MENGENALI DIRI KEMBALI : PINTU KELUAR YANG SATU

Tak akan pernah habis menggali pelajaran dari diri sendiri. Manusia begitu sempurna diciptakan sebagai pemberi pelajaran dan nasehat. Menjadi cermin, menjadi inspirasi bagi mereka yang suka akan hikmah dan berani mengenal lebih dalam akan dirinya sendiri.



Berbekal indera, manusia diharapkan menjadi makhluk yang memburu ilmu pengetahuan, melatih kecerdasan dan menguasainya. Melalui mata, mulut, telinga, hidung, kulit, tangan, kaki dan sebagainya manusia memperoleh ilmu yang sangat beragam dan banyak. Manusia seakan-akan menjadi sebuah perpustakaan yang berjalan. Setiap orang mempunyai kapasitas dan daya tampung. Setiap manusia mempunyai “hardsic”nya untuk menampung dan mengolah semua ilmu pengetahuan yang diserap dan dikumpulkan.



Itu semua tidak bisa ditampilkan atau disajikan begitu saja. Karena saking banyaknya, ataupun karena kepentingan untuk mengolahnya dan menyajikannya. Lagi-lagi LISAN yang menjadi andalan untuk menyajikannya. Lisan dalam bentuk kalimat ataupun tulisan. Selalu saja banyak pintu untuk memasukkan ke dalam diri manusia, tetapi hanya ada sedikit pintu untuk mengeluarkannya. Ini mengajarkan kita untuk sangat berhati-hati dalam menyajikan dan menyampaikan semua ilmu yang kita miliki dan kuasai. Mengajari kita untuk selektif dalam memilah mana yang harus dikeluarkan dan mana yang harus disimpan di tahan.



Pelajaran lainnya adalah ilmu yang menjadi milik kita selayaknya dan seharusnya memang untuk kita, sedangkan yang sedikit dan selektif untuk orang lain. Kita harus mampu menjadikan diri kita ini sebagai ladang mempraktekkan dari semua pengetahuan yang sudah kita miliki, bukan sebaliknya memaksa orang lain untuk mempraktekkan dari ilmu kita. Pepatah Jawa mengingatkan “Ojo Jarkoni, iso ngajar ora iso nglakoni” (pandai mengajar/menyampaikan ilmu, tapi tidak bisa mengamalkan).



Begitu indah Allah menasehati kita, melalui ciptaannya, melalui apa yang sudah kita bawa sejak lahir. Apa yang sudah kita pakai sejak hidup. Masihkan perlu nasehat yang lebih keras agar kita sadar dan mengenal diri???

Kelihatan gampang untuk diucapkan, tapi susah dipraktekkan bukan???



Wallahu ‘alamu bisshowab



*) Sumber Kitab Teles : Bab Diri, Pasal Pelajaran

Cukup Satu Dalil : Buatku

Buatku cukup satu saja

Dalil yang meneguhkanku untuk

Bertawasul, memperingati Maulid Nabi Muhammad s.a.w.

yang lain menjadi penguat dan penjelasndalam peneguhan

Laa ilaaha illallah Muhammadur rasuulullah



Memang ada media tawasul yang melebihi kedekatannya denga Allah, selain Nabi Muhammad?

Memang ada “hal” lain yang paling dekat kepada Allah, melebihi kedekatan Nabi Muhammad kepada Allah?

maka buatku cukup : Laa ilaaha illallah Muhammadur rasuulullah



Mengapa takut memujinya setinggi langit? Apakah langit lebih tinggi derajatnya dibandingkan Nabi Muhammad?

Mengapa takut memuliakannya dengan derajat paling mulia? Apakah Allah menghendaki lainnya lebih mulia daripada Nabi Muhammad?

maka buatku cukup : Laa ilaaha illallah Muhammadur rasuulullah



perhatikanlah : Laa ilaaha illallah Muhammadur rasuulullah

apakah ada penghalang kedekatannya?

apakah amalmu pantas disandingkan denganNYA?

apakah memuliakan beliau akan menghapusNYA?

atau mengkudeta kedudukanNYA?

atau menjadi bagian keluargaNYA?

Sekali lagi cermati : Laa ilaaha illallah Muhammadur rasuulullah



Suduh cukup buatku dalil : Laa ilaaha illallah Muhammadur rasuulullah













Belajar dari Uban

Uban warnanya putih, kain kafan juga putih. Mungkin anda bisa berdebat soal warna uban yang tidak putih, tetapi maklum dan malzum adalah putih. Uban dan kafan tidak ada urusannya atau hubungannya, namun bagi kita yang mau mencari hikmah dan pelajaran dari diri dan sekitar kita tentu akan bermakna.



Warna putih uban umumnya dimaknai sebagai tanda sudah mulai usia tua, usia uzur, meski saya sendiri  beruban sudah sejak usia SMP. Konon katanya salah milih minyak rambut (yang jelas bukan jelantah/sisa minyak goreng......kkkkkk). Kain kafan adalah bungkus mayat, putih kain kafan mudahnya adalah dimaknai dengan kematian. Sama-sama putih, uban yang ada pada rambut kita memberi pelajaran, bahwa kita sudah dekat dengan kematian, sudah memasuki usia senja. Maka banyak2lah ingat mati.



Selain itu, uban menandakan umur rambut atau kesehatan rambut yang sudah tidak tidak sehat. Uban muncul pada ujung rambut, kemudian merata sampai akar, akhirnya mudah tercerabut. Begitu pula, usia semakin uzur juga menunjukkan semakin memudarnya kesehatan fisik.



Anda tentu segera berdalih rambut yang ada di kemaluan itu kok tidak pernah beruban??? Jawaban gampangnya, karena selalu disimpan, karena posisinya di dalam terus menerus. Bisa jadi seandainya orang itu tidak pernah membungkusnya dapat beruban. Tapi kebetulan letaknya di kemaluan, pusatnya nafsu. Pelajarannya : Nafsu tak ada matinya !!! rambut kepala boleh beruban, nafsu tetap kuat terus menerus. Karena nafsu memang mendekam dalam diri, bukan diluar diri manusia.



Lha...bagaimana dengan rambut ketiak?......ya pikir sendiri lah......dari saya dua kan sudah cukup.......monggo...semoga bermanfaat...

Wallahu 'alamu bisshowab

Pelajaran dari Mata, Telinga, Hidung dan Mulut

Masih banyak pelajaran yang bisa kita gali dari tubuh sendiri, dari anggota badan kita. Kali ini saya mencoba untuk menggali pelajaran dari mata, telinga, hidung dan mulut. Marilah kita konsentrasi pada beberapa anggota badan tersebut.



Mata, telinga, hidung, bisa dikatakan mempunyai sedikit fungsi dengan lubang 2 (dua), sedangkan mulut, dengan 1 (satu) lubang dengan banyak fungsi. Gampangannya berkebalikan. Jika rumus ini digali sedikit lebih dalam, akan membawa kita pada sebuah pelajaran :



a)    Sedikit fungsi menunjukkan adanya sedikit peluang dalam mamanfaatkan anggota tubuh tersebut. Katakanlah, mata, fungsi utama ya melihat, dan nampaknya ya ini yang dominan (jika anda masih bisa menyebut fungsi lain dari itu). Telinga berfungsi mendengar, hidung berfungsi membau/mencium. Bandingkan dengan mulut yang banyak fungsi, makan, berbicara, menyanyi, bersiul, minum dan sebagainya.



b)    Maka jika ini dikaitkan dengan peluang, maka mata, telinga dan hidung akan mempunyai peluang kecil untuk mendapatkan dosa atau pahala. Dan pilihannya ada 2 (utama), yaitu kanan dan kiri, baik dan buruk. Dengan demikian, agar mata, telinga dan hidung berguna untuk mendapatkan kebaikan hanya satu peluang, yaitu memilih yang baik saja. Berbeda dengan mulut, meski hanya 1, tetapi dengan fungsi yang banyak dan beragam, mulut akan memberi peluang jatuh pada dosa dan kebaikan (tidak hanya baik dan buruk pilihannya). Mulut, diam, dalam konteks tertentu, akan menjadi kebaikan, tetapi konteks yang lain menjadi keburukan (berbeda bukan dengan telinga ???).



