FAJAR

Fajar adalah tanda sebagai pembeda
Fajar adalah batas sebagai penjelas
Fajar adalah bekal bagi yang berakal

Pembeda bahwa malam tlah sirna
Penjelas bahwa derita tlah berganti rupa
Bekal bahwa kelak membutuhkannya

Bahwa waktu ada malam dan hari
Bahwa manusia ada yang berjodoh dan sendiri
Bahwa setiap masa ada perubahan di dalamnya

Itulah kenyataan
Waktu dan sejarah terus berjalan
Berganti, berputar adalah sebuah kepastian

Kaum ‘Ad yang berjaya
Kaum Tsamud yang digdaya
Fir’aun yang berkuasa

Semua berganti
Semua tiada abadi
Hanya kerusakan yang terkenang kini

Kuasa Sang Khaliq tlah berlaku
Balasan siksa menjadi belenggu
Karena pengawasan yang tanpa pandang bulu

Itulah potret manusia
Disaat berjaya merasa dekat dengan Tuhannya
Disaat menderita merasa Tuhan menjauhinya

Padahal Tuhan tidak pernah meninggalkannya
Semua karena akal budinya
Semua karena tingkah polah belaka

Kepada anak-anak yatim tak memuliakan
Kepada yang kelaparan tak memberi makan
Itulah sebab murka adanya

Halal haram tetap dimakan
Harta benda sungguh cinta tak terlukiskan
Itulah sumber mala petaka

Di saat bumi dihancur leburkan
Di saat maut menjemput dengan paksaan
Di saat jahannam dihadirkan

Manusia hanya mengeluh tanpa daya
Manusia hanya meronta dan mengiba
Tapi semua itu sia-sia belaka

Menanggung siksa tak terkira
Merasakan jeratan yang kuat perkasa
Membelenggu hingga manusia menyesali hidupnya

Wahai jiwa yang tenang
Wahai jiwa yang mengerti
Wahai jiwa yang menyadari

Sadarlah soal silih berganti
Ingatlah hidup di kemudian hari
Saat inilah batas yang terang benderang

Terimalah itu semua dengan suka hati
Baik yang kaurasa gembira dan menyakiti
Hingga Tuhan kepadamu menyayangi

Maka engkau layak sebagai abdi
Yang mengenal dan tahu diri
Masuklah dalam surga yang abadi

*) Surabaya, 29/11/2012

Menyikapi Masa Lalu : Butuh Kejelasan Kita Saat Ini

Menyimpan Persoalan

Kasus Sutan Batugana beberapa waktu lalu berkenaan pernyataan dia yang dinilai sebagai pernyataan yang melecehkan Gus Dur sebenarnya dapat dijadikan pelajaran berharga atas perjalanan bangsa ini. Bahwa ketika seorang presiden diganti/diturunkan/dimakzulkan melalui Ketetapan MPR akan menyimpan masalah di kemudian hari. Sebab proses pergantian semacam itu lebih pada wiliayah politik, bukan hukum. MPR sebagai lembaga politik tertinggi negara, merupakan representasi dari kehendak politik rakyat. Itu adalah ketentuan konstitusinya. Namun karena itu produk politik (meski Tap MPR juga bagian dari sumber hukum), maka kesalahan yang mengakibatkan TAP itu keluar didasarkan atas pertimbangan dan perimbangan kekuatan politik. Sukurlah saat ini sudah mulai disaratkan adanya dasar hukum dari proses pemakzulan tersebut.

Belajar dari kasus beberapa presiden sebelumnya, yaitu Soekarno dan Soeharto harusnya bangsa ini belajar lebih baik bagaimana membangun masa depan di saat transisi kekuasaan terjadi. Sikap terhadap rezim masa lalu menjadi prasyarat yang sangat penting di dalamnya. Soekarno yang diturunkan lewat Ketetapan MPRS No. XXXIII/MPRS/1967 tidak pernah segera diselesaikan dalam langkah-langkah konkrit. Baru tahun 2003 MPR mengeluarkan Ketetapan MPR No.1/MPR/2003 tentang 139 Tap MPR/MPRS sebelumnya yang masih berlaku dan tidak berlaku. Lebih dari 30tahun sebagian persoalan dijawab, yaitu secara otomatis isi dari Tap MPRS yang menempatkan Sokarno sebagai pihak yang bersalah tidak berlaku.

Soeharto, yang ditetapkan oleh MPR untuk diusut tuntas soal korupsinya yang berarti ada dugaan di dalamnya juga menyisakan persoalan. Demikian pula Gus Dur, yang dilengeserkan melalui sidang istimewa dengan ketatapan karena mengeluarkan dekrit dan dianggap membahayakan negara. Jika Soekarno butuh waktu selama itu, kapan untuk Soeharto dan Gus Dur?

Tidak Tegas Bersikap

Fakta ini memberikan gambaran bahwa sekian kali kita melakukan pergantian pemimpin, dengan proses yang melawan rezim berkuasa, tidak pernah tuntas bersikap terhadap rezim sebelumnya, yang diganti. Soekarno hanya disebut sebagai Pahlawan proklamator, artinya kepahlawanan Soekarno hanya karena proklamasi. Memang peristiwa itu sangat krusial dan fundamental, tetapi melihat kiprah perjuangan beliau layakkah hanya diberi gelar “sebagian” seperti itu? Baru pada masa SBY gelar pahlawan nasional diberikan. Dan nampaknya pemberian gelar semacam itu juga sedang dilakukan. Soeharto disebut-sebut sebagai Bapak Pembangunan, Gus Dur disebut-sebut sebagai Bapak Pluralisme. Apalah arti gelar atau sebutan semacam itu, jika kejelasan sikap atas beliau berdua tetap tidak jelas? Dan kecil sekali menunjukkan gejala kejelasan tersebut. Apakah diharapkan dengan sebutan itu kemudian dapat meredakan gejolak yang bisa timbul bagi para pendukung dan pengagumnya?

Sebutan sebanyak apapun, jika persoalan yang inti belum terselesaikan maka akan sulit sekali menentukan sikap selanjutnya. Apakah Soeharto seorang korup? Seorang penjahat HAM? Kan tidak pernah jelas soal itu, padahal masalah-masalah itulah yang dulu menjadi sebab beliau dilengserkan. Apakah Gus Dur memang mengacau negara? Membahayakan negara? Toh setelah lengser juga tidak terjadi apa-apa, biasa saja, tanpa perlawanan. Apakah terbukti dalam kasus suap Buloggate dan Brunaigate? Dari sisi hukum sudah jelas, SP3. Ketika keduanya sudah meninggal, apakah persoalan semacam ini akan selalu menjadi beban bagi anak cucu kita?

Rasanya sangat perlu bagaimana kita saat ini memberikan kejelasan mengenai kasus-kasus tersebut demi anak cucu kita kelak. Apakah akan berdamai, dan memutihkan segala masalah rezim masa lalu? Atau membiarkan bangsa ini melupakan, kemudian tiba-tiba ada penyelesaian seperti Soekarno itu? Jika itu yang dilakukan, berapa puluh tahun lagi generasi kita harus menanggung beban dendam sejarah? Bagi mereka yang akan bermain-main dalam politik, maka isu ini akan mudah digesek dan diledakkan. Di saat itu siapkah generasi kita menghadapinya? Mereka butuh kejelasan kita saat ini.

