MENGAPA SAYA (BISA) MENERIMA PANCASILA?

Sebuah pertanyaan yang sederhana, namun tidak mudah untuk menjawabnya, apalagi sebuah jawaban yang serius, dan keluar dari kedalaman keyakinan hati.

Sebagai generasi yang lahir tahun-70an, rasanya kurang pas untuk menjawab itu dengan jawaban yang benar-benar meyakinkan. Masa saya sudah jauh dari masa perjuangan kemerdekaan. Tapi saya bersyukur, saat saya tumbuh menjadi pemuda, berkesempatan menyaksikan bagaimana Nahdhatul Ulama (NU), yang di dalamnya diiringi dinamika, perdebatan dan konflik, toh akhirnya bisa menerima Pancasila sebagai asas organisasi satu-satunya.
Mengapa saya (bisa) menerima Pancasila? Maka saya harus mampu mengidentifikasi diri terlebih dahulu. Ketika itu dapat kulakukan, maka segala atribut yang datang dari luar, akan mudah untuk diseleksi. Mengenal diri sendiri, diutamakan sebelum menentukan pilihan untuk lainnya.
Saya lahir dan hidup di Indonesia. Leluhur saya adalah orang-orang Indonesia. Semuanya makan dan minum di tanah air Indonesia. Kemerdekaan Indonesia tidak mudah diperolehnya. Melalui proses panjang dan melelahkan, merenggut nyawa para pejuang, dan mereka adalah saudara saya semua. Menghirup udara yang sama. Kesadaran dalam konteks sebuah bangsa, Indonesia, maka saya adalah bagian dari itu semua. Bagian dari sejarah panjang bangsa. Keberadaan saya di saat ini adalah bagian dari konstruksi apa yang sudah diperjuangkan jauh sebelum saya ada. Sekarangpun, saya sedang memperjuangkan sebuah konstruksi bangsa yang tetap Indonesia buat anak cucu saya kelak bersama saudara-saudara yang lainnya.
Pancasila merupakan falsafah bangsa, dasar negara Indonesia. Pilihan pada Pancasila bukanlah sebuah pilihan seperti menghitung kancing baju atau menebak bunyi tokek. Melibatkan pemikiran dan usaha keras dari para tokoh bangsa yang sudah jelas-jelas membuktikan darma baktinya kepada bangsa Indonesia.
Alasan inilah yang pertama kali menyadarkan saya untuk menerima Pancasila. Sebagai bentuk rasa syukur untuk menghargai jerih payah para pendahulu. Sederhana sekali, sebagai bentuk rasa terima kasih kepada mereka yang sudah menumpakan darahnya dan segala upayanya untuk keberadaan saya saat ini. Alasan ini tentu seperti syukur yang membabi buta, tanpa melihat layakkah Pancasila sebagai falsafah hidup dalam bermasayarakat, berbangsa dan bernegara Indonesia.
Bersyukur dulu itu lebih baik. Persoalan kemudian tidak cocok, maka bagaimana mencari alasan yang layak untuk diperjuangkan. Adakah alasan untuk menggantikan Pancasila?
Sila pertama, “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Sebagai orang Islam, tidak ada yang perlu dipersoalkan pada sila ini. Agama saya adalah Islam, tentu dituntut berpikir, bertindak dalam hidup yang dilandasi oleh keIslaman. Maka ketika saya bernegara, berbangsa dan dituntut untuk berKetuhanan Yang Maha Esa, sudah klop. Keimanan, kepada Tuhan Yang Esa, AHAD, Qul Huwallahu Ahad, sudah sejalan. Dalam konteks ini, sesungguhnya dengan menerima Pancasila, saya dintuntut menjadi manusia yang benar-benar beriman dalam bentuk berkehidupan yang berperikemanusiaan, bersatu dalam kebangsaan, bermusyawarah mencapai hikmah dan berkeadilan sosial. Itulah syariat Islam yang saya pahami dengan ungkapan bahasa manusia Indonesia. Untuk urusan sholat, berpuasa dan sejenisnya asal tidak dicampuri dan bisa dengan nyaman menjalankannya maka sudah nyamanlah saya menjalankan keberIslaman saya di Indonesia. Jadi alasan yang kedua adalah, ada kenyamanan dalam keberagamaan. Di sisi lain, tuntutan beragama yang baik menjadi bagian tak terpisahkan dalam konteks kebangsaan.
Dalam pengertian ini, sebenarnya saya bisa saja memaksa kepada kelompok agama-agama lain yang berbeda konsep ESAnya. Mendasarkan sila pertama Pancasila, maka seluruh agama yang tidak bisa membuktikan keESAan Tuhan, tidak layak hidup dan berkembang di Indonesia. Tetapi apakah seperti layak dilakukan?, maka dengan mendasari alasan pertama tadi, tidak ada alasan saya untuk memaksa orang lain yang berbeda dengan saya dalam pemahaman keESAan. Mengapa? Berarti saya tidak berterima kasih kepada mereka yang tidak seagama dan sepemahan dengan saya yang telah ikut mendirikan dan membangun bangsa ini. Itu pula berarti saya melanggar sila ketiga, bersatu dalam kebangsaan. Apalagi rumitnya pembuktian KeESAan yang bisa diterima oleh semua pihak dan tunggal dalam pemahaman. Itu jelas sulit dan mustahil didapatkan. Wong jelas-jelas berbeda. Maka, karena itu perwujudan itulah yang menjadi ukuran penting dalam kehidupan berbangsa dan bermasyarakat. Sila kedua sampai kelima, bisa kita diskusikan dan perdebatkan dalam pengejawantahannya.
Meski akan banyak alasan yang bisa diajukan, namun dua alasan sudah cukup buata saya untuk bisa menerima Pancasila sebagai falsafah dalam kehidupan berbangsa Indonesia.

