua yang pernah berhubungan dagang dengannya mengakui betapa jujur dia sebagai pedagang. Dia tidak menggali kejujuran dari bangku akademia seperti Plato atau Aristoteles. Juga tidak menggali dari firman Tuhan melalui ayat-ayat suci, seperti dari injil atau taurat. Bahkan tidak diperoleh dari masyarakatnya yang sudah begitu korup dan zalim.

Begitu memuncak hasrat menjadikan diri bermanfaat buat masyarakatnya, Ahmad berlatih keras, mendisplinkan diri melakukan perenungan, latihan mental yang terus menerus tanpa meninggalkan urusan perdagangannya. Apakah anda membayangkan Ahmad mendapat wahyu pertama di gua Hiro, setelah datang pertama kali? Tentu tidak. Sudah banyak proses dan latihan yang dilalui sehingga sampai pada titik tersebut. Apakah Ahmad memasuki wilayah ka’bah pertama kali dibandingkan yang lainnya saat ada sayembara untuk memindah batu hitam (hajar aswad) adalah sebuah upaya darinya, sebuah ambisi? Tentu tidak, semua seolah kebetulan, hanya karena Ahmad memang sering melakukan latihan mental, spiritual dan tahannuts di tempat tersebut. Semua laku Ahmad memberikan gambaran kepada kita bahwa problem serius yang digalinya adalah mengenal diri sendiri; tujuan keberadaan diri dalam konteks lingkungannya dan kehidupan di dunia; mengenal jati diri dalam konteks pengendalian hawa nafsu dan penanaman nilia-nilai luhur kemanusiaan.

Dari beberapa jejak Ahmad tersebut ada satu nilai yang bisa merangkai kesemuanya menjadi satu pemahaman akan kemuliaan Ahmad sehingga benar-benar terpuji (Muhammad), yakni tahu diri, mengenal diri.

Ahmad tidak berusaha secara langsung dan geram menghancurkan berhala-berhala di sekitar ka’bah, meski beliau sering melakukan aktivitas kerohanian di sana. Dia tidak seperti Ibrahim yang mencari-cari Tuhan dengan filsafat dan pembuktian empiris. Dia tidak seperti Musa yang merengek minta melihat Tuhan. Ahmad benar-benar tahu diri. Keyakinan akan adanya Yang Esa, sudah tertanam, tetapi yang jauh lebih penting adalah tentang keberadaan dirinya sendiri. Keyakinan akan Wujud Yang Esa tidak akan berarti tanpa diikuti oleh manfaat keradaan diri dalam kehidupan. Itulah yang kelak, mengapa Islam menegaskan sebaik-baik manusia adalah yang banyak manfaatnya bagi lainnya. Dalam kerangka seperti itulah rukun islam dijalani. Dalam konteks seperti itulah rukun iman akan mempunyai makna bagi manusia.

Sifat tahu diri yang begitu luar biasa benar-benar menjadi karakter Ahmad. Maka menjadi wajar, ketika mendapat perintah Iqro’ begitu ketakutan dan tidak mengerti. Sampai-sampai meriang. Istrinya mampu menenangkan dan mencari tahu jawaban atas kejadian tersebut bahwa itu adalah pengenalan Tuhan dan pengangkatan dirinya menjadi utusan melalui paman Khadijah yang mengetahui nubuwat sebelumnya. Sungguh seolah-olah Ahmad begitu tidak tahu, begitu lugu menerima derajat dan tugas mulia tersebut. Sikap tahu diri yang dimiliki Ahmad inilah bisa jadi merupakan bentuk jawaban tegas Allah ketika DIA merencakan dan menetapkan manusia menjadi khalifah di bumi mendapat pertentangan dari iblis, dan keraguan dari malaikat. Dua makhluk Allah tersebut bagaimanapun dekat dengan Allah, mengenal Allah, tetapi tidak tahu apa-apa tentang rahasia terbesar Allah. Keraguan malaikat akan tabiat manusia yang menumpahkan darah serta penolakan iblis karena kualitas bahan manusia yang dianggap lebih rendah. Allah melahirkan rahasia tersebut melalui diri Muhammad dengan sejelas-jelasnya bahwa ada kemuliaan yang dimiliki manusia yang tidak mungkin dimiliki oleh malaikat maupun iblis.