Wallahu 'Alamu Bishshowab

 

 

 

 

 

 

Materialisme dan Ajaran Kapitayan

Sebelum saya membahas lebih jauh, perlu saya sampaikan bahwa pemilihan istilah Ajaran Kapitayan adalah upaya saya untuk membedakan dengan kepercayaan ataupun kejawen yang sudah berkembang demikian ragam. Demikian pula materialisme yang saya maksud adalah dalam pengertian luas dan berkaitan dengan kepercayaan akan Tuhan, Sang Pencipta.

Penyesatan oleh materialisme

Sebagaimana dijumpai di belahan dunia lainnya, persoalan materialisme menjadi ancaman serius dalam perkembangan sebuah ajaran (agama). Perkembangan agama samawy yang turun di belahan timur tengah menampilkan sebuah gambaran bahwa materialisme merupakan ancaman serius dalam kemurnian konsep Agama yang lurus, dalam penyembahan kepada Tuhan YangEsa (Ajaran Tauhid). Ketika Agama samawy yang dibawa oleh Nabi Adam, Hud, Soleh, Ibrahim, Musa, dan sampai kepada Kanjeng Nabi Muhammad SAW godaan dan ajakan kepada materialisme begitu kuat dan membuat banyak manusia sesat. Seperti Namrud, Fir’aun adalah contoh manusia yang terjebak pada materialisme dalam arti diri sendiri, sebagai bagian materi ciptaan (hamba) yang mengaku menjadi Tuhan yang layak disembah. Bagaimana Korun, Bal’am, Samiri yang tersesat oleh kilauan materialisme dalam bentuk harta, ilmu dan sesembahan. Masih banyak lagi bentuk-bentuk materialisme, termasuk di dalamnya adalah hedonisme, pemuasaan nafsu sahwat yang berlebihan.

Materialisme dalam konteks ini adalah sebuah pemahaman dan keyakinan bahwa materi adalah sebagai segala-galanya, maka Tuhan itu “tidak ada”. Demikian pula materialisme mengajarkan upaya untuk mempersonkan Tuhan dalam bentuk materi, apakah manusia, ide yang tercapai oleh akal, batu dan bentuk-bentuk lain. Memang manusia tidak bisa lepas dari kebutuhan akan materi, namun ajaran tauhid selalu mengajak manusia kembali kepada Sang Pencipta materi, bukan terjebak dan terpukau oleh materi itu sendiri.

Ajaran Kapitayan dan Materialisme

Jauh sebelum masuknya beberapa agama, ide dan kepercayaan ke Jawa, masyarakat Jawa mempunyai ajaran Kapitayan, yaitu kepercayaan kepada Shang Hyang Taya (Diri yang tanpo kinoyo). Zat mutlak yang disebut Tuhan sebagai sumber segala sesuatu dikonsepsikan dalam kata Taya yang diartikan sebagai tan kinoyo (tak dapat diserupakan dengan apapun), karena DIA adalah yang absolut dan tak terjangkau. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa ajaran ini masih lurus, karena mengusung keESAan (monotheisme). Sebagian orang ada yang berpendapat bahwa ajaran ini juga mengajarkan sembahyang (sembah hyang) di tempat yang disebut langgar (batu datar dalam bentuk kotak). Waktu melakukannya ada tiga, yaitu di saat matahari terbit, beduk (beduk siang dan malam bisa jadi 2 kali) dan terbenam. Soal tatacara ini memang kurang meyakinkan, karena memang masyarakat Jawa saat itu masih belum mengenal tulisan (pra sejarah), sehingga sangat mengandalkan budaya tutur, yang sangat memungkinkan adanya distorsi-distorsi. Namun soal Kapitayan beberapa ahli sejarah membenarkannya.

Kembali kepada topik. Bahwa Ajaran Kapitayaan yang monotheis dalam perkembangannya juga dipengaruhi oleh materialisme. Shang Hyang Taya sebagai sumber baik itu kebaikan dan keburukan (menurut pandangan manusia), pada akhirnya dijatuhkan pada dua diri, yaitu diri yang baik dan buruk (padahal itu hanyalah sudut pandang manusia). Hingga kemudian muncul konsep Tu dan To, dimana Tu adalah yang baik dan To adalah yang buruk. Ada sebagian kemudian ini dikaitkan dengan keberadaan dua tokoh, yaitu Semar (sebagai pemawa ajaran Tu) dan Togo (sebagai pembawa ajaran To), dan bisa jadi lebih tragisnya adalah Semar sebagai Wujud Shang Hyang Taya yang Baik dan Togog adalah wujud Shang Hyang Taya yang buruk. Jadi sudah ada derivasi dari Tuhan menjadi person-person, sudah tidak Tunggal Lagi.

Keberadaan Tu dan To juga dimaknai oleh beberapa kalangan sebagai bentuk penyembahan, dimana Tu mengajarkan penyembahan kepada Shang Hyang Tunggal (Tu-nggal) dan To adalah mengajarkan penyembahan Kepada Shang Hyang Taya dengan berbagai sarana. Di sini kemudian lebih jauh lagi bahwa Shang Hyang Taya menyatu (dalam arti satu fisik) dalam berbagai benda fisik dan nonfisik. Karenanya baik yang fisik dan nonfisik tersebut kemudian diyakini sebagai Shang Hyang Wenang (sebutan lain karena Kuasa), maka pada perkembangan ini sudah menjadi politheisme, beragam Tuhan. Fenomena inilah kemudian oleh ahli Barat (Belanda khususnya) menyebut animisme dan dinamisme. Dan ini yang biasa disebut sebagai agama asli Jawa. Padahal dari uraian sebelumnya tidak demikian.

Dengan datangnya berbagai kepercayaan dan agama di Jawa kemudian memunculkan keragaman keyakinan yang demikian banyak dan kompleks, seperti ajaran pengorbanan (bahkan korban manusia di beberapa gunung berapi di Jawa). Pengaruh materialisme berikutnya adalah adanya pemujaan hawa nafsu dalam segala bentuk. Misalnya minuman keras (mabok), seks (medok), membunuh dan sebagainya dalam sebuah ritual. Ini adalah perkembangan lebih jauh daripada To itu tadi, yang mengajarkan penyembahan kepada Shang Hyang Taya dengan beragam cara dan sarana, meski itu dengan tindakan buruk. Mereka yakin juga sampai kepadaNYA. Sisa-sisa ajaran seperti ini juga disinyalir masih ada di beberapa daerah meski itu sangat rahasia.

Dengan uraian di atas, sungguh benar, jika dikatakan bahwa cobaan manusia hidup di dunia yang terberat adalah materi. Kebutuhan akan materi seringkali menjerumuskan kepada cinta berlebihan dan pengagungan. Demikian pula ketakjuban kepada materi dalam segala bentuknya juga telah mendorong manusia meyakininya sebagai sumber kehidupan, bahkan Shang Hyang Tunggal yang tan kinoyo opo-opo (Shang Hyang Taya) dianggap tidak ada diada-adakan saja sesuai selera manusia. Semoga kita bisa melewati ujian berat ini tidak jatuh kepada penyembahan yang keliru.