Surabaya, 30 September 2012
23.25 = memperingati Hari Kesaktian Pancasila

Negeri Ngawur


Jika,
Para pemimpin negeri ini berkata tak jujur
Para ahli agama berceramah demi kepentingan dapur
Para saudagar berdagang mencurangi alat ukur
Rakyatnya tak bisa sabar dan mau bersyukur

Lalu, benarkah nasi sudah menjadi bubur?

Jika,
Para orang tua bosan bertafakkur
Para remaja putri terjerumus menjadi pelacur
Para lelakinya yang dikejar hanya sekitar dubur
Pelajarnya tak henti-henti baku tawur


Lalu, benarkah para setan pada kabur?

Maka, tunggulah bangsa ini hancur


Sby, 29/09/2012
21.25

Wahai Istri, belajarlah dari Jemarimu (Nasehat 2)

Tulisan ini merupakan beberapa nasehat yang diambil dari Serat “Wulang Reh Putri” anggitanipun Sri Susuhunan Paku Buwono X. Jika pada tulisan pertama (Baca selengkapnya ) menyinggung soal dasar-dasar berumah tangga, nasehat berikutnya yang saya ambil adalah mengenai perlambang/isyarat dari jari (lima jari) sebagai bentuk nasehat kepada para istri.

Lawan ana kojah ingsun / saking eyangira swargi / pawestri iku elinga / lamun ginawan dariji / lilima punika ana / arane sawiji-wiji //
Jajempol ingkang rumuhun / panuduh ingkang ping kalih / panunggul kang kaping tiga / kaping pat dariji manis / kaping gangsale punika / ing wekasan pan jajenthik //

(Terjemah : dan ada pesan, dari mendiang kakekmu, ingatlah bahwa perempuan itu, dibekali jari, kelimanya itu ada, apabila dirinci mempunyai arti)
(Terjemah : Ibu jari yang pertama, telunjuk yang kedua, jari tengah yang ketiga, keempat jari manis, yang kelima itu, yang terakhir adalah kelingking)

Ingatlah bahwa perempuan itu dibekali kelima jari. Dimana ibu jari sebagai perlambang akan keteguhan hati. Dalam menjalankan ketaatan kepada suami haruslah sepenuh hati, buka karena harta atau karena ingin mendapat pujian. Sebab ketaatan kepada suami laksana ketaatan kepada Allah swt.

Yang kedua adalah telunjuk, adalah isyarat jangan suka menunjuk (orang lain) ketika diperintah oleh suami. Tunjukkanlah ketaatan dalam bentuk bersegera dalam menjalankan perintah.

Ketiga adalah jari tengah. Jadikanlah suami itu pengikat, pengikat keseluruhan rumah tangga. Tak ada kepemimpinan selain dia, dan dialah yang menyatukan itu semua. Junjunglah wibawa suami, meski berpenghasilan sedikit.

