Pelajaran Hidup dalam Tembang MACAPAT

Pelajaran Hidup dalam Tembang MACAPAT



Dalam kazanah budaya Jawa, dikenal tembang Macapat, dimana pembuatan lagu tersebut mengikuti aturan yang sudah baku, baik mengenai jumlah bait dalam satu lagu, jumlah baris, jumlah kata, aturan bunyi akhir setiap baris dan sebagainya. Demikian pula soal nama banyak sekali yang terbagi dalam 3 kelompok, ada tembang kelompok kecil, sedang dan besar. Namun dari sekian jenis tembang macapat dapat diambil beberapa untuk dijadikan pelajaran dalam menjalani kehidupan, dari lahir sampai mati. Beginilah kira-kira pelajaran yang bisa kita peroleh:

1)    MIJIL = Lahir

Manusia memasuki kehidupan dunia melalui proses kelahiran

2)    MASKUMAMBANG = Masa-masa menyenangkan orang tua

Setelah memasuki masa bayi, balita menjadi permata hati bagi orang tua, menyenangkan dan menghibur mereka

3)    KINANTHI = yang dinanti-nanti

Harapan dari orang tua, anak tersebut menjadi anak yang digadhang-gadhang, dinanti-nantikan untuk melanjutkan mereka

4)    SINOM = masa muda

Si anak sudah memasuki usia remaja, banyak tingkah dan mengenal kehidupan

5)    DHANDANGGULO = menuju dewasa

Kehidupan berproses menunju kedewasaan, isinya semua manis seperti gula, indah, seperti para ABG, pokoknya menyenangkan

6)    ASAMARADANA = api asmara membakar jiwa raga

Sudah mulai mengenal asmara, menikah

7)    GAMBUH = gampang nambuh, angkuh, sok tahu, merasa hebat

Membangun rumah tangga, menjadi orang tua, tetapi merasa sudah hebat, sudah sukses

8)    DURMA = munduring tata krama

Namun kemudian lupa diri, sudah tua tidak tahu diri, sudah punya anak tidak merasa tua, dan akhirnya rusak moralnya

9)    PANGKUR = mungkur, uzur, usia sudah lanjut, datang penyesalan

Ketika memasuki usia senja, semua sudah hilang, kesenangan, kehebatan dan sebagainya. Penyesalan menerpa, dan penyesalan pada akhirnya.

10) MEGATRUH = mati

Sampailah ajal menjemput, semua sudah terlanjur, tidak ada kesempatan memperbaiki diri.

11) POCUNG = dipocong, jadi mayat

Dibungkus kafan dan menjadi mayat yang dikubur, habis sudah kehidupan di dunia memasuki alam barzah, kehidupan pertanggung jawaban

12) WIRANGRONG = semua amal kejelekan, yang memalukan masuk liang (rong)

Semua amal dibawa dalam kehidupan berikutnya tersebut, tetapi sayang hanya rasa malu (wirang) yang dibawa.......penyesalan tiada akhir.....



Semoga bisa menjadi pelajaran buat kita?....kapan lagi

Cintailah Allah

Cintailah Allah

Meski istrimu memberi kehangatan

Cintailah Allah

Meski suamimu memberi keteladanan

Cintailah Allah

Meski uang  memberimu banyak peluang

Cintailah Allah

Meski karir memberimu jabatan

Cintailah Allah

Meski ilmu memberimu kehormatan

Cintailah Allah

Meski harta memberimu kepuasan

Cintailah Allah

Meski politik memberimu kekuasaan

Cintailah Allah

Meski ibadah memberimu arah

Cintailah Allah

Meski hikmah memberimu kebijaksanaan

Cintailah Allah

Meski kau sangat mencintai dirimu sendiri



(Sumber : Kitab Teles, Bab Geguritan, Pasal Cinta)

Sedulur Papat Kalimo Pancer (Tulisan II-Habis)

Dalam pembahasan tulisan pertama (silakan baca seri I) maka dalam tulisan ini saya berusaha menguraikan guna dan manfaat dari ajaran tersebut. Terdapat 4 pemahaman dalam ajaran Sedulur Papat Kalimo Pancer, dengan demikian setiap pemahaman tentu akan mengajarkan kepada kita sebuah guna dan manfaat tersendiri.
1) Saudara 4 yang berujuk kepada saudara kelahiran, mengajarkan kepada manusia akan asal-usul kelahirannya yang tidak sendirian. Bahwa kehadiran di dunia ini selalu ada asal usulnya, yaitu dari orang tua, kemudian kakek-nenek, dan berlanjut terus menerus. Manusia tidak boleh lupa asal usulnya yang ini meski dia sudah hidup di belahan dunia lain atau menjadi “seseorang” yang lebih atau kurang dari para leluhurnya. Asal usul genealogis ini akan selalu melekat dalam setiap diri manusia.