Wallahu 'Alamu Bishshowab

Robby, Ana Abduka

Berdo’a
Seringkali kita berdo’a, dalam setiap perbuatan
Apa saja, mengharap kebaikan atau mencegah kejelekan

Berdo’a
Jujur saja selalu kita berharap sesuatu, dan tentu
Sangat berharap sesuatu itu wujud

Berdo’a
Banyak lancar biasa tanpa makna
Banyak penuh makna penuh rasa

Berdo’a
Bisa dengan tutur tuntunan
Bisa pula bahasa kebanyakan

Berdo’a
Jujur juga tak jarang tanpa hasil seperti yang dipinta
Harus diakui itu seringkali membuat kecewa

Berdo’a
Tak kan ada tanpa motivasi
Tak kan terlaksana tanpa isi hati

Berdo’a
Sering kita berputus asa kepadanya
Sering pula semangat karenanya

Berdo’a
Karena hanya sebagai hamba, maka layak meminta
Karena bukan sebagai pribadi, yang layak dipenuhi

Berdo’a
Baik karena diberi atau meminta
Baik sudah diterima atau ditunda

Robby, ana abduka

Sby-11 Muharram 1434 H (24/11/2012 : 23.26)

Satrio Piningit : Sebuah Teori Politik

Istilah Satria  Piningit

Istilah Satrio  Piningit  banyak  dijumpai  dalam  naskah klasik Jawa. Dari sekian naskah yang menyebut keberadaan Satrio Piningit tersebut secara umum mengabarkan bahwa Satria Piningit tersebut adalah penguasa (Ratu atau Raja) yang adil, bijaksana, memimpin rakyatnya mencapai kesejahteraan dan kejayaan. Namun, dalam naskah-naskah tersebut banyak menggunakan ungkapan-ungkapan simbolik untuk mendeskripsikan tentang sosok pribadinya, apalagi menuju pada person tertentu. Sehingga banyak tafsir atas satria piningit tersebut yang bisa “seenaknya” dilabelkan kepada seseorang. Tentu bagi pihak-pihak yang meyakininya mengajukan argumen yang berusaha meyakinkan kepada pihak lain dan itu bukan seenaknya atau asal-asalan.

Dari sekian gambaran tentang satrio piningit yang paling menonjol justru keberadaannya yang samar itu, tersembunyi/disembunyikan (piningit), dalam sebuah ungkapan disebut “pudhak sinumpet”, pandan yang harum namun tidak tercium aroma wanginya. Dengan kata lain, satrio piningit yang digambarkan seperti itu sangat membuka ruang tafsir personifikasi yang luas dan sepanjang zaman. Kriteria keadilan, kesejahteraan dan kejayaan adalah identifikasi berikutnya untuk menguatkan pelabelan kepada seseorag yang diberi sebutan satrio piningit.

Satria Piningit adalah Sebuah Teori Politik

Menurut saya, konsep satrio piningit merupakan sebuah teori politik khususnya berkenaan dengan suksesi, pergantian kepemimpinan atau pemilihan umum (dalam konteks saat ini). Mengapa saya menyebut demikian? Naskah-naskah tentang satrio piningit lahir dari sebuah tradisi dimana sistem yang dikenal luas dan paling menonjol adalah sistem penunjukan atau pewarisan. Para raja di Jawa masa itu biasa menunjuk calon penggantinya atau putra mahkota yang akan menggantikannya kelak. Tradisi ini sudah menjadi tradisi suksesi yang populer, tidak aneh dan menjadi pengetahuan umum. Namun dalam kebijakan para leluhur, selalu akan muncul kemungkinan yang tidak umum, tidak terduga, dimana suksesi dimenangkan oleh mereka yang selama ini tidak terkenal sebelumnya. Katakanlah, munculnya Raden Patah pendiri Demak, dapat dikatakan sebagai satrio piningit dalam konteks keberlangsungan Majapahit atau kerajaan besar di Nusantara. Siapa yang mengenal Raden Patah sebagai pewaris sebuah kerajaan? Tentu tidak pernah populer sebelumnya, tersimpan dan tersembunyi keberadaannya.

Itulah mengapa saya menyebutnya sebagai sebuah teori politik. Dengan kemunculan tokoh yang tidak populer sebagai pemenang atau penguasa maka akan memberi kerangka teoritik bagi proses suksesi di masa berikutnya. Jadi, para bijak leluhur kita dahulu sudah mengingatkan kepada kita bahwa sewaktu-waktu dimungkinkan muncul seorang penguasa yang tak terduga, dan tokoh itu ternyata benar-benar menjadi penguasa yang baik. Semua tak pernah masuk dalam hitungan, tidak dikenal dan populer.

Kasus kemenangan Jokowi-Ahok dalam pemilihan kepala daerah DKI Jakarta beberapa waktu lalu dapat dijelaskan dengan teori sukses ala satrio piningit. Banyak lembaga survey yang menghasilkan kesimpulan studiya yang menang adalah pasangan Fauzi Bowo (incumbent).  Foke sudah dikenal luas, apalagi dia adalah incumbent. Jadi tidak piningit lagi. Banyak tokoh-tokoh lain yang dikenal punya track record yang layak dan pantas jadi gubernur DKI Jakarta. Tetapi apakah kemudian Jokowi-Ahok memenuhi kriteria satrio piningit berikutnya yang Ratu Adil? Maka ini belum bisa. Sebab masih panjang dan perlu pembuktian. Bahkan untuk memenuhi konsep ratu adil yang disebut dalam naskah Jawa klasik, banyak kriteria yang harus dipenuhi. Jadi, dengan teori politik sukses ala satrio piningit ini kita bisa lebih memahami terjadinya sebuah suksesi yang di luar prediksi dan kepopuleran.

Variasi Satria Piningit menurut Ranggawarsito

Dalam pandangan Ranggawarsito, seorang pujangga Jawa ternama mengajukan 7 model satrio piningit. Dalam pemahaman saya, 7 model tersebut untuk melengkapi konsep piningit.  Artinya, tersembuyi seperti apakah yang bisa menjadi variasi dari seorang kesatria tersebut.

7 Model tersebut adalah sebagai berikut :

1)    SATRIO KINUNJORO MURWO KUNCORO. Tokoh pemimpin yang akrab dengan penjara (Kinunjoro), dan sangat tersohor diseluruh jagad (Murwo Kuncoro). Artiya ketakterdugaan itu adalah dalam model seringnya dipenjara. Banyak orang tentu tidak akan menduga kepada orang yang suka dipenjara itu bisa menjadi penguasa. Mana bisa, padahal dirinya sendiri saja lama di penjara atau sering ke luar masuk penjara? Dengan model ini, kita tidak boleh gegabah dalam menilai seseorag, apakah seseorag yang dipenjara selamanya adalah penjahat? Tentu tidak. Sebab ada penjara politik, dimana urusannya adalah urusan kekuasaan, dan sebagai pihak yang melawan penguasa dan kalah tentu masuk penjara adalah wajar. Lihatlah Lech Walesa atau Nelso Mandela atau Soekarno. Di saat mereka dipenjara, tentu tak ada teori manapun yang bisa mendukung atau meyakinkan mereka layak jadi presiden.