Keempat adalah jari manis, maka :

Marmane sira punika / ginawan dariji manis / dipun manis ulatira / yen ana karsaning laki / apa dene yen angucap / ing wacana kudu manis //

Buatlah manis roman mukamu di hadapan suami, jika bicara bertuturlah yang baik. Jika sedang kesal hati, maka buanglah di saat seperti itu.

Terakhir adalah kelingking, “jenthik”, terampillah dalam melayani suami, meski itu sedikit-sedikit (sa-ithik), lakukanlah dengan cepat namun halus, jangan cepat namun kasar, tergesa-gesa dan tidak tenang. Jika kasar dan tergesa-gesa, sebenarnya itu tercela, karena menunjukkan amarah.

Itulah nasehat buar para istri dalam melayani suami. Namun lima jari tersebut dapat juga dijadikan pelajaran buat para suami, bahwa sebagai ibu jari, dia harus kokoh. Dengan telunjuk, maka seorang suami harus pandai-pandai dalam memerintah dan tidak mudah menyalahkan istri. Dengan jari tengah, maka seorang suami harus mampu menjadi penyeimbang, segala persoalan dan kepentingan dalam rumah tangga. Ketika harus berhadapan antara kepentingan keluarga suami atau istri, suami harus bijaksana. Jari manis, bagaimanpun seorang suami harus mampu menunjukkan kasih sayang bagi istrinya. Dan terakhir, kelingking, sebagai suami tidak boleh menganggap remeh segala persoalan meski itu adalah persoalan sepele.

Wallahu ‘Alamu Bish-showab

Turi-Turi Putih : Amal Apa yang dibawa?

Bagi masyarakat Jawa, lagu “Turi-turi Putih” sudah tidak asing lagi. Bahkan ada sebagian masyarakat menyelinginya dengan bacaan shalawat. Lagu tersebut diyakini merupakan peninggalan wali songo, khususnya Sunan Kalijaga. Memang tak ada bukti valid soal itu, tetapi satu hal bahwa lagu tersebut begitu populer dan digemari masyarakat. Jauh lebih penting dari itu, ternyata lagu tersebut mengandung pesan ajaran sebuah kearifan kesadaran akan kematian, akan amal setelah manusia meninggal. Begitulah pesan yang diterima oleh para orang tua kita dulu. Jadi tembang bagi masyarakat bukan sekedar, bunyi dan irama yang enak di dengar, tetapi pesan yang disimpan jauh lebih membekas dan membuat orang begitu menghayati lagu tersebut.

Berikut ini lah lirik lagu “Turi-Turi Putih”,

“Turi-turi putih, ditandur neng kebon agung, 
turi-turi putih, ditandur neng kebon agung 
celeret tiba nyamplung
gumlundhung kembange apa,
mbok ira, mbok ira,
mbok ira kembange apa ?”.

Terjemahan :
Turi-turi putih—turi, artinya dak aturi: saya kasih tahu, putih simbolisme dari pocongan: orang mati yang dibungkus dengan kain kafan—mori warna putih.  Arti selengkapnya: saya kasih tahu bahwa kelak manusia itu akan mati.

Ditandur neng keboan agung—di tanam di kebon agung, artinya mati di kubur di sebuah makam.

Celeret tiba nyamplung gumlundhung kembange apa: sebuah gambaran dari orang mati yang sedang dimasukkan dalam kuburan seperti kilat jatuh

Gumlundhung kembange apa, maksudnya setelah orang yang mati itu selesai dikubur, maka kemudian akan biberi pertanyaan oleh malaikat soal amal perbuatannya.
Mbok ira, mbok ira, mbok ira kembange apa: mbok iro, adalah simbol manusia yang sudah meninggal, selalu akan ditanya : amal apa yang sudah diperbuat? Bekal apa yang akan dibawa?

