Sejarah Peringatan Kematian

DODOLAN

Si Mbah dulu pernah bercerita kepadaku :
Ngger...cucuku
Memang Islam sampai kesini itu dibawa pedagang
Bahkan yang mendapatkan amanat menyampaikannya pun juga pedagang

Tapi ingat,
Islam tidak untuk diperdagangkan
Islam tidak mendidik berdagang dalam beragama
Itu hanya untuk memudahkanmu memahami
Karena logika perdaganganlah yang paling mudah kau pahami
Sebab kamu itu mata duitan.......

Ngger....
Islam datang untuk meneguhkan keyakinan yang sudah dibangun leluhurmu
Islam datang untuk menuntunmu pada sejarah dan kisah
Karena batinmu condong pada asalmu.....”

(Sumber : Kitab Teles, Bab Padudon, Pasal Dodolan)

LEPET Lebaran

Memasuki hari raya Idul Fitri, biasanya orang membahas mengenai soal Kupat (Ketupat) dengan makna simboliknya. Biasanya dijlentrehkan melalui kerata basa, yakni ngaKU lePAT. Pada hari Idul Fitri, sudah lazim saling meminta maaf, saling mengaku kesalahan diri masing-masing. Semangat kembali fitri (suci) melalui proses saling meminta maaf dan memaafkan sesama manusia.

Namun, jarang yang membahas LEPET, makanan yang juga selalu hadir mendampingi KUPAT saat lebaran. LEPET bisa dijlentrehkan sebagai LEbar opo sing diemPET. Maksudnya, sudah bebas melakukan apa yang selama Ramadhan ditahan. Seperti halnya makan, minum, dan seks. Jika bentuknya adalah selalu menyerupai (maaf) alat kelamin laki-laki, bisa jadi dulu ibu-ibu yang membuat Lepet ingin mengingatkan kepada suaminya, bahwa menjimak sudah diperbolehkan, sudah leluasa, tidak seperti pada bulan puasa.

Jadi ... dengan tafsir ini, anda akan bisa menemukan tafsir lain atas KUPAT, bukan sekedar, ngaKU lePAT....

Punokawan diantara Kesatria dan Brahmana

Menurut saya, tayangan dari India soal Mahabarata masuk kategori teori politik yang elitis, sangat elitis sekali. Mengapa? Banyak tokoh politik yang penting adalah dari kalangan kesatria dan brhamana. Dua kelompok masyarakat itu saja yang layak membangun dunia pemerintahan. Andai saja tidak ada tokoh punokawan, bisa jadi kita generasi saat ini hanya akan mengijinkan kalangan elit saja yang layak membangun politik pemerintahan.

Kehebatan Hastinapura, masih menentramkan kelurahan Karangkedempel pimpinan Ki Semar. Ini mengajarkan bahwa, satuan komunitas politik terkecil, yaitu kelurahan menjadi unsur penting dalam sebuah kerajaan. Sekali lagi, itulah yang seharusnya menjadi potret yang bisa menggambarkan kebesaran sebuah kerajaan. Para tokoh politik harus memperhatikan itu, jangan sampai karena membanggakan Jakarta, lupa sama desa-desa terpencil.

Keberadaan punokawan, sebagai teman dalam keadaan susah (kalau senang tidak terlalu penting untuk dilibatkan) yang mendampingi para kesatria dan brahmana menyadarkan bahwa kekuatan elit tidak akan berarti tanpa keberadaan rakyat jelata (Vox populi). Melalui ini, para leluhur dulu sudah mengajarkan adanya demokrasi berbasis kerakyatan. Namun, harus diingat bahwa rakyat yang seperti apa yang akan mengantarkan keberhasilan para kesatria dan brahmana mengatur negara?

Semar sering dirujukkan pada kata ismar (paku), yang tidak goyah atau kokoh. Saya sendiri lebih suka sebagai tsamar, sebagai buah. Artinya rakyat secara mayoritas harus lebih dewasa, yang sudah matang seperti buah. Singkatnya rakyatnya jangan mudah termakan isu atau rumor yang negatif. Petruk, adalah fatruk, rakyat mampu meninggalkan hal-hal negatif tak berguna. Bahkan petruk digambarkan berkantung bolong (kantung berlubang) yang tidak akan pernah bisa menimbun kekayaan. Dia selektif dalam urusan kekayaan, tidak tamak. Gareng, dari kata qorin, artinya teman, banyak teman tidak suka bermusuhan. Artinya rakyat harus kompak, tidak konflik dan terpecah. Gareng digambarkan punya penyakit kaki yang jinjt terus. Ini menggambarkan dia tidak tega menginjak saudaranya, tidak suka menindas temannya. Yang terakhir adalah bagong, ada yang menyebutnya sebagai bagha, berarti. Bagong sering digambarkan sebagai sosok yang ceplas-ceplos, yang sebenarnya adalah kritikan-kritikan tajam. Bahkan kepada bapaknya, Ki Lurah semar tidak sungkan melakukannya. Ini berarti rakyat juga harus mempunyai keberanian menyampaikan kritik. Keterikatan punokawan tersebut tidak boleh terpisah. Bagong tidak bisa kukuh, tanpa sikap gareng, dan itu perlu dilandasi sikap petruk dan dipimpin oleh kematangan Semar.

Dalam praktek politik masa kini, seringkali rakyat meposisikan sebagai elit, memilih jadi Pandawa atau Kurawa, sementara para kesatria dan brahmana tidak menyadari adanya punokawan. Maka, yang bertempur adalah antara gareng, petruk dan bagong, sementara para kesatria dan brahmana sibuk dengan diplomasi dan upacaranya.

Anda memilih menjadi siapa?

Selamat menyambut presiden RI yang baru

Dialog Yudistira dengan Dewa Kematian

Para putra Pandu merasakan capek dan haus, setelah mengejar menjangan yang membawa pedupaan seorang Brahmana. Nakula kemudian melihat sebuah telaga di kejauhan. Pergilah ia kesana. Saat itu adalah memasuki tahun ke-12 masa pengasingan mereka setelah kalah berjudi. Di saat hendak meminum air telaga, terdengar suara”hai putra Madrim, jawab dulu pertanyaanku. Setelah itu puaskan dahagamu”. Nakula tak menghiraukan suara itu, segera meminum air telaga. Kejadian berikutnya ia tekapar tak berdaya. Tak sadarkan diri. Mati.

Kejadian yang sama terjadi kepada Sahadewa, Arjuna dan Bimasena. Saat Yudistira mendengar suara gaib itu, dia bersanggup menjawab sebelum meminum air telaga. Banyak pertanyaan yang diajukan kepadanya, antara lain :

“Apa yang dapat menolong manusia dari marabahaya?” dijawab :”keberanian”

“Ilmu apa yang membuat manusia bijaksana?” dijawab :”Orang menjadi bijaksana karena bergaul dan berkumpul dengan para cendekiawan besar.”

“Apa yang lebih mulia dan lebih menghidupi manusia daripada bumi ini?” Dijawab : “Ibu, yang melahirkan dan membesarkan anak-anaknya”.

“Apa yang lebih kencang dari angin?” dijawab : “Pikiran.”

“Apa yang lebih berbahaya dari jerami kering di musim panas?” dijawab :  “Hati yang menderita duka nestapa.”

“Apa yang menjadi teman seorang pengembara?” dijawab : “Kemauan belajar”.

“Siapakah yang menemani manusia dalam kematian?” dijawab : “Dharma”.

“Apakah itu, jika orang meninggalkannya ia dicintai oleh sesamanya?” dijawab :“Keangkuhan”

“Kehilangan apakah yang menyebabkan orang bahagia dan tidak sedih?” dijawab :”Amarah”.

“Apakah itu, jika orang membuangnya jauh-jauh, ia menjadi kaya?” dijawab :“Hawa nafsu”.

“Keajaiban apakah yang terbesar di dunia ini?” dijawab : “Setiap orang mampu melihat orang lain pergi menghadap Batara Yama, namun mereka yang masih hidup terus berusaha untuk hidup lebih lama lagi. Itulah keajaiban terbesar.”

dikutip dari : Mahabarat oleh Nyoman S. Pandit

Hidup Bukan Perjudian

Keberhasilan pendidikan Pandawa melalui guru Drona dan lainnya, telah mengantarkan pada kejayaan di saat membangun Indraprasta. Demikian pula kekompakan, satu rasa, setelah ditinggal Pandu dan Madrim. Bahkan Drupadipun diperistri berlima. Keberhasilan mengelola wilayah kecil dan berkembang menjadi kerajaan makmur membuat iri hati Duryudhana. Iri yang kuat melahikran hasud. Duryudana tak rela jika Hastinapura kalah oleh Indraprasta.

Namun, ujian yang demikian berat justru hadir di saat kejayaan muncul. Duryudana melalui Sakuni menantang dadu/judi dengan Yudistira. Itulah hoby Yudistira yang tak pernah hilang, meski sudah mendapatkan ilmu dan kejayaan. Kekalahan oleh Sakuni, Yudistira mempertaurhkan harta, tentara, kerjaan, saudara dan tragisnya istrinya, Drupadi juga dipertarukan. Sampai-sampai tinggal selembar penutup aurat yang tersisa. Tapi tidak untuk Drupadi, ternyata tidak bisa ditelanjangi pakaiannya.

Kekalahan judi ronde pertama, tidak juga menyadarkan Yudistira. Distrarasta telah meminta untuk dikembalikan milik Pandawa. Tantangan kedua, berbeda. Taruhannya adalah siapapun yang kalah harus hidup terasing dan menderita selama 13 tahun. Maka, lagi-lagi Pandawa kalah.

Hidup sengsara dalam pengasingan rupanya benar-benar membentuk kesadaran Pandawa untuk memperbaiki diri. Pendidikan pada penglaman hidup, kehidupan terasing justru semakin memperkuat ilmu yang diperoleh jauh sebelumnya. Kelak, hasil gemblengan kehidupan inilah yang mengantarkan Pandawa memenangkan perang Kuru Setra.....

Masihkah Yudistira bermain judi? Maka Baratayuda bukanlah perjudian ...

Isra' Mi'raj : Nobel Perdamaian Sejati

Banyak sudah tokoh dari berbagai belahan dunia mendapatkan hadiah nobel perdamaian. Banyak juga karya atau prestasi yang menjadi pertimbangan untuk pemberian hadiah tersebut. Namun siapa sesungguhnya peraih nobel perdamaian sejati itu?

Menurut saya, momentum Isra’ Mi’raj adalah hadiah perdamaian tertinggi, yang berlaku bagi seluruh alam semesta. Bagaimana tidak, perintah shalat adalah puncak pengabdian manusia dalam kehidupan di alam semesta ini. Shalat tidak sekedar ritual yang melatih kekhusyu’an pribadi semata, tetapi jauh dari itu, adalah menebarkan kedamaian di alam semesta.

