Arus Balik Ulama Nusantara

Pendahuluan
Akhir-akhir ini terdapat gejala atau fenomena adanya kencenderungan masyarakat mengagumi kepada para ulama atau ustadz yang datang dari Arab. Bagaimanapun harus diakui bahwa tanah Arab, dimana ada Makkah dan Madinah sejak dahulu kala adalah pusat dari keilmuwan Islam. Namun bukan berarti belahan dunia lain tidak layak disebut sebagai pusat perkembangan keilmuwan Islam tersebut. Kekaguman kepada ulama yang datangnya dari Arab, adalah hal yang sah-sah saja. Toh penghargaan kepada ulama adalah sikap yang baik. Namun, ketika sikap itu dibarengi dengan sikap merendahkan atau kurang menghormati ulama Nusantara, maka penghormatan tersebut adalah tidak baik, karena hanya berlandaskan etnis semata.

Arus Utama : Nusantara-Arab-Nusantara

Sikap meremehkan para ulama Nusantara, sebenarnya lebih disebabkan oleh kebutaan sejarah semata (ahistoris). Ketika orang-orang muslim di Nusantara masih belum begitu kuat keilmuwan keislamannya, maka banyak para kyai dan santri yang berasal dari nusantara pergi ke Arab (Makkah, Madinah, Yaman, dll) untuk memperdalam ilmu keislaman mereka. Setelah mereka belajar, kemudian mereka mengembangkan ilmunya di tanah airnya, di nusantara dengan berbagai cara. Ini adalah arus utama model penyebaran dan penguatan islam di Nusantara.

Hubungan Muslim Nusantara dan Timur Tengah terkoneksi sejak Islam berkembang di Nusantara. Berdasarkan studi Azyumardi Azra (Jaringan Ulama,1998), hubungan itu bersifat politis dan keilmuan. Hubungan politis terjalin antara sejumlah kerajaan di Nusantara dengan Dinasti Utsmani. Aceh, Banten, Mataram, telah mengirimkan utusan ke Haramain (Mekkah-Madinah) sejak abad ke-17. Sejak Dinasti Utsmani mengamankan jalur perjalanan haji, kian banyak pula yang menuntut ilmu pada abad ke-14 hingga ke-15. Hal itulah yang mendorong munculnya komunitas Jawi. Orang Arab menyebutnya ashab Al Jawiyin (saudara kita orang Jawi).[1]

Nama-nama ulama seperti Syekh Yusuf Al- Makassary (Makassar) dan Syekh Abdul Rauf Al-Sinkili (Singkel, Aceh), merupakan ulama yang malang melintang menuntut ilmu di Haramain pada abad ke-17. Syekh Abdul Shomad Al-Palimbani (Palembang), Syekh Nafis Al-Banjari (Banjar, Kalsel), Syekh Arsyad Al-Banjari (Banjar, Kalsel) merupakan ulama tasawuf Tarekat Samaniyah yang berpengaruh pada abad ke-18. Kita juga mengenal nama-nama seperti Syekh Nurudin Al-Raniri (Aceh), Syekh Abdul Rahman Al Masry Al Batawi (Jakarta), Syekh Khatib Sambas (Kalimantan), dan lain-lainnya. Pada abad ke-19 hingga awal abad ke-20, ulama kita malah makin hebat-hebat di Mekkah. Karena tak sekadar menuntut ilmu, tapi justru menembus pusat ilmu di Mekkah, yaitu sebagai pengajar dan imam di Masjidil Haram.

Ulama Nusantara Sebagai Sumber Arus Utama

Catatan perjalan ulama-ulama yang dikenal luas di dunia tersebut di atas menempuh jalur keilmuwannya menelusuri jejak-jejak ilmu di nusantara (termasuk melayu), ke berbagai negara lain sebelum pada akhirnya ke jantungnya, yaitu Mekkah dan Madinah. Setelah pulang kembali ke nusantara para ulama tersebut membangun sumber-sumber baru di daerah masing-masing. Jadi dapat dikatakan bahwa pesantren atau ulama nusantara sebenarnya bersumber langsung dari pusatnya dan mencoba menumbuhkan sumber-sumber baru dengan tetap menjaga kemurnian sumber asal tersebut.

Perjalanan Syeh Yusuf Al Makasary menunjukkan bahwa sebelum beliau belajar di Mekkah, beliau telah menimba banyak ilmu terlebih dahulu, misalnya di Cikoang (Sulawesi), Banten, Aceh, Gujarat, Turki dan Yaman. [2]Perjalanan keilmuwan ini menunjukkan betapa banyaknya bekal yang dibawa sebelum akhirnya tekun belajar di Mekkah. Demikian pula Syeh Abdul Rauf Al Sinkli, beliau menimba ilmu di Qatar, Lohor, India dan Aceh tentunya. Hebatnya lagi beliau adalah pengamal 11 tarekah.[3]

Syeh Abdul Shomad Al Palimbani adalah contoh ulama nusantara yang sangat peduli pada perjuangan nusantara, meski beliau sudah menjadi bagian masyarakat Arab. Beliau selalu mendorong agar para pangeran kesultanan Mataram meneruskan perjuangannya melawan Belanda.[4] Sementara Syeh Arsyad Al Banjari sudah dididik ilmu keislaman dalam lingkungan kerajaan Banjar. Demikian pula beliau mempunyai guru yang banyak dan mempunyai sanad keilmuwan yang kuat. Sepulangnya dari Mekah beliau membuka pesantren di Banjar dan menulis banyak kitab. Salah satu kitab yang terkenal dan dipelajari di seluruh nusantara, termasuk Brunei adalah kitab Sabilul Muhtadin.[5] Para ulama tersebut mencetak ulama-ulama lain yang kemudian menjadi tokoh di daerah masing-masing. Pun demikian dengan Syeh Ahmad Khatib Sambas, juga melahirkan para ulama berkaliber, salah satu muridnya yang terkenal adalah Syeh Imam Nawawi Al Bantani.[6]

Gelombang arus berikutnya adalah pada masa abada ke-19-20 seperti Syeh Imam Nawai Al Bantani, Syeh Ahmad Khatib Al Minangkabawi dan Syekh Mahudh At Tarmasi. Mereka adalah contoh penerus ulama nusantara yang membawa harus nusantara dalam khazanah keilmuwan Islam di dunia internasional.

Syekh Nawawi berasal dari Tanara, Banten, adalah ulama yang rendah hati, sangat alim, dan penulis kitab produktif. Syekh Ahmad Khatib berasal dari Minangkabau, adalah mujaddid, yang mendorong pembaruan di Minangkabau. Ahmad Khatib bahkan menjadi imam di Masjidil Haram. Syekh Mahfudh berasal dari Tremas, Pacitan, adalah ulama yang sangat dihormati para kiai Jawa. Murid kesayangannya, KH Hasyim Asyari, pendiri NU, membawa tradisi yang diajarkan Syekh Mahfudh ke Indonesia.

Demikianlah gambaran bagaimana sumber-sumber keilmuwan tersebut bisa tersebar di seluruh nusantara dan mengambil langsung dari sumber mata air di jantung pusatnya. Para ulama-ulama dari nusantara tersebut ternyata juga menjadi sumber utama di Arab, menjadi rujukan para ulama-ulama dari berbagai belahan dunia.

Arus Balik : Arab Sentris

Yang terjadi saat ini ada semacam keterputusan sejarah mengenai arus keilmuwan para ulama nusantara. Ulama-ulama nusantara yang tumbuh, berkembang dan lahir dari pesantren di nusantara kurang mendapat penghormatan yang layak jika dibandingkan dengan ulama yang datang dari negara Asing (khususnya Arab Saudi). Padahal sudah beberapa abad silam, ulama nusantara adalah sumber di Arab Saudi. Demikian pula pesantren atau pusat-pusat keilmuwan yang ada di nusantara adalah warisan atau bagian dari ulama-ulama yang menjadi sumber utama tersebut. Dengan kata lain, ulama produk pesantern di nusantara adalah produk para ulama dahulu yang menjadi sumber arus utama keislaman di nusantara. Mereka tidak kalah alim dalam hal ilmu keagamaan dibandingkan dengan ulama dari negara lain, karena memang mereka menyerap jalur (sanad) yang masih terjaga dan berasal dari sumbernya.

Yang terjadi kemudian adalah para santri atau pelajar berlomba-lomba menempuh jalur pendidikan di pusat-pusat studi di Timur Tengah (Arab), sementara pusat-pusat di nusantara sudah dianggap tidak memadai dan tidak layak. Sikap demikian merupakan wujud dari sikap ahistoris yang melupakan para ulama nusantara terdahulu. Mereka tidak berusaha membangun ketersambungan jalur keilmuwan di nusantara yang memiliki jalur demikian jelas sejak abad ke-17 seperti diuraikan sebelumnya.

Penutup

Secara sederhana, para pelajar dahulu berbondong-bondong berguru kepada ulama dari nusantara, baik yang ada di nusantara maupun yang ada di Arab. Namun saat ini sudah mulai arus balik, dimana mereka  langsung berbondong-bondong ke Arab langsung, dengan meninggalkan ulama nusantara. Inilah yang saya sebut sebagai arus balik ulama nusantara saat ini. Yang lebih memprihatnkan adalah mulai muncul kebanggaan yang menyandarkan adanya Arab sentris, dimana menilai bahwa lulusan Arab (Timur Tengah) adalah jauh lebih alim dan kapabel sebagai ulama dibandingkan mereka yang lulusan dari pesantren di nusantara.