Muhammad begitu terheran dan kaget ketika Allah menghendakinya menghadap. Dalam bahasa seperti itu, seolah-olah Allah mengundang Muhammad bertemu DIA, bukan sebaliknya Muhammad merayu-rayu, merengek-rengek meminta bertemu DIA. Bahkan Allah mengirim penjemput yang sangat istimewa. Peristiwa isra Mikraj mengajarkan kepada kita  seolah Muhammad sudah mampu menjawab apa yang dikehendaki oleh Allah atas penciptaan dirinya. Rasa sakit, penderitaan, kepedihan yang dialaminya ternyata membuat Muhammad tidak menjauh dariNYA, tetapi semakin berusaha memahami dirinya sendiri dan mengakui kerendahan sebagai hamba dan ketinggia DIA Yang Esa.

Begitulah Ahmad menjadi manusia yang sangat terpuji (Muhammad). Kesadaran akan diri sebagai hamba yang begitu mendalam, tidak menuntut hak istimewa sebagai kekasihNYA, tetapi berusaha berbuat untuk memanfaatkan dirinya bagi manusia dan alam semesta itulah spirit dari ajaran yang dibawanya. Kesadaran berjarak sebagai hamba terhadap Tuannya, meski keduanya begitu dekat; kesadaran aktivitas hamba atas kemauan Tuannya, meski banyak potensi dan kemampuan yang dimilikinya; dan kesadaran-kesadaran lain yang mengenal jati diri tersebut benar-benar mengankat derajat Ahma menjadi hamba yang sangat terpuji diabadikan oleh Allah dalam sebuah kalimah persaksian Laa ilaaha illaa Allah, Muhammadun Rasulullah.

Siapa saja bisa menirunya, menempuh jalan hidupnya, dengan demikian akan menjadi orang yang benar-benar terpuji. Itulah sebenar-benarnya agama (Ad Diin). Kapanpun dimanapun, dan dari bangsa manapun dapat menempuh jalan hidup tersebut (Ad Diin) yang lurus dan menyelamatkan manusia dalam kehidupannya.

Semoga Allah memasukkan kita termasuk orang-orang yang berada di jalan tersebut.



Wallahu ‘alamu bisshowab.



Belajar Iman

Keimanan dalam kehidupan beragama seseorang merupakan masalah paling mendasar. Dalam Islam disebut Aqidah, sebuah fundamen dalam membangun keagamaan. Bagaimana mungkin seseorang bisa melakukan peribadatan yang mantap dan kokoh tanpa didasari sebuah keyakinan yang kuat pula? Sebut sajalah, melakukan shalat. Seseorang dapat melakukan shalat dengan rajin, khusyu’, tepat waktu dan sebagainya, pasti dilandasi sebuah keyakinan tertentu akan shalat tersebut, apapun bentuk keyakinan itu. Mungkin, karena yakin dengan shalat dapat menebus dosa, atau dengan shalat dapat masuk surga, atau berharap kaya, dan bermacam-macam keyakinan. Itulah sebenarnya yang masuk wilayah keimanan, sementara  shalat termasuk dalam wilayah rukun Islam. Dua-duanya tidak dapat dipisahkan.

Di antara kita mungkin pernah diajari bahwa belajar iman, dengan cara banyak-banyak melakukan syariat, peribadatan yang sunah maupun yang wajib. Bahkan ada yang mengajari untuk memperkuat keimanan, seseorang harus melalui sebuah metode-metode tertentu yang rumit dan penuh ritus. Seperti tarekat yang mengajarkan mengenal (beriman kepada) Allah melalui serangkaian prosedur dan amaliyah. Atau bahkan ada yang mengajarkan keimanan melalui tirakat yang berenaka ragam dan penuh rintangan. Saya tidak berupaya menyalahkan atau merendahkan cara-cara seperti itu. Tidak sedikitpun bagiku ada ilmu atau kemampuan yang mampu menafikan kenyataan tersebut.