2) Saudara 4 sebagai arah mata angin, yang lebih spesifik dalam kalangan mistik Jawa, mengajarkan bahwa dalam proses pencarian kesejatian atau pengenalan diri sejati tidak boleh salah arah, atau bahkan tanpa arah. Arah menjadi penting, apakah seseorang telah menghadap arah yang jelas? Berbagai godaan arah yang sering memutarbalikkan tujuan hidup manusia harus benar-benar dikenali.

3) Saudara 4 sebagai nafsu, maka hal itu mengajarkan kepada manusia akan potensi diri (nafsu) yang bisa mengantarkan kepada kerusakan atau kepada kejayaan. Pengenalan nafsu dalam diri manusia, melekat erat dan berkumpul setiap saat perlu dikenali dan dikendalikan dalam rangka pencapaian derajat kemanusiaan yang mulai.

4) Saudara 4 sebagai malaikat, merupakan ajaran yang mengenalkan kita kepada malaikat (ajaran Islam) yang begitu dekat dengan diri kita, sehingga membuat kita lebih berhati-hati. Kita diajarkan untuk selalu mengingat bahwa rezeki (mikail), hidayah (jibril), kehidupan (isrofil) dan kematian (izroil) itu semua datang dan ditentukan oleh Allah SWT. Sedangkan pancer Nabi Muhammad mengajarkan bahwa pencapain diri kepada derajat tertinggi dalam kehidupan adalah meneladani dan menjadi pengikur Rasulullah SAW. Hidup, baik rizki, mati, hidayah semuanya diarahkan kepada derajat yang mulia....seperti baginda Rasulullah Muhammad SAW.

Dengan demikian, tentu tidak menjadi ruwet dan ribet ajaran sedulur papat kalimo pancer dan bisa menjadi praktek keseharian dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Namun, jika anda mempunyai kelonggaran dan harapan tentu jauh lebih baik mendoakan kepada apa yang diyakini demi kemuliaan dan kehidupan lebih baik diri sendiri. Seandainya anda yakin bahwa ketuban, ari2 adalah saudara anda, tentu berdoa untuk dia tidak apa-apa bukan? Bukankah itu bagian dari diri kita? Seperti halnya kita mendoakan badan kita supaya sehat....
Wallahu ‘alamu bisshowab.

Small is Everything

Small is Everything



Kecil itu indah kata Schumacher

Ketika dia mengajarkan manajemen

Perhatikanlah bagian-bagian kecil

Berdayakan untuk kebesaran organisasi



==

Jangan kau sepelekan yang kecil

Hanya karena takut pada yang besar

Kautangisi yang besar

Kausenangi yang kecil

Itu Dosa!

==

Jangan kaulewatkan yang sempit

Hanya karena menunggu yang longgar

Kaulupakan saat longgar

Kauingat saat sempit

Itu Umur!

==

Jangan kautolak yang sedikit

Hanya karena berharap yang banyak

Kaulupa saat kaya

Kauingat saat tak punya

Itu Nikmat!

==

Jangan kauremehkan yang ringan

Hanya karena melakukan yang mulia

Kaupamer saat berbuat

Kausimpan saat sempat

Itu Amal!

==



(Sumber : Kitab Teles, Bab Geguritan, Pasal Small is everything)









Sedulur Papat Kalimo Pancer (Seri I)

SEDULU PAPAT KALIMA PANCER



Pendahuluan

Dalam khasanah budaya Jawa, khususnya sudah lama berkembangan mengenai ajaran Sedulur Papat Kalimo Pancer. Secara mudah konsep tersebut adalah mengenai Saudara 4 dan Kelimanya sebagai Pusatnya. Ajaran ini merupakan bentuk nasehat para leluhur, bahwa kehadiran manusia di dunia itu tidak sendirian, tetapi selalu ada saudara yang menyertainya. Ajaran untuk mengingat saudara lainnya, diharapkan manusia tidak merasa kesepian yang akhirnya membawa kepada sebuah perasaan frustasi maupun lupa diri akan jati diri sebagai manusia.

