Fatihahku

Fatihahku

Ini adalah dialog dalam diriku ketika membaca Surat Al Fatihah. Ini bukan tafsir, bukan juga terjemah apalagi hakikat atau intisari Al Fatihah. Tetapi sebuah proses pemahaman dengan cara menasehati diri sendiri melalui kalimah-kalimah (ayat-ayat) yang terdapat dalam surat Al Fatihah. Sebab, Al Quran adalah nasehat buat diri sendiri, semoga bermanfaat buat diri ini.



(1)    (Hai kamu....) Teguhlah...bersamaNYA, sadarlah atas SifatNYA yang Welas Asih (terhadapmu)

(2)    Dialah yang terpuji, (rasakan keagunganNYA) dalam mengatur alam semesta

(3)    Dia (benar-benar) welas asih (bukan?)

(-----apapun yang kamu lakukan akan ada hukumnya, akan ada akibatnya, balasannya)

(4)    Dia yang menguasai saat pembalasan itu (Dia yang menentukan itu semua)

--maka sudah selayknyalah

(5) hanya kepada DIA kamu mengabdi (dengan semua perbuatanmu) dan meminta (pertolongan untuk semua usahamu)

---tiada yang paling layak untuk kauminta, kecuali

(6) (Ya Allah) berilah kami hidayah atas jalan (hidup) yang lurus (selalu berada dalam arah menghamba kepadaMU)

(7) Jalan (hidup) tersebut merupakan jalan (yang sudah ditempuh oleh) mereka yang kauberi nikmat (hidayah)

(dan) bukan jalan (hidup yang ditempuh oleh) mereka yang tidak Engkau sukai (karena mereka sesuka hatinya sendiri) dan bukan jalan (hidup yang ditempuh oleh) mereka yang tersesat (tidak mengetahui hakikat hidup sebagai hambaMU)



Ya Allah...kabulkanlah permohonanku ini







Masih layakkah diriku MencariMU?

Duh Gusti...

Jika dosa sebagai nilai,

Maka tak ada satupun pembelaan buatku menjadi penghuni neraka

Jika amal solih sebagai timbangan,

Maka tak ada secuilpun alasan menjadikanku penghuni surga

Duh Gusti...

Jika neraka adalah sebagai siksamu atas dosa,

Maka sungguh aku tidak akan kuat menahannya

Jika surga adalah sebagai balasan atas amal solih

Maka sungguh aku tidak akan mampu meraihnya

Duh Gusti...

Tak ada kedudukan mulia dihadapanMU

Kecuali sebagai hamba

Tak ada perbuatan mulia buatMU

Kecuali bersyukur

Duh Gusti...

Jikalau ada hasratku yang pantas

Maka mengenal diriku adalah sebuah kemuliaan

Jikalau ada tujuan yang layak

Maka kembali kepadaMU adalah sebuah keberkahan

Jikalau ada permintaan yang diperbolehkan

Maka pengakuanMU adalah sebuah kecukupan

Duh Gusti....

AmpunanMU adalah kesadaranku yang semakin

atas dosa dan kelalainku

PertolonganMU adalah kemenangan diriku

atas kesombongan dan kebodohanku

HidayahMU adalah keteguhanku mengatasi

atas keraguanku dan kelemahanku

Duh Gusti....

Masih layakkah diriku mencariMU?

Jika, Engkau demikian nyata dan dekat berada

Masih perlukah diriku berharap ridhaMU?

Jika, Engkau demikian luas dan lapang memberi

Duh Gusti....

Syetan dirantai pada bulan Ramadhan?



Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Ketika Ramadhan datang maka dibukalah pintu-pintu surga, dan ditutuplah pintu-pintu neraka, dan dirantailah syetan-syetan. (Hadits Riwayat Al-Bukhari nomor 1899, dn Muslim nomor 1079).