Saya hanya akan menyampaikan pengalaman sedikit berkenaan ini, ketika saya diberi nasehat oleh seseorang bahwa belajar iman, perlu dilakukan dari urutan keenam, bukan dari yang nomor awal (beriman kepada Allah). Anda tentu tahu rukun yang keenam adalah beriman kepada Qodlo qodar, baik buruk (khirihi wa syarrihi) berasal dari Allah swt. Dalam bahasa saya, belajar iman harus diawali dari realitas diri kita, realitas yang kita hadapi, ralitas yang kita pahami. Kita harus mampu menguak realitas itu semua, memahaminya bahwa itu semua berasal dari Allah, yang baik atau buruk, yang enak atau tidak enak, yang kita suka atau kita senangi, bahkan realitas yang kita anggap biasa saja sekalipun. Saya tidak diajari untuk mengenal Allah, tetapi mengenal perbuatan Allah dalam kejadian, realitas, nasib yang ada pada diri kita, kita lihat, kita rasakan dan sebagainya. Ya...semuanya itu terjadi dari detik ke detik, jam ke jam, setiap hari, setiap saat. Dengan begitu, maka secara bertingkat kita akan mampu memahami akhir dari kehidupan yang kita jalani (hari akhir), mampu menangkap ayat-ayatNYA, mengenal utusanNYA, memahami sistemNYA melalui para malaikatNYA, dan akhirnya mampu menyebut asmaNYA dan menangkap EksistensiNYA.

Dengan demikian, kita tidak perlu belajar yang aneh-aneh, belajar yang ndakik-ndakik, tetapi belajar tentan realitas diri sendiri, belajar tentang hidup kita sendiri, tentang apa hidup kita? Kemana hidup kita? Bagaimana hidup kita? Jika semua berasal dari Allah, maka seharusnyalah kembali kepadaNYA. Itulah keimanan yang tangguh, yang mampu menghadapi hidup dan kehidupan. Dalam pepatah sering kita dengar..”kematian itu sudah pasti, tetapi hidup itulah yang perlu diperjuangkan dan dipelajari”.

Wallahu ‘alamu bisshowab.

ILMU JAWA

Suatu ketika saya ditanya oleh seorang kawan “Apa itu Ilmu Jawa? Apakah ilmunya orang Jawa? Atau ilmu tentang manusia, pulau, budaya Jawa?”. Sebagai orang Jawa saya merasa kebingunan untuk menjawab pertanyaan tersebut. Jika dijawab ilmunya orang Jawa, maka orang Jawa itu banyak, ada orang Jawa di Amerika, di Australia, di Kalimantan dan sebagainya. Dan Jawa sendiri banyak ragamnya, ada Sunda, Banyumasan, Banyuwangi,Yogyakarta, dan sebagainya. Ilmu tentang budaya Jawa, bolehlah. Tentang pulaunya juga bisa. Tapi menurut teman tadi, bukan itu yang dimaksud. Maka masuklah sebuah pengertian yang diluar dugaan saya. Ilmu Jawa, kata teman adalah ilmu “JAga jiWA” atau menJAga jiWa. Ya ilmu Jawa ya ilmu bagaimana menjaga Hidup. Oleh karena itu, ilmu Jawa pada hekekatnya adalah ilmu tentang Hidup. Begitu banyak ajaran para leluhur kita yang mengajarkan bagaimana menjaga dan menjalani hidup. Demikian sentralnya masalah Hidup yang dibahas dan diajarkan dalam ilmu Jawa, seperti makna dari aksara Jawa (Ha-Hidup). Mengenal Hidup atau Urip, merupakan ilmu Jawa yang mendasar. Siapa yang tahu tentang hidup, maka dia harus bisa hidup dengan sesama titah/makhluk. Hidup harmoni dengan Hidup kita sendiri, hidup hewan, hidup tumbuhan dan sebagainya. Ilmu Jawa mengajarakan URIP (Usahakno Iso Rasa rumangsa Ing Pepadhan). Hidup/URIP berarti harus bisa merasa dan ngrumangsa terhadap yang lainnya. Ada tenggang rasa, ada interaksi rasa dengan pihak lain. Oleh karena itu Ilmu Jawa mengajarkan “kalau tidak mau disakiti, jangan menyakiti” “kalau mau disenangkan orang, ya menyenangkan orang”. Demikianlah karma, sebab-akibat yang diajarkan oleh Ilmu Jawa. Jika demikian, apakah ajaran tersebut mutlak milik orang Jawa?? Ilmu JaWa adalah ilmu hidup, jadi dia bisa milik siapa saja... Wallahu ‘alamu bisshowab