Apakah memang sudah demikian seharusnya? Atau memang kita sudah melupakan sejarah  kita sendiri? Atau ada alasan lain dari itu?

Wallahu ‘Alamu Bishshowab

Catatan Kaki :

"Yahannu" sebagai Strategi Politik

Pendahuluan

Di kalangan kelompok masyarakat tertentu (seperti pesantren) istilah Yahannu sudah biasa digunakan dan akrab. Salah satunya adalah untuk mengungkapkan sikap kecerdikan atau kepura-puraan. Namun juga ada yang menyebut Yahannu sebagai sikap kepura-puraan. KH Hasyim Muzadi sendiri menggunakan istilah Yahannu untuk menggambarkan ruwetnya dalam perpolitikan. “Politik itu yahannu-nya banyak. Politik itu mbulet-mbuletnya banyak. Panggungnya banyak”. [1] Yahannu kemudian menjadi istilah yang mencerminkan sebuah sikap atau kondisi yang tidak baik.

Strategi Yahannu di tangan para kyai (KH A Wahid Hasyim)

Namun demikian, istilah Yahannu dapat dijadikan gambaran tentang gaya politik yang dilakukan oleh para kyai di saat-saat menghadapi situasi yang sangat ruwet bin mbulet dan berbahaya. Kedatangan Jepang, menggantikan Belanda di Indonesia ternyata jauh lebih kejam perlakuannya terhadap masyarakat. Pemerintah militer Jepang, tidak ragu-ragu menyiksa orang-orang yang dianggapnya membangkang, bahkan memenjarakannya jika yang bersangkutan termasuk tokoh masyarakat. Seperti yang dialami KH. M. Hasyim Asy’ari, Rois Akbar NU, dan KH. Machfudz Siddik, seorang Ketua NU. Kedua tokoh ini diksiksa dan dijebloskan ke penjara Jombang selama empat bulan, hanya karena menolak mengikuti orang–orang Jepang, ber-saikere, memberi hormat kepada Tenno Haika, dengan cara membukuk, yang proposinya diyakini melanggar akidah Islam. Kendati pada akhirnya pemerintah Jepang mengoreksi kebijakan menyiksa orang–orang yang enggan ber-saikere, terbukti tidak lama kemudian budaya negeri matahari terbit itu dihapus, tetapi praktek kekejaman di awal kedatanganya itu, cukup membuktikan totaliterianismenya kekuasaan pemerintah militer Jepang. [2]

Situasi seperti itu tentu akan membahayakan bagi perjuangan bangsa Indonesia mencapai kemerdekaan, karena tindakan Jepang yang demikian kejam dan reaktif. Apa yang dialami oleh para kyai tersebut menjadi inspirasi bagi tokoh-tokoh lainnya untuk melakukan terobosan strategi politik di tengah ancaman bahaya dan harapan segera merdeka. Oleh karena itu sikap NU (tokoh-tokoh NU) kepada Jepang tidak sekeras terhadap Belanda, ketika menolak untuk duduk di Vloksraad (dewan perwakilan) bikinan pemerintah Hindia-Belanda. [3] Sikap seperti ini juga dilakukan oleh banyak organsasi perjuangan, dengan satu keyakinan dan harapan segera merdeka. Sikap atau strategi politik seperti itu disebut yahannu. [4]

Dengan sikap yahannu itulah kemudian, beberapa langkah penting serta manfaat yang diperoleh, antara lain :

1)    Beberapa tokoh Islam kemudian diangkat Jepang menjadi anggota legislatif, Chuo Sangi-in. Posisi ini digunakan oleh KH A. Wahid Hasyim untuk menggalang kekuatan dengan kelompok-kelompok lain seperti Muhammadiyah.

2)    Pada september 1943, NU dan Muhammadiyah Jepang mengizinkan dan mengakui aktifnya kembali NU dan Muhammadiyah.

Posisi strategis dan kerjasama NU dengan lembaga-lembaga lain itulah nantinya yang melahirkan Masyumi sebagai kekuatan politik umat Islam dalam melawan penjajahan Jepang.

3)    Di saat Jepang mengumpulkan pemuda dan dilatih menjadi PETA (Pembela Tanah Air), maka KH A. Wahid Hasyim meminta Jepang untuk melatih para santri. Tentara santri inilah kemudian disebut sebagai Hizbullah dan Sabilillah. Namun, kekuatan tentara santri itu tidak boleh dikirim Jepang melawan sekutu dalam peperangan, namun sebagai cadangan saja.

Kelak strategi ini melahirkan para pejuang dan tentara muslim serta menjadi tulang punggung dalam perang Nopember 1945 di Surabaya.

4)    Kelanjutan dari strategi yahannu adalah berhasilnya KH A Wahid Hasyim meyakinkan Jepang untuk mendirikan kantor urusan agama (Shumuka) di seluruh Indonesia. [5]

Melalui strategi yahannu, KH A Wahid Hasyim dan para ulama lainnya berhasil membangun kekuatan strategis, kekuatan tentara (Hizbullah dan Sabilillah), kekuatan politik (keanggotaan dewan perwakilan dan masyumi), kekuatan birokrasi (kantor urusan agama) dan terlibatnya para tokoh pesantren dalam gerakan menuju kemerdekaan. Keberhasilan ini pula yang mampu menekan pemerintah Jepang untuk segera menentukan nasib Indonesia (yang pada kemerdekaan itu dapat diraih oleh bangsa Indonesia sendiri). Bahkan atas masifnya gerakan umat Islam dalam percaturan politik dan pemerintahan tersebut telah mengundang perhatian dunia untuk turut serta menekan Jepang. Syeh Muhammad al Amin al Husaini, sebagai ketua Kongres Muslimin sedunia mengirim kawat teguran kepada Duta Besar Jepang di Jerman agar segera mengambil keputusan atas umat Islam di Indonesia. Tekanan internasional inilah termasuk mempunyai pengaruh signifikan atas janji yang kemudian disampaikan oleh Jepang atas kemerdekaan Indonesia.

Penutup

Yahannu, sebagai sikap cerdik, sikap yang terkesan pura-pura dalam rule of game politik saat Jepang ternyata telah menghasilkan banyak sekali manfaat bagi persiapan kemerdekaan Indonesia. Strategi yahannu dalam perpolitikan oleh KH A Wahid Hasyim menjadi strategi ampuh yang telah membawa manfaat besar bagi umat islam Indonesia dan perjuangan kemerdekaan Indonesia itu sendiri. Namun jika strategi yahannu itu hanya untuk kepentingan pribadi atau golongan, maka tidak pantas menyebutnya sebagai strategi politik yahannu ala pesantren.

Wallahu ‘Alamu Bishshowab

Catatan Kaki :



[1] Tempo, 2004, “Hasyim Muzadi : Pasangan Manapun yang Menang, Selisihnya Tipis”, Rabu 25 Agustus 2004 (Tempo.co.id)




[2] Harry J. Benda, The Crescent and the rising Sun Indonesia; Islam Under the Japanese Occupation 1942-1945, terjemahan Daniel Dhakidae, (Jakarta: Pustaka Jaya  1979 ), hal 155.




[3] Harry J Benda, Ibid.




[4] KH Syaifuddin Zuhri,”Peranan NU dalam Pengembangan Islam dan Membela Tanah Air”, dalam Choirul Anam, 2010, Pertumbuhan dan Perkembangan Nahlatul Ulama, Duta Aksara Mulia.




[5] Choirul Anam, 2010, Ibid.


MAJAPAHIT NEGARA BHINNEKA, BUKAN AGAMA

Jika ada yang manyatakan bahwa Majapahit adalah negara berdasarkan agama tertentu (Hindu/Budha Syiwa), buat saya kurang meyakinkan. Ada beberapa alasan yang bisa saya ajukan, yaitu : Pertama, berdasarkan prasasti Bendasari yang dikeluarkan oleh Rajasanagar (Hayam Wuruk) disebutkan adanya kitab hukum Kutara Manawa atau Kutaramanawadharmasastra yang berisi pasal-pasal dalam hukum pidana dan perdata. Dan isi pasal-pasal tersebut tidak mencerminkan adanya pengaruh dominan dari sebuah agama tertentu (Hindu), namun lebih merujuk pada aturan berdasarkan nilai-nilai masyarakat Jawa pada waktu itu (yang berkembang dalam masyarakat). Misalnya dalam pasal 87 disebutkan : “Barangsiapa sengaja merampas kerbau atau sapi orang lain dikenakan denda dua laksa. Barangsiapa merampas hamba orang, dendanya dua laksa. Denda itu dipersembahkan kepada raja yang berkuasa. Pendapatan dari kerbau, sapi dan segala apa yang dirampas terutama hamba dikembalikan kepada pemiliknya dua kali lipat”. Hewan sapi diperlakukan sebagai hewan ternak (kekayaan) seperti kerbau dan lainnya (bukan hewan suci yang tak tersentuh). Pasal 108 berbunyi :”Djika seorang istri enggan kepada suaminja, karena ia tidak suka kepadanja, uang tukon (mahar) harus dikembalikan dua kali lipat. Perbuatan itu disebut amadal sanggama (menolak bertjampur)”.