Begitulah, makna yang bisa diambil dari lagu tersebut. Namun, pada perkembangannya, sudah dimunculkan jawaban-jawabannya. Misalnya adalah lirik tambahan berikut :

Mbok kira mbok kira mbok kira kembange apa
Kembang kembang m'lathi kembang m'lathi dironce-ronce

Orang mati pada kelihatannya (biasanya) adalah membawa bunga melati yang dirangkai, dikalungkan pada peti jenazah. Namun bukan itu yang sebenarnya dikehendaki. Tetapi amal ketika hidup. Maka selanjutnya adalah :

Sing kene setengah mati sing kana 'ra piye piye

Yang ada di sini (di dunia) susah setengah mati, tetapi yang di sana tidak ada apa-apa. Ini adalah pandangan mata manusia pada umumnya. Bagi mereka yang mau belajar dan mencari hikmah, justru hidup di dunia ini adalah kesusahan dalam rangka mempersiapkan amal kelak meninggal. Jika itu bisa dilakukan, maka benar adanya di sana dia tidak ada masalah yang berarti (sing kana ra piye piye) tetapi jika tidak ada amal, justru kehidupan di sanalah yang akan susah setengah mati.
Dalam perkembangannya, lagu ini bisa ditambahi dengan berbagai lirik. Bisa jadi tambahan tersebut justru tidak membawa pesan apapun, hanya sekedar kesenangan. Jika demikian, maka jauh lebih bijaksana untuk mencari lirik yang lebih bermanfaat.
Wallahu ‘Alamu Bish-showab
*) berbagai sumber

Cublak Cublak Suweng : Berhati-hatilah dalam Mencari ilmu

Cublak-cublak suweng
suwenge ting gelenter
Mambu ketudhung gudhel
Pak empong lerak lerek
Sapa ngguyu ndelikake
Sir sir pong dele kopong
Sir sir pong dele kopong

Itulah lirik tembang dolanan anak-anak di Jawa. Cara bermainnya biasanya terdiri dari 7 orang. Salah satunya tengkurep, sedangkan yang lainnya duduk mengelilingi, dan menaruh tangannya terbuka di atas punggung yang tengkurap tersebut. Ditaruhlah suweng (anting-anting) di tangan-tangan tersebut, bergiliran sambil menyanyikan lagu tersebut. Dan di akhir nyanyian, “Sir pong dele kopong”, bangunlah anak yang tengkurap untu menebak, dimana posisi suweng tersebut, siapa yang memegangnya. Dia yang ketawa-tawa, “sopo ngguyu ndelikake”, seolah-olah dialah yang membawa/menyimpan, tetapi belum tentu dia yang membawa suweng tadi. Begitulah kecerian anak-anak untuk bermain tebak-tebakan.

Permainan, tetaplah permainan, keceriaanlah yang menjadi tolok ukurnya. Tapi siapa sangka jika permainan itu menyimpan hikmah eduksi yang penting bagi anak-anak dan kita semua?

Cublak-cublak suweng, ada sebuah Suweng (anting-anting), harta berharga, yang tersimpan, bisa di sana atau di sini. (Dalam prakteknya berada di tangan-tangan secara begiliran).
Suwenge teng gelenter, harta (suweng) itu berserakan, tersebar di mana-mana. Ya itu tadi di banyak tempat, di tangan-tangan anak-anak yang bermain.

Mambu ketundhung gudel, keberadaannya tercium oleh gudel (anak kerbau). Ini adalah gambaran bahwa orang-orang bodoh, akan sibuk mencari-cari. Mengorek-ngorek, kalau perlu nyeruduk seperti gudel.

Pak empong lerak lerek, bagi orang-orang yang sudah sepuh (luas wawasannya) keberadaan harta itu hanya dilirik saja, tak perlu seradak seruduk seperti kerbau.

Sopo ngguyu ndeliake, dan bagi siapa yang menyimpannya, yang mengetahui keberadaan harta itu, hanya tersenyum saja.

Sir sir pong dele kopong, nah bagi gudel (orang-orang bodo) yang sudah sradak-sruduk ke sana ke mari, seolah-olah sudah mendapatkannya, padahal dia tak menemukan apa-apa, menekukan kedele kopong, kedelai tanpa isi, hanya kulit saja. Dan ini diualang-ulang, menyadarkan akan banyak orang-orang yang kecele hanya menemukan kulit semata, tak menemukan satu Suweng sekalipun.

Suweng, bisa jadi merupakan simbol apa saja, informasi, ilmu pengetahuan, kekayaan dan sebagainya. Ia begitu berharga, ia tersembunyi dari kebanyakan manusia. Untuk memperolehnya, tak perlu ribut ke sana ke mari dengan sikap sradak sruduk, seperti kerbau. Tapi perlu larak lerek, tanya kanan kiri, tanya kepada orang yang mengerti. Sementara mereka yang sudah tahu keberadaannya, sudah menguasainya, hanya tersenyum, tidak dipamer-pamerkan. Maka berhati-hatilah dalam mencarinya, sebab jika tidak berhati-hati hanya akan menemukan kulitnya semata.