2)    SATRIO MUKTI WIBOWO KESANDUNG KESAMPAR. Tokoh pemimpin yang berharta dunia (Mukti) juga berwibawa/ditakuti (Wibowo), namun akan mengalami suatu keadaan selalu dipersalahkan (kesandung kesampar). Hal ini mirip dengan model yang pertama, namun kesialannya tidak dalam bentuk penjara. Bisa jadi kesialannya adalah kegagalan-kegagalan dalam pemilu atau tak dianggap. Maka orang-orang macam itu bisa menjadi pemenangnya. Model ini banyak ditemukan dalam proses pemilihan kepala daerah di Indonesia.

3)    SATRIO JINUMPUT SUMELA ATUR. Tokoh pemimpin yang diangkat/terpungut (Jinumput) akan tetapi hanya dalam masa jeda atau transisi atau sekedar menyelingi saja (Sumela Atur). Model ini menekakan adanya penguasa yang muncul karena diambil. Sebenarnya tidak dikehendaki banyak orang karena situasi tertentu dia ditunjuk/dipilih. Model ini  sangat pas diterapkan pada penguasa-penguasa masa transisi, seperti pejabat pelaksana tugas.

4)    SATRIO LELONO TAPA NGRAME. Tokoh pemimpin yang suka mengembara / keliling dunia (Lelono) juga seseorang yang suka bertapa di keramaian. Model ini lebih tepat ditafsirkan sebagai orang yang sebenarnya menggembleng dirinya serius dalam kepemimpinan, menyiapkan dirinya, namu tidak berambisi dalam kekuasaan. Orang-orang hanya mengenal sebagai pencari ilmu, pengusaha yang suka berkeliling atau insinyur yang sibuk dengan pekerjaannya. Sehingga dia dianggap seperti kebanyak manusia yang sibuk dengan urusan biasa dan bertingkah seperti kebanyak orang. Seorang artis bisa saja menjadi penguasa, karena artis itu biasa saja dalam kacamata politik, dan berbaur dengan kehidupan duniawi.

5)    SATRIO PININGIT HAMONG TUWUH. Tokoh pemimpin yang muncul membawa kharisma keturunan dari moyangnya (Hamong Tuwuh). Model ini juga tersembunyi. Sebenarya memiliki trah penguasa, punya akses untuk berkuasa tetapi semua itu tidak diketahui orang, tidak terkenal. Model ini juga memperkuat ungkapan bahwa seorang penguasa/tokoh lahir dari penguasa pula.

6)    SATRIO BOYONG PAMBUKANING GAPURO. Tokoh pemimpin yang berpindah tempat (Boyong) dan akan menjadi peletak dasar sebagai pembuka gerbang (Pambukaning Gapuro). Model ini merujuk pada orang-orang baru yang selama ini tidak berkecimpung dalam politik kekuasaan. Dia diibaratkan sebagai satrio boyong (berpindah), dan itu sebagai langkah pembuka untuk memasuki dunia politik. Ketersembunyian model ini adalah dalam bentuk perpindaha bidang seseorang. Misalnya seorang yang selama ini bergelut sebagai petani, tetapi setelah memasuki dunia politik yang baru dan berusaha keras mampu menjadi pemenang.

7)    SATRIO PINANDITO SINISIHAN WAHYU. Tokoh pemimpin yang amat sangat Religius sampai-sampai digambarkan bagaikan seorang Resi Begawan (Pinandito) dan akan senantiasa bertindak atas dasar hukum / petunjuk Allah SWT (Sinisihan Wahyu).  Model ini juga tidak terduga, apalagi di zaman Ranggawarsito. Seorang kestaria yang sangat dekat dengan kehidupan ruhani, kemudian menjadi penguasa? Tentu zaman itu tidak lazim dan tak populer. Namun saat ini itu bisa saja terjadi.

Model-model satrio piningit yang diajukan Ranggawarsito tersebut, tentu pada zamannya belum lazim, dan benar-benar piningit, tersembunyi. Namun saat ini semua model bisa dijumpai dalam proses suksesi di beberapa negara atau daerah. Jika dalam pengertian ini, maka Ranggawarsito telah melampui pikiran orang pada zamannya menyangkut proses suksesi. Dan inilah mengapa banyak orang menyebutnya sebagai ramalan. Padahal, jika dilihat seperti uraian di atas, justru model yang diajukan oleh Ranggwarsito sebagai penjelas atau deskrispi yang lebih luas daripada sekedar “pudhak sinumpet” yang muncul pada era sebelumnya.

Wallahu ‘Alamu Bishshowab

ISLAM DATANG MELAWAN KESOMBONGAN

Kelahiran Iblis

Ketika Azazil dengan bala malaikat menumpas makhluk perusak bumi, baik dari bangsa Jin dan lainnya yang sudah berperang dan konflik berlarut-larut, maka mulialah ia. Kerusakan dan kekacauan akibat perang merebut kekuasaan atas bumi tersebut telah menghancurkan banyak kehidupan. Prestasi gemilang tersebut kemudian mengantarkannya kepada sebuah kedudukan mulia di sisi Allah SWT. Sebagai pimpinan para malaikat yang mulia, sungguh luar biasa hadiah tersebut bagi Azazil atas usaha dan perjuangannya mengembalikan bumi menjadi damai.

Hingga suatu masa, Allah SWT mengumumkan diciptakanNYA makhluk yang diplot menjadi khalifah di bumi. Azazil tersentak dengan pernyataan dan kenyataan tersebut. Terlebih lagi Allah SWT mendudukkan makhluk tersebut sebagai makhluk yang mulia, dan sangat layak menjadi khalifah, sebagai pengendali kehidupan dunia. Rasa berontak Azazil semakin tegas ketika Allah SWT memerintahkan semuanya untuk tunduk (sujud) kepada makhluk tersebut, yaitu Adam, jenis manusia. Bahkan ia berargumen kepada Allah SWT : “Aku lebih baik dari dia, karena aku tercipta dari api, sedang ia dari tanah”. Sungguh jawaban yang luar biasa beraninya. Ia lupa bahwa kedudukan yang ia peroleh saat ini, prestasi gemilang yang ditorehkan, kekuatan dan keahlian yang dimiliki semua berasal dari Allah SWT. TETAPI dia hanya melihat itu semua karena dirinya sendiri, karena dirinya berasal dari bahan yang lebih baik. Dengan sengaja ia telah memutuskan rahmat dan nikmat dari Allah SWT. Maka kemudian Allah SWT melaknatnya, mengusirnya dari surga. Kedudukan mulia dicabut dan diganti dengan derajat yang demikian rendah serendah-rendahnya. Ia seolah berharap, dengan kedudukan mulia itu mendapat kemuliaan yang lebih tinggi, terbukti dengan dipilihnya manusia menjadi khalifah, dia langsung berontak. Apa yang tersimpan dalam dadanya melalaui peperangan dan upayanya menumpas makhluk perusak bumi ternyata hanya mengejar kedudukan semata. Dia berputus asa dari rahmat Allah SWT yang akan mengalir terus kepadanya meski tidak harus menjadi khalifah di bumi. Maka tersebutlah ia sebagai Iblis, yang berputus asa dari rahmat Allah SWT.