Kedua, Dalam sistem kependetaan (tokoh agama) ada dua yaitu kependetaan yang dekat dengan agama dan para pertapa di luar istana (Rsi). Para Rsi ini bisa datang dari berbagai agama, tidak hanya dari Hindu. Setiap tahun diadakan acara paseban (pertemuan besar), dimana tokoh-tokoh agama hadir, dari pendeta, Siwa, Budha dan Rsi untuk membacakan kitab suci dan mantra untuk keselamatan Raja. Dan seluruh tempat-tempat suci dari berbagai agama tersebut dilindungi dan dibantu oleh Raja.

Paling tidak dua alasan utama itulah yang membuat saya yakin bahwa Majapahit di saat Hayam Wuruk menerapkan sistem hukum positif yang bersumber dari nilai-nilai yang berkembang dalam masyarakat, bukan sistem agama tertentu, namun bisa diterima oleh masyarakat yang beragama ragam. Oleh karena itu, saya menyebutnya majapahit sebagai kerajaan (negara) bhinneka. Maka menjadi wajar, jika Islam juga berkembang dan mencapai penerimaan luas oleh masyarakat, karena memang kerajaan tidak membatasi agama tertentu untuk berkembang.

Disarikan dari :

Agus Aris Munandar, 2008, “Kejayaan Kerajaan Majapahit Rajasanagara di Puncak Peradaban Majapahit (1350-1389)”, Departemen Arkeologi, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia.

 

CERITA KANCIL DAN KEYONG : KESEMBRONOAN BERAKIBAT FATAL

Kancil sebagai hewan yang lincah, cerdik, pandai, atletis dan rupawan demikian membanggakan dirinya. Makhluk seperti Keyong dihina dan direndahkan. Demikian hinaannya :

“sudah mati saja//hidup lama juga celaka//wujudmu jelek//dengan punggung//tidak lumrah makhluk Tuhan seperti itu//polah tingkah rumahmu turut serta//merecoki dalam bekerja”

“luhung cupêta bae wis | urip ndêdawa cilaka | wujud sifatira asor | sarta tyasmu punggung mudha | tan kaprah makhluking Hyang | mobah molah wisma katut | ngrêribêdi barang karya ||”

mokal darbea sirèki | kagunan ingkang mulyarja | pantêse atimu bodho | klêlar-klêlêr mak-êmakan | tur tan darbe agama | kitab Kuran nora wêruh | apa manèh tatakrama ||

“Mustahil kamu punya kemulyaan//pantas saja hatimu bodoh//klelar kleler manja//juga tak punya agama//kitab Quran tidak tahu//apalagi tata krama//

Begitulah awal perseteruan antara kancil dan keyong, sehingga keyong menantang adu lari. Dan perlombaan laripun terjadi. Setiap kancil lari mendahului Keyong, di depannya ada “Kancil aku di sini”, begitulah seterusnya. Sehingga pada akhirnya Kancil menyerah kalah.

Sikap sombong kancil telah membuatnya tidak jeli dan teliti. Bahkan bentuk keyong yang sudah kodratpun dicaci maki. Namun justru karena bentuk itulah keyong memenangkan pertarungan.

Seringkali manusia “gebyah uyah”, menggenelarisir terhadap orang lain. Tidak pernah mau jeli dan memahami bahwa setiap individu adalah unik. Jangan sampai sikap kecerobohan seperti Kancil ini menjermuskan kita ke dalam kesalahan yang sama seperti dialami oleh si Kancil.

Dikutip dari Kitab :
KANCIL KRIDHAMATANA
Oleh : Raden Panji Natarata, Ngayugyakarta
Diterbitkan oleh H. Buning, Yogya, 1909

Sumber : Yayasan Sastra Lestari

Bersatu Atas Nama Bangsa

Adalah bangsa Amerika yang dikenal dan mengenalkan dirinya sebagai bangsa yang kokoh persatuan dan kesatuannya. Banyak film menyajikan bagaimana ketika satu orang Amerika teraniaya di sebuah negara, maka akan segera mendapatkan bantuan dan pertolongan. Mengapa? Karena dia bangsa Amerika.

Konflik kepentingan para pebisnis dari Amerika di berbagai belahan dunia, hampir selalu mengupayakan keuntungan hanya bagi mereka. Jika toh ada yang kalah, maka akan ada “kompensasi” atau tidak merugi besar. Bagaimana dengan warga lokal? Mereka selalu dinomosekiankan. Bagi mereka warga lokal sikap semacam itu sungguh zalim dan diskriminatif, tanpa mengutamakan prinsip keadilan dan nilai kemanusiaan universal. Bahkan, perbedaan ideologi, agama, ras, selama itu bangsa Amerika akan menjadi prioritas.

Sungguh Ironi, kita sebagai bangsa Indonesia. Banyak sekali warga kita menderita di bumi bangsa lain. Tapi apakah kemudian “bertempur” mengenakkannya?

Saat ini, sikap yang ditempuh bangsa Amerika sudah ditiru oleh bangsa-bangsa lain. Lihatlah Singapura, bagaimana sikap mereka terhadap para pelarian koruptor dari Indonesia. Sikap Malaysia dalam menghadapi konflik dengan Indonesia atas problem warganya.

Jika hanya perbedaan paham keagamaan saja kemudian kita melupakan warga bangsa lainnya dan aniaya terhadap mereka, bagaimana kita membangun kejayaan bangsa kita sendiri?

Jika politik, ekonomi dan agama tak lagi mampu menyatukan kita, mungkin atas nama bangsa Indonesia kita bisa tetap bersatu. Tak ada diskriminasi antarsesama warga bangsa Indonesia. Belajarlah kepada mereka yang sudah mampu membangun itu semua.

Merdeka ..............!!!

 

 

 

Sisi Lain Gus Dur

Salah satu orang yang dikenal luas sebagai penelusur situs-situs makam ulama (wali) adalah Gus Dur. Andai ada istilah Sarjana Kuburan (Sarkub), maka beliau sangat layak disebut Profesornya. Apa yang dilakukannya tidak sekedar ziarah, berdo’a dan untuk kepentingan diri sendiri. Tetapi apa yang dilakukan selama ini telah meninggalkan jejak bertebaran dan menjadi inspirasi banyak orang.

Makam yang dulu tidak dikenali, setelah kedatangan beliau, menjadi situs yang kemudian banyak diziarahi. Masyarakat yang sebelumnya tidak mengenal dengan para tokoh ulama tempo doele, pada akhirnya berusaha untuk menggali lebih dalam keberadaan tokoh yang sudah diungkap oleh Gus Dur

Sungguh itu merupakan pembelajaran yang mencerdaskan, karena selalu memberi tantangan bagi mereka yang benar-benar serius untuk menggali sejarah situs-situs makam tersebut. Pada akhirnya, kita semua diajak kembali kepada sejarah perjuangan para leluhur sebelumnya.

Banyak contoh dan teladan dari para oelama doeloe yang bisa ditransformasikan dalam konteks kekinian. Pun demikian kita menjadi bisa lebih memahami segala aspek sosial dan lingkungan dimana kita hidup.

Jika, dari mereka yang masih hidup jarang yang bisa kita teladani, maka kepada mereka yang sudah mati, kita bisa bangkitkan keteladanannya.

Anda boleh tidak bersepakat dengan saya, tapi itulah yang saya pahami.

Wallahu 'Alamu Bishshowab

 

 

 

 

Ajaran dari Sunan Kudus (Pantangan-Pantangan)

Niki dawuh ajaran saking Kanjeng Susuhunan ing Kudus (Sunan Kudus) :

1) ora kena dhahar iwak sapi
2) ora kena ngunjuk powan sapi (susu sapi)
3) ora kena sikara (nyiksa) marang macan
4) ora kena cidra
5) ora kena laku durjana
6) ora kena ngunjuk wargang (arak)
7) ora kena dhahar iwak banyak
8) ora kena gawe seriking sapada-pada
9) ora kena dhahar iwak celeng
10) ora kena dhahar iwak gangsir
11) ora kena kesed
12) ora kena nganake duwit
13) ora kena mingkuh manawa wis kabener
14) ora kena adol dodolan kang oleh bathi akeh
15) ora kena dhahar timun sarta krai
Sumber : Kitab Sabda Sasmaya

SERAT PATEKAH

Bismillahirrahmanirrakim ... Utawi sakèhing puji kaduwe ing Allah.

Alkamdulillahi ... Jênênge kang murba misesa.

Robbil ngalamin ... Allah Ingsun kang pinangeran.

Arohmannirakim ... Kang murah ing donya asih ing akerat.

Malikiyaomiddin ... Nyatane karaton Ingsun.

Iyyaka nakbudu ... Ingsun kang anêmbah kang sinêmbah.

Wa iyaka nastangin ... Ora anane ingsun iki, sira kang ana, iku ora ketung Ingsun malih.

Ihdinas siratal mustakim.........Nyatane ananira iku ananingsun.

Siratalladina an'amta ngalaihim ... Margaa ing sira, Ingsun suka dening sira, margane ana mukmin ya dening sira.

Ghaeril maghlubi ngalaihim, waladdêlolin ... Ya Ahmad, sira iku ya ora beda lan ananingsun, lan mukmin iku ora beda kalawan wali, Ingsun iku ya Ahmad, dudu sira, sajatine ora ana Ingsun lan sira, yaiku wahananira wahananingsun.

Amin ... Rasanira rasaningsun, iya iku kang aran tingal bagêna.

Sumber : Yayasan Sastra Lestari

BUDDHA = DZUL KIFLI A.S?