Beragaman Pendapat

Tidak ada satu kebenaran mutlak atas ajaran sedulur papat kalima pancer, karena saat ini sudah beragaman ajaran ataupun budaya yang masuk dalam kebudayaan Jawa. Namun demikian, kita bisa melihat mana yang sekiranya mendekati pada budaya asli Jawa Tersebut. Beberapa pendapat tersebut akan saya urai satu per satu berikut ini, yaitu :

1)    Saudara 4 yang dimaksud adalah : Kawah (Ketuban), Darah, Pusar (Plasenta) dan Ari-ari. Sedangkan Pancernya (sebagai kelimanya) adalah Bayi, Janin, manusia yang lahir. Konsep ini mungkin yang paling dekat dengan budaya Jawa yang sudah turun temurun diajarakan oleh leluhur. Dalam proses kelahirannya, kehadirannya di dunia, seorang manusia (bayi) akan didampingi oleh saudara-saudara tersebut. Bagi dunia medis, hal-hal tersebut dianggap hal biasa, bukan “sesuatu yang hidup” layaknya bayi manusia. Tetapi dalam pemahaman orang Jawa, mereka adalah saudara yang selama dalam kandungan menjadi teman hidup janin. Oleh karena itu, ketika bayi manusia lahir, empat saudara tersebut layak diperlakukan dengan baik sebagaimana terhadap bayi, dibersihkan dan dihormati serta disambut gembira kemunculannya. Kawah (Ketuban) adalah saudara tua yang selalu melindungi janin dalam kandungan dari berbagai ancaman dan menjamin kehidupan janin secara keseluruhan. Darah adalah pengorbanan ketika lahir, saudara yang rela berkorban. Plasenta adalah yang menjamin makanan/rezeki dan ari-ari adalah saudara mudanya, dimana dia selalu berusaha menyenangkan untuk kakaknya (bayi). Kelak sampai dewasa, keberadaan saudara2 tersebut diyakin akan tetap berperan seperti itu.

2)    Saudara 4 itu adalah arah mata angin/kiblat. Konsep ini merupakan konsep yang sering digunakan bagi para pelaku suluk Jawa, dimana arah dijadikan sebagai saudara. Tetapi konsep ini kurang populer di kalanan awam. Utara, Timur, Selatan, Barat (4) dan Pancernya adalah tengah. Ini berkorelasi dengan Pasaran hari, yaitu Kliwon (Pancera), Legi (Utara), Pahing (Timur), Pon (Selatan) dan Wage (Barat). Manusia selalu hadi di dunia ini dalam konteks arah2 tersebut, dimensi geometris dalam kehidupan.

3)    Saudara 4 itu adalah nafsu Mutmainnah, Sufiyah, Lawwamah dan Amarah. Sedangkan pancer adalah Urip (Ruh). Manusia dalam hidupnya selalu didampingi 4 nafsu tersebut serta pancernya, ruh yang suci. Konsep ini saya kira sudah bercampur dengan konsep tashowuf dalam Islam.

4)    Saudar 4 itu adalah Jibril, Mikail, Isrofil dan Izroil. Sedangkan Pancernya adalah Rasulullah Muhammad SAW. Konsep inipun demikian sudah merupakan ajaran yang bersumber dari Islam.



Beberapa konsep mengenai Sedulur Papat Kalimo Pancer yang saya uraikan tersebut, bisa jadi anda akan menemukan konsep lainnya. Itu tidak mustahil mengingat betapa lenturnya budaya Jawa menerima unsur dari luar sekiranya bisa diterima dan masih dalam batas “sedulur 4 kalimo pancer”. Demikian pula tidak ada satu kebenaran mutlak bahwa konsep inilah yang palin sah, mengapa? Sebab tidak ada dalil rujukan mutlak bahwa itulah yang benar dalam ajaran khasanah mistik Jawa. Tetapi satu hal yang perlu ditekankan adalah kebenaran akan dapat diperoleh, manakala seseorang mampu membuktikan secara subyektiv dalam proses panjang dan murni. Sebab dalam khasanah Jawa, kebenaran semacam itu adalah Kasunyatan (realitas tertinggi yang dipahami dan diyakini). Maka ketika anda berdebat tentang itu dalam kerangka metode ilmiah, maka akan menemui tembok yang tebal.