Pelajaran ini, mendorong manusia untuk selalu berhati-hati dengan lisannya, meski itu hanya satu tetapi fungsi yang demikian banyak akan memberi banyak pilihan dan peluang jatuh pada keburukan dan peluang meraih banyak kebaikan. Maka ingatlah rumus jumlah 2, fungsi dan peluang terbatas, sementara 1, memiliki fungsi dan peluang yang banyak. Mengendalikan yang jumlahnya 1 satu ternyata jauh lebih sulit bukan???



Bagaimana rumus itu, jika diterapkan pada kaki, tangan dan farji yang berada pada badan ?? (bukan kepala???), monggo dilanjutkan oleh masing-masing semoga mendapatkan hikmah yang bermanfaat.....

Wallahu 'alamu bisshowab





Pelajaran dari Pohon Bambu

PELAJARAN DARI POHON BAMBU



Malam ini status FB seorang teman lama, teman kuliah dulu menulis :

“Janganlah jadi pohon yang mudah tumbang,

Jadilah pohon bambu, yang tidak mudah tumbang, ia mampu melengkung dan berdiri tegak kembali diterpa angin besar”



Hmmm....sungguh pelajaran menarik buatku. Lalu mengapa bisa begitu. Maka aku sampaikan bahwa kunci kekuatan pohon bambu ada pada dua hal, bukan pada akar atau kebesaran batangnya itu sendiri.



Pertama adalah, perhatikanlah batang pohon bambu, ia tersusun rapi dengan ros-ros, sambung menyambung, tidak seperti kebanyak pohon tanpa ros. Hal ini buatku memberi pelajaran bahwa kekuatan pohon bambu adalah pada membangun kekuatan diri dari pengalaman bertumbuh dalam setiap waktunya. Satu ros, kemudian tumbuh menjadi dua ros, dan seterusnya. Ros-ros (buku-buku batang), memberi pelajaran kekuatan pohon bambu adalah dalam membangun diri dari pengalaman hidupnya, baik kegagalan atau keberhasilan, baik kesenangan atau kesusahan.



Kedua adalah, pada daunnya. Perhatikanlah, bentuk daun yang seperti jari, tidak lebar, tidak panjang. Cukup ramping lah. Daun sebagai alat, media dalam proses metabolisme kehidupan seolah memberi pelajaran kepada kita bahwa dalam menjalankan proses “metabolisme pengalaman hidup”, tidak perlu yang besar-besar, muluk-muluk, tetapi dari langkah-langkah kecil dan mantap. Itulah mengapa, ketika musim banyak angin, daun-daun pohon pisang disobek-sobek (bagi yang mengharapkan buahnya, bukan menjual daunnya), diharapkan tidak mudah diambrukkan oleh angin yang kencang. Maka pelajaran ini, berhati-hatilah, dengan cara melakukan langkah kecil dan istikomah.



Semoga pelajaran ini bisa memberi manfaat dan makna buat diri kita masing-masing.



Wallahu ‘alamu bisshowab.





Urusan Dunia Vs Urusan Agama

Masihkah di antara kita mempunyai kerangka berpikir pendikotomian urusan dunia vs urusan agama. Ketika sebuah urusan agama, maka itu bukan wilayah dunia dan sebaliknya. Ada batas-batas peran, batas pemberlakukan hukum, aturan dari masing-masing untuk tidak saling merebut atau tumpang tindih.

Tapi....konon katanya itu adalah logika peninggalan penjajah Hindia Belanda. Sehingga yang terjadi seolah-olah ada jarak antar keduanya, ada pembedaan antonik (berlawanan).

Secara tidak sadar, lambat laun rupanya itu menjadi bagian dari kehidupan keseharian kita. Tuhan telah dibatasi perannya melalui dikotomi itu, sedangkan manusia membatasi diri sendiri dalam mengenal baik dalam ilmu agama, maupun kehidupan dunianya.

Tapi jauh lebih berbahaya, jika pemikiran itu, justru dari agama itu sendiri. Sehingga agama tidak mempunyai peran apa-apa dalam kehidupan dunia kita.



Wallahu 'alamu bisshowab

Tak Ada Perbuatan yang Sia-Sia

Pernahkah kita melakukan sesuatu perbuatan yang menurut kita sia-sia? Tentu jawabannya SERING. Dalam kepala kita sudah ada semacam pola atau kaidah yang membatasi, apa saja perbuatan yang kita kategorikan manfaat dan sia-sia. Andalah yang menentukan itu semua, bukan orang lain. Itu ekstremnya.



Di sisi lain, ada juga semacam fakta sosial (Emil Durkheim) atau struktur (Talcott Parson) yang sudah menjadi bagian dari diri kita (internalisasi), dimana itu semua sebenarnya milik bersama (sosial). Lebih kecil dari itu adalah miliki kelompok-kelompok. Dus, akan ada nilai, pranata, ukuran-ukuran dimana itu adalah sebagai nilai sosial, nilai kelompok dan individu.



Bisa jadi, duduk-duduk, atau kerennya kongkow-kongkow, bagi sebagian kelompok atau individu adalah sia-sia, namun bagi yang lainnya adalah tidak sia-sia. Manfaat atau sia-sia pada akhirnya, dalam kerangka berpikir seperti itu, kembali kepada pelakunya dalam memaknai (meaning).



Sebagai manusia yang beragama, dan mendasarkan kehidupannya kepada Tuhan, maka disitu ada nilai bahwa Tuhan tidak pernah menilai apa yang dilakukan oleh manusia itu sia-sia belaka. Semua perilaku dan amal manusia akan dijadikan hujjah atau bukti menyadarkan manusia, menegakkan keadilan bagi manusia.



Maka, dalam hal ini, manusia hendaknya bisa melakukan proses dialektika, dimana semua perbuatannya di satu sisi akan sangat subyektif, di sisi lain akan menjadi mutlak obyetif di hadapan Tuhan. Ketika kesadaran akan nilai obyektivitas mutlak itu sangat kuat, maka manusia akan selalu berusaha mencari makna dari perbuatannya yang akan membawa manfaat buat dirinya, karena bagaimanapun akan ada obyektivitas mutlak yang dihadapi.



Akan menjadi manusia yang bijaksana jika, tidak buru-buru menilai sia-sia atau manfaat dari perbuatan orang lain, ketika tidak mampu memahami dari sisi orang lain tersebut. Tentu jauh lebih mudah menilai perbuatan orang lain dengan nilai dan subyektivitas (atau yang diyakini obyektiv), dari berusaha memahaminya.



Semua kembali kepada diri masing-masing, akan menjadikan semua perbuatannya sia-sia atau memaknai (memberi makna) terhadap apapun yang dilakukan agar semua tidak sia-sia.



Wallahu ‘alamu bisshowaba

Menunggu itu menyenangkan !!!

Menunggu



Ternyata menunggu itu menyenangkan !!!



Yang bilang menunggu itu menjemukan, karena sebenarnya dia sedang tidak menunggu, tapi sedang terburu-buru.