1. Menurut Abu’l Kalam Azad (seorang Urdu scholar), Sang Buddha (Buddha Shakyamuni) yang dikenal sebagai guru suci bagi umat Buddha tidak lain adalah Nabi Zulkifli as, yg dalam Al-Quran disebut sebagai Nabi yg mempunyai tingkat kesabaran yang tinggi, dan sangat baik. Dalam bahasa Arab Zulkifli sendiri berarti “orang yg berasal dari Kifl”. Sedangkan Kifl itu sendiri, masih menurut Kalam Azad, merupakan nama Arab untuk Kapila (singkatan dari Kapilavastu).

2. Buddha Maitreya yang dikenal dalam agama Buddha sebagai “Buddha yang akan datang” menurut beberapa analisa tidak lain adalah Nabi Muhammad saw. Dalam kitab Chakkavatti Sinhnad Suttanta D. III, 76 bisa ditemui: “There will arise in the world a Buddha named Maitreya (the benevolent one) a holy one, a supreme one, an enlightened one, endowed with wisdom in conduct, auspicious, knowing the universe“.

SIAPAKAH NABI ZULKIFLI

Zulkifli bermaksud sanggup menjalankan amanah raja. Menurut cerita, raja di negeri itu sudah lanjut usia dan ingin mengundurkan diri daripada menjadi pemerintah, tetapi beliau tidak mempunyai anak.

Justeru, raja itu berkata di khalayak ramai:”Wahai rakyatku! Siapakah antara kamu yang sanggup berpuasa pada waktu siang dan beribadah pada waktu malam. Selain itu, sentiasa bersabar ketika menghadapi urusan, maka akan aku serahkan kerajaan ini kepadanya.”

Tiada seorang pun menyahut tawaran raja itu. Sekali lagi raja berkata:”Siapakah antara kamu yang sanggup berpuasa pada waktu siang dan beribadah pada malamnya serta sanggup bersabar?”

Sejurus itu, Basyar dengan suara yang lantang menyatakan kesanggupannya. Dengan keberanian dan kesanggupan Basyar melaksanakan amanah itu beliau diberi gelaran Zulkifli.

Baginda juga adalah nabi yang cukup sabar seperti firman Allah, bermaksud:
“Ismail, Idris dan Zulkifli adalah orang yang sabar dan Kami beri rahmat kepada semua karena mereka orang yang suka bersabar.”

SIAPAKAH SIDDHARTHA GAUTAMA

Pada akhir abad ketujuh S.M. (tahun 623 S.M.), lahirlah seorang yang bernama Siddhartha Gautama di bandar Kapilavastu/Kapilavathu (Kapil, lidah Arab menyebut Kafil @ Kafli). Siddhartha Gautama merupakan putera kepada Raja Suddhodana dan Permaisuri Maha Maya. Raja Suddhodana dari keturunan suku kaum Sakyas, dari keluarga kesastrian dan memerintah Sakyas berdekatan negeri Nepal. Manakala Permaisuri Maha Maya pula adalah puteri kepada Raja Anjana yang memerintah kaum Koliya di bandar Devadaha.

Sebelum kelahiran Buddha: Permaisuri bermimpi dibawa oleh 4 orang dewa ke sebuah gunung yang tinggi. Kemudian, permaisuri melihat seekor gajah putih yang cantik. Pada belalai gajah itu terdapat sekuntum bunga teratai. Gajah mengelilinginya 3 kali sebelum masuk ke dalam perut permaisuri.

MAKSUD ISTILAH BUDDHA

Dalam agama Buddha, perkataan Buddha bermaksud ‘seorang yang bijaksana’ atau ‘dia yang mendapat petunjuk’. Kadang kala istilah ini digunakan dengan maksud ‘nabi’. Gautama Buddha pernah menceritakan kedatangan seorang Antim Buddha. Perkataan Antim bermaksud ‘yang terakhir’ dan Antim Buddha bermaksud ‘nabi yang terakhir’ (Antim terakhir yang dimaksudkan ialah Muhammad SAW sebagai Nabi dan Rasul terakhir). Pada saat kematian Gautama Buddha, beliau memberitahu perkara ini kepada pengikut setianya bernama Ananda.

Makna “Nabi” dalam bahasa Arab (berasal dari kata naba yang berarti “dari tempat yang tinggi”; karena itu orang ‘yang di tempat tinggi’ dapat melihat tempat yang jauh). Nabi dalam bahasa Arab sinonim dengan kata Buddha sebagaimana yang difahami oleh para penganut Buddha. Sinonimnya pengertian ini dapat diringkaskan sebagai “Seorang yang diberi petunjuk oleh Tuhan sehingga mendapat kebijaksanaan yang tinggi menggunung”.

RINGKASAN KISAH SIDDARTHA GAUTAMA

Kelahiran Bodhisatta (Bodhisattva, bakal Buddha atau bakal mencapai Pencerahan) pada tanggal 623 S.M. pada bulan purnama Vesak. Selepas sahaja Bodhisatta dilahirkan, Permaisuri Maha Maya mangkat selepas tujuh hari melahirkan anak.

Pada hari kelahiran Bodhisatta telah disadari secara ghaib oleh seorang tua yang sedang bertapa di kaki gunung Himalaya yang digelar Asita Bijaksana (nama asalnya Kala Devala). Asita bergegas ke istana pada keesokannya untuk melihat dan menilik putera Raja Suddhodana.

Asita mendapati terdapat 32 tanda utama dan 80 tanda kecil menunjukkan Bodhisatta bakal menjadi Manusia Agung dan Guru Agung kepada manusia dan dewa-dewa (i.e. Jin dan Malaikat, kelemahan umat Hindu dan Buddha ialah tidak dapat bedakan antara Jin dan Malaikat yang keduanya dipanggil DEWA-DEWA).

Asita menangis karena sedih tidak sempat mendengar ucapan dan pengajaran Buddha di masa akan datang, beliau kemudian berlutut tunduk hormat kepada bayi Bodhisatta.

Kenyataan terakhir Asita ialah Bodhisatta hanya akan menjadi salah satu dari dua yaitu sekiranya ia kekal membesar dalam istana dia akan menjadi Maharaja Agung manakala kalau dia berjaya lari dari istana maka dia akan menjadi Mahaguru Agung.

Upacara menamakan putera raja diadakan pada hari kelima selepas Boddhisatta dilahirkan. Pada akhir majlis itu, 108 orang bijaksana memutuskan nama yang sesuai untuk putera raja iaitu SIDDHARTHA GAUTAMA yang membawa maksud ‘Cita-Cita Terkabul’.

Siddhartha kemudian membesar di istana dan belajar kepada seorang guru istana bernama Sirva Mitra. Beliau menjadi pelajar yang luar biasa pintar dan mahir dengan ilmu ketenteraan. Yang menjadi keheranan kepada orang disekeliling dan gurunya ialah sifat Siddharta yang sensitif terhadap penganiayaan hingga tidak ada seorang pun yang beliau lihat menganiaya binatang kecuali mencegahnya serta merta.

Malah beliau sangat bersedih melihat para petani berkerja keras membajak tanah dibawah terik matahari menyebabkannya lari ketempat lain ke sebuah pohon (Tiin-Bodhi) dan duduk di sana secara bertafakur (samadhi) untuk membuang stress.

PERSAMAAN NABI ZULKIFLI DENGAN SIDDARTHA GAUTAMA

Maka berbalik kepada maudhu’ perbahasan, benarkah Buddha itu disebut dalam Al-Qur’an? Sebenarnya tidak ada kata-kata “Buddha” dalam Al-Qur’an, namun menurut Dr. Alexander Berzin bahawa terdapat catatan para sejarawan dan peneliti yang mengaitkan beberapa ayat Al-Qur’an dengan Sang Buddha, yaitu pada maksud ayat;

“Demi (buah) Tin (fig) dan (buah) Zaitun, dan demi bukit Sinai, dan demi kota (Mekah) ini yang aman, sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya (neraka), kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh; maka bagi mereka pahala yang tiada putus-putusnya. Maka apakah yang menyebabkan kamu mendustakan (hari) pembalasan sesudah (adanya keterangan-keterangan) itu? Bukankah Allah Hakim yang seadil-adilnya?”(At-Tin 95 : 1)

Beliau menjelaskan bahwa buah Zaitun melambangkan Jerusalem, Isa a.s. (Jesus, Kristian). Bukit Sinai melambangkan Musa a.s. dan Yahudi. Kota Mekah pula menunjukkan Islam dan Muhammad SAW. Manakala pohon Tin (fig) pula melambangkan apa?

Tin (fig) = Pohon Bodhi

Pohon Bodhi adalah tempat Buddha mencapai Pencerahan Sempurna. Al-Qasimi di dalam tafsirnya berpendapat bahawa sumpah Allah SWT dengan buah tin yang dimaksud ialah pohon Bodhi. Prof. Hamidullah juga berpendapat sama dengan al-Qasimi bahawa perumpamaan pohon (buah) tin (fig) di dalam Al-Qur’an ini menunjukkan Buddha itu sendiri, maka dari sinilah mengapa sebahagian ilmuan Islam meyakini bahawa Buddha telah diakui sebagai nabi di dalam agama Islam.