Dalam belajar agama, banyak rahasia dan pengetahuan belum kita peroleh. Bahkan seumur hiduppun belum tentu kita mampu memperolehnya. Maka belajarlah dengan serius, bertanya kepada ahlinya, jangan asal mencari, asal mengambil ilmu tersebut. Sebab jika hanya seperti itu, tak ubahnya seperti gudel (kerbau) yang dungu, dan kekecewaanlah yang ditemui pada akhirnya.

Wallahu ‘Alamu Bish-showab.

Ujub Bibit Perpecahan Umat Islam

Sebuah Riwayat

Diriwayatkan oleh Ahmad dalam musnad-nya;

Suatu hari, di depan Rasulullah, Abu Bakar menceritakan seorang sahabat yang amat rajin ibadatnya. Ketekunannya menakjubkan semua orang. Tapi Rasulullah tak memberikan komentar apa-apa. Para sahabat keheranan. Mereka bertanya-tanya, mengapa Nabi tak menyuruh sahabat yang lain agar mengikuti sahabat ahli ibadat itu.

Tiba-tiba orang yang dibicarakan itu lewat di hadapan majelis Nabi. Ia kemudian duduk di tempat itu tanpa mengucapkan salam.

Abu Bakar berkata kepada Nabi, “Itulah orang yang tadi kita bicarakan, ya Rasulallah.”

Nabi hanya berkata, “Aku lihat ada bekas sentuhan setan di wajahnya.”
Nabi lalu mendekati orang itu dan bertanya, “Bukankah kalau kamu datang di satu majelis kamu merasa bahwa kamulah orang yang paling sholih di majelis itu?”

Sahabat yang ditanya menjawab, “Allahumma, na’am. Ya Allah, memang begitulah aku.”

Orang itu lalu pergi meninggalkan majelis Nabi. Setelah itu Rasulullah bertanya kepada para sahabat, “Siapa di antara kalian yang mau membunuh orang itu?”

“Aku,” jawab Abu Bakar. Abu Bakar lalu pergi tapi tak berapa lama ia kembali lagi, “Ya Rasulallah, bagaimana mungkin aku membunuhnya? Ia sedang ruku’.”

Nabi tetap bertanya, “Siapa yang mau membunuh orang itu?”

Umar bin Khaththab menjawab, “Aku.” Tapi seperti juga Abu Bakar, ia kembali tanpa membunuh orang itu, “Bagaimana mungkin aku bunuh orang yang sedang bersujud dan meratakan dahinya di atas tanah?”

Nabi masih bertanya, “Siapa yang akan membunuh orang itu?”

Imam Ali bangkit, “Aku.” Ia lalu keluar dengan membawa pedang dan kembali dengan pedang yang masih bersih, tidak berlumuran darah, “Ia telah pergi, ya Rasulullah.”

Nabi kemudian bersabda, “Sekiranya engkau bunuh dia. Umatku takkan pecah sepeninggalku….”

Hikmah
Dari kisah ini pun kita dapat mengambil hikmah :

Selama di tengah-tengah kita masih terdapat orang yang merasa dirinya paling sholih, paling mengikuti sunnah, paling berilmu, dan paling benar dalam pendapatnya, pastilah terjadi perpecahan di kalangan kaum muslimin.

Nabi memberikan pelajaran bagi umatnya bahwa perasaan ujub akan amal sholih yang dimiliki adalah penyebab perpecahan di tengah orang Islam. Ujub menjadi penghalang naiknya manusia ke tingkat yang lebih tinggi.

Penawarnya hanya satu, belajarlah menghinakan diri kita.

*sumber: Kitab Tadzkiratul Awliya (Kenangan Para Wali) oleh Fariduddin Attar.

Entahlah mau kalian itu apa?

ENTAHLAH MAU KALIAN ITU APA


Ketika kami  membaca barzanjy,
Kalian sebut kami menyerupai kaum Nashrani,
Padahal kami hanya mencintai


Ketika kami bershalawat
Kalian anggap kami sesat
Padahal kami berharap syafaat


Ketika mereka merendahkan nabi
Kalian merasa menjadi pembela paling berani
Padahal kalian benci orang yang mencintai


Entahlah apa yang kalian ingini?


Ketika kami tak demo bersama
Kalian sebut kami tak bertindak apa-apa
Lupakah pada amalan yang kalian hina?