Menunggu yang sudah jelas, tidak akan membosankan. Karena sudah tau pasti datangnya. Menunggu yang tidak jelas, sama artinya dengan sedang membohongi diri sendiri, maka carilah kejelasan dahulu.



Menunggu yang pasti, maka akan memberimu aktifitas yang jelas dalam masa menunggu. Karena sudah pasti apa yang sedang menunggumu.



Hidup adalah kepastian (karena kita memang hidup), demikian pula kematian. Saat kau hidup, maka sudah tak ada lagi yang ditunggu dalam kehidupan, hanya tinggal banyak melakukan aktivitas.

Soal kematian pasti datangnya, tapi kapan? Tak pernah jelas. Tak akan ada cara yang pasti untuk mengetahui kejelasannya, hanya tahu itu pasti.



Maka lakukanlah aktivitas dalam hidup sebagai masa menunggu kematian yang pasti.



Bukankah hidup ini menyenangkan??? Jika tidak, maka anda sedang dalam ketidakpastian dan ketidakjelasan..laa yahya walaa yamuut





Ilmu dan Amal

Dalam prakteknya, biasanya kita tidak perlu menggunakan semua ilmu yang kita miliki atau kuasai. Hanya beberapa pokok saja yang benar-benar digunakan dalam melakukan sebuah perbuatan (amal). Biasanya juga, bahkan memang demikian adanya, butuh waktu dan biaya demikian luar biasa untuk mendapatkan ilmu pengetahuan yang banyak. Akhirnya seola-olah tidak sepadan dengan kebutuhan dalam beramal. Dari sudut pandang tertentu bisa disebut merugi, atau tidak ekonomis dan efisien, karena input dan output tak sebanding, lebih-lebih bila yang menjadi takaran adalah materi, yang sifatnya jauh berbeda dengan ilmu pengetahuan.



Beramal, ibadah, atau apa saja bila didasari oleh ilmu, maka akan menjadi amal yang efektif (tidak selalu berhasil/diterima), tetapi efektif dalam pengertian adalah adanya efek bagi pelaku itu sendiri, minimal mempraktekkan ilmu yang telah dikuasainya. Efek yang paling diharapkan adalah adanya kualitas bagi yang melakukan dengan ilmu, dibandingkan dengan tanpa ilmu. Dengan demikian, ilmu yang banyak kita kuasai pada hakekatnya adalah untuk meningkatkan kualitas amal kita.



Seringkali, manusia jatuh pada ketakjuban akan penguasaan atas ilmu pengetahuan serta keahlian yang dikuasai. Yang mana penguasaan itu hanya sebatas pada aspek ilmiyah belaka. Sehingga lupa akan kebutuhan untuk peningkatan kualitas amal yang diperbuat.



Maka, dari situlah kita perlu memperhatikan nasehat dari leluhur dan orang tua kita dulu...”padi semakin berisi, semakin menunduk” atau “pohon pisang yang sekali berbuah (berarti) sesudah itu mati” atau “air beriak tanda tak dalam”. Meski seseorang bisa menunjukkan kehebatan atas penguasaan keilmuwan, maka tidak berarti dia orang yang benar-benar hebat, demikian pula sebaliknya, ketika seseorang mampu menunjukkan amal yang banyak, bukan berarti dia sudah memahami keilmuwan yang banyak.

Wallahu 'alamu bisshowab

Taqwa, Lagi-Lagi Taqwa

TAQWA



Taqwa adalah sikap kita terhadap Allh SWT yang diliputi harap dan takut. Harap akan rahmatNYA, takut akan murkaNYA. Karena semua itu merupakan bentuk cinta hamba kepada Sang Khalik, Allah SWT. Sehingga hamba selalu diliputi rasa khawatir akan terputusnya cinta kepadaNYA atau CintaNYA kepada hamba. Dalam implementasinya, maka hamba selalu berusaha mendekat kepadaNYA dengan berusaha sekuat tenaga menjalankan taqwa.



Taqwa didefinisikan sebagai “menjalankan perintah dan meninggalkan larangan” dalam kerangkan mendekat kepada Allah. Sering para pendakwah menjabarkan bahwa taqwa adalah “menjalankan semua perintah Allah” dan “meninggalkan larangan Allah”. Berhenti di situ. Pernahkan di antara kita bertanya-tanya, mungkingkan menjalankan semua perintah Allah? Meninggalkan semua larangan Allah? Jawaban yang cepat dan segera adalah tidak mungkin. Ah..itu sudah biasa. Tapi apa memang demikian?



Menjalankan perintah adalah upaya aktif, melakukan sesuatu. Oleh karena itu logikanya, adalah membutuhkan tenaga, energi, ilmu, kemampuan dan sebagainya. Dengan demikian, jika kita mendaftar seluruh perintah Allah, semuanya baik yang ringan dan berat, yang pokok dan tambahan, yang langsung melalui AL Qur’an dan Sunnah, Hadits Rasulullah, maka akan muncul daftar yang panjang dan melelahkan. Oleh karena, perlu mengetahui batas minimal dan prioritas yang menjadi perintah buat manusia sebagai hamba. Pengetahuan mana yang wajib, mana sunnah (tambahan) atau yang biasa saja, serta prioritas karena kondisional diri, sangat penting. Jika seseorang mengetahui batas dirinya memenuhi kewajiban zakat, maka melaksanakan zakat menjadi prioritas.



Meninggalkan larangan, bisa berarti pasif bisa aktif. Dalam pengertian bahwa meninggalkan larangan adalah “tidak melakukan sesuatu apapun” atau diam. Namun juga bisa berusaha untuk tidak melakukan, melakukan upaya untuk tidak melakukan. Artinya adalah aktif dalam mengarahkan upaya diri untuk tidak melakukan. Dalam arti diam, maka logikanya tidak membutuhkan energi. Katakanlah larangan menggunjing, dengan diam tidak ngomong apa-apa itu sudah meninggalkan larangan. Tetapi seringkali untuk diam saja tidak mudah, maka perlu upaya aktif agar diam atau membuat diri diam dan menghindar dari menggunjing.



Akhirnya, berusalah sekuat tenaga, apapun kondisimu, dan batas-batas dirimu untuk melaksanakan perintah Allah SWT. Namun toh, masih jika jatuh pada pelanggaran larangan Allah, maka segeralah untuk menghentikannya dan menutupi dengan perbuatan baik lainnya, sehingga di akhir usahamu adalah amal yang baik (khusnul khotimah).



Wallahu ‘alamu bisshowab.









Syi'ir Tanpo Waton

Anda tentu sekarang sudah mulai akrab dengan Syi’ir Tanpo Waton yang sering diputar dan diperdengarkan di radio, televisi, surau, musholla, masjid atau lainnya. Di sini saya tegaskan, tidak membahas itu karya siapa atau siapa yang mempopulerkannya. Bagi saya sudah jelas ada perbedaan, dan karena saya tidak tahu menahu dengan jelas dan pasti, maka bagi saya lebih baik diam.

Namun dalam tulisan ini saya akan mencoba memahami pesan yang terkandung dalam Syair tersebut. Syair tersebut berjudul Tanpo Waton. Waton dalam kamus bahasa Jawa SA MangunSuwito, hal.284 disebutkan waton : asal;angger tpi bisa juga pathokan; pranatan. diwatoni:dipathoki. maton : mesthi;tetep. Pathokan, peraturan, dasar. Secara gampang arti syair ini berisi mengenai banyak hal dalam kehidupan manusia (khususnya dalam beragama) yang tidak memakai dasar, patokan dan peraturan. Asal-asalan, atau asal pokoke.