Manakala Hamid Abdul Qadir, seorang sejarawan abad ke-20 mengatakan dalam bukunya Buddha Yang Agung: Riwayat dan Ajarannya (Arab: Budha al-Akbar Hayatuh wa Falsaftuh), menjelaskan bahawa Buddha adalah nabi Dhul-Kifl, yang bererti “ia yang berasal dari Kifl”. Nabi Dhul-Kifl @ Zulkifli disebutkan 2 kali dalam Al-Qur’an:

“Dan (ingatlah kisah) Ismail, Idris dan Dzulkifli (Dhul Kifl). Semua mereka termasuk orang-orang yang sabar.” (Al-Anbiya’ 21: 85).

“Dan ingatlah akan Ismail, Ilyasa, dan Dzulkifli (Dhul Kifl). Semuanya termasuk orang-orang yang paling baik.” (Shad 38 : 48).

KESIMPULAN

“Kifl” adalah terjemahan Arab dari Kapilavastu (Kapil), tempat kelahiran Bodhisattva (Buddha). Hal ini juga yang mungkin menyebabkan Mawlana Abul Azad seorang ahli teologi Muslim abad ke-20 turut menekankan bahawa Dhul-Kifl dalam Al-Qur’an boleh jadi adalah Buddha.

Dalam sejarah Islam, Nabi Zulkifli a.s. adalah antara nabi yang mempunyai cerita yang paling sedikit dibicarakan. Hal ini mungkin menjadi faktor kepada sebahagian ulama’ menyamakan watak Dzul-Kifli dalam Al-Qur’an dengan Buddha yang secara kebetulan banyak persamaan sekiranya disuaikan.

Yang menarik perhatian saya ialah mengenai surah at-tin (the fig). Allah berfirman mengenai pokok/buah tin, pokok/buah zaitun, bukit sinai dan kota mekah. Mekah dikaitkan dgn Nabi Muhammad s.a.w., Bukit Sinai dengan Nabi Musa, zaitun dengan Nabi Isa a.s., dan siapa pula dikaitkan dengan buah atau pokok tin?

Dikatakan dalam sejarah bahawa Gautama Buddha duduk bawah pokok tin. Kalau ikut istilah islam, dia dapat wahyu masa duduk bawah pokok tersebut. Ikut tulisan orang Buddhist, dia dapat ilham masa duduk bawah pokok tersebut.

Bila Allah berfirman :“Wattiini wazaitun. watuurisinina wahazal baladil amin.”
Allah menyebut perihal Nabi-Nabi-Nya. Tiin (Nabi Zulkifli-Buddha), Zaitun (Nabi Isa a.s), Siniina- bukit Sinai (Nabi Musa) dan Baladil amin -Tanah yang aman dan selamat (Mekah)- Nabi Muhammad saw. ia ikut urutan, hebatnya Qur’an sebagai kalimat Tuhan susunan sejarah riwayat Nabi-Nya. Mari kita sama-sama fikirkan. HANYA ALLAH YANG MAHA MENGETAHUI.

Sumber : http://mualaf-alhamdulillah.blogspot.com/2012/06/ternyata-sidharta-buddha-gautama-adalah.html

Antara WATU (Batu) dan BUTO (Wuto)

Ajaran kapiTAYAn yang kemudian dipengaruhi oleh materialisme, menumbuhkan pemahaman personifikasi DIA YANG MUTLAK dalam dua bentuk diri utama, yaitu TU yang baik dan TO yang jahat. Dua-duanya adalah bentuk dari TUHAN itu sendiri. Penyembahan kepada salah satunya adalah bagian dari penyembahan kepadaNYA.

Maka, tidak mengherankan ketika sebelum ditemukannya logam, WATU (Batu)-kuWAT-kuWATe TU, menjadi perwujudan dari TU yang paling kuat, yang paling berkuasa. Seiring dengan penemuan berbagai jenis logam, WATU diganti dengan logam, mulai dari tembaga, emas, perak dan sebagainya. Demikianlah kita saksikan berbagai tradisi di berbagai belahan dunia.

Sementara, BUTO menjadi diri yang jahat, bertampang jelek, menakutkan dan sebagainya. BUTO adalah TO yang BUTuh, atau BUTuh-BUTuhe TO. Persembahan dalam bentuk pengorbanan hewan dan manusia menjadi bagian dari penyembahan kepada BUTO. Kepada WATU mereka hanya sekedar memberi makanan ala kadarnya dari sayur, nasi atau paling banter hewan ternak. Bahkan tidak memerlukan sesajen itu seperti itu sama sekali.

Siapa saja yang menyembah kepada BUTO, maka dia akan WUTO (Buta), karena dia hanya melihat TUHAN yang kejam saja. Tidak sedikitpun melihat dan yakin adanya kelembutan.


Wallahu 'Alamu

IBU

Keberadaan IBU adalah karena anak-anaknya. Seorang IBU hadir sebagai pendamping  suaminya. Maka IBU adalah bagian tak terpisahkan dari sebuah keluarga.

Suami yang  mulia derajat dan tinggi pangkatnya adalah berkat jasa seorang IBU.
Anak-anak soleh dan solihah serta membanggakan tak lahir  kecuali buah dari kepahlawanan seorang IBU.
Seorang IBU adalah bandul penyeimbang, antara anak dan bapaknya dalam keharmonisan keluarga.

Yah ... seorang IBU, mereka yang mampu mengikuti gerak juang suaminya.
Yah... seorang IBU, mereka yang mampu memainkan ritme tingkah polah anak-anaknya.

Karena IBU adalah orang yang mengimbangi itu semua dengan budi pekerti yang utama, menurut dawuhe si Mbah : “IBU kuwi, marang anak lan bojo...Imbangana Budi Utama”.

Kepada Almarhum

Orang yang sudah meninggal itu, bagaimanapun sudah memasuki kesadaran baru, bisa jadi lebih jernih atau mempunyai pandangan berbeda atas kehidupan dunia.

Baik kesalahan, kebenaran, dosa, maksiat, ibadah dan sebagainya telah mulai terkuak baginya atas kehakikiannya.

Baik penyesalan maupun kebahagiaan yang diperolehnya di alam kubur sudah mulai disadari sebagai bentuk akibat perbuatan di masa hidupnya.

Sementara, kita yang hidup di dunia, masih belum begitu jelas, karena dunia bukan keadilan mutlak bagi manusia.

Maka sungguh, tak layak manusia yang hidup menghakimi mereka yang sudah di alam kubur, yang lebih dahulu memperoleh bukti-bukti atas amal perbuatannya.

Salam Rahayu....

Ajaran Sesat dalam Serat JILJALAHA

SERAT JILJALAHA demikian namanya. Tulisan/karangan dari Raden Riya Radadiningrat, soerang abdi dalem bupati di Ngayogyakarta.  Naskah ini bisa dikatakan lain daripada yang lain. Terutama pada cara membacanya (memahaminya), harus dipahami secara terbalik (pemahaman berkebalikan). Jika di situ dianjurkan untuk melakukan sesuatu, maka yang dikehendaki adalah sebaliknya. Namun, bagi siapa saja yang ingin membuktikan hasil dari anjuran itu boleh-boleh saja, resiko tanggung sendiri.

Nama JILJALAHA bila dibalik menjadi JILJA, JAJIL, LAHA, ALA artinya JAJIL yang ALA (Jajil yang jelek). Bisa jadi ini adalah ajaran si JAJIL (AJAJIL) dalam versi Jawa. Saya cuplikkan beberapa saja :

Dalam bait ke-10 :

lawan aja sok ngênèhi dhuwit | nyang wong mlarat mundhak kêtularan | nadyan ta tanggamu anggèr | kalamun anjêjaluk | lênga tuwin sêga sathithik | ginawe dulang bocah | poma sira putu | wis aja korèwès pisan | iku ingkang dadi jalaran bilai | gombale anênular ||

“kepada orang lain, jangan beri uang// kepada orang miskin hanya bikin (ketularan) miskin// meski tetanggamu meminta minyak atau sedikit nasi untuk memberikan makan anaknya// andaipun kamu itu adalah cucu// sudah jangan dianggap// itu semua yang menyebabkan bilahi//gombalnya menular//”

Bait ini menganjurkan untuk tidak membantu kepada orang lain, meski orang tersebut miskin, sangat membutuhkan untuk makan. Sebab itu semua justru membuat sengsara.

Dalam bait ke-24 disebutkan :

lan yèn nuju sira kaki | jêjagongan lan wong kathah | yèn ana sing wani nyêngès | ngajak gêguyon mring sira | ya banjur pisuhana | mênèk wani malês misuh | jur sudukên babar pisan ||

“Jika engkau duduk bersama dengan orang banyak// jika ada yang berani cengar-cengir mengajak guyon// ya makilah dia// kalau berani membalas memaki// tusuk saja sekalian//”

Banyak lelaku yang intinya memuaskan nafsu sebagai cara mencapai surga.

lamun sira tumêkèng pati | tamtu ginanjar swarga | anèng watu lumbung | ika rak katon suwarga | yèn wus antuk pitulunge Hyang Ijajil | byar jlêg katon suwarga ||

“Jika engkau mati tentu mendapat ganjaran surga// di batu itu kan kelihatan surga// jika sudah mendapat pertolongan Hyang IJAJIL// cling.. nampak surga.

Anda mau mencoba mendalami dan mempraktekkan? Lebih baik jangan, tidak semua orang mampu mencapai puncaknya dan kuat dengan segala resikonya.

Wallahu ‘Alamu

*) Sumber : Serat Jiljalaha, Yayasan Sastra Lestari.