Sungguh Allah SWT Mahamengetahui apa yang ada dalam batin makhluknya, dan DIA Mahamengetahui apa yang akan terjadi kelak, masa lalu dan masa kini. Pilihannya kepada manusia seolah berlawanan dengan apa yang terjadi sebelumnya, seperti bagi Azazil ketika jabatan mulia diperolehnya melalui jerih payah dan kekuatannya. Terbukti kelak Adam dan keturuanannya lah yang mampu menjadi makhluk termulia di sisi Allah SWT. Saat itu, Iblis tidak tahu sama sekali, tetapi dia sudah merasa paling tahu. Dia merasa paling mengenal seluruh makhluk Allah SWT, dan dialah yang terbaik, tetapi lupa bahwa Allah SWT adalah yang Mahamengetahui akan makhlukNYA.

Kesombongan adalah Ajaran Iblis

Kesombongan Iblis, karena kecewa dengan ketetapan Allah SWT yang menentukan Adam sebagai khalifah, karena dia merasa yang paling berhak atas itu, karena dia memang sedari awal menginginkannya, karena dia merasa mempunyai potensi dan kekuatan yang lebih baik, karena ia sudah underestimate terhadap Adam, karena dia menilai rendah apa yang belum ia kenali dan ketahui. Ya, kesombongan yang muncul sebagai bentuk pembangkangan kepada Allah SWT, telah melupakan diri, dari mana dia berasal, dari mana semua yang diperolehnya. Iblis hanya terpaku pada asalnya yang dari api, prestasi dari upaya dan kekuatan diri sendiri. Sungguh sikap menafikan Allah SWT, yang mengakibatkannya terlaknat dan terusir dari surga.

Demikianlah, selanjutnya Iblis mengajak manusia, keturunan Adam menjadi kawannya yang terlaknat, yang berputus asa, yang memutus rahmat Allah SWT. Menjadi kawan untuk menafikan Allah SWT, bahkan untuk menghabisi sesama makhluk (manusia) yang menyembah Allah SWT. Suatu bukti yang semakin membuat Iblis sangat membenci manusia, di saat banyak keturunan Adam menjadi kekasih Allah SWT, menjadi hamba pilihanNYA. Maka setiap ada manusia-manusia tersebut lahir dan hidup di dunia, Iblis akan selalu berupaya keras untuk menghabisinya, menyesatkannya. Upaya tersebut akan terus dilakukan hingga masa perjanjian tiba, dimana masa pengadilan yang sesungguhnya ditakdirkan oleh Allah SWT.

Banyak dari golongan manusia mengikuti jalan yang sudah ditempuh oleh Iblis. Yakni meyakini kekuasaan materi, merasa dirinya sebagai golongan yang paling unggul dan mulia. Sejarah manusia dihiasi oleh pertempuran dan perebutan akan materi, seperti keyakinan Iblis bahwa kekuatan dan prestasinya lah yang layak mendapatkan posisi paling mulia di sisi Allah SWT. Saksikanlah bagaimana Fir’aun, Namrud, Hitler, Zionis, Jengkhis Khan, dan sebagainya merasa dirinya paling unggul dan mulia. Bahkan kelakpun dunia akan tetap terisi catatan sejarah yang tidak jauh berbeda dari kisah-kisah itu semua.

Islam datang Melawan Kesombongan

Nabi Muhammad SAW diutus ke dunia dengan misi menyelamatkan manusia dari godaan Iblis, mengembalikan kedudukan yang sepantasnya dan seharusnya sebagai hamba Allah SWT, yang mana kedudukan tersebut sebenarnya sebagai kedudukan yang paling mulia (ini sangat berbeda dengan pandangan Iblis). Nabi Muhammad SAW meneruskan dan menyempurnakan apa yang sudah diawali oleh Nabi Adam a.s, dan para nabi setelahnya. Tetapi Iblis tidak pernah lupa kepada sumpahnya untuk menyesatkan manusia.

Iblis telah berkali-kali mengajarkan manusia untuk tersesat. Kepada Fir’aun, Qorun dan Namrud diajarkan soal prestasi diri, soal kapasitas diri yang unggul dibandingkan manusia lainnya. Namun rayuan Iblis begitu sempurna ketika menjerumuskan umat Nabi Musa, a.s. (Bani Israel). Tidak sekedar kapasitas dan kemampuan diri yang unggul, tetapi dibisikkan kesombongan berikutnya atas dalih keunggulan kodrati, asal dan keturunan. Seperti Iblis ketika mengklaim bahwa api lebih mulia daripada tanah. Sejarah bani Israel dipenuhi dua kesombongan itu, karena prestasi dan asal kodrati. Bagi mereka bangsa Israel adalah kodratnya pling mulia, paling layak menjadi penguasa dunia. Maka tidak mengherankan, para nabi dari kalangan mereka sendiri difitnah, dilawan bahkan dibunuh, karena mereka semua mengajarkan kepada penghambaan kepada Allah SWT, tidak mencintai dunia. Apalagi ketika mereka mengetahui datangnya Rasul yang dianggap bukan dari golongan mereka yang dikabarkan melalui kitab suci wahyu langit. Demikianlah Nabi Isa menjadi korban yang sangat tragis, difitnah untuk diserahkan kepada dikatator untuk disalib. Namun Allah SWT berkehendak lain, menyelamatkanNYA. Tapi lagi-lagi mereka menghasut bahwa yang digantung adalah Isa dan ia adalah Anak Allah.

Kedatangan Rasulullah Muhammad SAW, semakin membuat Iblis berupaya keras melakukan penyesatan-penyesatan. Banyak kaum Israel berhasil disesatkan. Nabi Muhammad dengan tegas, jelas dan lantang menyatakan perang dengan Iblis, dengan wahyu yang diterima, “sesungguhnya yang paling mulia diantara kamu adalah yang paling bertaqwa”, ini jelas-jelas menyadarkan atas kesesatan yang diajarkan oleh Iblis, bukan karena prestasi dalam beribadah, berjuang dan sebagainya. Jika itu semua tanpa dilandasi dengan ketaqwaan maka sia-sialah. Sebab Iblis sudah pernah mencapai itu semua. Ketaqwaan adalah kunci dimana menjadi pembeda (antara hasil upaya Iblis dan orang bertaqwa) dimana pembeda yang paling jelas adalah sikap kehambaan, penyerahan diri total kepada Allah SWT (Islam). Hal itu muncul dalam bentuk perilaku rendah diri, saling menghormati, kasih sayang, saling membantu, tidak terjebak dalam kehidupan dunia dan sebagainya.

Apakah setelah Nabi Muhammad SAW tuntas mengajarkan Islam Iblis berhenti? Jelas tidak, karena saat perjanjian dengan Allah SWT masih belum jatuh tempo. Umat Islam juga dihasut, yang mana fitnah dan hasutan itu selalu didasarkan pada satu ajaran pokok yaitu kesombongan, baik sebab materi, prestasi atau asal diri. Belajar dari pengalaman umat-umat nabi sebelumnya, maka banyak diantara kaum muslimin sendiri saling bertikai, saling menghabisi hanya demi menunjukkan kehebatan dan prestasi mereka atau karena asal mereka atau demi kejayaan materi semata. Itu akan terjadi terus menerus sampai kelak kemudian hari, dan anak cucu kita akan menghadapinya.