Beberapa kebiasaan asal-asalan atau pokoke, tanpa dasar dalam beragama disinggung dalam syair tersebut, antara lain :

1)    Hanya suka ngaji (mencari ilmu, berguru, mengkaji agama) dalam hal syariat semata-mata. =è Asal menguasai syareat, sudah menjadi Islam yang kaffah. (Waton syareat)

2)    Suka mengkafirkan orang lain, padahal hafal Qur’an dan Hadits, artinya Qur’an dan Hadits tidak dipakai atau dijadikan pedoman, tetapi hanya dipakai alat justifikasi mengkafir-kafirkan orang.=è Asal bisa mengkafirkan sudah menjadi Islam yang sejati (Waton ngafirke)

3)    Suka gebyar dunia, menuruti nafsu. =è Asal puas nafsunya (Waton seneng).

Padahal bukan itu sebaik dan seharunya. Jika hanya itu saja, maka celaka di kemudian hari, dan akan sengsara kehidupannya kelak. Oleh karena itu, nasehat dalam syair tersebut adalah :

1)    Mengaji itu yang lengkap, dengan berbagai hal, meliputi aturan, hati, dan rasanya, sehingga sempurna ilmu agamanya.

2)    Al Qur’an, mukjizat Rasulullah menjadi pedoman, bukan menjadi alat mengkafirkan orang. Sehingga menjadi penyuluh hidup. Zikir setiap saat, suluk mendekat kepada Allah, siang dan malam akan menambah resapnya iman dalam hati, sehingga menimbulkan rasa aman.

3)    Hiduplah yang neriman/qonaah (jangan memperturuti nafsu kesenangan semata).Sehingga dapat membina kerukunan dengan tetangga, saudara dan siapa saja.

Jika itu mampu dilakukan, maka berarti sudah menjalankan Sunnah Rasulullah SAW. Kelak ketika maut menjemput, sukmanya tidak terbelenggu oleh dunia, dan diganjar surga oleh Allah swt. Bahkan bisa jadi raga dan kafannya tetap utuh sebagai bukti dari kebesaran Allah dalam mencintai hambanya yang sempurnya dalam beragama.

Wallahu ‘alamu bisshowab.

Memahami Orang Jawa

Salah satu konsep paling mudah dikenali mengenai orang Jawa adalah Slametan. Ya konsep itu akan membantu kita memahami tentang falsafah hidup orang Jawa. Meski, anda bisa protes soal itu. Sebab di luar orang Jawa juga banyak yang memegang prinsip itu, hanya beda istilah saja. Tapi ya tidak apa-apa jika itu koheren dan relevan dengan yang saya maksud.



Bagi orang Jawa yang dicari dalam hidup dan kehidupan adalah Slamet. Selamat dari bahaya, dari gangguan makhluk halus, dari musibah, dari bencana dan sebagainya. Banyak sekali ajaran, nasehat dan ritual yang pada inti dan ujung kehendaknya adalah mencari dan mencapai keselamatan.



Dalam konsep Slamet, akan diikuti dengan konsep untung dan bejo. Musibah dari yang kecil, di mata orang Jawa, dinasehatkan untuk melihat untung dan bejo-nya. Kesandung kakinya...”untung tidak patah kakinya”.....”isih bejo, coba nek kesandunge pinggir jurang, langsung nyemplung....kan ciloko”.



Demikian pula, untuk mencapai itu semua, maka diperlukan berbagai upaya untuk mendapatkan keselamatan. Anak yang lahir, apapun kondisinya akan selalu dianggap mempunyai ancaman; baik anak tunggal (ontang-anting), anak kembar, dan sebagainya. Ruwatan adalah ritual untuk mencegah itu semua, dengan harapan agar selamat.



Dibalik konsep selamat, maka manusia Jawa mempunyai pandangan atas keberadaan hidupnya, bahwa hidup di dunia ini banyak marabahaya dan ancaman, baik yang tersembunyi maupun yang kelihatan jelas. Baik itu yang diperbuat oleh diri sendiri atau pihak lain. Maka “waspada, hati-hati” menjadi idiom yang begitu kuat dan mentradisi dalam budaya manusia Jawa.



Dus, dengan demikian, ketika berbicara keselamatan, maka tentu berbicara pula soal “bahaya, ancaman” atau ketidakselamatan lainnya. Di sinilah bisa kita memahami, banyak sekali nama dan jenis gangguan makhluk halus ataupun bahaya lain yang nyata. Tidak mengherankan, banyak muncul “ilmu titen” atau disebut takhayul tentang kesialan, baik dilihat dari hari, waktu dan sebagainya. Semua itu dalam rangka proses mencari dan mengenali berbagai bahaya yang bisa mengancam keselamatan hidup manusia.



Pada akhirnya, selamat dalam konsep manusia Jawa begitu luas dan njlimetnya. Jika anda tidak mau dan tidak suka yang njlimet, maka cukup berhati-hatilah dan rendah diri dalam kehidupan ini. Tentu selalu mendekat kepada Gusti Ingkang Murba ing Dumadi, yang bisa memberi keselamatan sesungguhnya.



== apakah anda melihat ada korelasinya dengan Islam yang begitu meluas di Jawa?



Wallahu ‘alamu bisshowab





Bid'ah : Pemahaman Logika

Ini hanya main-main logika saja :



1) Logika pertama



Agama Islam sempurna meliputi semua urusan dunia

Agama Islam sempurna meliputi semua urusan akhirat



Jadi Islam tidak hanya mengurusi urusan akhirat saja



2) Logika kedua



Agama Islam sempurna meliputi semua urusan syariat

Agama Islam sempurna meliputi semua urusan non syariat



Jadi Islam tidak hanya mengurusi urusan syariat



3) Logika ketiga



Bid’ah adalah perkara baru dalam agama

Jadi bid’ah meliputi urusan syariat dan non syariat

Jadi bid’ah melputi urusan dunia dan akhirat



4) Logika keempat



Semua bid’ah adalah sesat

Semua bid’ah baik dalam urusan dunia dan akhirat adalah sesat

Semua bid’ah baik dalam urusan syariat dan non syarat adalah sesat



5) Logika kelima



Beberapa kesimpulannya adalah :



a)      Tidak ada bid’ah dunia yang tidak sesat

b)      Tidak ada bid’ah non syariat yang tidak sesat

c)      Tidak ada bid’ah akhirat yang tidak sesat

d)      Tidak ada bid’ah syariat yang tidak sesat



6) Penolakan



a)      Bid’ah dunia tidak sesat

b)      Bid’ah non syariat tidak sesat

Jadi,

a)      Bid’ah hanya meliputi urusan syariat

b)      Bid’ah hanya meliputi urusan akhirat



Kesimpulannya adalah :

TIDAK SEMUA BID’AH ITU SESAT



Wallahu ‘alamu bisshowab







LAU KAANA KHOIRON LASABAQUUNA ILAIHI

Sebagian dari kita mungkin sudah sering mendengar kalimat tersebut dan dijadikan bagi sebagian kalangan sebagai KAIDAH BESAR dalam menentukan sah atau tidaknya sebuah kegiatan atau amal ibadah. Bahkan siapa saja yang melakukan amal perbuatan melanggar kaidah ini hukumnya adalah SESAT dan dijamin masuk neraka. Wah-wah bahaya sekali nampaknya. Dan begitu kokoh serta valid kaidah tersebut, sampai-sampai begitu konsekuensinya.

Jika diartikan (dalam konteks kaidah tersebut), “Seandainya hal itu baik, tentu mereka para sahabat (demikian pula Nabi) akan mendahului melakukannya”. Gampangannya begini, andai amal yang kalian lakukan itu baik, maka mereka tentu sudah melakukannya. Jika mereka (para sahabat dan nabi) tidak pernah melakukannya, maka apa yang kalian perbuat PASTI TIDAK BAIK.