Pada banyak kesempatan hadits ini mungkin menjadi sering kita dengar selama bulan puasa Ramadhan. Karena hadits ini merupakan pemberitahuan kepada kita bahwa para syetan dibelenggu demi kemuliaan Ramadhan. Sementara pula dibukakan seluruh pintu surga, sedangkan pintu neraka ditutup. Demikian mulia bulan Ramadhan.

Apapun pemahaman dan pemaknaan kita terhadap hadits ini sebenarnya menunjukkan bahwa betapa banyak kesempatan berbuat baik yang berbuah surga. Sedangkan perbuatan yang berbuah neraka ditutup rapat-rapat. Mungkin di antara kita ada yang mengajukan pertanyaan, nyatanya masih banyak di bulan Ramadhan ini manusia berbuat kejahatan, kezaliman, kesesatan yang berujung pada neraka. Bahkan akhirnya meragukan (meski dalam bathin), apa benar syetan sudah terbelenggu???

Buat saya, hadits ini adalah bentuk dorongan Rasulullah kepada kita, bahwa begitu besarnya dan banyak hadiah dalam menjalankan ibadah ramadhan. Gampangannya Allah obral bonus dan hadiah kepada siapa saja yang mau berjuang di bulan Ramadhan. Rasanya tidak ada waktu lain yang diperlakukan demikian, sampai-sampai semua kenikmatan dijanjikan di dalamnya. Apalagi dengan Malam Qadar (lailatul Qodar). Dengan demikian, masih adakah keraguan untuk kita menjalankan ibadah Ramadhan dengan iman dan kesungguhan???

Dan buat saya, pernyataan bahwa syetan dirantai adalah benar adanya, bukan sebuah kiasan atau perumpamaan. Tidak susah buat Allah kan? Toh syetan itu makhluknya? Toh syetan berasal dari api, dirantai di neraka sudah sewajarnya bukan?

Keyakinan akan pernyataan ini menuntun saya pada sebuah pendakian kepada proses penyadaran diri sendiri, kejujuran diri sendiri, penelanjangan diri, pendidikan buat diri sendiri untuk mempertanggung jawabkan segala amal perbuatan sendiri dihadapan Allah SWT. Tidak perlu ada pihak yang menjadi kambing hitam, tidak perlu ada syetan yang menggoda atau membujuk rayu. Semua adalah akibat ulah diri sendiri. Dalam bulan Ramadhan kesadaran kita dikembalikan kepada posisi diri yang sebenarnya, tidak ada pahala atau dosa akibat pihak lain, semua bermuara pada diri sendiri. Bahwa manusia demikian diciptakan mempunyai potensi baik dan buruk, “faalhamaha fujuuroha wataqwaha..” (Allah memberikan ilham, menanamkan potensi dalam diri (jiwa) manusia menuju kerendahan atau ketaqwaan). Sebab itulah sebenar-benarnya kondisi manusia, “mahalul khoto’ wa nisyan” (tempat salah dan lupa).

Dengan menjalankan puasa Ramadhan, kita dituntut akan pengakuan segala kekurangan diri, benar-benar murni dari diri sendiri. Bahkan Allah memberikan jaminan, bahwa pahala puasa Ramadhan, hanya Allah yang menghitung sendiri balasannya. Kalau perlu malaikat tidak bisa ikut campur untuk menilai. Kenapa demikian? Ya itu tadi, puasa Ramadhan adalah proses pencarian kesadaran tertinggi manusia atas dirinya sendiri. Maka hendaklah kita mengingat Surat An Naas....”Berlindung kepada Allah, Rob manusia, Raja manusia, Sesembahan manusia, atas segala bisikan yang ada dalam diri manusia sendiri (bukan bisikan syetan)...” Jika demikian, maka layaklah seseorang mendapat hadiah terbesar dalam hidupnya, yakni Malam Qadar yang mulianya lebih baik daripada 1000 bulan....

Selamat menjalankan ibadah Ramadhan...semoga kita tergolong orang-orang yang berserah diri kepada Allah SWT.