Marilah kita berusaha keras untuk menghapus kesombongan itu dari diri kita. Dengan ajaran Islam harusnya itu bisa diraih, bukan sebaliknya setelah mengenal ajaran Islam dan mengamalkannya rasa angkuh dan paling benar itu yang diperoleh serta menguasai hati dan keyakinan. Jika itu yang kita rasakan saat ini, maka percayalah anda atau saya sedang mengikuti atau menjadi Iblis itu sendiri.

Wallahu 'Alamu Bishshowab

Agama Iblis

Jika agama yang kaupelajari
Mengajarkan kebencian kepada sesama,
Lebih baik tinggalkan
sebab Iblis lebih dahulu melakukannya

Jika agama yang kaupahami
Menuntunmu pada kebanggan diri
Lebih baik tanggalkan
sebab Iblislah lebih mula mengerjakannya

Jika agama yang kauikuti
Mengarahkan kepada cinta dunia
Lebih baik lupakan saja
sebab Iblislah yang punya penangguhan usia

Jika agama yang kauyakini
Memberimu kekuasaan atas surga
Lebih baik campakkan saja
sebab Iblislah yang mampu membuatkannya

Suluk Rojak Rajuk

Ya roshulalloh..salam mun'alaika...
Ya rofi'asyaaniwaddaarojii....
'Athfataiyajii rotal'alaami...
Ya Uuhailaljudiwalkaromi.....2X

Kabeh menungsa ngarepke mulyo
Begja ing ndonya, mlebu suarga
Apik nasibe, luhur pungkase
Kabul kajate, cukup butuhe... x2

Fatehah kunci, dadi pambuka
Atur hadiah, ngalap barokah
Lisan lan ati, seja lan puji
Amung pinuju Ngarsaning Gusti ...x2

Kelawan nabi, lan para wali
Sohabat papat, mursyid tarekat
Marang wong soleh uga kyai
kang muruk ngaji, kang tuduh bekti ...x2

Wong tuwo loro, para leluhur
Aja ditinggal, aja disingkur
Sing dadi bakal drajat kang luhur
Kang aweh suwuk, kang paring sembur ...x2

Kelawan yoga, estri wes mesti
Nyuwun ngapura rahayu ugi
Slamet lampahe, manteb imane
Luhur akhlake, guna ilmune ... x2

Tur para kadang, tangga lan kanca
Sapa kang seneng, sopo kang cidra
Drengki lan iri, mugio sirno
Anggayuh guyub, ngilangi ujub ... x2

(Sururi Arrumbani)

Gombal ... !!!

Jubah putih, serban menawan
kadang hanya hiasan
atau sebuah rambu peringatan
ingatlah bahwa yang terbungkus
dan terikat
adalah kelemahan
maka hati-hatilah kawan ...!
Kata makian dan cacian
bukan pula jaminan
menjadi samaran yang mengalihkan
perhatian dan sangkaan
sadarlah bahwa yang terejawantahkan
dan terkatakan
adalah keengganan
maka rasakanlah kawan ...!

Engkau mau apa adanya
atau berlaku biasa saja

Engkau mau malih rupa
atau berdandan apa saja

tak ada yang terlewatkan
karena niatmu
begitu jelas terdengar
begitu nyata terlihat

lantas, kenapa kau memilih
salah satunya?
lantas, untuk apa itu semua?
hanya ingin merayuNYA?

Gombal ...!!!

(Sumber : Kitab Teles, Bab : Laku, Pasal : Gombal)

Mbah Lalar : Hidup Demokrasi

Sudah lama Mbah Lalar tidak bertemu dengan Kang Bangkak. Mungkin sedang menjalankan ibadah haji. Tak berapa lama, Mbah Lalar menemui kerumunan, dan ternyata Kang Bangkak sedang berpidato di dalamnya :

Kang Bangkak : “Saudara-saudara, negeri ini jelas-jelas tidak sesuai syariat. Demokrasi menjadi sistem pemerintahannya, bukankah harusnya hukum Allah? Bukankah harusnya syariat islam? Bukankah harusnya khilafah? Saudara-saudara...!!!

Mbah lalar tercenung, dan membatin “ternyata Kang Bangkak sudah menjadi orator ulung. Selama ini menghilang dia menggembleng diri dalam orasi.

Kang Bangkak : “oleh karena itu saudara-saudara.... kita harus rubah sistem demokrasi yang merupakan sistemnya toghut. Haram hukumnya memakainya, apalagi kita jadikan sistem kenegaraan kita. Tegakkan syariat...tegakkan khilafah... Allahu Akbar...Allahu Akbar......

Kang Bangkak masih melanjutkan : “saat ini banyak dilakukan pemilihan kepala daerah... maka kita harus merebut itu semuanya, kita menangkan kader-kader kita agar bisa menjadi gubernur, bupati dan walikota. Tidak bisa tidak, kita harus menang jika kita ingin khilfah tegak di negeri ini....Allahu Akbar.... Allahu Akbar....”

Tiba-tiba Mbah Lalar geram dan berteriak : “Hidup demokrasi...hidup demokrasi.... berikan suara anda melalui pilihan langsung.... hidup demokrasi...hidup demokrasi....!!!

Kang Bangkak kaget melihat aksi mbah lalar... dia diam dan tercenung... bergumam “hmmmm .... demokrasi memberi peluang untuk tegakknya khilafah.....demokrasi, demokrasi...... hidup.....!”

 

KEPEMIMPINAN ALA JAWA : RATU ADIL

Soal kepemimpinan, orang Jawa cenderung merujuk pada konsep RATU ADIL. Menurut Saya, ia adalah sosok, identitas, pribadi. Mungkin orang lain berpendapat itu adalah sistem. Sebab bagi orang Jawa, apakah orang itu dipilih, ditunjuk atau mengangkat dirinya sendiri bukanlah esensi dari RATU ADIL.

Terdapat dua konsep utama, yaitu RATU dan ADIL. RATU adalah penguasa entah seberapa luas cakupan wilayahnya, bisa sedikit, bisa sangat luas sampai seluruh jagad raya. Sementara kata kunci  kedua adalah ADIL. Bahwa keadilan adalah hal mutlak dimiliki oleh seorang RATU. Jika tak ada keadilan dalam kepemimpinannya, maka penguasa tersebut adalah dzalim. Konsep ADIL sendiri, bisa dikatakan konsep yang universal, namun dalam pandangan kelompok tertentu mempunyai definisi yang bisa jadi ada beberapa variasi.