Salam ke arah kanan, salam ke arah kiri sebagai akhir ritus shalat mengajarkan bahwa shalat ditujukan dalam rangka menciptakan rahmat bagi alam semesta, keselamatan dan kedamaian di dalamnya.

Dengan demikian, mereka yang sudah benar-benar menegakkan shalat adalah para peraih nobel perdamaian sejati.

Maka, tetap carilah isi dalam bungkusnya.

Bulan Ruwah

Saya menduga nama Ruwah untuk bulan Sya’ban bagi orang Jawa berasal dari kata Arwah (para ruh-yang sering dirujukkan kepada mereka yang sudah meninggal). Penamaan bulan dalam kalender Hijriyah dalam lisan Jawa, nampaknya tidak semuanya menyerap nama asal arabnya. Bulan poso dan ruwah bisa dijadikan contoh. Mengapa orang Jawa menyebut demikian? Saya sedikit berhipotesa, sebab saya temukan ada tradisi di banyak desa yang mentradisikan penghurmatan arwah dilakukan secara massal pada bulan tersebut. Menjadi wajar kemudian, bulan ini diberi nama Ruwah (Arwah), karena di dalam bulan itu masyarakat mempunyai hajat bersama untuk menghurmati para arwah leluhur atau keraba mereka (yang sudah meninggal dunia).

Pertanyaannya kemudian, mengapa tidak pada bulan lain? Bahwa ada sebuah do’a yang sering dilantunkan saat memasuki bulan Rajab, “Allahumma baarik lanaa fii rajaban wa sya’banan wa ballighna ramadhana”. Dalam do’a tersebut ada 3 bulan dalam satu rangkaian. Pada bulan Rajab, masyarakat diajarkan untuk banyak melakukan ibadah, lebih-lebih puasa sunnah. Ini juga ditujukan dalam rangka mempersiapkan diri menyambut Ramadhan. Bukankan ujung do’a tersebut adalah sampainya kesempatan beribadah di bulan Ramadhan? Ibaratnya, pada bulan Rajab manusia diajarkan melatih diri segi fisik dan jiwa/spirit yang ujungnya adalah berjihad di bulan Ramadhan.

Nah, lantas apa berkah dalam bulan Sya’ban kemudian? Para leluhur kita dulu mengajarkan untuk tidak lupa bahwa amal kita yang bisa dilakukan saat ini, bagaimanapun adalah kelanjutan dan ada keterkaitan dengan orang tua atau kerabat atau saudara kita, meski itu sudah meninggalkan dunia. Membangun ketersambungan amal (jariyah) semacam ini menjadi penting jika dilhat dari keberkahan 3 bulan yang disebut. Jadi, persiapan diri dan restu atau kesadaran akan perjuangan leluhur menjadi bekal lebih besar dalam menjalankan ibadah Ramadhan. Harapannya tentu ibadah Ramadhan bisa terlaksana dengan baik dan membawa dampak bagi kehidupan.

Namun dalam prakteknya tradisi menghurmat arwah ini kemudian ditempatkan pada penghujung akhir dan biasa disebut megengan. Sebuah tradisi menyambut Ramadhan dengan tetap mengingat leluhur. Ini tentu menjadi cermin yang sangat berguna. Jika orang tua dulu mampu menjalankan ibadah Ramadhan dengan capaian katakanlah tingkat 5, maka untuk kita bisa ditingkatkan lebih dari itu. Paling tidak jangan jauh-jauh kisarannya. Demikianlah salah satu nasehat yang disampaikan melalui tradisi megengan atau hurmat arwah.

Bagi anda yang mempunyai tradisi hurmat arwah dengan ziarah ya silakan. Cukup dengan tahlilan ya monggo. Melalui sedekah yang ditujukan untuk leluhur yang silakan. Atau sekedar memperbanyak doa habis shalat yang monggo. Atau apalagi yang biasa anda lakukan. Lagi-lagi, jangan membuang isi, hanya karena tidak suka bungkusnya.

Wallahu ‘alamu bishshowab



Kang Yatiman (5) : Istikhoroh Pilitik Kyai


Kyai Sujak bagi kang Yatiman adalah sosok yang sangat dikagumi. Selama ini sudah menjadi jujukannya meminta nasehat, pendapat bahkan banyak hal yang paad akhirnya pendapatnya dipakai kang Yatiman. Perkenalannya dengan kyai Sujak sudah lama, sehingga kang Yatiman paham betul bahwa pendapat kyai Sujak bukan sekedar berpendapat, tetapi sudah ditimbang masak dan diupayakan secara ruhani.


Demikian pula Kyai Juki. Dia adalah teladan yang selama ini memberi inspirasi, contoh dan tuntutan bagi kang Yatiman. Sudah lama apa yang diikuti dari kebiasaan kyai Juki diamalkan oleh kang Yatiman. Jangan tanya manfaat yang didapat. Barokahnya demikian melimpah diterima kang Yatiman sekeluarga. Itulah yang menjadi keyakinan kang Yatiman.


Menjadi sulit untuk saat ini bagi kang Yatiman. Harus mengikuti siapa. Ikut kyai Sujak berarti dia mendukung capres yang selama ini tidak disukainya. Sementara membuntut langkah kyai Juki berarti dia harus siap-siap dikritik habis teman dan tetangganya. Tidak mampu kang Yatiman memberi alasan bagi pilihannya itu.


“Kyai,” kang Yatiman matur ke kyai Sujak.
”Mengapa kyai memberi dukungan pada capres yang itu?”.
“Saya sudah pikirkan matang. Sudah istikhoroh. Hasilnya ya itu. Aku mendukung dia.”
“Kang dia itu orangnya punya masa lalu yang buruk?”
“Apa kamu tahu betul latar belakang dia? Kehidupannya di masa lalu?”
“Tidak kyai”
“Ya sudah. Aku saja tidak berani begitu. Aku hanya yakin atas ikhtiarku untuk membuat pilihan”.


Apa yang disampaikan oleh kyai Sujak tidak beda jauh dengan kyai Juki. Keduanya sama-sama atas ikhtiar atau ijtihad yang sudah dilakukannya. Kang Yatiman benar-benar galau, harus pilih yang mana dari kedua pendapat tersebut.


==

Biasanya kang Yatiman meminta pendapat untuk urusan begini dari kang Sakur.
“Kang Sakur, piye menurutmu?”
“Benar semua”
“Kok bisa? Tidak mungkin. Salah satu harus ada yang benar dan satunya salah”.
“Loh, ini kan bukan soal benar salah. Bukan soal ujian anak-anak SD itu kang”
“Ya, tapi apa saya harus memilih keduanya? Kan tidak sah nanti dalam pemilu?”
“lha kan enak, tinggal pilih salah satu. Katanya keduanya menurut sampean baik semuanya? Jadi milih salah satu yang tentu baik. Ya khan?”
“Saya masih bingung, kang”.
“Wes, gini saja kang Yatiman. Seandainya ada sepuluh santri jomblow semua berusaha mencari jodohnya. Kemudian mereka sama-sama istikhoroh. Apa hasilnya sama? Nek, jawabane satu gadis apa tidak gelut? Ha ha ha ....”
“Ini kan urusan presiden, bukan jodoh”
“Ya sama saja. Sama-sama bukan urusan dalil to? Bukan urusan wahyu to?. Ketika satu santri dapat isyarat jodohnya A, ya memang itu yang cocok buatnya. Begitu santri-santri lainnya. Jadi poro kyai itu punya jodoh masing-masing dalam urusan calon presidennya”.
“kalau nanti ternyata yang dipilih itu tidak baik? Apa kyai tidak malu?”
“kenapa mesti malu? Wong itu didasari ilmu dan istikhoroh ruhani kok. Yang suka bikin malu itu kan mereka yang milih jomblow tapi pura-pura istikhoroh...”
“Maksudnya?”
“Ha ha ha ....”

Rupanya kang Yatiman jadi mikir kalimat kang Sakur. Begitulah, harusnya dia mendapat penjelasan gamblang untuk satu hal, tetapi dia malah mencari soal baru yang butuh jawaban lagi.

Pres...capres



Pres...capres
Pres...cawapres
Semua ruwet, saling gores
Bisa beres

Pres...capres
Pres...cawapres
Partai kumpul, jadi bakul
Bisa jujur, bisa ngibul

Pres...capres
Pres...cawapres
Cegah prahara, gandeng raja
Ditambah sa, agar wibawa

Pres...capres
Pres...cawapres
Hindari Owi, ajak sulawesi
JK jadi menggenapi

Pres...capres
Pres...cawapres
Berase kari sak peres
Rupane rembes...
Kokehan mbahas

Pres...capres
Pres...cawapres


 


Kang Yatiman (4) : "Lurah Kyai Yatiman"

Kali ini, Kyai Yatiman menghadapi problem pilihan yang rumit. Dua santrinya, Joko dan Bowo maju sebagai calon kepala desa. Kalau soal restu, sebenarnya mereka sudah mendapat restu untuk maju. Tapi soal dukungan, itulah yang menjadi masalahnya. Tidak mungkin, Kyai Yatiman hanya memberi dukungan kepada salah satunya. Atau membagi santrinya untuk mendukung mereka. Pasti tidak bisa persis. Karena jumlah santrinya juga tidak diketahui persis.

Jauh sebelum masa pendaftaran, Kyai Yatiman menyampaikan pendapatnya. “Monggo, Kang Joko silakan maju sebagai calon kepala desa. Saya bangga, seandainya kelak sampean yang terpilih.” Kalimat seperti itu juga berlaku bagi Bowo. Tanpa ada penambahan atau pengurangan makna pesannya.  Masa pendaftaran masih terbuka. Namun, calon yang ada masih saja hanya mereka. Padahal, masih memungkinkan adanya calon lain. Pilihannya pada akhirnya ya salah satu dari mereka. Mau tidak mau.

Ada keprihatinan lain bagi Kyai Yatiman. Isu-isu yang beredar berhembus tentang upaya saling menjegal dengan kampanye buruk. Kampanye hitam saling menjelekkan. Situasi seperti ini tentu tidak baik bagi mereka berdua. Apalagi bagi Kyai Yatiman. Semuanya santrinya, tetapi dalam kampanye saling menjelekkan. Ini tidak boleh terjadi.

“Apa benar kamu menjelekkan kang Joko, Wo?” suatu waktu Kyai Yatiman menegur Kang Bowo.
“Bukan kyai. Saya tidak bermaksud demikian. Tetapi, saya dengar di masyarakat ada yang berusaha menjelekkan saya. Membuat fitnah terhadap saya. Tentu ini dari timnya Kang Joko. Apa saya harus diam saja kyai? Apa njenengan rela saya difitnah semacam itu?” Kilah Kang Bowo.
“Lha apa tidak ada cara lain, misalnya sampean datangi langsung Kang Joko?”
“Tidak mungkin kyai, kuatir salah paham, malah kemudian konflik. Kalau saya diam, saya bisa kalah kyai.”
“Oooh, soal kalah menang to ini?”
“Lha inggih kyai. Pilkades kan mencari pemenang?”