Penutup

Yang jauh lebih penting buat saya adalah, untuk apa ajaran-ajaran tersebut dalam kehidupan kita? Apa ada gunanya, atau malah menjadikan kita jadi ruwet dan repot? Insa Allah akan disambung dalam tulisan berikutnya

Wallahu ‘alamu bisshowab.

(Sumber : Kitab Teles, Bab Kajaten, Pasal S45P)



Oh....Duhai.....

Oh....Duhai....

==

Semakin jauh kukayuh langkah

Semakin jelas tak tentu arah

Oh kemanakah

==

Semakin dalam kuselami hati

Semakin jelas tak ada suci

Oh bagaimanakah

==

Semakin kuat kugerakkan raga

Semakin jelas tak tahan rasa

Oh  apakah

==

Semakin lembut kuolah indra

Semakin jelas tak bisa membaca

Oh mengapakah

==

Semakin lama kupakai waktu

Semakin jelas tak bisa bertemu

Oh siapakah

==

Kemana kutemui dikau

Duhai rinduku

Bagaimana menerimamu

Duhai junjunganku

==

Apakah kecintaanmu

Duhai kekasihku

Mengapakah perhatianmu

Duhai harapanku

Siapakah diriku

Duhai wasilahku



(Sumber : Kitab Teles, Bab Geguritan, Pasal Oh...)

Manunggaling Kawulo Gusti (Tulisan II-Habis)

Berikut ini merupakan catatan saya atas wedaran Si Mbah mengenai Manunggaling Kawulo Gusti

Pembahasan saya tentang Manunggaling Kawulo Gusti dari sisi kebahasaan membawa kepada beberapa kesimpulan, yaitu :

1)    Adanya aktivitas yang berarah/bertujuan kepada Gusti Yang Mahasuci. Dengan demikian, konsep Manunggaling Kawulo Gusti adalah konsep aplikatif, praktis dan eksperimental. Tanpa adanya praktek-praktek yang seperti dikehendaki dalam konsep tersebut, maka penghayatan akan konsep tersebut akan menjadi kering, membingungkan dan bias.

2)    Adanya dua (2) subyek dengan keber-ada-annya dan kedudukannya yang berbeda, sehingga menjadi jelas mana yang menjadi tujuannya. Subyek tersebut adalah Kawulo dengan keber-ada-an yang sudah mendapat imbuhan “ala” (jelek), sementara Gusti dengan Keber-Ada-annya Yang Mahasuci, dan ini sekaligus menjadi tujuan akhir atau arah yang dituju oleh aktivitas Kawulo

3)    Ada unsur “tengah” atau antara, atau bisa disebut sarana, media atau jalan atau penunjuk arah agar aktivitas dari Kawulo menjadi terarah kepada Gusti Yang Mahasuci. Apa itu? Bagus-bagusnya hati. Posisi hati (Kawulo) inilah yang menjadi unsur tersebut. Dengan adanya unsur tersebut akan terjadi kesambungan, antara Kawulo dengan Gusti Yang Mahasuci.

Dengan kesimpulan-kesimpulan tersebut, maka saya berpendapat bahwa segala bentuk amal perbuatan kita :

1)    Selalu membutuhkan dan melibatkan hati, jangan sampai berbuat sesuatu tanpa ada “rasa” dari hati, akal semata-mata. Nasehat yang sering kita dengar adalah “berhati-hatilah”, ini menasehati kita agar kita benar-benar memperhatikan hati kita, bukan sekedar hati-hati tidak melanggar rambu lalu lintas, atau berkendara pelan. Dengan hati-hati berarti, kesadaran akan kondisi sebagai Kawulo, dan bukan sebagai Gusti Mahasuci. Perluasan konsep ini dalam nasehat-nasehat leluhur kita muncul misalnya dalam ungkapan :”ojok rebutan bener, tapi rebutana salah”, maksudnya ketika sedang berselisih cobalah berusaha mencari kesalahan diri lebih dulu.