Benarkan demikian? Mari kita uji kaidah (logika) tersebut :

1)    Dalam Al Qur’an kaidah atau pernyataan tersebut, setelah dilacak merujuk pada Surat Al Ahqaf (46) : 11. Namun logika tersebut ternyata ucapan dari orang-orang kafir yang menolak kebenaran Al Qur’an. Untuk lebih lengkapnya silahkan anda cermati tulisan berikut http://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/05/04/apa-kaitannya/ . Namun saya berpesan, bacalah dengan ketenangan berpikir. Apakah mereka yang sering menggunakan kaidah tersebut adalah meniru orang-orang kafir? SILAKAN ANDA RENUNGKAN dan JAWAB SENDIRI.

2)    Pernyataan tersebut muncul dalam Tafsir Ibnu Katsir ketika membahas Surat An Najm ayat 38 dan 39, tentang “pengiriman pahala” yang memang tidak pernah dilakukan oleh para sahabat Rasulullah. Apakah kemudian beliau imam Ibnu Katsir menghukumi amal tersebut dengan kaidah tersebut? Bukan itu konteks penrnyataan beliau. Untuk lebih jelasnya silakan anda baca tulisan http://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/04/20/jika-itu-baik/ .

3)    Jika kaidah tersebut benar-benar demikian hebatnya, dan sangat mengatur (membatasi), maka ada pertanyaan : apakah kebaikan itu ada pada jaman sahabat dan Nabi Muhammad saja? Sementara di luar itu tidak ada kebaikan? Bagimana kebaikan yang dilakukan oleh umat atau nabi yang sebelumnya? Misalnya zaman nabi Isa, Zakaria, Yahya, Soleh, A.S. dsb.? Sebab dengan kaidah tersebut, maka seolah-olah menegaskan bahwa apa saja yang baik sudah pasti dilakukan oleh para sahabat. Di luar mereka tentu “kebaikan” bukan menjadi kebaikan. Katakanlah yang ringan menjadi sia-sia. Jika ingin menelusuri bantahan dengan alur pemikiran dan sejumlah hujjah dengan model demikian silakan baca artikel berikut : http://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/05/08/lau-kaana-khoiron/ .



Pembuktian dengan mengganti obyek dan subyek

Berikut ini adalah cara saya melakukan uji kaidah tersebut dengan cara mengganti subyek dan obyek yang ada dalam kaidah. Maksud dari cara ini adalah untuk mencari kevalidan dari bangunan kaidah : SYARAT dan JAWAB, atau PREMIS dan KONKLUSI dari sebuah logika. Yang saya maksud adalah mengganti obyek “baik” dengan “jahat” sedangkan subyek “sahabat” saya ganti dengan kaidah “penjahat”. Dengan demikian akan muncul kaidah kebalikan/oposisinya sebagai berikut :

Seandainya hal itu jahat, tentu mereka para penjahat akan mendahului melakukannya”.

Dengan kaidah itu, maka hal yang jahat pasti sudah dilakukan oleh para penjahat. Apakah kaidah ini bisa anda terima?

Ada premis :

semua penjahat melakukan hal jahat

Yang anda lakukan adalah hal jahat

Maka, anda adalah penjahat.

Coba resapi alur berpikir tersebut. Apakah anda menjadi penjahat karena melakukan hal jahat?, katakanlah satu kejahatan saja, misalnya mencuri sandal tetangga. Atau sebaliknya, apakah semua kejahatan yang ada saat ini sudah pernah dilakukan oleh para penjahat sebelumnya?



Seorang Fir’aun yang benar-benar diabadikan sebagai manusia kufur, musyrik, dan sangat jahat bukan karena melakukan semua kejahatan, tetapi dia melakukan kejahatan yang “tidak semuanya”. Bisa jadi dia juga melakukan kebaikan dalam hidupnya. Faktanya adalah dia memelihara nabi Musa yang dihanyutkan di sungai nil, padahal saat itu seluruh bayi yang lahir di Mesir dibunuh. Namun kebaikan ini tidak serta merta menjadikan dia disebut sebagai orang baik.



Jadi, apakah kaidah tersebut bersumber dari Al Qur’an dan Hadits sehingga layak menjadi kaidah hukum agama? Anda tentu sudah bisa memahaminya. Berikutnya anda sudah bisa menentukan semua konsekuensi dari penggunaan kaidah tersebut, apakah membuat anda tercerahkan atau malah semakin menyempitkan pandangan anda terhadap agama? Karena bagaimanapun sebuah kaidah yang logis dan valid akan membantu kita lebih mudah dan mengerti berbagai aturan agama.



Wallahu ‘alamu bisshowab.

Sebenarnya Selalu Saja Ada...

SEBENARNYA SELALU SAJA ADA .....



Sebenarnya, selalu saja ada alasan

Bahwa diri ini tak berdaya, seperti yang disangka

La hawla wala quwwata illa billahil ‘aliyyl adziim



Dari perkara biasa atau luar biasa

Kadang hanya tutup botol minuman saja kita tidak bisa membuka

Atau menghitung rumus fibanochi dan phi yang begitu rumitnya

Inna ma’al usri yusro



Selalu saja ada batas yang bisa menyadarkan kita

Bahwa manusia sudah ada ukuran dan takaran

Baik dalam kemampuan maupun hasil upayanya

Innallaha ‘alaa kully syai’in qodiir



Selalu saja ada fakta bahwa diri ini keliru dan salah

Tak terasa mengucap satu kata kepada anak, istr, suami

Meski sedikit saja

Menimbulkan dosa

Al insanu mahalul khoto’ wa nisyan



Selalu saja ada alasan untuk merasa

Bahwa diri ini memang bukan siapa-siapa

Segala amal dan perbuatan hanya sia-sia

Tak pernah tahu kapan didengar atau diterima

Bahkan sering burung sangka

Attsawab bi qodritta’ab



Sebenarnya, banyak sekali alasan

Yang membuktikan bahwa

Diri ini hina, hanya Allahlah yang Mahakuasa

Subhannallohiladziim

Wa Laa ilaaha illallahul al’adziim





Berpegang Kepada Al Qur'an dan Sunnah

Sekedar cerita menjelang tidur. Seorang bapak menasehati anaknya :



Bapak : “nak, peganglah teguh Al Qur’an dan Sunnah”, jangan pernah kauambil selain daripada keduanya...”

Anak : “ Ya, Pak...tapi saya mau nanya”

Bapak : “Apa itu...?”

Anak : “Bukankah Al Qur’an dan Sunnah itu bahasanya Arab?”

Bapak :”Benar anakku, melalui lisan Nabi Muhammad SAW, orang Arab”

Anak : “apakah berarti setiap orang Arab bisa menguasai Al Qur’an dan Sunnah?”

Bapak : “Lho...tidak pasti. Apa orang Indonesia pasti menguasai bahasa Indonesia? Apa orang Jawa paham sekali bahasa Jawa?...kan tidak to nak....memang bisa ngomong pake bahasa Arab, tetapi tidak mesti menguasai seluk beluk bahasanya...”

Anak :”Apa tidak cukup memahami dari terjemah Al Qur’an dan Sunnah...yang sudah ditulis oleh para Ulama...”

Bapak : “ Ya boleh saja...tapi siapa yang menerjemahkan itu yang terpenting..”

Anak :”Mengapa, Pak?”