 
Rasanya sulit sekali bagi Kyai Yatiman untuk mendamaikan keduanya. Bisa saja, Joko dan Bowo bisa tidak ada masalah. Tim sukses yang menghendaki mereka menang itu tentu tidak terima atau tidak ingin calon yang diusung kalah.
 
==

 
“Assalamu ‘alaikum,”
“Waalaikum salam kyai. Apa yang bisa saya bantu?”
“Saya mau daftar jadi calon kades, pak!”
“Yang benar saja kyai?”

Petugas pendaftar pilkades keheranan. Kenapa Kyai Yatiman mendaftar jadi calon kades. Kedatangannya tidak pernah diduga oleh petugas. Pikiran mereka barangkali Kyai Yatiman akan memberi nasehat atau masukan kepada panitia. Tapi tidak sama sekali. Kyai Yatiman maju sebagai calon kades.

 
Syarat sudah terpenuhi. Kyai Yatiman berhak maju sebagai calon kades. Pilihannya menjadi tiga calon. Kabar ini kemudian diketahui masyarakat luas. Joko dan Bowo benar-benar bingung dengan kondisi ini. Bagi mereka Kyai Yatiman jelas menjadi ancaman. Bersaing dengan gurunya sendiri tentu mereka kalah. Masyarakat jelas lebih condong kepada Kyai Yatiman. Itu jelas dari hitung-hitungan di atas kertas ataupun kondisi riilnya.

 
Bersepakatlah mereka. Kyai Yatiman adalah ancaman kemenangan mereka. Strategi bersama disepakati. Pokoknya jangan sampai kalah dari Kyai Yatiman. Dan benar, kampanye mereka berbalik untuk melemahkan suara pendukung Kyai Yatiman.

 
==
 
Kyai Yatiman. Kyai Yatiman. Joko. Bowo. Kyai Yatiman. Demikian juru hitung pilkades. Sampai jam 3 sore perhitungan selesai, Pemilih yang ikut nyoblos hampir 100 persen. Hasil penghitungan diketahui. Kyai Yatiman memperoleh suara 1233, Joko 543, dan Bowo 542. Jelas hasil ini pukulan telak bagi Joko dan Bowo. Bagaimana bisa kekuatan bersama mereka bisa kalah dengan Kyai Yatiman. Tetapi mereka lupa, bagaimanapun suara mereka dibagi dua, tidak seperti suara Kyai Yatiman yang utuh hanya untuk dirinya.

 
Hasil tersebut kemudian ditetapkan Kyai Yatiman sebagai pemenangnya.
“Terima kasih saudara-saudara atas suara yang diberikan kepada saya. Demikian juga untuk dua santri saya, Joko dan Bowo yang sudah bekerja keras turut serta dalam pemilihan ini” begitulah pidatonya. Tetapi kemudian, “...namun demikian, saat ini juga saya mengundurkan diri sebagai pemenang Pilkades. Tugas saya mengajar tidak bisa saya tinggalkan....”. Semua yang hadir terdiam. Kaget, tidak tahu apa maksud dari semua ini.

 
Kondisi itu tentu menempatkan Joko sebagai pemenang, karena lebih banyak dari Bowo, meski hanya  satu suara. Bagi Joko tetap saja tidak senang dengan hasil ini. Meski menang itu hanya suara sedikit. Bukan yang sebenarnya. Demikian pula kelebihannya dari Bowo. Hal yang lebih membuat Joko tidak suka adalah, kenyataan Kyai Yatiman harus dipenjara. Karena mengundurkan diri dari proses pilihan yang sudah ditetapkan.

 
Joko dan Bowo benar-benar menyesal, kenapa Kyai Yatiman harus masuk penjara akibat pilkades. Saat mereka besuk di penjara kepolisian, Kyai Yatiman berkata kepada mereka,”apakah cara ini bisa membuat kalian rukun?” Sungguh pertanyaan yang menyesakkan dada mereka. Mereka tidak sadar selama ini, keikutsertaan Kyai Yatiman hanya untuk menyadarkan kepada mereka untuk tidak saling menjatuhkan dalam kampanye.

“Tapi...tidak apa-apa itu pilihanku. Toh masyarakat yang menentukan kalian. Dan aku terbebas dari beban memberi dukungan kepada salah satu dari kalian”.
“Tapi kyai”, Joko dan Bowo menyela, “mengapa harus sampai seperti ini?”
“Ketahuilah kalian, do’a restuku itu jauh lebih berharga dari sekedar suara dukunganku”.

 
 

 

 

 

 

 

 

Kang Yatiman (3) : Memilih Rakyat, Bukan Capres

Tumben, Kang Yatiman pagi-pagi sekali berkunjung ke rumahku. Sudah lama sekali, sejak kunjunganku waktu lalu mengundang Haul Kyai Yahya kami tidak bertemu.
“Kang, tolong beri aku nasehat atau petunjuk...”
“Loh, sebagai kyai mosok minta bantuan orang macam saya?
“Ah, jangan gitu Kang Sakur. Sudahlah, beri saja saya petunjuk”
“Soal apa?”
“Pilpres. Menurut sampean, pasangan siapa yang harus dipilih?“
Kang Yatiman mengakui, akhir-akhir banyak warga yang bertamu atau jamaah yang hadir di majelisnya menanyakan soal itu. Maklum, sebagai kyai tentu ditunggu pendapatnya. Bagi jamaahnya, pendapatnya akan membuat tentram hati mereka.
“Ah, jaman sekarang gak usah begitu-begituan Kang”
“Lha gimana to Kang, wong mereka tetap meminta pendapatku”
“Ya, jawab saja sekenanya. Atau serahkan pilihan pada mereka. Kan beres”
“Itu dia, masalahnya, sudah saya lakukan begitu, tetap saja selalu ditanya”.

 

Kang Yatiman, tetap saja mendesakku untuk memberikan jawabannya.

“Wes, Kang. Begini saja. Mulai besok sampai tujuh hari ke depan, sampean saya tugasi marung, jagong di warung kopi”.

“Loh, apa hubungannya?”

“Lah, sampean minta petunjuk. Itu petunjukku. Mau ya sudah, tidak mau ya monggo. Beres.”

 

==

Hari pertama, Kang Yatiman njagong di warung Kopi dekat rumahnya. Seharian dia ngobrol bersama pengunjung lain. Obrolan orang-orang di sana, tak beda jauh dengan yang di rumah. Soal Pilpres tetap jadi pembahasan yang anget. Dia mencoba mencerna bagaimana sebenarnya suara orang-orang itu. Tetap saja, ada dua kubu yang saling memperkuat pilihannya masing-masing.

“Ah, sama saja. Tambah pusing saja. Di mana-mana kok soal capres yang diurus.” Begitu kesimpulannya njagong hari pertama. Demikian juga hari berikutnya, dia mencoba njagong di warung kopi yang agak jauh dari rumah. Sama saja hasilnya. Sampai hari keenam, kesimpulan itu saja terus menerus. Sampai-sampai dia mempertanyakan apa maksud dari Kang Sakur memberi nasehat tersebut.

==

Sudah hampir enam jam dia njagong di warung kopi dekat rumahnya. Itu adalah hari terakhir seperti petunjuk Kang Sakur. Tidak banyak berbeda. Sejak jam delapan pagi, yang didengar adalah obrolah soal capres dan cawapres. Semakin memuakkan saja baginya mendengar diskusi-diskusi seperti itu.

Kang Yatiman tidak menyadari, bahwa masih ada seseorang yang juga duduk di warung tersebut hampir selama yang dilakukannya.

“Kyai, saya perhatikan kok panjenengan lama sekali di warung ini,”

Sedikit kaget, “Oh, kang yanto. Ya kang, saya pengen njagong saja. Lama saya tidak njagong di sini. Padahal dekat dengan rumah.”

“Ooooh. Refreshing begitu kyai?”

“Ya, begitulah. Sampean sendiri sedang apa?”

“Kalau saya sudah biasa begini kyai. Gak ada pekerjaan. Daripada di rumah diomelin istri, mending di sini, cukup modal dua ribu bisa duduk dan ngobrol lama sekali. Nanti kalau sudah sore baru pulang”.

“Sampean kerjanya apa?”

“Gak mesti kyai, serabutan. Pekerjaan saya membuat kasur.”

“Bagus itu.”

“Nggeh, bagus. Tapi kalau sepi order begini saya dak bisa memberi uang belanja kepada istri, apalagi buat biaya sekolah anak-anak”.

“Loh, kenapa tidak datang ke rumah? Kalau pas nganggur begini. Kan dekat dengan rumah saya?”

“Malu kyai, saya tidak bisa ngaji. Jarang shalat. Apa pantas kumpul dengan mereka yang ahli ibadah dan mengaji?”

 

==

Baru kali ini selama masa melakukan petunjuk Kang Sakur. Obrolan ringan, tidak membahas capres, tidak membahas politik. Tetapi membahas soal pekerjaan, soal nafkah keluarga sehari-hari, soal keberagamaan. Padahal, Kang Yanto adalah tetangga dari Kang Yatiman.

Sejak obrolannya dengan Kang Yanto tersebut, Kyai Yatiman memutuskan tidak mau membahas soal capres apalagi memberi pertimbangan dalam memilih capres. Dia baru menyadari bahwa, selama ini sebagai kyai, dia terlalu disibukkan dengan urusan dan kepentingan tamu-tamunya, kepentingan mereka yang suka beribadah, suka mengaji. Tetapi lupa, kepada tetangga yang masih kekurangan ekonomi dan malu beribadah.

 

 

 

 

 

 

 

Warga NU Bangkit Berkali-kali

Tahun 1908 dijadikan tahun bangkitnya nasionalisme bangsa Indonesia. Budi Oetomo, sebuah organisasi kepemudaan dijadikan rujukan awal pertanda kebangkitan nasional. Namun, bagi warga Nahdlatul Ulama, kebangkitan itu terjadi berkali-kali. Sekitar tahun 1916, dari para kyai dideklarasikan Nahdlatul Wathan, kebangkitan akan cinta tanah air. Bukan sebuah ormas kepemudaan, namun ditumbuhkembangkan pada diri pelajar. Melalui perguruan Nahdlatul wathan, warga NU sudah bangkit untuk pertama kalinya. Siapa mereka? Kaum pelajar.

 

Kebangkitan berikutnya adalah, nahdlatututtujar, kebangkitan para saudagar. Bukan hanya karena situasi kondisi yang menuntut mereka untuk bangkit melawan kapitalisme, serbuan para pedagang besar kota, tetapi satu target lain, yakni mendukung pembiayaan bagi kebangkitan tanah air dan dakwah para ulama. Jelas sekali, para pengusaha bangkit dalam gerakan kebangsaan.

