Tak Semisteri Malam Hari

Pada akhirnya aku menjumpai malam. Meski seharian banyak wajah kutemukan. Banyak aktivitas kujalani. Banyak jalan kulali. Sekali lagi akhirnya wajah malam hadir kembali. Di bagian bumi yang di sini. Di belahan bumi yang di sana. Malam itu pasti datang menghampiri.

Rasa tenang kadang menemani. Seringkali gundahgelisah mengiringi. Perjumpaanku pada malam. Berselimut takut, beralas waswas. Malam tlah mengundang temanteman. Tak sendirian ku bercumbu dengan malam.

Bila saat itu, malam nampak cantik dan menggoda maka kuberanikan mengajak bermesraan. Bahkan kulakukan senggama tuk capai kenikmatan. Puncaknya, wajah malam tak kelihatan. Hanya rasa puas tak terperikan.

Wajah jelek, hanyalah alasan untuk menolak malam. Namun, tak kuasa kulakukan. Karena malam adalah kepastian. Rontaan, jeritan ataupun makian tak mampu merubah wajahnya. Yang kelam.

Malam tlah berganti pagi. Berlanjut siang dan sore hari. Tetap saja malam menjumpai, menghampiri. Wajah tlah berganti. Namun, tak semisteri wajah malam hari.

Surabaya 30 Maret 2014,
23:49
 

Wayang : Hasil Kolaborasi Ulama Dan Umara

Soal wayang, riwayatnya dimulai tahun 861 M. Kisah pewayangan kemudian digambar di candi-candi. Yang memulai adalah prabu Jayabaya. Kisah-kisah pada candi tersebut menjadi sumber cerita pewayangan. Perkembangannya semakin maju. Kemudian, wayang (gambar) sudah diiringi oleh musik gamelan, tembang slendro dan tembang gede. Wayang-wayang diwadahi dalam kotak kayu jati. Itu dilakukan oleh Raden Panji, bergelar Prabu Suryahamisesa dari kerajaan besar Jenggala.

Memasuki tahun 1166, wayang sudah dalam gambaran Jawa dilakukan oleh prabu Suryahamiluhur. Pada masa Pajajaran, sekitar tahun 1284, muncul wayang beber. Pertunjukannya dengan menggelar/menggulung gambar wayang. Kanan kiri disangga kayu dan diiringi oleh tabuhan rebab.

Pada masa Majapahit, wayang sudah tidak beber (gulungan), tetapi sudah bentuk sendiri-sendiri. Perkembangan berikutnya wayang bentuknya miring, dengan pulas warna hitam. Raksasa digambar dengan mata dua, selain itu dengan gambar mata satu. Perubahan tersebut dilakukan oleh Raden Fatah. Sunan Giri juga ikut menambah jumlah wayangnya, termasuk bentuk kera bermata dua. Sunan Bonang ikut menambah gajah. Sultan Demak II, menambah panggungnya. Sunan Kalijaga menambah kelir, blencong dan gedebog. Masa tahun 1443 M wayang kulit sudah ditatah, mata dan telinga lubang. Pada masa Sultan Trenggono ditambahi gelang, anting dan kalung kelat bahu. Ratu Runggul memberi tambahan rambut, gelung.

Sunan Giri menciptakan wayang gedog, dengan iringan suluk, dari mijil sampai megatruh. Sunan Kudus memulai adanya wayang klitik. Sunan Kalijaga sekitar tahun 1508 membuat gambar wayang dengan warna merah dan hitam sebagai topeng dari wayang-wayang.

 

Mempersiapkan Nusantara di Era Globalisasi

Meski tidak sesederhana seperti apa yang kutulis, namun ijinkan saya untuk menyederhanakannya sesuai kapasitas dan sudut pandang saya.Tahun 1400an bisa dibilang sebagai masa globalisasi yang lebih masif, dibanding dengan masa-masa sebelumnya. Kegiatan utama masa-masa itu adalah perluasan wilayah jajahan, pengejaran kepada harta dunia dan penguasaan manusia. Itulah gambaran Eropa masa itu. Dipahami bahwa masa yang disebut renaisance itu pada ujungnya adalah pencapaian kemajuan akliyah dan duniawiyah. Pengumbaran hawa nafsu keserakahan subur-suburnya saat itu.

