LEPET Lebaran

Memasuki hari raya Idul Fitri, biasanya orang membahas mengenai soal Kupat (Ketupat) dengan makna simboliknya. Biasanya dijlentrehkan melalui kerata basa, yakni ngaKU lePAT. Pada hari Idul Fitri, sudah lazim saling meminta maaf, saling mengaku kesalahan diri masing-masing. Semangat kembali fitri (suci) melalui proses saling meminta maaf dan memaafkan sesama manusia.

Namun, jarang yang membahas LEPET, makanan yang juga selalu hadir mendampingi KUPAT saat lebaran. LEPET bisa dijlentrehkan sebagai LEbar opo sing diemPET. Maksudnya, sudah bebas melakukan apa yang selama Ramadhan ditahan. Seperti halnya makan, minum, dan seks. Jika bentuknya adalah selalu menyerupai (maaf) alat kelamin laki-laki, bisa jadi dulu ibu-ibu yang membuat Lepet ingin mengingatkan kepada suaminya, bahwa menjimak sudah diperbolehkan, sudah leluasa, tidak seperti pada bulan puasa.

Jadi ... dengan tafsir ini, anda akan bisa menemukan tafsir lain atas KUPAT, bukan sekedar, ngaKU lePAT....

Punokawan diantara Kesatria dan Brahmana

Menurut saya, tayangan dari India soal Mahabarata masuk kategori teori politik yang elitis, sangat elitis sekali. Mengapa? Banyak tokoh politik yang penting adalah dari kalangan kesatria dan brhamana. Dua kelompok masyarakat itu saja yang layak membangun dunia pemerintahan. Andai saja tidak ada tokoh punokawan, bisa jadi kita generasi saat ini hanya akan mengijinkan kalangan elit saja yang layak membangun politik pemerintahan.

Kehebatan Hastinapura, masih menentramkan kelurahan Karangkedempel pimpinan Ki Semar. Ini mengajarkan bahwa, satuan komunitas politik terkecil, yaitu kelurahan menjadi unsur penting dalam sebuah kerajaan. Sekali lagi, itulah yang seharusnya menjadi potret yang bisa menggambarkan kebesaran sebuah kerajaan. Para tokoh politik harus memperhatikan itu, jangan sampai karena membanggakan Jakarta, lupa sama desa-desa terpencil.

Keberadaan punokawan, sebagai teman dalam keadaan susah (kalau senang tidak terlalu penting untuk dilibatkan) yang mendampingi para kesatria dan brahmana menyadarkan bahwa kekuatan elit tidak akan berarti tanpa keberadaan rakyat jelata (Vox populi). Melalui ini, para leluhur dulu sudah mengajarkan adanya demokrasi berbasis kerakyatan. Namun, harus diingat bahwa rakyat yang seperti apa yang akan mengantarkan keberhasilan para kesatria dan brahmana mengatur negara?

Semar sering dirujukkan pada kata ismar (paku), yang tidak goyah atau kokoh. Saya sendiri lebih suka sebagai tsamar, sebagai buah. Artinya rakyat secara mayoritas harus lebih dewasa, yang sudah matang seperti buah. Singkatnya rakyatnya jangan mudah termakan isu atau rumor yang negatif. Petruk, adalah fatruk, rakyat mampu meninggalkan hal-hal negatif tak berguna. Bahkan petruk digambarkan berkantung bolong (kantung berlubang) yang tidak akan pernah bisa menimbun kekayaan. Dia selektif dalam urusan kekayaan, tidak tamak. Gareng, dari kata qorin, artinya teman, banyak teman tidak suka bermusuhan. Artinya rakyat harus kompak, tidak konflik dan terpecah. Gareng digambarkan punya penyakit kaki yang jinjt terus. Ini menggambarkan dia tidak tega menginjak saudaranya, tidak suka menindas temannya. Yang terakhir adalah bagong, ada yang menyebutnya sebagai bagha, berarti. Bagong sering digambarkan sebagai sosok yang ceplas-ceplos, yang sebenarnya adalah kritikan-kritikan tajam. Bahkan kepada bapaknya, Ki Lurah semar tidak sungkan melakukannya. Ini berarti rakyat juga harus mempunyai keberanian menyampaikan kritik. Keterikatan punokawan tersebut tidak boleh terpisah. Bagong tidak bisa kukuh, tanpa sikap gareng, dan itu perlu dilandasi sikap petruk dan dipimpin oleh kematangan Semar.

Dalam praktek politik masa kini, seringkali rakyat meposisikan sebagai elit, memilih jadi Pandawa atau Kurawa, sementara para kesatria dan brahmana tidak menyadari adanya punokawan. Maka, yang bertempur adalah antara gareng, petruk dan bagong, sementara para kesatria dan brahmana sibuk dengan diplomasi dan upacaranya.

Anda memilih menjadi siapa?

Selamat menyambut presiden RI yang baru