Berikutnya, meski tidak dengan nama kebangkitan (nahdlat), tetapi taswirul afkar pada hakikatnya adalah sebuah kebangkitan pemikiran. Pergolakan pemikiran menjadi tanda bangkitnya para pemikir, bangkitnya cara berpikira dalam memandang berbagai persoalan dalam bingkai kebangsaan dan dakwah.

Inilah puncaknya, jika sebelumnya para kyai, ulama menjadi motor, pengelola dan pembina, 1926 mereka benar-benar bangkit, dan lahirlah Nahdlatul Ulama. Bangkitnya kaum pelajar, kaum pedagang, kaum cendekia dan pergerakan kemudian diwadahi dalam sebuah kebangkitan para ulama. Satu tujuan dan tekad dalam bingkai kebangsaan dan menyebarkan Islam yang rahmat bagi seluruh alam.

Konteks inilah hendaknya yang dijadikan pijakan kesejarahan Kebangkitan Nasional bagi warga NU, sebuah gerakan kebangkitan yang melibatkan banyak pihak, beragam aspek dan tetap kaidah keagamaan. Kebangkitan yang tuntas atas problem hubungan agama dan negara (bangsa).

Kemudian, bangkitlah para politisi dalam wadah PKB. Ini adalah kebangkitan di era reformasi. Menghadapi masa transisi dan chaos politik menumbuhkan kebangkitan untuk sebuah partai.

Masihkah perlu bangkit kembali? Atau menunggu mati untuk bangkit yang kesekian kali?

 

Nahdlatul Wathan : Madrasah Yang Luar Biasa

 
Banyak peneliti, khususnya yang mengkaji tentang Nahdlatul Ulama (NU) melihat Nahdlatul Wathan (NW) sebagai salah satu pilar dari berdirinya NU. Namun demikian, jangan sampai, karena kebesaran NU, kemudian saya dan anda menganggap kecil atau bahkan meremehkan peran Nahdlatul wathan. Marilah kita perhatikan satu pilar tersebut, meski harus tetap disadari, bahwa itu adalah hanya bagian dari rumah besar, bernama Nahdlatul Ulama.

Paling tidak ada beberapa alasan, jika kemudian saya menyebutnya sebagai madrasah yang luar biasa. Nahdlatul watahan didirikan para ulama, yang dipelopori oleh KH. Wahab Hasbullah. Pertama, ringkasnya nahdlatul wathan itu sekolah (madrasah) yang revolusioner. Saya sebut demikian, karena NW didirikan atas prinsip yang berbeda dengan mainstream waktu itu, yaitu dalam hal perjuangan melawan penjajah. Sebelum NW, sudah banyak berdiri ormas yang berupaya melawan penjajah Belanda, dengan tujuan dan strategi politik. Fokus mereka adalah perjuangan politik dan diplomasi. Di sisi lain, perjuangan fisik juga kuat bergolak di berbagai daerah. Mendirikan madrasah (perguruan) sebagai lembaga pendidikan yang mempunyai target membangun nasionalisme (cinta tanah air) dalam konteks zaman itu adalah revolusioner. Ada banyak sekolah yang sudah didirikan, tetapi ditujukan mengejar kecerdasan dan kepandaian, yang juga diyakini bisa dijadikan alat perjuangan. Menegaskan sebagai perguruan cinta tanah air, bagi NW adalah pilihan yang sangat beresiko. Pada era 1916, NW didirikan di Surabaya dan kemudian diikuti di berbagai daerah. Situasi masa itu adalah sedang kuat-kuatnya kolonialisme di dunia dan Belanda dengan segala cara akan meredam gerakan perlawanan dari rakyat jajahannya. Lembaga pendidikan dengan demikian tegas sekali, dijadikan alat perjuangan kemerdekaan.

Kedua, dalam kalimat singkat, NW adalah madrasah yang komplit dan uptodate. Mengapa demikian? Menurut saya, NW dikelola secara modern, berbasis sistem klasikal dan kurikulum yang seragam di antara sekolah-sekolah di bawah naungannya. Pada masa itu pergolakan pemikiran keagamaan terjadi perdebatan, perbedaan bahkan sampai konflik antar paham. Melalui sistem pengajaran yang sistematis, NW mengajarkan dan mempertahankan paham ahlussunnah wal jamaah, dengan tetap berkiblat pada pendidikan pesantren. Demikian pula, pilihan dalam membangun nasionalisme sangat sesuai dengan kebutuhan zaman itu. Jadi, NW adalah madrasah yang mengajarkan ilmu agama, ilmu pengetahuan umum dan cinta tanah air.

Maka, yang ketiga adalah NW menjadi sumber ide, semangat dan manusia dalam perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia. Banyak tokoh-tokoh nasionalis lahir dari perguruan ini. Tidak mengherankan jika kemudian, pad tahun 1945 Surabaya dipenuhi oleh para pejuang yang sangat cinta tanah air dan tidak takut pada penjajah asing.

Masa kini, tentu perlu melihat dan mengkaji apa yang sudah dilakukan oleh Nahdlatul wathan. Satu soal perlu diajukan, apakah pendidikan selama ini kemudian mampu membangun nasionalisme? Kurikulum pada akhir-akhir ini lebih dititikberatkan pada kebutuhan mencetak manusia-manusia kerja, disiapkan bisa mengerjakan sesuatu yang dibutuhkan dalam industri. Tetapi kering dalam sisi nasionalisme. Tidak mengherankan kemudian, banyak profesional dan tenaga ahli lahir dari sistem pendidikan semacam ini yang melupakan naisonalisme, mudah menjual aset kepada asing, kepada mereka yang “dianggap” ahli. Padahal, kalau mau bekerja lebih keras, keahlian yang dimiliki anak bangsa ini tidak kalah dengan orang asing.

Selanjutnya, bagaimana dengan NU? Sebagai rumah besar, mari sama-sama dilihat pilarnya. Satu saja, seperti melihat Nahdlatul Wathan, apakah masih terjaga visi dan misinya? Jika penilaian anda sudah rapuh, maka yang paling masuk akal untuk menjelaskannya adalah disebabkan gerogotan rayap. Tentu itu ada pada pilar itu sendiri atau masih berada di dalam rumah. Semoga saya dan anda bukan bagian dari rayap itu.

 

Selamat Hari Lahir NU yang ke-91 (16 Rajab 1435 H)

 

Pedal dan Cinta

kupancal pedal sepeda
berharap segera berjumpa
meski gelap dan dingin udaranya
malam jumat itu biasanya
hanya agar asyik bercengkrama
yang tua kirim do’a
yang muda bermanja
sekali,
kali kedua kemudian berkali-kali
akhirnya
menjadi ritual mencari cinta
istiqomah tak berbuah hati
apa adanya tak berbunga rasa
menanam pedal memanen kecewa
Surabaya, 14/05/2013, 23:46 WIB

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Antara Pilpres dan Beras

mendekati masa pilpres, perlahan namun pasti
mereka sudah meangalpakan beras
memasuki masa tanam bahkan masa panen
beras tak menjadi tema yang ngetren, kalah oleh pilpres

 
banyak orang, di warung kopi, di kantor,
bahkan di rumah sakit
berdiskusi soal pilpres, tapi lupa membahas beras

 
mereka yang sudah banyak beras,
membujuk, merayu kepada mereka yang kekurangan beras
mereka asyik berbicara capres, lupa di rumah beras hanya segelas peres

 
apa bedanya capres dan beras, bagi rakyat?

 
rakyat bisa marah, jika beras tak tersedia
dengan capres yang melimpah, rakyat juga tak bahagia
 
para capres harus berjuang keras untuk mendapat simpati rakyat
sementara beras, asal hadir rakyat juga beres
 
kadang rakyat harus mendukung capres, hanya demi beras
sementara capres tak peduli demi rakyat mendapat beras

 
bagi rakyat, beras bermanfaat
demi hidup sehari-hari
bagi capres, beras berguna
demi kuasa beberapa masa

 
beras menjadi urusan rakyat
caprespun masalah bagi rakyat
lalu, apa urusan capres?
apakah membeli suara rakyat dengan beras?

 
Surabaya, 14/05/2014, 22:13 WIB

 

 

 

 

 

 

 

Kang Yatiman (Ke-2)

Kudengar Kang Yatiman sekarang menjadi kyai. Memang tidak punya pesantren, tetapi sudah banyak orang bertamu, meminta nasehatnya dan tentu minta amalan-amalan doanya. Kebiasaan sowan kyai masih saja dilakukan. Sudah jarang aku diajak konsultasi, sebab kyai yang dikunjungi demikian banyak. Tihak hanya Kyai Yahya. Kyai-kyai ternama di Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, bahkan Madura dikunjunginya. Maklum, dengan usaha yang digelutinya, tidak mengharuskan dia sendiri yang harus menjalankan sendiri. Tinggal telpon atau sms bisnis sudah bisa berjalan.

Temanku pernah bercerita, “Yai Yatiman itu hebat loh kang,” dia membuka kisahnya,”tidak sekedar bisa kasih do’a, tetapi dia sendiri sudah mampu membuktikan keampuhan do’anya. Dia kaya, anak istrinya juga baik. Pokoknya semuanya baik.” Tak perlu kuceritakan padanya bahwa sebenarnya kukenal Kang Yatiman. Bagi temanku tadi, Kang Yatiman adalah contoh sekaligus guru yang tepat, karena do’a-do’a yang diberikannya sudah terbukti dan semua muridnya sangat mengaguminya. “Saya tidak meragukan sedikitpun padanya,” masih lanjut temanku tadi, “banyak kyai, hanya bisa memberi amalan, sementara dia sendiri tidak bisa menunjukkan keampuhan do’anya. Saya sudah dikasih banyak do’a oleh kyai untuk bisnis, tetapi kyai sendiri tidak kaya, sedankan Yai Yatiman beda, dia sudah mencapai puncak pembuktian.” “Duh!,” batinku menyeru, “benarkah Kang Yatiman sudah menghasilkan murid-murid seperti ini, yang meremehkan para Kyai yang tidak kaya?”.

***---------

Sengaja aku mampir warung kopi yang tidak jauh dari rumah Kang Yatiman. Benar, banyak tamu yang datang ke rumahnya.”Biasanya kalau hari minggu lebih ramai mas,” ungkap si Mbok penjual kopi,”tamunya dari mana-mana, ada yang minta doa agar bisnisnya lancar, ada yang untuk kepentingan sekolah anaknya, bahkan ada juga lo pejabat yang minta dido’akan agar karirnya sukses,”. Aku langsung menyahut,”Sampean kok tahu betul tamu-tamu Yai Yatiman?”, bagaimanapun aku juga harus memanggilnya Yai. “Loh, banyak tamu yang mampir ke sini mas, mereka suka bercerita, malah kadang ada yang datang ke sini dulu, sambil nanya-nanya tentang Yai Yatiman,”.