 

 

 

 

DIBALIK JATUHNYA GUS DUR : SUKSESI DENGAN KECACATAN

Pendahuluan

Sukurlah akhir-akhir ini muncul beberapa peristiwa yang menyangkut Gus Dur, khususnya seputar lengsernya dari Jabatan Presiden di tahun 2001. Selama ini banyak beredar persepsi dan itu sering dihembus-hembuskan bahwa : a) Gus Dur Lengser karena telah melanggar hukum, yaitu kasus penggelapan dana Yanatera Bulog dan Kasus Gratifikasi dari Sultan Brunai Darussalam, b) Gus Dur lengser karena telah mengeluarkan maklumat/dekrit tertanggal 22 Juli 2001 disimpulkan sebagai tindakan melawan negara dan mengancam kemanan dan ketertiban negara. Dua poin tersebut menjadi bahan sejarah masa kini, hingga kita semua menjadi tidak paham apa yang sesungguhnya terjadi. Tulisan ini mencoba menampilkan sudut pandang lain mengenai lengsernya Gus Dur.

Pansus Yang Cacat Sejak Lahir

Salah satu peristiwa yang dapat dijadikan pijakan kronologis jatuhnya Gus Dur dari kursi kepresidenan adalah adanya Pansus Buloggate dan Bruneigate tersebut. Dalam dasar pembentukannya, panitia khusus tersebut mencantumkan UU 6/1954 tentang pengaturan hak angket DPR sebagai pelaksanaan UUD Sementara 1950 (pasal 70). Melihat jenis aturan yang dijadikan dasar tersebut dapat dikatakan Pansus sudah cacat sejak lahirnya, karena UU tersebut menganut sistem pemerintahan parlementer dan saat itu (2001) sudah tidak berlaku lagi.

Jika toh kemudian UU tersebut masih diakui keabsahannya dalam masalah hak angket, maka ada beberapa kecacatan selama proses pansus, yaitu :

a)    Ketentuan pencatatan pada lembaran negara di saat pembentukan pansus, namun kenyataannya baru tiga bulan setelah bekerja dimasukkan dalam lembaran negara (pelanggaran Pasal 1 (2) UU UU 6/1954

b)    Pembiayaan pansus ditentukan melalui rapat pleno DPR sebagai mata anggaran DPR, namun selama proses berjalan tidak pernah ada anggaran resmi mengenai hal itu.

Demikian pula cacat itu juga berkaitan dengan Tata Tertib DPR, Menurut tata tertib ini, DPR juga melakukan pelanggaran. Pasal 153 ayat 1 berkenaan dengan penentuan biaya pansus, dan itu juga tidak dilakukan. Pelanggaran berat juga dilakukan oleh Pansus terhadap Tata Tertib DPR-RI. Menurut pasal 156 ayat 1, mengenai laporan tertulis dan berkala hasil pansus kepada pimpinan DPR, dibagi ke anggota dan disampaikan kepada presiden. Pelanggaran berat ini terjadi karena sampai selesainya laporan akhir, Pansus tidak pernah melaporkan kepada Pimpinan DPR ataupun kepada anggota, dan juga tidak pernah memberi laporan tertulis kepada Presiden.

Memorandum adalah Targetnya

Ketika proses penyelidikan dilakukan ternyata hasilnya tidak mempunyai dasar kuat atas kasus hukum Buloggate dan Brunaigate. Anehnya hasil pansus tersebut berubah menjadi memorandum kepada presiden. Padahal hasil pansus menunjukan bahwa, ternyata hanya 31,94% dari penyelidikan pansus yang berupa fakta. Sedang 37,50% masih berupa keterangan yang harus diverifikasi untuk bisa menjadi fakta, dan 31,94% sisanya berupa analisis dan kesimpulan,yang sama sekali bukan merupakan tugas dan wewenang Pansus.

Memorandum seakan-akan menjadi target awal sejak Pansus Dana Yanatera Bulog dan pansus Sultan Brunai Darussalam ini dibentuk. Padahal hasil momerendum kepada Presiden Abdurahman Wahid tidak memiliki landasan hukum (konstitusi). Menurut ketentuan hak penyelidikan (Angket) dalam peraturan tata tertib DPR tidak ada satu pasalpun yang menyebut peringatan kepada Presiden berupa memorandum. Tindakan yang dilakukan DPR inilah yang sudah melenceng jauh dari tugas dan wewenang pansus, dengan kata lain pansus telah melanggar peraturan.

Namun kalangan DPR tidak kalah akal, maka berdalih Tap MPR No.3/1978 dijadikan dasar hukum adanya memorandum. Pada saat menjawab memorandum I, Gus Dur menolak memorandum I dan keterlibatannya dalam kasus Buloggate dan Bruneigate. Tidak berselang lama (memo I tanggal 28 April 2001 dan 20 April 2001) hanya dua hari, DPR menjatuhkan memorandum II dan mengusulkan adanya Sidang Istimewa. Jika dirunut kronologis berawal dari kasus Buloggate dan Bruneigate yang lebih kepada aspek hukum, maka tindakan DPR dalam konteks ini sudah keterlaluan, karena adanya niatan melakukan ipmpeachment kepada presiden. Inilah bagi Gus Dur sebagai kondisi berbahaya bagi kenegaraan. Tanggal 20 Juli 2001 Amin Rais menyatakan SI dapat dipercepat pada tanggal 23 Juli 2001, dan untuk mengatasi gerakan membahayakan tersebut, maka Gus Dur mengeluarkan dekrit yang isinya termasuk membekukan MPR dan DPR.

Dekrit tersebut, kemudian dibaca oleh mereka lawan-lawan politik sebagai peluang untuk benar-benar menyelenggarakan SI. Persis pada hari yang sama, saat maklumat itu dibacakan oleh Yahya Cholil S, di gedung DPR/MPR pemakzulan dilakukan dan hari itu juga Indonesia mempunyai presiden baru.

Penutup

Bagi anda yang masih bisa berpikir jernih, maka apakah kasus Buloggate atau Bruneigate adalah semacam alat politik saja, sebab bagaimanapun itu adalah kasus hukum tidak bisa DPR mengurusi proses hukumnya. Namun faktanya, itu semua dijadikan dalih politik untuk memberikan rasa tidak percaya kepada Gus Dur dan selanjutnya menjadi alat melengserkannya. Bisa jadi, alasan sebenarnya bukan itu semua. Masih ada fakta-fakta lain tersembunyi yang bisa menjelaskan mengapa Gus Dur dilengserkan. Namun, jika pertanyaan mengapa Gus Dur turun dari jabatan Presiden, maka jawaban yang tegas adalah sebab dilengeserkan oleh mereka yang dengan sengaja menghendakinya. Bukan karena pelanggaran atas peraturan apapun. Berbagai kecacatan yang menyertai pelengseran Gus Dur akan tetap menjadi bahan polemik dan menjadi bagian sejarah bangsa ini. Bersukurlah setelah dilengserkan Gus Dur biasa-biasa saja, tidak sedikitpun melakukan upaya-upaya perlawanan berarti. Sehingga tak ada darah tertumpah.

Sumber :

1)    Kronologi lengsernya Gus Dur http://nasional.news.viva.co.id/news/read/117600-kisah_kejatuhan_gus_dur_dari_kursi_presiden

2)    Fakta-fakta pelanggaran terhadap undang-undang dan tata tertib DPR oleh Pansus Dana Yanatera Bulog dan Sumbangan Sultan Brunei, di http://hasni.4mg.com/benar_files/halpol_files/politik.htm

3)    Sidang Istimewa atau Dekrit, di http://teguhtimur.com/2001/06/02/sidang-istimewa-atau-dekrit/

4)    Sumber-sumber lain

FAJAR

Fajar adalah tanda sebagai pembeda
Fajar adalah batas sebagai penjelas
Fajar adalah bekal bagi yang berakal

Pembeda bahwa malam tlah sirna
Penjelas bahwa derita tlah berganti rupa
Bekal bahwa kelak membutuhkannya

Bahwa waktu ada malam dan hari
Bahwa manusia ada yang berjodoh dan sendiri
Bahwa setiap masa ada perubahan di dalamnya

Itulah kenyataan
Waktu dan sejarah terus berjalan
Berganti, berputar adalah sebuah kepastian

Kaum ‘Ad yang berjaya
Kaum Tsamud yang digdaya
Fir’aun yang berkuasa

Semua berganti
Semua tiada abadi
Hanya kerusakan yang terkenang kini

Kuasa Sang Khaliq tlah berlaku
Balasan siksa menjadi belenggu
Karena pengawasan yang tanpa pandang bulu

Itulah potret manusia
Disaat berjaya merasa dekat dengan Tuhannya
Disaat menderita merasa Tuhan menjauhinya

Padahal Tuhan tidak pernah meninggalkannya
Semua karena akal budinya
Semua karena tingkah polah belaka

Kepada anak-anak yatim tak memuliakan
Kepada yang kelaparan tak memberi makan
Itulah sebab murka adanya

Halal haram tetap dimakan
Harta benda sungguh cinta tak terlukiskan
Itulah sumber mala petaka

Di saat bumi dihancur leburkan
Di saat maut menjemput dengan paksaan
Di saat jahannam dihadirkan

Manusia hanya mengeluh tanpa daya
Manusia hanya meronta dan mengiba
Tapi semua itu sia-sia belaka

Menanggung siksa tak terkira
Merasakan jeratan yang kuat perkasa
Membelenggu hingga manusia menyesali hidupnya