Ketika kami tak mengerahkan massa untuk membela
Kalian kira kami tak ada dan bukan siapa-siapa
Lupakah pada maulid kami yang kalian hina?


Entahlah mau kalian itu apa?










Nasehat Untuk Para Istri (1)

Dalam khasanah budaya Jawa, ada ajaran-ajaran yang disampaikan oleh para pujangga untuk diperhatikan. Meski nasehat itu sudah lama berlalu, sebenarnya banyak nilai yang masih sesuai dan akan selalu menjadi pedoman dalam kehidupan sepanjang masa. Salah satu ajaran tersebut adalah bagaimana membina rumah tangga yang baik. Dalam naskah Serat Wulangreh Putri, karya Pakubuwono X yang awalnya diberikan kepada putri-putrinya, ajaran yang terkandung di dalamnya merupakan ajaran yang luhur dan bisa dipraktekkan oleh siapa saja.

Modal Mencari Suami

Sebelum membangun rumah tangga, tentu pasangan adalah syarat mutlak hadirnya. Bagaimana bisa rumah tangga tanpa ada pasangan? Suami dan istri. Serat Wulangreh mengingatkan kepada para remaja putri tentang landasan dalam pernikahan, dimana pernikahan itu bukan dilandasi akan harta dan rupa. Sebab ketika landasan itu salah, maka selanjutnya akan mengalami kegagalan.

Pratikele wong akrami / dudu brana dudu rupa / amung ati paitane / luput pisan kena pisan / yen gampang luwih gampang / yen angel-angel kelangkung / tan kena tinambak arta // .

Terjemah- Bekal orang menikah, bukan harta bukan pula kecantikan, hanya berbekal hati, sekali gagal, gagallah, jika mudah terasakan amat mudah, jika sulit terasakan amat sulit, uang tidak menjadi andalannya.

Bila seorang perempuan merasa dengan kecantikannya dapat memperoleh laki-laki idamannya, maka itu pertanda tidak baik bagi masa depan rumahnya. Demikian pula jika sebuah pernikahan didorong oleh kecintaan pada harta, maka juga akan gagal selanjutnya. Memang, susah-susah gampang, karena pernikahan adalah menyangkut soal hati, maka modal yang paling utama adalah hati. Dalam hal ini, baik laki-laki maupun perempuan harus menempatkan unsur kehati-hatian dalam mengawali rumah tangga. Tidak sekedar menuruti hawa nafsu belaka.

Berhati-Hati Modal Berumah Tangga

Jika, modal awal ada kehati-hatian, dan kepekaan hati yang jernih menjadi modal pernikahan, tidak otomatis akan memuluskan semuanya. Masih banyak duri dan godaan dalam menjalani biduk rumah tangga.  Hati-hati menjaga diri, hati-hati menjaga wibawa suami, hati-hati menghindari dosa dalam rumah tangga harus terus menerus dilakukan, sebab jika tidak berhati-hati maka seperti dalam bait berikut :

Wong lali rehing akrami / wong kurang titi agesang / Wus wenang ingaran pedhot / titi iku katemenan / tumancep aneng manah / yen wis ilang temenipun / ilang namaning akrama //

Terjemahan- Orang yang lupa aturan berumahtangga, orang yang kurang berhati-hati dalam hidupnya, dapat dikatakan sudah rusak, teliti itu artinya bersungguh-sungguh, meresap dalam hati, jika sudah hilang ketelitiannya, hilang nama baik berumah tangga.

Kerusakan rumah tangga bukan ketika sudah terjadi perceraian, tetapi jauh sebelum itu terjadi, ketika hilangnya aturan berumah tangga yang dipakai, sebenarnya rumah tangga itu sudah rusak.

Bahkan seandainya saja seorang istri terpaksa dimadupun, harus tetap berpegang teguh pada kehati-hatian (- nasehat kepada putri raja, poligami itu hal biasa kala itu). Tidak boleh ada rasa iri, hasud dan dengki kepada madu lainnya. Kerendahan hati yang timbul karena sikap kehati-hatian dan kesadaran akan Sang Pencipta akan menyelematkan dirinya dalam berumah tangga. Bahkan andai saja para madu itu berniat jahat, tak akan mampu dan terlaksana.

en bisa sira susupi / tan kena ginawe ala / yen kalakon andhap asor / yen marumu duwe cipta /ala yekti tan teka / andhap asorira iku / kang rumeksa badanira //

Terjemahan-Jika bisa engkau mengerti, tidak dapat dibuat jelek, jika berbuat rendah hati, jika madumu mempunyai niat jelek, pasti tidak akan terlaksana, sebab sikapmu yang rendah hati, yang telah bersemayam dalam badanmu.