Bapak :”Kan tidak semua orang Arab menguasai bahasa Arab, apalagi  bahasa Al Qur’an. Demikian pula Sunnah, harus juga paham mengenai sosiologis, politik, tradisi dan sebagainya, karena bahasa Arab dalam Sunnah sebagai bahasa lisan manusia tidak lepas dari konteks itu. Beda dengan Al Qur’an yang mana Nabi Muhammad SAW sendiri tidak berkuasa membuat atau menyusun kalimat sendiri”

Anak : “maksudnya gimana, Pak? Saya kok jadi tambah mumet....”

Bapak :”Oalah nak, makanya jangan keminter, baru bisa baca Al Qur’an saja seolah-olah merasa menguasai Al Qur’an, baru hafal sedikit Hadits saja merasa menguasai Sunnah. Makanya, belajarlah pada ahlinya, kepada mereka yang menguasai ilmu dan metodenya, belajarlah mereka yang sudah bersusah payah mengkajinya dan menyajikannya hingga sampai kepada kita.....ikuti jalur dan tradisinya sehingga kamu bisa selamat dan terhindar dari kebodohan yang nyata....karena hanya merasa sudah mengetahuinya....”

Anakk :”Ngunu ta Pak?...”

Bapak :”Yo, wes...tidur sana.....berdo’a, kalau tidak bisa bahasa Arab yo do’a yang kamu bisa, pake bahasa yang kamu bisa saja..daripada kamu tidak mengerti apa yang kamu minta....”

Kekasih

Kekasihku, yang memang kupilih

dan kukasih

apakah benar engkau yang terpilih?

atau sekedar aku risih



Sayangku, belahan jiwaku

yang memang bisa bikin sakit jiwaku

benarkah engkau bagian dari kegundahan jiwaku?

atau menjadi pelengkap deritaku



Engkau yang kusayang

Begitu takut aku kehilanganmu

Benarkah engkau bernilai bagiku?

atau sekedar nilai sangkaku



Engkau yang menjadi pendampingku

Yang memang selalu ada di sisiku

Sanggupkah mengikuti jejak langkahku?

atau sekedar teman sepintas lalu?

Walisongo : Rekonstruksi Sejarah yang Tersingkirkan



Jika Anda membaca Ensiklopedia Islam yang tujuh jilid dan mencari informasi tentang Wali Songo, dijamin tidak akan menemukan. Itu artinya, pada masa depan -- kira-kira 20 tahun ke depan -- Wali Songo akan tersingkir dari percaturan akademis karena keberadaan mereka tidak legitimated dalam eksiklopedia Islam. Wali Songo ke depan nanti akan tersingkir dari ranah sejarah dan tinggal mengisi ruang folklore sebagai cerita mitos dan legenda. Anehnya, di dalam Ensiklopedia Islam itu tercantum kisah tiga serangkai haji: Haji Miskin, Haji Sumanik, Haji Piabang sebagai pembawa ajaran Islam (Wahabi) ke Sumatera Barat. Itu berarti, anak cucu Anda kelak akan memiliki pemahaman bahwa Islam baru masuk ke Nusantara pada tahun 1803 Masehi, yaitu sewaktu tiga serangkai haji itu menyebarkan ajaran Wahabi ke Sumatera Barat.

Dalam keserba-terbatasan segala hal, alhamdulillah buku tentang Wali Songo dengan pendekatan multi-disiplin: historis- arkeologi-aetiologis-etno historis dan kajian budaya dapat terselesaikan. Artinya, dalam buku berjudul Wali Songo -Rekonstruksi Sejarah Yang Disingkirkan ini kisah-kisah dakwah Islam yang membumi dengan proses sinkretisasi-asimilatif bisa dipertanggung-jawabkan secara ilmiah. Dengan prinsip 'bangsa yang besar adalah bangsa yang bisa menghargai jasa-jasa para pahlawannya', begitulah saya berharap anak-anak bangsa di negeri tercinta ini dapat menghargai, menghormati, memuliakan, dan bahkan meneladani keluhur-budian dan kebijaksanaan yang telah diwariskan para leluhur kita tersebut. Agus Sunyoto (Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Brawijaya).

Judul: Wali Songo: Rekonstruksi Sejarah yang Disingkirkan; Penulis: K.H.Ng. Agus Sunyoto; Penerbit: Transpustaka; Tebal: xxiii+310, 16x24 cm;



Harga: HardCover: Rp. 65.000,-;

Harga: SoftCover: Rp. 50.000,-;



Beli 3 Pcs ke atas ----> Diskon 20 %

Beli 5 Pcs ke atas ----> Diskon 25 %



Untuk memesan.

Layanan SMS: 081 559977110

Pintu Kelima

 

Wahai kawan-kawanku setia dalam majelisku yang mulia,

Dengarkan, aku kan menunjukkan jalan bagimu semua

Tuk menyeret manusia dalam kebiasaan dan perilaku kita

Menempuh jalan lurus, mantap tanpa sedikitpun keraguan di dalamnya

Ingat, dan selalu ingatlah, bahwa manusia adalah

Kawan kalian semua, jangan kau musuhi atau kau lawan

Kauikuti saja, kemauan dan kehendaknya

Kau sekedar memberi warna dan dupa agar semua itu

Menjadi berasa dan tak dilupakan oleh manusia

Telinga itulah pintu yang kumaksud

Tak perlu kau tutupi atau kaucegah dari kebaikan atau keburukan

Biarkan semua masuk dalam pikiran dan hati manusia

Maka, cukuplah kau begal itu semua

Simpanlah dan tabunglah, hingga manusia

Tak ingat yang didengarnya

Atau kau teruskan saja, buang semuanya

Melalui telinga satunya

Atau cukuplah bagimu sedikit memberi goda

Katakan padanya, bahwa yang didengar semua

Adalah palsu belaka, sementara nasehatmulah

Yang nasehat yang sebenar-benarnya

Atau, jika kau bisa sediakan energi atau daya berlaksa

Agar telinga manusia selalu mendegar yang enak-enak saja

Memperhatikan kasak-kusuk penuh cela

Atau musik yang menggoda

Hingga mereka benar-benar menikmatinya

Dan lupa, hanya suaramu yang akan jadi musiknya

Atau, apa saja asal kau bisa mendayaganukan

Pintu kelima seluas-luasnya

Jadikan manusia, nikmati bersama mereka

Cukup itu saja

Sehingga mereka lupa diri, dan hany iblis

Yang menjadi kawan setia

Ha Ha Ha Ha Ha..........................

TASHAWUF : Solusi yang sering disalah mengerti

Pendahuluan

Akhir-akhir ini dan mungkin juga selanjutnya, dikeluhkan adanya berbagai masalah yang melanda di negeri Indonesia tercinta. Dari mulai soal korupsi, kenakalan remaja, kemiskinan, kerusuhan, dan berbagai kerusakan moral lainnya. Itulah yang diyakini menjadi penyebab berbagai kerusakan alam serta tata pemerintahan yang ada. Padahal dengan jumlah penduduk mayoritas muslim, tentu ini jadi aneh, mengapa bisa kerusakan moral begitu hebat terjadi?

Akar Masalah

Jika mau dicari sebab atau akar masalah kita akan menemukan banyak sekali yang bisa dijadikan penjelas atas kerusakan moral tersebut. Namun dalam tulisan ini, saya akan mengajukan dua (2) hal saja sebagai akar yang menurut saya paling kuat.