Wahai jiwa yang tenang
Wahai jiwa yang mengerti
Wahai jiwa yang menyadari

Sadarlah soal silih berganti
Ingatlah hidup di kemudian hari
Saat inilah batas yang terang benderang

Terimalah itu semua dengan suka hati
Baik yang kaurasa gembira dan menyakiti
Hingga Tuhan kepadamu menyayangi

Maka engkau layak sebagai abdi
Yang mengenal dan tahu diri
Masuklah dalam surga yang abadi

*) Surabaya, 29/11/2012

Menyikapi Masa Lalu : Butuh Kejelasan Kita Saat Ini

Menyimpan Persoalan

Kasus Sutan Batugana beberapa waktu lalu berkenaan pernyataan dia yang dinilai sebagai pernyataan yang melecehkan Gus Dur sebenarnya dapat dijadikan pelajaran berharga atas perjalanan bangsa ini. Bahwa ketika seorang presiden diganti/diturunkan/dimakzulkan melalui Ketetapan MPR akan menyimpan masalah di kemudian hari. Sebab proses pergantian semacam itu lebih pada wiliayah politik, bukan hukum. MPR sebagai lembaga politik tertinggi negara, merupakan representasi dari kehendak politik rakyat. Itu adalah ketentuan konstitusinya. Namun karena itu produk politik (meski Tap MPR juga bagian dari sumber hukum), maka kesalahan yang mengakibatkan TAP itu keluar didasarkan atas pertimbangan dan perimbangan kekuatan politik. Sukurlah saat ini sudah mulai disaratkan adanya dasar hukum dari proses pemakzulan tersebut.

Belajar dari kasus beberapa presiden sebelumnya, yaitu Soekarno dan Soeharto harusnya bangsa ini belajar lebih baik bagaimana membangun masa depan di saat transisi kekuasaan terjadi. Sikap terhadap rezim masa lalu menjadi prasyarat yang sangat penting di dalamnya. Soekarno yang diturunkan lewat Ketetapan MPRS No. XXXIII/MPRS/1967 tidak pernah segera diselesaikan dalam langkah-langkah konkrit. Baru tahun 2003 MPR mengeluarkan Ketetapan MPR No.1/MPR/2003 tentang 139 Tap MPR/MPRS sebelumnya yang masih berlaku dan tidak berlaku. Lebih dari 30tahun sebagian persoalan dijawab, yaitu secara otomatis isi dari Tap MPRS yang menempatkan Sokarno sebagai pihak yang bersalah tidak berlaku.

Soeharto, yang ditetapkan oleh MPR untuk diusut tuntas soal korupsinya yang berarti ada dugaan di dalamnya juga menyisakan persoalan. Demikian pula Gus Dur, yang dilengeserkan melalui sidang istimewa dengan ketatapan karena mengeluarkan dekrit dan dianggap membahayakan negara. Jika Soekarno butuh waktu selama itu, kapan untuk Soeharto dan Gus Dur?

Tidak Tegas Bersikap

Fakta ini memberikan gambaran bahwa sekian kali kita melakukan pergantian pemimpin, dengan proses yang melawan rezim berkuasa, tidak pernah tuntas bersikap terhadap rezim sebelumnya, yang diganti. Soekarno hanya disebut sebagai Pahlawan proklamator, artinya kepahlawanan Soekarno hanya karena proklamasi. Memang peristiwa itu sangat krusial dan fundamental, tetapi melihat kiprah perjuangan beliau layakkah hanya diberi gelar “sebagian” seperti itu? Baru pada masa SBY gelar pahlawan nasional diberikan. Dan nampaknya pemberian gelar semacam itu juga sedang dilakukan. Soeharto disebut-sebut sebagai Bapak Pembangunan, Gus Dur disebut-sebut sebagai Bapak Pluralisme. Apalah arti gelar atau sebutan semacam itu, jika kejelasan sikap atas beliau berdua tetap tidak jelas? Dan kecil sekali menunjukkan gejala kejelasan tersebut. Apakah diharapkan dengan sebutan itu kemudian dapat meredakan gejolak yang bisa timbul bagi para pendukung dan pengagumnya?

Sebutan sebanyak apapun, jika persoalan yang inti belum terselesaikan maka akan sulit sekali menentukan sikap selanjutnya. Apakah Soeharto seorang korup? Seorang penjahat HAM? Kan tidak pernah jelas soal itu, padahal masalah-masalah itulah yang dulu menjadi sebab beliau dilengserkan. Apakah Gus Dur memang mengacau negara? Membahayakan negara? Toh setelah lengser juga tidak terjadi apa-apa, biasa saja, tanpa perlawanan. Apakah terbukti dalam kasus suap Buloggate dan Brunaigate? Dari sisi hukum sudah jelas, SP3. Ketika keduanya sudah meninggal, apakah persoalan semacam ini akan selalu menjadi beban bagi anak cucu kita?

Rasanya sangat perlu bagaimana kita saat ini memberikan kejelasan mengenai kasus-kasus tersebut demi anak cucu kita kelak. Apakah akan berdamai, dan memutihkan segala masalah rezim masa lalu? Atau membiarkan bangsa ini melupakan, kemudian tiba-tiba ada penyelesaian seperti Soekarno itu? Jika itu yang dilakukan, berapa puluh tahun lagi generasi kita harus menanggung beban dendam sejarah? Bagi mereka yang akan bermain-main dalam politik, maka isu ini akan mudah digesek dan diledakkan. Di saat itu siapkah generasi kita menghadapinya? Mereka butuh kejelasan kita saat ini.

Wallahu 'Alamu Bishshowab

 

 

 

 

 

 

Materialisme dan Ajaran Kapitayan

Sebelum saya membahas lebih jauh, perlu saya sampaikan bahwa pemilihan istilah Ajaran Kapitayan adalah upaya saya untuk membedakan dengan kepercayaan ataupun kejawen yang sudah berkembang demikian ragam. Demikian pula materialisme yang saya maksud adalah dalam pengertian luas dan berkaitan dengan kepercayaan akan Tuhan, Sang Pencipta.

Penyesatan oleh materialisme

Sebagaimana dijumpai di belahan dunia lainnya, persoalan materialisme menjadi ancaman serius dalam perkembangan sebuah ajaran (agama). Perkembangan agama samawy yang turun di belahan timur tengah menampilkan sebuah gambaran bahwa materialisme merupakan ancaman serius dalam kemurnian konsep Agama yang lurus, dalam penyembahan kepada Tuhan YangEsa (Ajaran Tauhid). Ketika Agama samawy yang dibawa oleh Nabi Adam, Hud, Soleh, Ibrahim, Musa, dan sampai kepada Kanjeng Nabi Muhammad SAW godaan dan ajakan kepada materialisme begitu kuat dan membuat banyak manusia sesat. Seperti Namrud, Fir’aun adalah contoh manusia yang terjebak pada materialisme dalam arti diri sendiri, sebagai bagian materi ciptaan (hamba) yang mengaku menjadi Tuhan yang layak disembah. Bagaimana Korun, Bal’am, Samiri yang tersesat oleh kilauan materialisme dalam bentuk harta, ilmu dan sesembahan. Masih banyak lagi bentuk-bentuk materialisme, termasuk di dalamnya adalah hedonisme, pemuasaan nafsu sahwat yang berlebihan.

Materialisme dalam konteks ini adalah sebuah pemahaman dan keyakinan bahwa materi adalah sebagai segala-galanya, maka Tuhan itu “tidak ada”. Demikian pula materialisme mengajarkan upaya untuk mempersonkan Tuhan dalam bentuk materi, apakah manusia, ide yang tercapai oleh akal, batu dan bentuk-bentuk lain. Memang manusia tidak bisa lepas dari kebutuhan akan materi, namun ajaran tauhid selalu mengajak manusia kembali kepada Sang Pencipta materi, bukan terjebak dan terpukau oleh materi itu sendiri.

Ajaran Kapitayan dan Materialisme

Jauh sebelum masuknya beberapa agama, ide dan kepercayaan ke Jawa, masyarakat Jawa mempunyai ajaran Kapitayan, yaitu kepercayaan kepada Shang Hyang Taya (Diri yang tanpo kinoyo). Zat mutlak yang disebut Tuhan sebagai sumber segala sesuatu dikonsepsikan dalam kata Taya yang diartikan sebagai tan kinoyo (tak dapat diserupakan dengan apapun), karena DIA adalah yang absolut dan tak terjangkau. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa ajaran ini masih lurus, karena mengusung keESAan (monotheisme). Sebagian orang ada yang berpendapat bahwa ajaran ini juga mengajarkan sembahyang (sembah hyang) di tempat yang disebut langgar (batu datar dalam bentuk kotak). Waktu melakukannya ada tiga, yaitu di saat matahari terbit, beduk (beduk siang dan malam bisa jadi 2 kali) dan terbenam. Soal tatacara ini memang kurang meyakinkan, karena memang masyarakat Jawa saat itu masih belum mengenal tulisan (pra sejarah), sehingga sangat mengandalkan budaya tutur, yang sangat memungkinkan adanya distorsi-distorsi. Namun soal Kapitayan beberapa ahli sejarah membenarkannya.