2)    Segala bentuk amal perbuatan kita (termasuk amal ibadah) merupakan proses dalam rangka membagusi hati, membersihkan kondisi Kawulo. Amal perbuatan bukan sebuah tujuan akhir, tetapi sebagai standar prosedur berproses. Puasa, sholat, berzikir dan lainnya bukankah sering disebut sebagai pembersih? Tujuannya adalah membentuk amal yang didasari oleh “rasa kehati-hatian” sehingga menjadi hati yang bagus dan tercermin dalam perbuatan yang mulia.

3)    Ada arah yang jelas, arah lurus dalam berpandangan dan berorientasi. Segala amal perbuatan kita hendaknya digerakkan seperti busur panah yang ditujukan pada titik tertentu, yaitu kepada Gusti Yang Mahasuci. Ketika arah panah mulai tengak-tengok bersegeralah diperbaiki arahnya agar tetap lurus menuju kepada tujuan akhir.

Beberapa konskuensi logis dari pemahaman tersebut di atas, maka akan mendidik diri kita untuk selalu berusaha berbuat dan beramal dalam kerangka jalan luru, dari arah Kawulo melakukan pendekatan kepada arah yang lebih baik, lebih bersih sehingga bisa dekat dengan Gusti Yang Mahasuci.

Hati adalah kekayaan yang tak ternilai, dia bisa seluas samudra bahkan seluas angkasa raya, jika dilatih membesarkan dan melapangkannya. Dia bisa menjadi cermin tembus pandang yang dapat mengenalkan kita kepada berbagai rahasia dan kesejatian hidup. Jika sering dikotori, maka dalam membersihkannya harus jauh lebih sering. Dan itu semua harus dengan amal perbuatan yang melibatkan hati.

(Sumber : Kitab Teles, Bab Kajaten, Pasal Manunggal)

Wallahu ‘alamu bisshowab

Manunggaling Kawulo Gusti (Tulisan I)

Seringkali dalam masyarakat saya temukan beberapa kenyataan mengenai masalah yang berkaitan dengan konsep Manunggalin Kawulo Gusti. Ada sebagian yang memvonis sebagai ajaran sesat, karena dirujukkan pada seorang tokoh Syech Siti Jenar atau sebutan lain Syech Abdul Jalil. Hal ini diakibatkan pemahaman bahwa Manunggaling Kawulo Gusti berarti menyatunya fisik kawulo dengan Gusti, sehingga dianggap keluar dari rel keyakinan agama. Dengan demikian, bahwa Syech Siti Jenar dihukumi pembawa kesesatan, padahal hampir kita semua benar-benar tidak mengenal dengan baik sosoknya.

Mungkin anda pernah menemui beberapa tulisan Manunggaling Kawulo Gusti ditulis dengan “Manunggaling Kawulo kelawan Gusti”, atau “Manunggaling Kawulo ing Gusti”, atau “Manunggaling Kawulo lan Gusti”. Pendapat saya adalah dengan tetap mempertahankan “Manunggaling Kawulo Gusti” tanpa ada kata disela-selanya. Sebab bagi saya konsep itu sudah jelas dan tidak perlu ditambahi dengan kata Lan, Kelawan (dan-Indo) atau “ing” (pada-indo). Sebab justru penambahan itu akan mengaburkan makna yang sesungguhnya.

Baiklah mari kita bahas dari sisi bahasa. Manunggal merupakan kata andahan (sudah tidak kata dasar), dari sisi rimbag-nya (asal katanya), maka termasuk kata yang mendapat wuwuhan (tambahan) yaitu ater-ater, dan termasuk yang mendapat hanuswara.

Ma + tunggal = Manunggal

Kata tunggal berarti satu, tetapi tidak menunjukkan urutan bilangan. Untuk menyebut urutan bilangan, lebih tepat menggunakan kata “siji”. Jadi tunggal lebih menunjukkan konsep “siji” yang murni, tanpa bilangan lain yang dibayangkan. Meski ada saja yang mengatakan “tunggal” itu bisa berarti “satu” yang didalamnya ada perjumbuhan beberapa unsur, tetapi unsur2 tersebut hilang sebutannya, sehingga tetap nampak “satu” dan unsur2 tersebut dianggap tidak ada. Misalnya ada istilah : Siji Ganjil, Loro Genep, Tri Tunggal. Saya tetap menggunakan arti tunggal itu satu yang tanpa urutan berikutnya atau unsur lainnya, karena memang tidak ada yang lain itu. Sementara kata manunggal tersebut kemudian berubah menjadi “manunggale” dan diperenak dengan “manunggaling”, merupakan bentuk kata yang menunjukkan adanya aktivitas. Misalnya kata “dumadine” alam, itu berarti adanya aktivitas, proses “dadine” (jadinya) alam.