Tak berapa lama, datang seseorang, penampilannya gagah, seperti seorang tentara. “Bu, saya minta kopinya,” pintanya kepada Si Mbok tadi,”wah susah juga ya ketemu sama Yai Yatiman”, tiba-tiba dia mengeluh,”saya mengantar Bapak saja harus menunggu 2 jam lebih baru bisa diterima. Padahal, Bapak itu pejabat penting di pemerintahan,” dia masih melanjutkan, “heran juga, Bapak kok ya begitu fanatiknya sama Yai Yatiman,” langsung saja Si Mbok menjawab, “loh sampean belum tahu to mas, Yai Yatiman itu ampuh, banyak orang yang datang berhasil, kabul kajatnya, dan Yai Yatiman sendiri sudah tidak begitu membutuhkan uang, dia sendiri juga sudah kaya kok,” timpal Si Mbok sambil menaruh kopi di hadapan pemuda tadi.

Seorang Bapak yang sudah duduk lama di seberang meja menimpali, “bener itu Mbok, saya sendiri pernah, mau memberi uang kepada Yai Yatiman, dia menolak halus. Yai, menyuruhku memasukkan ke kotak amal buat pembangunan masjid”, timpalnya”. Si Mbok menyahuti, “ah itu sih iya, malah saya sering kecipratan uang-uang itu, tidak banyak, tapi lumayan buat jajan anak-anak”. Dari pembicaraan mereka semakin yakin, kalau memang ilmu kang Yatiman benar-benar bermanfaat bagi tamunya dan tetangganya.

****-----

Tiga bulan berikutnya aku memang sengaja berkunjung ke Kang Yatiman. Selama ini hanya kudengar beritanya dari orang-orang lain. Sengaja aku ke sana untuk melihat dan mendengar langsung darinya. Namun, sebenarnya ada kabar yang akan aku sampaikan kepadanya, tentang Kyai Yahya. “Kang, bagaimana kabarmu?,” demikian aku memulai pembicaraan dengannya di ruang tamu. “Alhamdulillah kang, kamu lihat sendiri, aku sudah demikian. Semua itu adalah jasa para kyai, guru-guru yang selama ini aku sowani. Tidak sia-sia mereka memberikan ilmu kepadaku,” demikian ia ungkapkan kisahnya dengan sedikit membanggakan para gurunya. “Kabarmu sendiri bagaimana kang?,” dia tanya kepadaku, “yah, biasa to, dari dulu aku ya begini ini, Jadi orang biasa saja,” jawabku singkat.

“Kang Yatiman, sebenarnya kedatanganku ke sini membawa kabar,” aku memberanikan diri untuk menyampaikan, “kabar apa kang?” tanyanya, “sampean saya undang acara haul,” dia langsung bertanya,”haulnya kyai siapa, kang?”, jawabku, “Kyai Yahya, ini adalah yang pertama”, di saat kalimat ini didengar dia langsung terdiam, wajahnya pucat dan kaget luar biasa, ”loh kenapa kang?, bukankah selama ini sampean sering sowan kepada Kyai Yahya? Bukankah sampean menyatakan kalau mendapat manfaat luar biasa darinya? Bukankah sampean mengakui kalau Kyai Yahya sangat berjasa dalam bisnis sampean?”, aku tak sadar menerocos mengajukan pertanyaan tersebut.

“Kang Sakur,” dengan nada berat dan terdiam cukup lama, “aku sudah lama, tidak sowan kepada beliau sehingga tidak tahu kabar berita tentangnya, bahkan soal kewafatannya,” sambil tersedu dia mengaku, “Ya Allah, maafkanlah diriku, aku selama ini hanya mengejar ilmu, mengejar fadlilah dari do’a-do’a para kyai, sementara kyainya aku lupakan...”

“Kang Sakur, antarkan aku ke makamnya, sekarang juga”, desaknya padaku, “aku tahu, aku sudah salah, sudah lupa akan asal ilmuku, sekali lagi bantu aku untuk menemukan jalan asalku,” aku tak kuasa menolaknya, “Baiklah kang, mari”. Kami bergegas pergi meninggalkan rumah, sementara tamu-tamu yang sudah antre ditinggalkan semuanya, tanpa penjelasan apapun dari Kang Yatiman, hanya dia bilang, “ngapunten semuanya, terserah panjenengan mau ikut atau mau nunggu atau mau pergi, terserah, aku tak peduli”.

 

 

 

Kang Yatiman

Kebiasaannya sowan kepada kyai kira-kira sudah lebih dari dua tahun. Kulihat Kang Yatiman sekarang berbeda dengan dulu. Sekarang, sebentar-bentar sowan ke kyai. Apakah ada masalah atau tidak. “Loh, kang kok sowan ke Kyai Ismail?”. Dia menjawab, “Ah hanya ngalap barokah kok kang”. Dulu dia bercerita kepadaku, bahwa kebiasaannya sowan kepada kyai telah banyak merubah hidupnya. Usaha jualan kambingnya makin maju. Ditambah lagi, istrinya yang buka warung juga banyak pelanggannya. Anak-anak mereka rajin mengaji, shalatnya rutin dan berbagai macam kebaikan-kebaikan yang diperolehnya.

Aku pernah bertanya, apa saja yang diberikan oleh kyai-kyai itu kepadanya. “Yah, waktu aku jualan kambing dulu itu sulit laku. Aku sowan ke Kyai Yahya, dia memberikan wirid, membaca alam nasyroh sebanyak 12 kali setiap hari, kamu tahu kang? Setelah dua minggu aku lakukan, kok yang biasanya sulit membeli kambingku, malah datang ke rumah.” Itu adalah salah satu contoh manfaat yang dia ceritakan kepadaku, dari hasil kebiasaannya sowan kepada kyai.

Katanya juga, waktu anak perempuannya sakit panas, dia sowan ke Kyai Suleman, diberi air untuk diminumkan anaknya. Tak lama, sembuh. Pokoknya bagi Kang Yatiman, banyak manfaat hasil dari sowan kepada kyai. Itu termasuk kemajuan warung istrinya yang sekarang. Kemudahan hidup dan kemakmuran begitu melimpah setelah Kang Yatiman rutin sowan kepada kyai-kyai. Memang, dia tidak pernah lupa bersedekah atau memberi amplop ala kadarnya kepada kyai-kyai tersebut.

Meski tidak ada masalah atau keperluan, Kang Yatiman tetap sowan kepada kyai. Waktunya bisa tiap dua hari atau bahkan tiap hari dalam seminggu. Rasanya tidak enak jauh dari kyai. Pernah dia, beberapa kali lupa sowan ke kyai karena harus mencari kambing ke daerah untuk dijual. Yang terjadi adalah dia begitu sulit mendapatkan kambing. Akhirnya dia teringat bahwa masalah tersebut diakibatkan karena dia lupa sowan kepada kyai. Harusnya dia mencari kyai di sekitar daerah yang dikunjungi, tapi dia benar-benar lupa. Para blantik menjadi jujugannya. Saat kejadian itu, warung istrinya juga ndilalah menjadi sepi pengunjung. Kemudian Kang Yatiman berkesimpulan bahwa sowan ke kyai adalah cara terbaik menjaga kestabilan hidup dan keluarganya. Termasuk kemakmurannya.

Lama sekali, aku tidak berjumpa dengannya, ya kira-kira selama dia menekuni kebiasaannya itu. Maklum, aku bukan kyai atau kalangan santri yang bisa diharapkan berkahnya. Aku pikir, hanya diriku yang mendapat perlakuan seperti itu. Rupanya teman-teman yang dulu sering jagongan dengannya juga lama tidak dikunjungi. Persis sama denganku. Beberapa waktu lalu, pernah kutanyakan kepada Kang Yatiman, “Kang, apa kamu sudah lupa sama aku? Sama teman-teman dulu yang sering jagongan, sering mendengar keluh kesahmu?”. Dengan agak berat dia menjawab, “Kang Sakur, bukan begitu. Aku hanya ingin menjaga hatiku, keimananku. Kedekatanku kepada kyai-kyai selama ini telah menyelamatkan kehidupanku. Dulu banyak dosa yang bisa kulakukan tiap hari. Sekarang, itu sudah jauh bisa kutinggalkan, karena ada kyai-kyai yang selama ini menasehatiku, mengingatkanku. Dan jangan lupa kang, kehidupanku jelas berubah lebih baik,” jawaban yang kedengarannya memukul batin persahabatanku. Namun aku tetap berusaha tenang untuk mendengarnya sambil menyeruput kopi dan menghisap rokok. Dia masih melanjutkan jawabannya, “Maaf lho kang Sakur, bukan kemudian aku menilai sampeyan itu tidak baik, menyebabkan aku jadi orang tidak baik, bukan, bukan seperti itu. Menurut pengalamanku, setelah aku sowan ke kyai-kyai dan dekat dengan mereka, aku jadi lebih tentram, lebih makmur kehidupanku dan anak-anakku, jadi lebih giat beribadah”.

Tiba-tiba kami dengar suara salam, “Assalamu ‘alaikum...”, kuberanjak dari kursi dan menyambutnya, “wa alaikum salam.....oh....sampean to kang, monggo-monggo”. Kang Yatiman yang semula duduk di kursi, sontak berdiri dan menyalami tamu yang baru kupersilakan masuk, “Assalamu ‘alaikum kyai...... kok kyai sudah kenal sama Kang Sakur?”.

“Loh, gak kenal gimana to Man? Wong dia itu temanku ngaji dulu”, jawab Kyai Yahya yang membuat Kang Yatiman kaget dan wajahnya penuh selidik. Aku hanya diam dan tersenyum. “Kamu sendiri, di sini lah opo Man?”, “Ya, main-main saja kyai”, jawab segera Kang Yatiman. “Lha yo eman to Man, wong sama Kang Sakur kok mung dolan?”, kulihat wajah Kang Yatiman semakin penuh selidik.

“Sudah-sudah, monggo Kang Yahya, pinarak,” sergahku memotong pembicaraan keduanya. Setelah duduk, mereka kutinggalkan. Ke belakang aku membuat kopi kesukaan Kang Yahya. Namun, kudengar juga Kang Ilyas dengan nada agak keras, “Man, weruho yo, Kang Sakur itu dulu yang ngasih wirid alam nasyroh itu. Dulu waktu Kyai Dasuki sebelum sedo, sebelum sedo beliau mewasiatkan wirid itu kepada Kang Sakur, meski aku ada disebelahnya. Namun, Kang Sakur memohon kepada Kyai Dasuki agar aku juga ikut diijazahi. Atas permintaannya itu, akhirnya dapat ijazahnya. Jadi secara tidak langsung sebenarnya Kang Sakur itu yang memberi wirid itu kepadaku, dan pantas jadi guruku,”.