Dengan demikian, betapa jelasnya bahwa kehati-hatian dalam rumah tangga adalah modal utama dan sangat berharga. Namun banyak para istri tidak menyadarinya. Demikian pula para suami, juga banyak lupa hal itu. Andai saja, baik para suami dan istri selalu memegang teguh prinsip kehati-hatian, tentu banyak rumah tangga bisa mencapai kebahagiaan lahir dan batin











Sunan Kalijaga : dari Brandalan menjadi Begawan

Raden Sahid atau kelak lebih dikenal sebagai Sunan Kalijaga merupakan sosok yang sangat masyhur dan dikenal di tanah Jawa. Sampai detik ini kharismanya tidak pudar. Mengapa bisa demikian? Bagi masyarakat Jawa, ada pepatah, “wong mati ninggali jeneng”. Orang meninggal mewariskan nama. Nama dikenang, sebab laku amal perbuatannya kepada manusia lain. Sehingga bagi mereka yang merasa tersentuh laku amal tersebut, akan mengenangnya sebagai bentuk rasa terima kasih dan syukurnya.

Menjadi Brandal Lokajaya : Pembebasan Duniawi

Raden Sahid adalah putra bupati, pewaris “tahta” pemerintahan kabupaten Tuban. Secara genealogis dan tradisi, dialah kelak yang akan mewarisi itu. Sungguh Allah sedari awal sudah membuat skenario buat Raden Sahid. Dalam usia muda, yang memang digadang menjadi pewaris pemerintahan, telah dibukakan kesadarannya untuk mencari bekal yang hakiki dalam memimpin masyarakat. Kondisi masyarakat yang kebanyakan hidup dalam kekurangan menyadarkan Raden Sahid, bahwa ada sesuatu yang salam dalam sistem pemerintahan. Apa yang akan diperbuat? Jika saat itu harus langsung bertindak kepada rakyat, maka tak pantas seorang putra kepala daerah melangkahi sistem yang sudah ada. Dengan begitu dia akan berhadapan dengan ayahnya sendiri, Raden Wilwatikta. Sungguh sebuah pilihan yang sulit. Maka, pilihan yang paling bisa dijalankan adalah keluar dari sistem, dan bertindak bukan atas nama sistem. Ya, Raden Sahid menjalani dirinya sebagai seorang Brandalan (kamus : orang yang tidak patuh pada aturan/sistem), yaitu Brandal Lokajaya. Dia mengambil harta orang-orang kaya untuk dibagikan kepada fakir miskin. Dalam pandangannya, sistem yang berjalan tidak memungkinkan terjadinya pengambilan hak tersebut secara legal dan terdistribusi dengan rapi dan adil. Pengambilan dan pendistribusian model “brandal lokajaya” telah melawan sistem yang ada, tanpa melalui pemerintah yang sah.

Kesejahteraan merupakan terpenuhinya kebutuhan dasar hidup orang banyak. Itu adalah model kesejahteraan yang palng sederhana dan dasar.  Harta, emas dari orang-orang kaya sebagai simbol kesejahteraan dipaksa untuk terdistribusikan. Maka, nama brandal Lokajaya adalah nama yang tepat untuk menggambarkan itu. Namun, usaha seperti itu ternyata tidak lantas merubah masyarakat dengan baik. Ya sekedar memberi rasa kenyang masyarakat miskin, tetapi tetap saja tidak merubah perilaku mereka untuk terbebas dari kemiskinan dan problem kehidupan lainnya. Di sisi lain, perlawanan terhadap sistem, memaksanya harus menghadapi pemerintahan yang kuat. Meski anak sendiri, ketika melawan sistem yang sudah tertata rapi, maka dia adalah tetap pemberontak. Dus layak untuk diberi hukuman seperti pemberontak lain. Maka diusirlah Raden Sahid dari kadipaten dan tidak layak menjadi pewaris.