Hedonisme

Hedonisme adalah menuhankan kesenangan, keyakinan bahwa kesenangan atau kenikmatan merupakan tujuan hidup dan tindakan manusia. Di sini nafsu menjadi yang dipuja, dikejar, dicari, dimulyakan, diTuhankan. Ketika nafsu kesenangan menjadi panglima dalam kehidupan, maka akan mengakibatkan kelalaian manusia pada tujuan hidup, makna hidup yang sebenarnya. Hedonisme melahirkan sikap konsumtif yang ujungnya memenuhi nafsu. Manusia membeli suatu barang bukan karena kebutuhan akan barang tersebut, tetapi lebih pada upaya menyenangkan diri, memuaskan nafusnya, baik nafsu pamer, nafsu bergaya dan sebagainya. Selanjutnya, masyarakat yang anggotanya sudah terjangkiti penyakit hedonisme akan rapuh dan mudah dikendalikan oleh kepentingan-kepentingan kapitalisme, kepentingan ideologi-ideologi yang merusak.

Individualisme

Penyakit ini sebenarnya juga berakar dari hedonisme, sehingga orang hanya akan memperturutkan kepentingan dirinya sendiri. Tidak peduli orang lain, tidak empati pada kesusahan orang lain. Ibarat anggota tubuh, maka mata sudah tidak peduli jika hati sakit, tidak mau mengeluarkan air mata. Mulut juga tidak peduli jika gigi sakit, tanpa mengeluh, tanpa berdo’a. Meski orang tersebut ada dalam sebuah kelompok masyarakat, pada hakikatnya dia sudah busuk, mati dan tidak berfungsi. Jika hanya itu saja mungkin masih bisa hidup anggota badan tersebut, tetapi bisa jadi seorang indiidualis akan merusak tatanan bersama dalam masyarakat. Apalagi dalam masyarakat sudah banyak yang terjangkiti ini, maka ambruklah tatanan kebersamaan itu. Lagi-lagi akan mudah dikendalikan dan digoyang berbagai persoalan yang remeh temeh. Persoalan indiidu yang remeh menjadi persoalan besar dan dibesar-besarkan. Mirip infotainmen yang mengeksploitasi kehidupan pribadi menjadi isu masyarakat. Jadinya masyarakat menjadi masyarakat yang suka kasak-kusuk.

Solusi : Tashawuf

Banyak kalangan menyebut bahwa Islam adalah agama sempurna dan bisa memberi solusi terhadap persoalan kemasyarakatan yang akut tersebut. Selalu saja disebut Al Qur’an dan Sunnah (Hadits), kemudian diturunkan menjadi syariat. Secara gampangnya, hukum Islam adalah solusi paling cespleng. Apakah benar demikian? Berikut ini saya kutipkan pendapat Imam Syafi’ie.



Imam Syafi’i ra menyampaikan nasehat (yang artinya) ,”Berusahalah engkau menjadi seorang yang mempelajari ilmu fiqih dan juga menjalani tasawuf, dan janganlah kau hanya mengambil salah satunya. Sesungguhnya demi Allah saya benar-benar ingin memberikan nasehat padamu. Orang yang hanya mempelajari ilmu fiqih tapi tidak mahu menjalani tasawuf, maka hatinya tidak dapat merasakan kelezatan takwa. Sedangkan orang yang hanya menjalani tasawuf tapi tidak mahu mempelajari ilmu fiqih, maka bagaimana bisa dia menjadi baik (ihsan)?” [Diwan Al-Imam Asy-Syafi'i, hal. 47].

Pendapat tersebut menyebut tashawuf sebagai ilmu pelengkap dari fiqih. Ilmu fiqh merupakan ilmu yang menjadi dasar adanya hukum/syari’at. Melalui ilmu tersebut, perintah, larangan atau nash dari Qur’an dan Hadits dirumuskan menjadi ketentuan hukum. Aturan hukum syariat sebagai implementasi dari Nash Qur’an dan Hadits, menjadi solusi dalam mengatasi persoalan kehidupan dunia dan akhirat. Selain itu juga menjadi rel dalam pelaksanaan keagamaan. Sementara tashawuf adalah jiwa, ruh dari pelaksanaan hukum itu sendiri. Sebab dalam tashawuf manusia diajari dan dilatih untuk terus menerus mensucikan diri, dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah swt. Berbagai amal ibadah yang sudah diatur oleh syariat, yang disertai dengan tashawuf akan menumbuhkan rasa dan pengalaman dalam proses mensucikan diri dan mendekat kepada Allah swt. Sehingga kepandaian, kealiman dan ketekunan beribadah seseorang tidak dijadikan dorongan bagi manusia untuk menuhankan ilmu dan ketekunannya tersebut, tidak menjadikannya memperbesar nafsu untuk dipuji dan perasaan paling benar, karena tashawuf akan memberikan pelajaran akan adanya keunikan pengalaman masing-masing individu dalam proses implementasi syariat (fikih) tersebut. Meski yang dilakukan sama, tetapi bisa jadi mempunyai ragam rasa dan pengalaman, dengan tetap ke arah tujuan yang satu yaitu mendekat kepada Allah swt.



Oleh karena itu, betapa pentingnya tashawuf tersebut dalam kehidupan manusia, dalam kehidupan beragama dan sosial. Sekali lagi Imam Malik menegaskan : “Dia yang sedang tasawuf tanpa mempelajari fikih (perkara syariat) rusak keimanannya , sementara dia yang belajar fikih tanpa mengamalkan Tasawuf rusaklah dia ., hanya (dia) siapa memadukan keduanya terjamin benar”



Apa itu tashawuf?

Tashawuf adalah menelusuri jalan (tharikat) yang telah dilalui oleh Rasulullah, dimulai dengan Beliau berkhalwat (mengasingkan diri dari keramaian) dan bertahanuts (perenungan/kontemplas dirii) di gua hira. Kemudian Beliau menerima wahyuNya tentang perkara syariat , syarat untuk menjadi hamba Allah yang berisikan perintahNya dan laranganNya. Kemudian setelah syarat dipenuhi/dijalankan maka dilakukanlah perjalanan diri melalui maqom-maqom hakikat hingga sampai (wushul) kepada Allah Azza wa Jalla. menjadi muslim yang Ihsan atau muslim yang berma’rifat, muslim yang menyaksikan Allah Azza wa Jalla.



Tujuan utama dari tashawuf adalah membentuk manusia yang ihsan, yang dalam kehidupan perilakunya selalu menyadari akan kehadiran Allah swt, pengawasan dan keterlibatanNYA. Dengan menekuni tashawuf, maka dapat dicapai akhlakul karimah (akhlak yang mulia).



Jika pengertian tashawuf adalah demikian, mengapa menjadi salah dimengerti oleh sebagian pihak? Pembelajaran tashawuf sama dengan proses pembelajaran ilmu-ilmu lain dimana membutuhkan motode, guru dan bidang kajiannya. Dengan demikian, peran guru dalam hal ini menjadi sangat penting dan kesemuanya berujung pada guru termulia Kanjeng Nabi Muhammad SAW.



Yang diajarkan tashawuf

Jika syariat, hukum, fikih mengajarkan manusia pada ketundukan, ketaatan, keteraturan, ketertiban, maka tashawuf mengajarkan bagaimana memaknai itu semua. Bagimana memahami keteraturan tersebut sehingga benar-benar dirasakan bagi pelakunya. Dengan tashawuf, manusia tidak hanya ditakut-takuti dalam beribadah, sehingga akan lahir manusia-manusia munafiq. Atau sekedar mencari pahala, yang lagi-lagi bisa menjadikan manusia menyembah pada nafsu saja. Tashawuf memahami bahwa seluruh ibadah yang diatur dalam fikih adalah menjadi sarana merubah atau mentransformasikan diri menjadi insan yang berakhlak mulia. Tashawuf tidak mengajarkan syariat, ibadah sebagai tujuan akhir, tetapi sebagai tahapan atau hal yang harus dilalui dan dilakukan untuk mencapai kedekatan dengan Allah swt.