Kembali kepada konsep RATU ADIL dalam budaya Jawa, saya kutip dari Serat Syeh Subakir (Pupuh III Pangkur) mengenai RATU ADIL, digambarkan :

“Ratu iku luwih mlarat, datan mawi sangu amung sadremi, mung semende mring Hyang Agung, tan ana janma wikan, pan kasandang kasampar-sandung tan weruh, pudak sinumpet punika, timbule kang tunjung putih”

Sosok RATU yang adil adalah adil terhadap dirinya sendiri, dimana dia sadar keterbatasan kebutuhan dirinya sendiri. Tidak berlebihan, “mawi sangu amung sadremi”, berbekal untuk kebutuhannya sekedar memang kebutuhan. Dengan demikian tidak ada sikap berlebihan, apalagi korup. Mengapa bisa demikian? Karena ia selalu bersandar kepada Gusti Allah, kepada Yang Mahakuasa, Mahakaya yang mencukupi segala kebutuhan hidupnya. Tak ada niat mencari keuntungan pribadi, semua dikerahkan kepada pengabdian melalui sikap adil. Pun ia tidak suka pamer atas jasa-jasanya, apalagi atas siapa dirinya, suku, asal, ataupun keturunan. Bahkan “tan ana janma wikan”, tak ada orang yang tahu tentang dirinya, yang dikenal hanyalah sikap adilnya. Orang-orang bahkan tidak mengetahui bagaimana jerih payahnya mereka, “pan kesandang kesampar-sandung tan weruh”. Dalam konsep lain “sepi ing pamrih rame ing gawe”, banyak berbuat dan susah payah tanpa pamrih. Keberadaanya ibarat “pudhak sinumpet puniko”, seperti daun pandang yang wangi tapi tersembunyi, harum namanya tanpa diketahui pohon pandannnya. Jika sikap-sikap seperti itu bisa dilakukan, maka “timbule kang tunjung putih”, munculnya bunga yang harum nan indah.

Sepak terjang RATU ADIL membuat hati rakyat kecil tentram, bahkan para musuh juga keder melawannya. Meski banyak yang menyerang, toh akhirnya mereka sirna, tak berdaya, “Mungsuh ngarep ekeh sirna, ingkang pada wani samya mati, tumpes tapis sirna larut”, karena kepasrahan kepada Gusti Allah yang demikian kuta, maka bala tentaranya adalah kekuatan Sirrullah. Bahkan alampun ikut mendukungnya, “mung kalabang kalajengking gamanipun”.

Bagaimana bisa seseorang bisa menjadi ADIL? Itulah sebenarnya yang diharapkan kepada para pemimpin untuk mencapainya. Kekuatan spiritual harus digembleng dan diasah. Dalam serat tersebut : “anjurungi marang Sang Ratu Adil, ana dene kutanipun, alas bumi Ketangga, pan rineka kedatonira Sang Prabu, Juluk Sultan Herucokro”. Tempat keratonnya adalah Alas Ketangga, dimana ini merupakan simbol penguasaan batiniyah sang pemimpin. Alas diartikan sebagai hutan, asal, tempat yang ramai, seperti batin manusia penuh dengan nafsu, niat, cita-cita dan sebagainya. Kekuatan dan potensi batin ini benar-benar nyata “Katon”, namun juga halus “Onggo”. Jika penguasaan spiritualitas ini mumpuni, maka dia akan bisa menguasai Alas Ketonggo sebagai keratonnya. Kemudian dia juga bergelar Herucakra, dimana penguasaan akal pikiran (Heru=mustika, kepala, pikiran). Dus, sosok RATU ADIL tentu memiliki kekuatan spiritual, intelejensia mumpuni. Dengan modal itulah dia akan bisa berlaku adil kepada rakyat, bahkan mampu orang lain bertobat dan bersujud “botoh keh pada kabutuh, awit adil Sang Nata, akeh ngungsi mring masjid pada asujud, eling marang kabecikan, pada dadi santri mursid”. Orang yang kayapun butuh, apalagi orang kecil. Semua ingat kepada kebaikan, dan bersujud, berduyun-duyun ke masjid, dan menjadi santri mursid.

Sungguh, konsep RATU ADIL adalah konsep kepemimpinan yang demikian berat dipenuhi. Namun, apalagi yang bisa diandalkan oleh pemimpin jika sudah tak ada keadilan? Apakah dia orang adalah berlatar belakang ulama, profesor, tentara dan sebagainya. Semuanya sia-sia tanpa keadilan yang menyejahterakan rakyat, tanpa keadilan yang menentramkan rakyat, tanpa keadilan yang mengajak kebaikan kepada masyarakat.

 

Wallahu ‘alamu bishshowab

 

 

 

 

 

 

 

MEMAKNAI BULAN SURO

Banyak beredar mengenai bulan Suro ini, apalagi di Jawa. Berbagai tafsir dan keyakinan menggelayuti makna bulan Suro itu sendiri. Bulan Suro dalam kalender Jawa yang diprakarsasi oleh Sultan Agung dijadikan awal bulan dalam satu tahun putaran. Sekaligus disamakan dengan bulan Muharram yang berasal dari kalender Hijriyah. Menurut pendapat saya dan lebih condong untuk mengatakan bahwa SURO adalah nama khas Jawa, tidak ada sangkut pautnya dengan nama yang diambil dari kata Arab seperti Asyuro (hari kesepuluh). Nama-nama bulan yang diajukan oleh Sultan Agung yang masih murni Jawa dan dikenal luas ya hanya SURO (mungkin ada yang lain yaitu REHEB = REJEB).

SURO ada yang memaknai sebagai SURO DUROKO, dimana bulan itu adalah “tundhan demit”, yakni bulan yang penuh demit memangsa manusia, oleh karena itu banyak pantangan di dalamnya, karena adanya serangan demit yang berlipat-lipat tersebut. Kemudian disusul ritual-ritual untuk mencegah manusia agar tidak menjadi sasaran demit yang mengamuk tersebut.

SURO ada yang menyebut mengambil kata ASYURO, dimana artinya adalah hari kesepuluh. Tanggal 10 bulan tersebut (Muharram) bagi kaum syiah menjadi hari sangat bersejarah, yakni terbunuhnya Sayyid Husain di padang Karbala. Namun dari sumber-sumber lain justru menceritakan kabar kegembiraan pada hari tersebut, seperti terbebasnya kaum Yahudi dari Fir’aun. Jadi pengambilan nama bulan SURO berdasarkan hal ini jelas-jelas tidak tepat. Faktanya, masyarakat Jawa tidak kemudian menjadi pengikut syiah secara massiv.

Bahwa bulan Muharram adalah bulan yang dimuliakan itu sudah jelas dan tegas. Kemudian Sayyidina Umar bin Khattab menetapkan sebagai bulan awal dalam siklus 1 tahun dimaknai sebagai penanda peristiwa hijrah Rasulullah dan kaum muslimin ke Madinah. Hijrah menuju peluang yang lebih baik, membuka upaya dan kesempatan agar lebih baik menjadi dasar untuk mengawali tahun adalah makna yang sangat mendasar. Sehingga pemaknaan ini akan membantu umat Islam setiap awal selalu berusaha melakukan perubahan-perubahan ke arah lebih baik. Bagaimana dengan SURO bagi orang Jawa?

SURO adalah kata sansekerta yang berarti BERANI. Menurut keratabasanya adalah SU = Mesu dan RO = sariRO, artinya adalah mati raga, berpuasa, menggembleng diri. Keratabasa lainnya yang dapat diajukan adalah SU = Suluk dan RO = Roso (Rasa), artinya SURO sebagai waktu melakukan perjalanan spiritual mengolah rasa. Inilah mungkin mengapa Sultan Agung tetap mempertahankan sebutan SURO meski tahu bahwa itu adalah Muharram sebagai awal tahun hijriyah.