“Ah, ndak usah buka-buka rahasia to kang...”, aku segera memutus kata-kata Kang Yahya, “yo tetep sampean mendapat ijazah itu, mosok yang ada dua orang kok hanya aku yang dikasih kan ya tidak elok. Maka saya minta sampean juga diberi ijazah”. Sambil menaruh kopi itu di hadapan Kang Yahya, dia memotong omonganku, “Ah ya ndak gitu kang, wong dari dulu Kyai Dasuki itu pengennya sampean jadi penerusnya. Sampean saja yang ndak mau jadi kyai. Maunya jadi petani saja”. Seketika itu berubah wajah Kang Yatiman, dan dalam pembicaraan berikutnya dia menggunakan bahasa halus kepadaku. Agar suasana tetap cair, aku katakan kepada Kang Yatiman, “sudah dak usah sungkan Kang, kyai atau bukan itu kan hanya sebutan to, yang penting kan ilmu dan amalnya to?”.

Sejak kejadian itu, Kang Yatiman berbeda perlakuannya kepadaku. Bahkan setiap mau sowan kepada Kyai Yahya dia selalu menanyakan dulu hal-hal yang nanti akan ditanyakan kepada Kyai Yahya.

 

 

Bathara Kala di Jaman Ini

Para pinisepuh dulu memperingatkan akan bahaya Kala, yakni makhluk menyeramkan pemakan anak manusia. Hampir semua menjadi sasaran dan korbannya. Itu bisa dihindari dengan cara melakukan ruwat kepada anak-anak. Akhir-akhir ini, bahkan sebelumnya banyak orang tua menolak peringatan tersebut disebabkan karena ketidaksetujuannya atas cara atau ritus yang dilakukan. Kemudian meluas pada substansi nasehat para pinisepuh.

Kala, di zaman ini berubah menjadi para pelaku pedophilia. Semakin banyak terungkap anak-anak yang menjadi korban pencabulan dan pelecahan seksual. Tak peduli itu di kampung atau bahkan di sebuah lingkungan sekolah, bahkan terjaga dengan standar kemanan yang super ketat.

Dulu biasanya anak-anak itu diruwat dengan berbagai cara, dari yang sederhana sampai yang paling rumit. Ada yang hanya sekedar menyajikan bubur abang-putih, kemudian dibagibagi kepada tetangga. Atau menyajikan berbagai aneka makanan yang dijadikan sajian para tetangga. Cara ini sebenarnya adalah bentuk sedekah, mendekatkan anak-anak kepada nilai sosial, keterjagaan secara sistem sosial bersama. Namun apalah saat ini. Anak-anak diajari untuk menyendiri, selfies dan orang tua juga mengabaikan kekompakan sosial.

Wayang merupakan salah satu media ruwatan yang paling populer. Lakon Kala menjadi favoritnya. Anak-anak dan orang tua dulu selalu diingatkan dan diingatkan akan bahaya serta ancaman terhadap anak-anak. Pertunjukan wayang adalah media mengingatkan para orang tua.

Do’a wetonan, harian dan sebagainya yang ditujukan kepada anak-anak begitu diperhatikan oleh para pinisepuh. Bahwa setiap anak-anak punya saudara, punya kawan, maka disatukanlah perkawanan tersebut. Tidak dibiarkan bermain sendiri, tidak jelas temannya atau dilepas pada komunitas yang tidak jelas.

Ruwatan pada akhirnya tidak sekedar rawatan (merawat). Tidak sekedar, sudah disekolahkan, sudah diberi uang saku, sudah dibelikan ini dan itu. Ada sisi ruhani pribadi dan ruhani sosial yang tetap perlu dijaga.

Anda boleh tidak setuju dengan wayang, dengan bancaan ataupun dengan sajian kembang dan lainnya, tetapi ingatlah anda tidak boleh melupakan bersedekah untuk anak, mendoakan anak, merawat ruhaninya, mendidik akan adanya ancaman Kala yang setiap waktu dapat menyerang.

Wallahu ‘alamu

PENDIDIKAN Itu ...

PENDIDIKAN itu bukan pendudukan yang bertujuan mendominasi atau memaksakan kehendak atas peserta didik. Tetapi sebuah proses membentuk, layaknya seorang Empu yang mengolah dan membentuk berbagai bahan menjadi keris. Seorang empu tak akan membuat keris dalam bentuk dirinya. Ia bisa membuat keris sesuai dengan karakter dan fungsinya yang hendak diwujudkan.

PENDIDIKAN itu bukan pendadakan yang hanya bernafsu instan dalam perwujudan. Tetapi sebuah proses yang membutuhkan waktu dan tahapan di dalamnya.

PENDIDIKAN itu bukan pendodokan yang berhasrat memoles diri. Tetapi sebuah upaya membentuk jati diri yang kuat. Para pendidik bukanlah tukang ketog mejik yang mampu memoles dan merias.

Selamat, Hardiknas

Menjadi Wali

Biasanya orang mengajukan salah satu ciri utama seseorang menjadi wali itu adalah adanya karomah dalam pribadi. Karomah boleh disebut sebagai keistimewaan seseorang sebagai hadiah dari Allah SWT. Wujudnya bisa macam-macam. Sedangkan karomah itu sendiri merupakan tanda atau sinyal agar bagi penerima/pemiliknya menjadi semakin hati-hati dan mendaki jalan ruhaninya. Sederhananya seorang wali pasti memiliki karomah. Begitu ringkasnya.

Lantas apakah itu hanya dimiliki mereka yang ada di masa lampau? Tentu tidak. Dawuh : AL ISTIQOMATU KHOIRUN MIN ALFI KAROMAH. (Istiqomah itu lebih baik dari 1000 karomah). Artinya sesiapapun memiliki istiqomah, maka sebenarnya dia mendapatkan karomah yang banyak. Konsep ini tentu berlaku bagi sesiapa saja dan dalam konteks yang luas.

Jika anda berharap mendapatkan keistimewaan dalam bidang tulis menulis, menyanyi atau lainnya, maka salah satu kuncinya adalah ISTIQOMAH. Dalam era sekarang ini, ISTIQOMAH dapat dijabarkan menjadi konsistensi, kontinuitas, keajegan. Bahkan, mereka yang ahli mencuri sekalipun, dengan berbagai keahliannya, didasarkan dan diraih dengan ISTIQOMAH.

Maka, begitulah kemudian, akan muncul istilah wali setan, wali murid, wali kelas, wali allah dan sebagainya. Bahkan anda yang begitu konsisten membuat status di facebook dengan pembahasan tertentu bisa menjadi walinya.

Sederhana bukan, menjadi wali?

 

 

 

 

 

 

 

Koalisi Birahi

Kisah tentang ambisi manusia atas kekuasaan (politik) demikian apik dikisahkan dalam Mahabaratha. Begitu sederhana kelihatan pada awalnya. Bahwa urusan nafsu birahi, kemudian diresmikan dalam sebuah pernikahan. Namun, pada hakikatnya adalah kejadian luar biasa. Kelahiran manusia. Syakuntala melahirkan anak Dushmanta, lelaki yang telah merayunya, menjanjikannya kedudukan permaisuri di istananya.

Satu hal. Ya bisa dibilang begitu, permintaan Syakuntala pada Dushmanta, sehingga mau menerima pinangannya. “Dengarkanlah wahai pria utama keturunan bangsa Puru, ada syarat-syarat yang harus Paduka penuhi! Berjanjilah bahwa apa pun yang hamba pinta akan Paduka kabulkan. Anak laki-laki yang akan hamba lahirkan hendaknya kelak menjadi ahli waris kerajaan Paduka. Itulah syarat hamba! Wahai Raja Dusmanta, jika Tuanku menerima syarat ini, hamba bersedia menikah sekarang juga”. Permintaan ini diulang dihadapan Rsi Kanwa ayahnya meminta keturunannya dengan Dushmanta tidak akan pernah kehilangan kerajaannya dan ternama di seluruh dunia. Begitulah ambisi Syakuntala, pernikahan demi kuasa dunia.

Koalisi politik atau apapun kerajaan atau pemerintahan yang dibangun atas “pernikahan” karna godaan “kecantikan rupa mempelai” semata akan menjermuskan pada problematika dan tragedi umat manusia. Dalam mahabaratha, anda bisa baca, bagaimana Hastinapura kemudian menjadi ajang perebutan kuasa, kudeta, perang dan pembasmian keturunan. Anak mereka adalah Baratha, leluhur keluarga Baratha. Harapan hendak jaya dan kekal berkuasa, pada akhirnya berbuah dendam dan perang Mahabaratha.

Demikianlah, tatanan politik jika didasari atas koalisi “nafsu birahi”. Hanya sekedar melihat kecantikan hasil hitung suara, keseksian pendukung partainya, tanpa didasari atas ketulusan kecintaan kepada bangsa. Koalisi semacam itu hanya akan melahirkan generasi yang penuh ambisi kuasa dan dendam pada sesama. Kelak kemudian hanya menyisakan si Parikesit yang sudah tak punya siapa-siapa apalagi kemegahan istana...

 

 

Aku....Rapopo

aku raiso nulis puisi yang bikin sensi
yo Aku ... rapopo
aku raiso bergaya tentara bikin bangga
yo Aku ... rapopo
aku raiso nyanyi bikin semua happy
yo Aku ... rapopo
aku raiso ngaji bikin puas santri
yo Aku ... rapopo
aku raiso beli tivi bikin acara sendiri
yo Aku ... rapopo

koe isopopo
aku raisopopo
Aku ... yo rapopo

memang koe karo aku kui sopo?
pancen aku karo koe opopo iso?

isoku mung rapopo diapakapakno
isoku mung mugomugo dadiopo
mestine yo Aku... rapopo

02:22 sby 18042014 (sedikit diedit)

MH370 : World Helo

Saya tidak begitu kaget, ketika pesawat MH370 hilang, dan diduga ada di samudra hindia, berkaitan dengan suksesi di Indonesia atau soal politik ekonomi global, khususnya soal SDA.

Anda akan menemukan fakta menarik lainnya. Mengapa pesawat dengan nomor itu yang dipilih? MH370 ! Ini jelas pesan buat orang Indonesia. Kalau anda akrab dengan wordpress atau blog lain, biasanya ketika sukses membuat blog baru...uncul "Hello World..." tetapi ini disusun terbalik (ngikutin lisan Indonesia)... jadi "World H370 (dibalik ya....).

Kalau toh anda menduga ini diskenario, maka pelakunya bisa jadi OLEH W. (073H W dari MH370). Soal siapa W..... yg jelas Wallahu 'alamu.

atau anda berspekulasi, capres yang disambut dunia adalah "Word H3 is 70....." lanjutkan sendiri......

Jadi, "World Hello....." Indonesia Hello....siap2 saja ya....

Ha Ha Ha Ha....... inilah othak-athiknya......ilmu tuwa di tanah Jawa......