Dengan demikian, tashawuf sebenarnya mengajarkan manusia untuk tidak menuhankan nafsu, diri sendiri atau keyakinannya. Tashawuf mengajarkan akan kemandirian dalam mencapai puncak kedirian yang merdeka dengan tetap bersinergi dengan jamaah, dengan tatanan keteraturan. Manusia dilatuh untuk membebaskan diri dari kekangan dan kendali nafsu, membebaskan manusia dari hedonisme yang nyata-nyata menjadi akar berbagai masalah di muka bumi. Demikian pula tashawuf mengajarkan cinta kepada Allah, mengajarkan mencintai kepada mereka yang cinta kepada Allah, sehingga kebersamaan dan kesatuan menjadi kuat. Ibarat tubuh, tubuh akan menjadi sehat dengan warga yang seperti itu. Sementara kepada lainnya diajak, diberi teladan melalui akhlak mulia untuk bersama-sama mencintai Allah.



Itulah masyarakat yang dibangun atas dasar nilai-nilai tashawuf, seperti yang ditegaskan dalam sebuah hadits dari ‘Umar bin Khathab ra bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya diantara hamba-hambaku itu ada manusia manusia yang bukan termasuk golongan para Nabi, bukan pula syuhada tetapi pada hari kiamat Allah ‘Azza wa Jalla menempatkan maqam mereka itu adalah maqam para Nabi dan syuhada.”Seorang laki-laki bertanya : “siapa mereka itu dan apa amalan mereka?”mudah-mudahan kami menyukainya. Nabi bersabda: “yaitu Kaum yang saling menyayangi karena Allah ‘Azza wa Jalla walaupun mereka tidak bertalian darah, dan mereka itu saling menyayangi bukan karena hartanya, dan demi Allah sungguh wajah mereka itu bercahaya, dan sungguh tempat mereka itu dari cahaya, dan mereka itu tidak takut seperti yang ditakuti manusia, dan tidak susah seperti yang disusahkan manusia,” kemudian beliau membaca ayat : ” Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (QS Yunus [10]:62 ).



Penutup

Jika selama ini anda sering mendengar, bahwa Islam memberi solusi atas berbagai persoalan kemasyarakatan, maka tashaawuf adalah salah satu solusi yang bisa diajukan dan lebih mudah bisa dipahami oleh masyarakat luas. Namun demikian, berhati-hatilah jangan sampai memahami tashawuf sebagai ajaran anti syariat, ajaran penuh takhayul ataupun ajaran bagi pemalas. Jika demikian adanya, maka anda gagal memahami tashawuf.



Wallahu ‘alamu bisshowab.



Sumber referensi :

Zon Jonggol : “Tanda tanda  seorang muslim telah beragama dengan baik dan benar”, diakses di

https://www.facebook.com/groups/warposan/doc/304569666247959/





FILOSOFI PUNOKAWAN (SAHABAT) PANDAWA



Tokoh punokawan atau batur atau cantrik dari Pandawa tidak akan anda temukan dalam kisah Mahabarata asli dari India. Bisa jadi tokoh tersebut adalah murni kreasi dari para luluhur kita di Jawa. Sebagian besar masyarakat yakin bahwa keberadaan tokoh-tokoh tersebut adalah hasil ciptaan dari Sunan Kalijaga dalam rangka menjadikan media dakwahnya. Dalam konteks tertentu apa yang dilakukan Sunan Kalijaga bisa disebut sebagai perang budaya, tetapi menggunakan budaya itu sendiri, tidak menciptakan budaya baru. Memasukkan unsur-unsur baru dalam budaya serta menambahkan nilai serta filosofi di dalamnya diharapkan dapat memberi dampak bagi para penikmat budaya yang sudah terlanjur jatuh cinta pada kisah Mahabarata.



Berikut ini adalah nama-nama tokoh punokawan tersebut : Semar, Gareng, Petruk dan Bagong. Untuk nama terakhir, di beberapa daerah bisa berbeda, misalnya Bawor di Banyumasan. Keberadaan punokawan adalah pengawal dari para tokoh kebajikan, yaitu Pandawa. Dengan adanya korelasi keberadaan punokawan dan pendawa. Bahwa untuk mencapai derajat mulia, penuh kebajikan maka memerlukan kawan, pendamping dalam bentuk perilaku seperti para punokawan.



Menurut keterangan dan penjelasan dari para sepuh pinisepuh, tentang punokawan tersebut diperoleh bahwa pemberian nama-nama tersebut adalah berasal dari kata-kata Arab (konteks : ajaran Islam), yaitu :



1)   Semar dari kata  (سمر) memaku, tidak tidur, mencairkan, mencukil Dalam pengertian memaku, filosofi yang dikandung adalah keberhasilan seseorang dalam mencapai kebajikan, memerlukan niat yang kuat, dihunjamkan dalam batin. Mencukil segala niat yang tidak baik. Tokoh semar, digambarkan dengan tokoh yang pandai bertutur, matanya merem tapi melek, rambut jambul putih. Itu menunjukkan kebiasaannya yang memang kuat dalam bertapa, kuat tidak tidur, pandai berdiskusi, bijaksana dalam memberi nasehat.

2)   (Nala) Gareng  dari kata (نال) memperoleh, menjadi, memberikan dan (خيرا) kebaikan. Filosofi yang dikandung adalah selain kuat prihatin dan niat, seseorang yang akan menggayuh kebajikan haruslah mampu memperoleh kebaikan dari setiap tindakannya, mampu menjadikan setiap amalnya adalah kebaikan. Dengan demikian, dia akan menjadi pemberi manfaat bagi siapa saja. Tokoh Gareng sering digambarkan sebagai lelaki cacat kakinya, pincang dan juga disebut kantong bolong. Dia bukan orang yang tamak dunia, tetapi tamak kepada kebaikan.

3)   Petruk dari kata (فاترك) meninggalkan. Kebutuhan kawan dalam mencapai kebajikan adalah mampu dan mau meninggalkan hal-hal yang tidak baik, hal sia-sia. Tokoh petruk dilambangkan dengan hidung yang panjang. Tidak seperti tokoh Pinokio yang berarti suka berbohong, tetapi Petruk adalah karakter yang tidak banyak bicara, tetapi banyak kerja, banyak mencium, merasakan keadaan sekitarnya. Mulutnya tertutupi oleh hidungnya (kepeduliannya) dan dipenuhi kerja, amal dan perbuatan yang baik dengan cara meninggalkan yang buruk

4)   Bagong dari kata (بغى) mencari, menyimpan dari hak, durhaka, bohong, dusta. Untuk mencapai derajat kebajikan seperti Pandawa membutuhkan perilaku suka mencari, menimbang mana yang baik dan buruk. Namun demikian pula harus hati-hati agar jangan sampai berbohong, menyimpan kebajikan dan berdusta. Tokoh Bagong digambarkan tokoh yang gendut, banyak ngeyel dan suka nglucu. Juga sering bikin jengkel. Perilaku bagong seperti itu diperuntukkan dalam rangka menimbang berbagai informasi mana yang manfaat dan mana yang tidak. Bisa jadi akhrinya kritis sehingga membuat orang lain merasa terganggu, namun bagi pihak lainnya bisa jadi sebuah guyonan dan banyolan saja.



Sebagai manusia kita didorong untuk mencapai kebaikan dan menjadi golonga orang-orang baik layaknya Pendawa. Namun itu ternyata masih membutuhkan para punokawan yang harus selalu mendampingi dan menjadi bagian dari diri kita. Sudahkah kita mempunyai kawan-kawan seperti itu? Semoga.



Wallahu ‘alamu bisshowab