Wallahu ‘alamu bisshowab





Tersesat Sesaat



Beberapa saat aku tersesat, kehilangan diriku yang pernah begitu aku cintai. Ketenangan, kedamaian yang sebelumnya aku rasakan  pergi entah kemana. Kucoba berkali-kali aku mencari, memanggil-memanggil kepadanya untuk kembali. Dengan teriakan melengking, keletihan jiwa untuk mencari telah mengantarku pada puncak ragu. Benarkah jalan yang selama ini kutempuh sudah benar? Apa yang membuat aku kehilangan diri ini? Kalau toh ada yang bertanggung jawab, siapa yang perlu dipersalahkan? Kalau toh ada jalan atau cara lain, jalan seperti apa?

Berbagai tanya bermunculan, bercampur dengan ragu yang mengaduk-aduk, sehingga tak kusadari aku menjadi benar-benar bebal mengatasi kesulitan diri ini. Kesulitan menemukan diri sendiri yang masih bayi, yang sedang bertumbuh dan berkembang menjadi diri yang kokoh dan tenang menempuh perjalanan panjang, mengarungi kehidupan.

Puasa, ramadhan kali ini seharusnya menjadi saat yang tepat buatku untuk melatih diri. Harusnya menjadi saat untuk melelahkan jiwa dan raga untuk bergelut menguliti diri, mencari jati diri, menghapus noda-noda hati yang menjadi tabir penutup wajah jati diri. Konflik batin menjadi semakin rumit dan menyandera kesadaran akan APA YANG LAYAK UNTUK DIPERJUANGKAN? Pertanyaan ini begitu kuat dan dahsyat mengoyak kesadaran, mengobrak-abrik keyakinan, menggoyahkan keimanan. Ketakutan demikian hebat, bukan pada soal, akankah aku jadi ateis, tidak beriman atau tidak mendapat berkah puasa. Tetapi justru pada persoalan, bagaimana hidupku menjadi bermakna buat diri sendiri, ketika sudah tidak ada yang layak diperjuangkan dengan segala kekuatan dan daya yang dimiliki.

Oh....My God, oh...siapapun dia, bagaimana aku harus menjawab itu semua. Seluruh daya jiwa kukerahkan, seluruh daya fikir kuurai, seluruh ilmu yang kumiliki untuk meyakinkan diri menjawab pertanyaan penting tadi. Bahkan kekuatan pusaka yang kumiliki kukerahkan untuk membantu. Di saat semua menemui jalan buntu dan diam, semakin tampak kebodohan yang begitu besar menyelimuti diriku, betapa lemah loyo jiwa yang kumiliki. Tak ada daya yang kumiliki sanggup untuk kembali menemukan diri sendiri, menjawab akan apa yang layak diperjuangkan dalam hidup.

Akhirnya, menyerah juga untuk menerima semua kelemahan itu, dengan sepenuh-penuhnya bahwa diri ini memang lemah, memang tidak berdaya. Jika beberap saat ia hilang dan pergi entah kemana, hanya karena telah ditarik oleh sebuah visi, harapan, keyakinan pada keindahan dan kenikmatan palsu belaka. Seiring dengan penerimaan diri yang lemah, ketelanjangan dan kebodohan yang begitu dalam, samar-samar aku mulai melihat diri yang hilang. Sedikit demi sedikit mulai terdengar akan jawaban, apa yang layak untuk diperjuangkan dalam hidup. Ya memperjuangkan Hidup Diri sendiri agar benar-benar hidup dalam kehidupan, baik saat ini maupun kelak.

Semoga dengan puasa ramadhan tahun ini, aku bisa menelanjangi dan menguliti diriku sendiri untuk meraih kesejatian hidup yang layak untuk diperjuangkan dengan segala kelelahan, kepayaha, resiko kejenuhan dan ujian.

Wallahu ‘alamu bisshowab