TV Kaum Santri

TV9 sudah memasuki pada usia 4 tahun. Pencapain audience share yang menempati posisi kedua di antara tv lokal di Jawa Timur, hal tersebut nampak luar biasa. Bukan karena dukungan infrastruktur atau dana yang besar itu semua tercapai. Semata-mata itu semua karena pertolongan Allah swt. Kami selalu berpegang teguh pada kaidah : " Idza jaa'a nashrullahi ... fasabbih bihamdi robbika wastaghfir, innahu kaana tawwab.

Untuk mengenal sejarah dan profil TV9, silakan download ebook berikut. eBook TV Kaum Santri

Tak Semisteri Malam Hari

Pada akhirnya aku menjumpai malam. Meski seharian banyak wajah kutemukan. Banyak aktivitas kujalani. Banyak jalan kulali. Sekali lagi akhirnya wajah malam hadir kembali. Di bagian bumi yang di sini. Di belahan bumi yang di sana. Malam itu pasti datang menghampiri.

Rasa tenang kadang menemani. Seringkali gundahgelisah mengiringi. Perjumpaanku pada malam. Berselimut takut, beralas waswas. Malam tlah mengundang temanteman. Tak sendirian ku bercumbu dengan malam.

Bila saat itu, malam nampak cantik dan menggoda maka kuberanikan mengajak bermesraan. Bahkan kulakukan senggama tuk capai kenikmatan. Puncaknya, wajah malam tak kelihatan. Hanya rasa puas tak terperikan.

Wajah jelek, hanyalah alasan untuk menolak malam. Namun, tak kuasa kulakukan. Karena malam adalah kepastian. Rontaan, jeritan ataupun makian tak mampu merubah wajahnya. Yang kelam.

Malam tlah berganti pagi. Berlanjut siang dan sore hari. Tetap saja malam menjumpai, menghampiri. Wajah tlah berganti. Namun, tak semisteri wajah malam hari.

Surabaya 30 Maret 2014,
23:49
 

Wayang : Hasil Kolaborasi Ulama Dan Umara

Soal wayang, riwayatnya dimulai tahun 861 M. Kisah pewayangan kemudian digambar di candi-candi. Yang memulai adalah prabu Jayabaya. Kisah-kisah pada candi tersebut menjadi sumber cerita pewayangan. Perkembangannya semakin maju. Kemudian, wayang (gambar) sudah diiringi oleh musik gamelan, tembang slendro dan tembang gede. Wayang-wayang diwadahi dalam kotak kayu jati. Itu dilakukan oleh Raden Panji, bergelar Prabu Suryahamisesa dari kerajaan besar Jenggala.

Memasuki tahun 1166, wayang sudah dalam gambaran Jawa dilakukan oleh prabu Suryahamiluhur. Pada masa Pajajaran, sekitar tahun 1284, muncul wayang beber. Pertunjukannya dengan menggelar/menggulung gambar wayang. Kanan kiri disangga kayu dan diiringi oleh tabuhan rebab.

Pada masa Majapahit, wayang sudah tidak beber (gulungan), tetapi sudah bentuk sendiri-sendiri. Perkembangan berikutnya wayang bentuknya miring, dengan pulas warna hitam. Raksasa digambar dengan mata dua, selain itu dengan gambar mata satu. Perubahan tersebut dilakukan oleh Raden Fatah. Sunan Giri juga ikut menambah jumlah wayangnya, termasuk bentuk kera bermata dua. Sunan Bonang ikut menambah gajah. Sultan Demak II, menambah panggungnya. Sunan Kalijaga menambah kelir, blencong dan gedebog. Masa tahun 1443 M wayang kulit sudah ditatah, mata dan telinga lubang. Pada masa Sultan Trenggono ditambahi gelang, anting dan kalung kelat bahu. Ratu Runggul memberi tambahan rambut, gelung.

Sunan Giri menciptakan wayang gedog, dengan iringan suluk, dari mijil sampai megatruh. Sunan Kudus memulai adanya wayang klitik. Sunan Kalijaga sekitar tahun 1508 membuat gambar wayang dengan warna merah dan hitam sebagai topeng dari wayang-wayang.

 

Mempersiapkan Nusantara di Era Globalisasi

Meski tidak sesederhana seperti apa yang kutulis, namun ijinkan saya untuk menyederhanakannya sesuai kapasitas dan sudut pandang saya.Tahun 1400an bisa dibilang sebagai masa globalisasi yang lebih masif, dibanding dengan masa-masa sebelumnya. Kegiatan utama masa-masa itu adalah perluasan wilayah jajahan, pengejaran kepada harta dunia dan penguasaan manusia. Itulah gambaran Eropa masa itu. Dipahami bahwa masa yang disebut renaisance itu pada ujungnya adalah pencapaian kemajuan akliyah dan duniawiyah. Pengumbaran hawa nafsu keserakahan subur-suburnya saat itu.

Di belahan bumi lain, kejayaan Islam memasuki masa-masa suramnya. Seiring dengan kolonialisme bangsa Eropa, neger-negeri Islam di Timur Tengah jatuh kepangkuan nafsu mengejar “kemakmuran”.

Namun, di belahan dunia yang tak dikenal banyak orang, bahkan salah sebut, muncul dua konstruksi besar pembangunan sebuah bangsa. Yakni bangsa Nusantara dan Amerika. Bangsa Amerika disebut bangsa India (dikira Hindia), sementara Nusantara disebut Hindia Jauh (Timur). Suku asli Amerika berjuang melawan kolonialisme, meski kemudian jatuh dan “terusir”. Berikutnya, Amerika menjadi bangsa yang menampilkan sosok nafsu Manusia penguasa dunia. Sampai hari ini itu tetap berlanjut. Dengar-dengar saat ini Amerika memasuki masa  sulit seperti saat tahun 1940-an (mengalami kehancuran akibat serangan Jepang). Dan perang global seperti pada tahun 1400-an akan muncul lagi.

Sementara di Nusantara, tahun 1400an, tak ada kekuasaan dominan. Yang datang justru para ulama, bukan para pemburu harta karun. Bertahap demi tahap, yang dibangun adalah mental spiritual. Bangsa yang sudah terbagi-bagi dalam wilayah dan kekuasaan kecil-kecil, dibangunsadarkan akan kemanusiaan, mengenal identitas sebagai manusia. Maka hasilnya adalah pada tahun 1940-an bangsa Nusantara bangkit menjadi sebuah Bangsa Kesatuan, Negara Republik Indonesia.

Apa yang ditanam tahun 1400-an di Amerika pada periode 1940-an melahirkan bangsa Amerika yang hancur akibat pengejaran “kemakmuran duniawi”. Lagi-lagi nafsu itu menggejala menunjukkan kebangkitan pengejaran itu dalam wajah baru di era saat ini. Sementara bangsa Nusantara (NKRI) juga memasuki masa gawat, terancam perpecahan, terkotak-kotak.

Apakah bangsa Nusantara akan bangkit seperti di saat 1400-an dulu, dengan cara kembali kepada jatidiri kemanusiaan, melalui ajaran adiluhung para ulama (wali) di Nusantara? Insya Allah dengan kembali menempuh jalan para wali dahulu, bangsa Nusantara akan selamat untuk yang ke sekian kali. Globalisasi, kompetisi, dan perang akan dimenangkan oleh mereka yang bermental kuat (berkeinginan luhur) dan selalu yakin atas Berkah Rahmat Tuhan Yang Mahaesa.

 

 

 

 

 

 

Indonesia dari kata Hindunaswa

Aku pernah mendengar, bahwa kata Indonesia, nama negara kita itu berasal dari dua kata, yaitu Hindu dan Naswa.

Kata Hindu sendiri bukan merujuk pada nama sebuah agama, tetapi lebih pada sebuah tempat. Dalam sebagian sejarah, Hindu diartikan sebagai India. Maka ketika Belanda menyebut Nusantara (Indonesia) disebut Hindia Timur atau Hindia kepulauan. Sebagai tempat bisa dirujukkan pada India ini. Namun bagi sebagian orang Hindu, kata Hindu tidak merujuk pada sebuah tempat tertentu, tetapi pada keterangan tentang pencapaian pengetahuan puncak seperti yang dicapai oleh Khrisna dan melahirkan Dharma. Dus, Hindu bisa dikatakan pencerahan, pengetahuan dan peradaban.

Kata Naswa, dapat diartikan semangat dan juga bisa diartikan sebagai tempat diantara dua sungai (laut). Kata Naswa adalah kata perempuan. Dengan demikian, Naswa bisa diartikan perempuan, semangat dan tempat diantara dua sungai.

Hindunaswa, dengan demikian dapat dikatakan sebagai tempat (diantara dua sungai/laut) yang mana menjadi ibu/perempuan dari sebuah pencerahan, pengetahuan dan peradaban. Singkat kata, Hindunaswa adalah tempat yang menjanjikan peradaban yang tinggi. Jadi, nama Indonesia diberikan dengan harapan seperti demikian.

Mungkin, itulah mengapa para sultan, raja di Nuswantara dahulu ketika Republik Indonesia akan berdiri, rela menyerahkan kedaulatannya buat negeri ini.

Rambut dan Kuku

Mengapa rambut dan kuku diciptakan tak ada darah? saat dipotong tak mengucurkan darah, sebab luka.

Itulah pertanda soal waktu bagi manusia. dengan meotong kuku atau rambut manusia diajarkan tentang suatu masa. Tentang sebuah perubahan dan perkembangan. Meski tak berdarah, berdaging dan bertulang ia tetap tumbuh, karena ia akan mengingatkan manusia akan umurnya.

Tetapi sering kali, manusia tergoda untuk memolesnya atau menghiasnya yang pada akhirnya lupa pada waktu dan usia. Karena tak mau menerima yang sebenarnya.

Maka rawatlah, apalagi di hari Jum'at, jika kita ingat akan usia, maka hari itu adalah hari mulia melakukan kebaikan.

Rahasia dibalik Nama Jawa

Ada pemaknaan lain berkait sebutan atau kata JAWA. Ada yang menyebutnya dari Jewish, ada yg menghubungkan dengan Jwawut, ada pula yang memaknai seperti yang pernah saya uraikan nJAga jiWA. Intinya adalah pada hidup dan keselamatan.
Namun masih ada lagi cara memaknai JAWA didasarkan pada hubungannya dengan neptu hari dan pasaran.

Perlu saya sebutkan bahwa kata Jawa, sebenarnya sebagian dari rangkaian 3 kata, yakni : Jawa, Allah, Sopo. Ringkasnya bahwa orang hidup itu hendaknya Jowo karo Gusti Allah, Sopo gustine sing sejati, sejatine Hyang Agesang.

