Dewi Sri : Nasibmu Kini

Memanggil hewan piaran dengan sebutan layaknya manusia merupakan bentuk konstruksi komunikasi yang sejajar, komunikasi cermin interaktif. Seperti menyebut Kitty untuk kucing, Joni untuk monyet atau lainnya. Manusia mencoba untuk memperlakukan hewan-hewan itu secara sangat layak, selaiknya memperlakukan dirinya (manusia). Jika diri lapar kemudian makan dengan menu yang sehat, maka terhadap hewan piaran kita juga diperlakukan sedemikian. Bahkan Rasulullah juga memberi nama-nama kepada benda-benda miliknya, seperti pedang, pakaian dan perabotan.

Dahulu, leluhur kita menyebut Bumi, Tanah itu dengan sebutan Dewi Sri. Para petani memperlakukan selayaknya seperti Dewi. Perlakuan yang cantik, menghormati dan dikonsepsikan sebagai perempuan yang subur, memiliki potensi dan kemampuan melahirkan kehidupan-kehidupan. Sesaji merupakan ekspresi perilaku komunikasi pergaulan antara manusia dengan lingkungannya.

Saat ini, bumi layanya seorang pelacur. Manusia memperlakukannya dengan penuh nafsu untuk memenuhi segala kepentingan. Memesan pelacur, anda tak perlu mengenal siapa nama sebenarnya. Tak perlu tahu data KTPnya. Tak perlu perlakuan manis. Kalau toh iya, hanya bentuk strategi mengeruk kepuasan dan keuntungan yang jauh lebih besar belaka.

Para petani mencekoki Dewi Sri dengan aneka ramuan yang beracun, memabokkan, memaksa untuk melahirkan. Tak peduli apakah Dewi Sri harus beristirahat atau sekedar haid, atau sekedar menunggu masa nifas. Perlakuan semacam ini terus menerus, tanpa disadari sebagai bentuk pemerasan dan pemerkosaan. Sebab kata manusia, “Dewi Sri diciptakan untuk menjadi budak manusia, dari sononya”.

Manusia semacam itu telah memposisikan dirinya sebagai Tuhan bagi alam, bagi lingkungan, bagi benda sekitar. Ketika dikabarkan bahwa ada Tuhan atas semesta alam, termasuk manusia, menjadi bingung cara mengkopsepsikan. Pemuja manusia atau diri sendiri, hanya tahu bahwa Tuhan itu ya seperti dirinya, seperti manusia.

Parahnya, manusia sering memperbudak sesamanya. Kemudian secara perlahan dan pasti, memperlakukan Tuhan seperti mereka memperlakuan budak manusia. Dengan alat doa, kuasa ikhtiar, loyalitas menyembah, memaksa Tuhan untuk memenuhi segala kebutuhannya. Harus mau dan bisa. Jika tidak, maka Tuhan akan dicampakkan, tak layak dipercaya.


Sungguh tragis nian, nasib Dewi Sri dan Tuhan. Mungkin juga kucing atau sapi anda, bahkan HP yang selama ini begitu taat dan setia menemani hari-hari anda.