Di belahan bumi lain, kejayaan Islam memasuki masa-masa suramnya. Seiring dengan kolonialisme bangsa Eropa, neger-negeri Islam di Timur Tengah jatuh kepangkuan nafsu mengejar “kemakmuran”.

Namun, di belahan dunia yang tak dikenal banyak orang, bahkan salah sebut, muncul dua konstruksi besar pembangunan sebuah bangsa. Yakni bangsa Nusantara dan Amerika. Bangsa Amerika disebut bangsa India (dikira Hindia), sementara Nusantara disebut Hindia Jauh (Timur). Suku asli Amerika berjuang melawan kolonialisme, meski kemudian jatuh dan “terusir”. Berikutnya, Amerika menjadi bangsa yang menampilkan sosok nafsu Manusia penguasa dunia. Sampai hari ini itu tetap berlanjut. Dengar-dengar saat ini Amerika memasuki masa  sulit seperti saat tahun 1940-an (mengalami kehancuran akibat serangan Jepang). Dan perang global seperti pada tahun 1400-an akan muncul lagi.

Sementara di Nusantara, tahun 1400an, tak ada kekuasaan dominan. Yang datang justru para ulama, bukan para pemburu harta karun. Bertahap demi tahap, yang dibangun adalah mental spiritual. Bangsa yang sudah terbagi-bagi dalam wilayah dan kekuasaan kecil-kecil, dibangunsadarkan akan kemanusiaan, mengenal identitas sebagai manusia. Maka hasilnya adalah pada tahun 1940-an bangsa Nusantara bangkit menjadi sebuah Bangsa Kesatuan, Negara Republik Indonesia.

Apa yang ditanam tahun 1400-an di Amerika pada periode 1940-an melahirkan bangsa Amerika yang hancur akibat pengejaran “kemakmuran duniawi”. Lagi-lagi nafsu itu menggejala menunjukkan kebangkitan pengejaran itu dalam wajah baru di era saat ini. Sementara bangsa Nusantara (NKRI) juga memasuki masa gawat, terancam perpecahan, terkotak-kotak.

Apakah bangsa Nusantara akan bangkit seperti di saat 1400-an dulu, dengan cara kembali kepada jatidiri kemanusiaan, melalui ajaran adiluhung para ulama (wali) di Nusantara? Insya Allah dengan kembali menempuh jalan para wali dahulu, bangsa Nusantara akan selamat untuk yang ke sekian kali. Globalisasi, kompetisi, dan perang akan dimenangkan oleh mereka yang bermental kuat (berkeinginan luhur) dan selalu yakin atas Berkah Rahmat Tuhan Yang Mahaesa.

 

 

 

 

 

 

Indonesia dari kata Hindunaswa

Aku pernah mendengar, bahwa kata Indonesia, nama negara kita itu berasal dari dua kata, yaitu Hindu dan Naswa.

Kata Hindu sendiri bukan merujuk pada nama sebuah agama, tetapi lebih pada sebuah tempat. Dalam sebagian sejarah, Hindu diartikan sebagai India. Maka ketika Belanda menyebut Nusantara (Indonesia) disebut Hindia Timur atau Hindia kepulauan. Sebagai tempat bisa dirujukkan pada India ini. Namun bagi sebagian orang Hindu, kata Hindu tidak merujuk pada sebuah tempat tertentu, tetapi pada keterangan tentang pencapaian pengetahuan puncak seperti yang dicapai oleh Khrisna dan melahirkan Dharma. Dus, Hindu bisa dikatakan pencerahan, pengetahuan dan peradaban.

Kata Naswa, dapat diartikan semangat dan juga bisa diartikan sebagai tempat diantara dua sungai (laut). Kata Naswa adalah kata perempuan. Dengan demikian, Naswa bisa diartikan perempuan, semangat dan tempat diantara dua sungai.

Hindunaswa, dengan demikian dapat dikatakan sebagai tempat (diantara dua sungai/laut) yang mana menjadi ibu/perempuan dari sebuah pencerahan, pengetahuan dan peradaban. Singkat kata, Hindunaswa adalah tempat yang menjanjikan peradaban yang tinggi. Jadi, nama Indonesia diberikan dengan harapan seperti demikian.

Mungkin, itulah mengapa para sultan, raja di Nuswantara dahulu ketika Republik Indonesia akan berdiri, rela menyerahkan kedaulatannya buat negeri ini.