Imbuhan Ma- dalam kata manunggal tersebut menurut saya berarti “nindaake gawean”, proses, aktivitas ke arah yang tunggal. Coba perhatikan kata berikut

Ma- Kidul = Mangidul, mengarah ke Kidul (selatan)

Ma- Kulon = Mangulon, mengarah ke Kulon (barat)

Dengan demikian kata “Manunggaling” adalah aktivitas, proses, kegiatan yang mengarah ke (yang) Tunggal.

Berikutnya adalah kata Kawulo. Merupakan bentuk akronim dari ka-hana-n sing kewuWULan aLA.  Ka-hana-n dalam bahasa Indonesia lebih tepat dengan “ADA” atau “ke-ADA-an”. (Silakan anda pelajari Martabat 7 dalam Serat Wirid Hidayat Jati). Dalam konsep Jawa, manusia adalah ADA (WUJUD) yang sudah “ketambahan jelek”, sudah tidak murni lagi, tidak suci lagi, karena raga, fisik dan sebagainya dalam diri manusia sudah jauh dari ke-ADA-an yang suci, baik suci dalam pengertian Ruh sebelum lahir, suci dari segala kotoran yang menghalangi.

Berikutnya adalah kata “Gusti”, ini kebalikan dari Kawulo, “Gusti” bisa diurai menjadi baGUS-baguse haTI, artinya hanya hati yang terbaiklah yang mampu menangkap WUJUD/ADA yang Mahasuci. Bukan bagus-baguse ati itu sendiri sebagai gusti yang Mahasuci (hati-hatilah dalam memahami ini). Mengapa? Dalam konsep Jawa yang disebut Allah itu adalah “tan kinoyo ngopo”, tak dapat diumpama-umpamakan seperti sesuatu, oleh karena itu DIA Mahasuci dari usaha “meng-kayak-kayak-kan”, menyerupakan dengan ini dan itu. Mungkin anda pernah mendengar ungkapan begini “gusti Allah”, “gusti”, “gusti kang Mahasuci” dibedakan dalam perbincangan mistik Jawa. Tapi abaikan dulu perbedaan ungkapan ini. Jadi fokus pada yang dimaksud Gusti disitu adalah Gusti Yang Mahasuci, inggih Allah SWT.

Dengan demikian, rangkaian kata-kata tersebut dalam “Manunggaling Kawulo Gusti” saya artikan sebagai  :

1)    Proses nindakake/melakukan aktivitas, yang mengarah ke-Yang Maha Tunggal. Siapa yang melakukan itu? Ya Kawulo. Dengan apa? Ya Gusti, membagusi hati.

2)    Kawulo Nindakake/melakukan aktivitas, yang mengarah ke-Yang Maha Tunggal, Siapa Dia? ya Gusti Kang Mahasuci.

3)    Nindakake/melakukan aktivitas, yang dilakukan oleh Kawulo dengan murni/tunggal/lurus kepada Gusti Kang Mahasuci.

Mengapa saya bisa mengajukan beberapa pengertian? Karena (a) kata-kata itu disusun tidak dalam bentuk kalimat yang lumrah/mudah dipahami umum, oleh karena itu bisa dibaca dalam berbagai bentuk, namun (b) dengan mendasarkan pada penjabaran perkata, maka batas-batas pengartian rangkaian kata tersebut tidak boleh lepas dari maksud perkata.

Semoga pemahaman saya ini bisa membantu dalam memahami konsep Manunggaling Kawulo Gusti yang sering diperdebatkan dan disesatkan. Apakah ada pemahaman saya di atas sebagai bentuk pemahaman yang sesat? Semoga tidak. Dan dalam penjabaran lebih luas lagi dalam bentuk aktivitas apa? Proses seperti apa, konsep tersebut dijalankan? Sehingga tidak menjadi wacana kosong di kepala semata, tanpa wujud konkrit.

(Sumber : Kitab Teles, Bab Kajaten, Pasal Manunggal)

Wallahu ‘alamu bisshowab.

Insa Allah berlanjut.....semoga