Dengan demikian, jika tahun baru Hijriyah ditandai dengan adanya peristiwa hijrah, perpindahan, maka ada semangat atau spirit yang terlengkapi dalam khazanah Jawa, yaitu mengawali tahun dengan penuh keberanian memulai sesuatu, mengolah rasa, bertirakat, bersusah payah terlebih dahulu sehingga kelak pada akhir tahun dapat mencapai puncak spiritual yaitu HAJI. Jika bulan SURO adalah bulan bersusah payah dalam mengolah rasa, mengapa harus berfoya-foya atau bergembira? Dengan demikian kita bisa memahami mengapa pada bulan SURO orang Jawa tidak patut dan dilarang melakukan hajatan yang sifatnya kegembiraan, sebab tidak sinkron dengan semangat yang ada.

Akhirnya, mengapa kita tidak berupaya memahami bulan SURO dalam kerangka pemahaman makna HIJRIYAH (perubahan) dan sebagai bentuk memuliakan bulan yang mulia tersebut dengan laku prihatin dan berjuang? Perubahan dapat dicapai hanya dengan keberanian dan kerja keras, susah payah dan itulah caranya kita memuliakan permulaan perjalanan satu tahun ke depan. Semoga kita bisa memulainya......

Wallahu ‘alamu bishshowab

OBAMA Vs ROMNEY : SISI ITUNGAN JAWA

Pertarungan antara Obama Vs Romney selesai sudah, dengan kemenangan meyakinkan pihak Obama dengan perolehan electoral vote yang lebih banyak. “sopo menang sing nyirik”, itulah model khas pemilu di AS.

Andai saja Romney mau memperhatikan dukun Jawa, dengan itung2an yang sudah dikenal dan bisa dipelajari melalui buku2 loak, mungkin akan ada upaya-upaya suwuk lain yang bisa memenangkannya. Mari kita sedikit ulas:

Obama terlahir pada hari Jumah Pahing dengan Neptu 15, sedangkan Romney terlahir Rebo Pon jumlah neptu 14. Dari sisi ini saja, Obama lebih unggul. Memang ada unsur yang mempunyai kesamaan, seperti Rakam sama-sama Mantri Sinaroja. Kata mantri itu identik dengan pejabat, orang terpandang lah begitu. Keduanya sama-sama pejabat publik dari partai masing-masing.

Sementara unsur lainnya, Obama menunjukkan sifat yang lebih “ideal”. Dilihat dari sisi Padewan, Obama adalah Betara Guru, sedangkan Romney adalah Betari Uma. Sebenarnya keduanya dalam pewayangan adalah pasangannya. Namun Betari Uma adalah raksasa perwujudan dari jiwa Dewi Permoni yang jatuh cinta kepada Guru. Dilihat dari Pancasuda/Saptawara Obama adalah tunggak semi, sedangkan Romney adalah bumi kapethak. Romney memang lebih gigih, berkeringat, namun nampaknya kekecewaan lebih banyak menghampirinya. Beda dengan Obama, hilang satu tumbuh seribu, ada saja pendukungnya. Sisi sadwara, Obama itu ceroboh, sedang Romney orangnya suka was-was. Keduanya mempunyai kelemahan. Berikutnya adalah Paarasan, Obama mengikuti lakunya matahari, sedangkan Romney mengikuti lakunya rembulan. Memang keduanya sama-sama penting pada waktu yang berbeda. Namun soal kekuatan cahaya, maka matahari mempunyai kekuatan lebih besar.

Dan terakhir, pemilihan akhir pada hari Selasa 6 Nopember 2012 mempunyai neptu 7 (Selasa Wage), maka ketika dilakukan pemilihan, Obama mempunyai selisih kelebihan 1 (15/7 = 2 sisa 1), sedangkan Romney tak ada sisa, pus.... ilang (14/7 = 2 tanpa sisa).

Itung2an ini hanya usaha untuk lebih memahami saja, bukan untuk meramal, atau menentukan takdir. Mungkin, kalau pemilihannya adalah Kamis Pon atau Rabu Kliwon, bisa saja berbeda... tapi toh memang begitulah yang sudah terjadi.

Wallahu 'alamu bishshowab

AKU (ISLAM) ABANGAN

Abangan dipopulekan oleh Cliford Geertz untuk menggambakan “agama Jawa”. Ia mengambil dari istilah yang digunakan oleh masyarakat Jawa waktu itu untuk menyebut dirinya yang masih minim simbol-simbol keislaman yang kuat. Mereka adalah para petani kebanyakan yang tinggal di desa dengan pertanian sebagai mata pencaharian. Juga mereka tidak bergelar haji atau kyai atau berguru di pesantren. Dengan demikian berbeda dari kaum santi yang memiliki simbol keislaman kental dan banyak bergelut di bidang perdagangan.
Abangan, dari kata abang, berarti merah merujuk pada keadaan atau suatu tahapan yang masih rendah atau baru. Bayi yang baru lahir sering digambarkan oleh masyarakat Jawa sebagai bayi abang, kulitnya masih merah. Makna ini pada perkembangannya sering diasosiasikan dengan politik, sehingga muncul persepsi yang tidak tepat dan cenderung negatif. Kaum abangan bukanlah kaum yang negatif, mereka adalah kaum lemah, baik dari sisi ekonomi dan kegamaan.
Demikian pula, ketika kugambarkan diriku untuk sebuah pemahaman konsep keberagamanku. Sungguh aku ini benar-benar abangan. Masih lemah keagamaan, masih lemah iman, masih kurang dalam simbol keislaman dalam keberagamaanku sehari-hari.  Tidak berani sedikitpun, jika aku haus menyebut diriku sebagai kaum putih, simbol kebersihan, keunggulan dalam keberagamaan. Kalau toh masih pantas adalah sebagai santri, namun bukan dalam pengertian Geertz, penuh dengan simbol keislaman. Santri buatku adalah tahapan baru dalam belajar agama, masih sedikit ilmu, pengalaman dan wawasan. Jadi, jika disebut abangan, dalam pandanganku ini tak beda jauh dengan santri, sama-sama masih baru, minim dan lemah.
Bagaimana menurut anda?

MULUT DAN SILIT

Mulut dan silit, sama-sama memiliki bau tak sedap. Namun mulut masih bisa dicuci, disemprot minyak wangi, dan berubah mengikuti jenis minyak wanginya. Sedangkan silit, dikasih parfum mahal sekalipun tetap menghasilkan aroma yang tak sedap.

Mulut masih bisa menerima, angin, oksigen, makanan dan minuman. Mulut masih bisa memberi masukan kepada siempunya. Sedangkan silit hanya mampu membuangnya. Hanya cara itu dia membantu siempunya agar tak stress. Namun sayang, sekali lagi itu hanya bau belaka, bahkan siempunya pun tak sudi mengendusnya.

Dengan olah kata, mulut bisa menjalin kerjasama. Bahasa dan tutur yang ada bisa menambah saudara, bahkan rejeki pula. Silit, baik banyak atau sedikit saja berulah, selalu membuat gundah gulana, bahkan bisa membawa malapetaka.

Mulut dan silit, bentuknya jelas berbeda. Fungsinya pun jauh berbeda. Kadang manusia saling mempertukarkannya. Itulah anehnya. Si mulut hanya menebar bau busuk dan petaka. Sementara silitnya diam seribu bahasa.

(Sumber : Kitab Teles, Bab : Silit, Pasal : Mambu)