Kata Jawa, diambil dari pasaran Jum’at Wage (Ju/Ja dan Wa). Jum’at berneptu 6 dan wage berneptu 4, jumlah total 10. Pun demikian dengan Allah diambil dari A (Ahad) lah (Legi), neptunya adalah 5+5=10. Juga Seloso Pon, berneptu 10 (3+7). Simbol angka 10 adalah angka kesempurnaan. Itulah kesempurnaan hidup ketika jowo marang gustine kui sopo sakbenere. Dan tiga hari tersebut adalah 3 hari dengan jumlah neptu 10, dan urutannya selisih 1 hari, Jum’at wage, disusul Ahad legi (setelah melewati sabtu kliwon), kemudian selasa pon (setelah melewati sening pahing). Unik bukan, rangkaian ini???

Dus, kemudian apa yang menjadi tujuan hidup?, maka untuk mencari kesejatian hidup, njawani kepada gusti yang sejati.

Atau anda punya pemahaman lain?

*) disarikreasikan dari tulisan orang di
http://exprawjavalife.blogspot.com/2013/07/sastra-jendra-serat-kalimasada.html

Kembang Ratri

kembang puspo jati ing ratri
tuwuh saking beninge ati
minangka dawuhe gusti
njaga slametiro kaki

tunggal wayah, dawah wanci
titi titenono puspo jati
tan muruk kang nggorohi
arisono galih medar wahyu jati

tinompo menebing pikir
lumah jembare manah
alus lampahe budi
nggegayuh begja bebungah

Asma kang Pinuji

arume asma kang pinuji
dadi aremarem ati
ngeremrem polahing budi
kang eram marang dumadi
merem dumateng sesami
ora lerem ngudi birahi

remen pangalem puji
aluming rahsa ati
nuruti uleme jalmi
tansah mung gelam gelem

Sebutan Kawulo

Sebutan KAWULO...yang kemudian dibiasakan menjadi KULO, sebenarnya menyimpan maksud dan tujuan dalam pendidikan karakter kepribadian. Tidak hanya persoalan itu bahasa halus (kromo) atau biasa (madya). Ketika saya kemudian menyebut diri sendiri, Kawulo, maka dalam hal ini ada konteks, ada persepsi, ada subyek lain yang lebih diunggulkan. Berlanjut, tentu sikap saya akan lebih menghormati kepada subyek tersebut.

Di lain hal, penyebutan diri sebagai Kawulo, tentu menempatkan saya sebagai, seorang hamba, abdi, pelayan bagi subyek lain tersebut. Inilah yang rupanya sering dilupakan. Dari hal ini, kemudian sikap penghormatan menjadi sebuah konsekuensi logis belaka.

Dengan sebutan Kulo, meski itu masih terkesan halus, akan kehilangan makna filosofinya. Kulo kemudian tidak dirujukkan atau diasosiasikan dengan hal lain, berbeda ketika dengan sebutan Kawulo.

Seiring dengan pemilihan sebutan Kulo yang lebih lumrah dan jamak, maka tentu, nilai filosofis yang membentuk karakter sebagai hamba, pelayan akan semakin luntur.

Kulo pun, pada akhirnya digantikan dengan aku, atau ingsun.......

Mengenal Ajaran ke-Aswaja-an dalam Suluk Ngabdul Salam

Manusia itu secara sederhana terdiri dari unsur fisik dan psikis, unsur raga (jisim) dan jiwa. Leluhur orang Jawa sangat peduli menggali filosofi dari keduanya. Hal ini sebagai upaya untuk mengenal diri sendiri, sebagai manusia yang seutuhnya. Kaitannya dengan Tuhan, maka dalam diri manusia ini ada unsur yang keIlahian (jiwa) dan kemanusiaan (raga).

Serat Suluk Ngabdul Salam (kisaran 1913) mencatat apa yang menjadi keyakinan masyarakat waktu itu. Apa yang dijelaskan mengenai dua unsur manusia tersebut menggambarkan adanya perpaduan berbagai ajaran yang berkembang dan sudah diterima dalam masyarakat. Dalam Pupuh VI (Dhandanggulo) disebutkan :

Sun jarwani caritané kaki/ kitab usul ingkang amicara/ tarékat iku arané/ mangarep anapsahu/ wahdat ngaran pra bahu singgih/ sapa wruh ing awaknya/ temen-temen weruh/ marang kang murba misésa/ wiwitané saking asalira kaki/ kang nembelas prakara//

Saya jelaskan ceritanya/ dari kitab asal yang mengatakan/ tarekat itu sebutannya/ di depan nafsunya/ wahdat dinamakan derajat yang mulia/ siapa yang tahu terhadap badannya/ benar-benar tahu/ pada yang menguasai dunia/ asalnya dari diri kamu/ yang enam belas perkara//

16 hal itu dibagi menjadi dua besar, yaitu unsur raga (manusia) berjumlah delapan dan yang jiwa (Ilahi) juga delapan. Demikianlah pembagiannya :

Pertama, unsur raga (manusia), dibagi menjadi dua, dimana keduanya adalah pasangan.
a)    Dari bapak     = 4 (otot, tulang, rambut dan sumsu)
b)    Dari ibu          = 4 (kulit, darah, daging dan organ dalam)

Kedua, unsur jiwa (Ilahiah), dibagi menjadi dua besar, yaitu nyawa/suksma dan nafsu.
1)    Sukma purba : berupa akal nyata— Nafsunya Lawwamah, disebut juga:
a)    jiwa yang awal
b)    Imam hanafi,
c)    Letaknya di utara (ketika menghadap baitullah)
d)    Dewanya Wisnu,
e)    Harinya  wage
f)     Malaikat jibril, malaikat hati
g)    Letaknya di Lisan pintu awal, jika baik asalnya dari jiwa awal, jika buruk dari luwamah (pembantu) hanya makan tidur, sakit hati, marah, kegemarannya mengakibatkan amarah

2)    Sukma langgeng, akal—Nafsunya Amarah, disebut juga :
a)    Iman maliki
b)    Letaknya di sebelah barat ka’bah
c)    Dewanya, Kamajaya, warnanya kuning
d)    Harinya Pon
e)    Disebut malaikat mikail, malaikat air
f)     Pintunya di telinga, yang menerima itu sukma langgeng

3)    Suksma Wasesa : Alam Ingsun, budi, --Nafsunya Sufiyah, disebut juga:
a)    Imam hambali
b)    Sebelah selatan
c)    Berjuluk malaikat israfil, malaikat angin
d)    Pintunya ada di mata

4)    Sukma Luhur : intinya iman sebagai nyawa, darah mani, --Nafsunya Mutmainah, dengan sebutan :
a)    Imam Syafii
b)    Dewanya Mahadewa
c)    Letaknya di Timur
d)    Malaikatnya Izrail, yang menguasai rakyat kecil
e)    Harinya Legi

Jika dicermati, maka ada upaya untuk mengenalkan dan memadukan antara keberadaan Imam Madzhab dalam Fiqih (Aswaja), dengan pengenalan  hari (pasaran) yang sudah berkembang di Jawa, dan pada penanggalan kedewaan dan arah mata angin dan wataknya.

Sebenarnya, masih banyak sekali ajaran dalam Suluk Ngabdul Salam tersebut, namun mengenal diri sendiri yang terdiri dari 16 unsur ini sudah menjadi cukup untuk modal awal menuju insan kamil.

Kemuliaan Maulid dalam SERAT PARAS

Dalam Pupuh Sinom dan Asmarandan (Pupuh IV dan V) SERAT PARAS karya Sunan Kalijaga, menyatakan bahwa kisah Nabi Muhammad merupakan pusaka, jimat yang harus dijaga, pegang erat-erat dengan jemari.

Barang siapa yang suka cita atas kelahirannya, Nabi Muhammad, akan diberi rahmat dan kelak dosanya akan diampuni. Akan diringankan saat sakaratul maut, bagi siapa saja yang membacanya, mendengarnya.

//Sun luputaken ing benjing / ing nalikane sekarat / lagi den ambil nyawane / benjing sun wehi rahmat / lan sing sapa amacaha / miwah sekehe kang angrungu / sipat nabi caritanya//

//Miwah ta ingkang anulis / atwa simpena ika / senejan nyiliha bahe / miwah ingkang anggawaha / atawa muru kapisan / miwah sekehe kang angrungu / caritane jeng nabi paras//

Bahkan Allah akan menjaga dari rencana jin dan iblis, asal anda menjaganya, membacanya kisah tentang baginda Nabi Muhammad. Atau simpanlah kisah itu di rumah anda, akan dijauhkan dari bahaya. Kisah Nabi, jika dijadikan lelaku, maka anda akan dikasihi oleh siapapun. Siapapun yang mebaca kisah Beliau, pada hari yang sama akan diturunkan rahmat, rejeki tidak habis-habis dan dimudahkan.

//Dateng carita puniki / tetkala nabi pinaras / katurunan iku mangko / rohmating wong tunggal dina / lan rijenike perapta[48] / esuk sore ora surud-surud / peraptane[49] teka ya gampang//

 

==Monggo siapa saja yang akan lebih mendalaminya baca saja naskah SERAT PARAS...tanya saja sama Mbah Google...pasti dikasih tahu

 

 

 

Nama Amerika : Untold Story

Ini adalah sebuah "untold story" tentang Amerika. Nama Amerika bukanlah diambil dari nama Amerigo Vespucci ketika dia melakukan perjalanan ke "dunia luar" pada tahun 1400-an. Tahukah anda, darimana kata Amerika?

Jauh sebelum itu, sebenarnya, banyak pendatang muslim dari belahan dunia lain, seperti Afrika, Asia, Eropa (spanyol) yang sudah masuk ke pedalaman amerika. Dan kebetulan mereka adalah muslim. Suku cheroke diyakini telah memeluk Islam jauh sebelum Colombus ataupun Amerigo Vespucci datang ke sana.

Kehidupan suku-suku asli (Indian lazimnya disebut) berjalan seperti biasa. Namun kedatangan bangsa-bangsa eropa dengan semboyan kapitalisme, maka nafsu menguasai amerika terjadi. Dalam dialognya, kemudian muncul perkembangan dan pernyataan, bahwa para pendatang adalah penguasa mereka, "Aana Amiruka".......lambat laun, daratan dengan suku-suku asli tersebut dikuasai, dan mereka benar-benar menjadi penguasa. benar-benar menjadi Amir mereka.......So....nama Amerika menjadi sebutan umum untuk menyebut mereka para penakluk dan penguasa.

Dus....zaman kini, Amerika begitu ngotot berkuasa di tanah arab dan sekitarnya. Ini karena adanya kemudahan menyebut dirinya....Ana tetap "Amiruka"..........

Sialnya, Amerika pusing menguasai Indonesia, apalagi kemudian ketemu orang Jawa. "Siapa sampean?", dijawab, "Saya Amerika", kemudian, "Oh....tiyang meriko to...", "kulo tiyang meriki".......Pusingya semakin menjadi-jadi mendengar jawaban itu.

Maka timbullah siasat......untuk menguasainya, Amerika menggunakan rekannya, "tiyang mriki"....untuk berkuasa....toh "dari mriko tetap bisa berkuasa".......