Bertemu Sunan Bonang : Pencerahan

Jika, dalam peran sebagai Brandal Lokajaya, lebih bersifat “memberi ikan” kepada masyarakat, maka Raden Sahid sudah mencapai titik klimaks, dimana upaya pengentasan kemiskinan dengan model seperti itu tidak efektif dan cenderung distruktiv bagi sistem sosial itu sendiri. Dalam kondisi seperti itu, maka Allah menakdirkan Raden Sahid bertemu dengan Sunan Bonang. Pertemuan pertama, Raden Sahid digoda dengan pohon emasnya. Bahwa jika hanya sekedar membagi kekayaan, itu urusan gampang, asal saja seseorang itu kaya harta. Tapi apakah itu semua akan menyelesaikan persoalan? Pengalaman sebagai Brandal Lokajaya telah mengajarkan bahwa upaya-upaya model seperti tidak akan berhasil dalam jangka panjang.

Disinilah, peran Sunan Bonang dalam membantu Raden Sahid menemukan apa yang seharusnya diperbuat untuk membantu masyarakat. Sunan Bonang mengenalkan kepada ajaran-ajaran keluhuran, ajaran Islam, keteledanan Rasulullah SAW dan para nabi-nabi terdahulu. Waktu yang dilalui Raden Sahid kemudian adalah perjalanan dalam berguru, mencari kesejatian hidup dan kehidupan. Mengapa itu dilakukan? Untuk membantu manusia lain, maka seseorang harus mampu membantu dirinya sendiri. Untuk mencerahkan orang lain, maka dia harus tercerahkan. Untuk mensejahterakan orang lain, maka dia juga harus sejahtera.

Kisah ini telah menegaskan apa yang sudah didapat Raden Sahid pada awalnya, yaitu kesadaran untuk membantu masyarakatnya. Konsistensi untuk mencari bekal dalam memperjuangkan rakyatnya terus berlanjut. Pencarian ilmu Raden Sahd dan kemudian mendapat Gelar Sunan Kalijaga adalah proses pematangan atas kesadaran yang sudah didapat di usia mudanya.

Menjadi Begawan : Menjadikan Lainnya Lebih Berguna

Setelah proses perjalanan panjang dalam menempuh Ilmu, baik melalui para wali (ulama-ulama) lain, bertemu nabi khidzir, dan sebagainya telah memberikan bekal sangat cukup bagi Sunan Kalijaga untuk mempejuangkan apa yang dahulu diperjuangkannya, yaitu membantu masyarakat dalam hidup dan kehidupannya. Maka Raden Sahid sekarang sudah menjadi begawan, orang yang mumpuni dalam keilmuwan, lelaku, dan keteladanan. Pilihan untuk membantu masyarakat sudah bukan urusan harta lagi, tetapi lebih pada pencerahan kepada masyarakat. Meski, membantu dalam bidang ekonomi tetap dilakukan. Dalam tahap ini, Sunan Kalijaga sudah menjalankan prinsip “menjadikan dirinya dan yang lain bermanfaat”. Penerapan prinsip tersebut tidak sebatas pada manusia saja.

Wayang kulit yang semula hanya hiburan dan tontonan, dialihfungsikan menjadi sumber inspirasi tuntunan dan ajaran, dijadikan media dakwah ajaran Islam. Tembang mocopat yang awalnya sebagai tembang, dijadikan lebih berbobot dan sarat makna dakwah Islam. Tembang-tembang dolanan sebagai hiburan dijadikan wahana menyampaikan pesan keluhuran dan Islam. Dan masih banyak lagi.

Demikian pula, para penjahat takluk dalam adu kekuatan, sehingga tunduk pada ajaran Islam. Para pejabat yang lupa rakyat, disadarkan dengan berbagai cara dan metode agar lebih memperhatikan kesejahteraanya. Ajaran-ajaran yang sebelumnya menyesatkan, dialihkan untuk kembali kepada kebenaran.

Sungguh tidak gampang melakukan itu semua. Sungguh besar pula jasa yang sudah ditanamkan. Sehingga layaklah, beliau dikenang sepanjang masa, karena apa yang sudah diperbuat dan ditanamkan kepada masyarakatnya. Jelas sekali bahwa ada konsistensi dalam diri Sunan Kalijaga, baik tatkala masih muda, kemudian menjadi Brandal Lokajaya, dan akhirnya menjadi Sunan Kalijaga, Guru Tanah Jawa, yaitu konsistensi pengabdian kepada masyarakatnya.

Bagaimana dengan anda?