Kembali kepada topik. Bahwa Ajaran Kapitayaan yang monotheis dalam perkembangannya juga dipengaruhi oleh materialisme. Shang Hyang Taya sebagai sumber baik itu kebaikan dan keburukan (menurut pandangan manusia), pada akhirnya dijatuhkan pada dua diri, yaitu diri yang baik dan buruk (padahal itu hanyalah sudut pandang manusia). Hingga kemudian muncul konsep Tu dan To, dimana Tu adalah yang baik dan To adalah yang buruk. Ada sebagian kemudian ini dikaitkan dengan keberadaan dua tokoh, yaitu Semar (sebagai pemawa ajaran Tu) dan Togo (sebagai pembawa ajaran To), dan bisa jadi lebih tragisnya adalah Semar sebagai Wujud Shang Hyang Taya yang Baik dan Togog adalah wujud Shang Hyang Taya yang buruk. Jadi sudah ada derivasi dari Tuhan menjadi person-person, sudah tidak Tunggal Lagi.

Keberadaan Tu dan To juga dimaknai oleh beberapa kalangan sebagai bentuk penyembahan, dimana Tu mengajarkan penyembahan kepada Shang Hyang Tunggal (Tu-nggal) dan To adalah mengajarkan penyembahan Kepada Shang Hyang Taya dengan berbagai sarana. Di sini kemudian lebih jauh lagi bahwa Shang Hyang Taya menyatu (dalam arti satu fisik) dalam berbagai benda fisik dan nonfisik. Karenanya baik yang fisik dan nonfisik tersebut kemudian diyakini sebagai Shang Hyang Wenang (sebutan lain karena Kuasa), maka pada perkembangan ini sudah menjadi politheisme, beragam Tuhan. Fenomena inilah kemudian oleh ahli Barat (Belanda khususnya) menyebut animisme dan dinamisme. Dan ini yang biasa disebut sebagai agama asli Jawa. Padahal dari uraian sebelumnya tidak demikian.

Dengan datangnya berbagai kepercayaan dan agama di Jawa kemudian memunculkan keragaman keyakinan yang demikian banyak dan kompleks, seperti ajaran pengorbanan (bahkan korban manusia di beberapa gunung berapi di Jawa). Pengaruh materialisme berikutnya adalah adanya pemujaan hawa nafsu dalam segala bentuk. Misalnya minuman keras (mabok), seks (medok), membunuh dan sebagainya dalam sebuah ritual. Ini adalah perkembangan lebih jauh daripada To itu tadi, yang mengajarkan penyembahan kepada Shang Hyang Taya dengan beragam cara dan sarana, meski itu dengan tindakan buruk. Mereka yakin juga sampai kepadaNYA. Sisa-sisa ajaran seperti ini juga disinyalir masih ada di beberapa daerah meski itu sangat rahasia.

Dengan uraian di atas, sungguh benar, jika dikatakan bahwa cobaan manusia hidup di dunia yang terberat adalah materi. Kebutuhan akan materi seringkali menjerumuskan kepada cinta berlebihan dan pengagungan. Demikian pula ketakjuban kepada materi dalam segala bentuknya juga telah mendorong manusia meyakininya sebagai sumber kehidupan, bahkan Shang Hyang Tunggal yang tan kinoyo opo-opo (Shang Hyang Taya) dianggap tidak ada diada-adakan saja sesuai selera manusia. Semoga kita bisa melewati ujian berat ini tidak jatuh kepada penyembahan yang keliru.

Wallahu 'Alamu Bishshowab

Robby, Ana Abduka

Berdo’a
Seringkali kita berdo’a, dalam setiap perbuatan
Apa saja, mengharap kebaikan atau mencegah kejelekan

Berdo’a
Jujur saja selalu kita berharap sesuatu, dan tentu
Sangat berharap sesuatu itu wujud

Berdo’a
Banyak lancar biasa tanpa makna
Banyak penuh makna penuh rasa

Berdo’a
Bisa dengan tutur tuntunan
Bisa pula bahasa kebanyakan

Berdo’a
Jujur juga tak jarang tanpa hasil seperti yang dipinta
Harus diakui itu seringkali membuat kecewa

Berdo’a
Tak kan ada tanpa motivasi
Tak kan terlaksana tanpa isi hati

Berdo’a
Sering kita berputus asa kepadanya
Sering pula semangat karenanya

Berdo’a
Karena hanya sebagai hamba, maka layak meminta
Karena bukan sebagai pribadi, yang layak dipenuhi

Berdo’a
Baik karena diberi atau meminta
Baik sudah diterima atau ditunda

Robby, ana abduka

Sby-11 Muharram 1434 H (24/11/2012 : 23.26)

Satrio Piningit : Sebuah Teori Politik

Istilah Satria  Piningit

Istilah Satrio  Piningit  banyak  dijumpai  dalam  naskah klasik Jawa. Dari sekian naskah yang menyebut keberadaan Satrio Piningit tersebut secara umum mengabarkan bahwa Satria Piningit tersebut adalah penguasa (Ratu atau Raja) yang adil, bijaksana, memimpin rakyatnya mencapai kesejahteraan dan kejayaan. Namun, dalam naskah-naskah tersebut banyak menggunakan ungkapan-ungkapan simbolik untuk mendeskripsikan tentang sosok pribadinya, apalagi menuju pada person tertentu. Sehingga banyak tafsir atas satria piningit tersebut yang bisa “seenaknya” dilabelkan kepada seseorang. Tentu bagi pihak-pihak yang meyakininya mengajukan argumen yang berusaha meyakinkan kepada pihak lain dan itu bukan seenaknya atau asal-asalan.

Dari sekian gambaran tentang satrio piningit yang paling menonjol justru keberadaannya yang samar itu, tersembunyi/disembunyikan (piningit), dalam sebuah ungkapan disebut “pudhak sinumpet”, pandan yang harum namun tidak tercium aroma wanginya. Dengan kata lain, satrio piningit yang digambarkan seperti itu sangat membuka ruang tafsir personifikasi yang luas dan sepanjang zaman. Kriteria keadilan, kesejahteraan dan kejayaan adalah identifikasi berikutnya untuk menguatkan pelabelan kepada seseorag yang diberi sebutan satrio piningit.

Satria Piningit adalah Sebuah Teori Politik

Menurut saya, konsep satrio piningit merupakan sebuah teori politik khususnya berkenaan dengan suksesi, pergantian kepemimpinan atau pemilihan umum (dalam konteks saat ini). Mengapa saya menyebut demikian? Naskah-naskah tentang satrio piningit lahir dari sebuah tradisi dimana sistem yang dikenal luas dan paling menonjol adalah sistem penunjukan atau pewarisan. Para raja di Jawa masa itu biasa menunjuk calon penggantinya atau putra mahkota yang akan menggantikannya kelak. Tradisi ini sudah menjadi tradisi suksesi yang populer, tidak aneh dan menjadi pengetahuan umum. Namun dalam kebijakan para leluhur, selalu akan muncul kemungkinan yang tidak umum, tidak terduga, dimana suksesi dimenangkan oleh mereka yang selama ini tidak terkenal sebelumnya. Katakanlah, munculnya Raden Patah pendiri Demak, dapat dikatakan sebagai satrio piningit dalam konteks keberlangsungan Majapahit atau kerajaan besar di Nusantara. Siapa yang mengenal Raden Patah sebagai pewaris sebuah kerajaan? Tentu tidak pernah populer sebelumnya, tersimpan dan tersembunyi keberadaannya.

Itulah mengapa saya menyebutnya sebagai sebuah teori politik. Dengan kemunculan tokoh yang tidak populer sebagai pemenang atau penguasa maka akan memberi kerangka teoritik bagi proses suksesi di masa berikutnya. Jadi, para bijak leluhur kita dahulu sudah mengingatkan kepada kita bahwa sewaktu-waktu dimungkinkan muncul seorang penguasa yang tak terduga, dan tokoh itu ternyata benar-benar menjadi penguasa yang baik. Semua tak pernah masuk dalam hitungan, tidak dikenal dan populer.

Kasus kemenangan Jokowi-Ahok dalam pemilihan kepala daerah DKI Jakarta beberapa waktu lalu dapat dijelaskan dengan teori sukses ala satrio piningit. Banyak lembaga survey yang menghasilkan kesimpulan studiya yang menang adalah pasangan Fauzi Bowo (incumbent).  Foke sudah dikenal luas, apalagi dia adalah incumbent. Jadi tidak piningit lagi. Banyak tokoh-tokoh lain yang dikenal punya track record yang layak dan pantas jadi gubernur DKI Jakarta. Tetapi apakah kemudian Jokowi-Ahok memenuhi kriteria satrio piningit berikutnya yang Ratu Adil? Maka ini belum bisa. Sebab masih panjang dan perlu pembuktian. Bahkan untuk memenuhi konsep ratu adil yang disebut dalam naskah Jawa klasik, banyak kriteria yang harus dipenuhi. Jadi, dengan teori politik sukses ala satrio piningit ini kita bisa lebih memahami terjadinya sebuah suksesi yang di luar prediksi dan kepopuleran.

Variasi Satria Piningit menurut Ranggawarsito

Dalam pandangan Ranggawarsito, seorang pujangga Jawa ternama mengajukan 7 model satrio piningit. Dalam pemahaman saya, 7 model tersebut untuk melengkapi konsep piningit.  Artinya, tersembuyi seperti apakah yang bisa menjadi variasi dari seorang kesatria tersebut.

7 Model tersebut adalah sebagai berikut :

1)    SATRIO KINUNJORO MURWO KUNCORO. Tokoh pemimpin yang akrab dengan penjara (Kinunjoro), dan sangat tersohor diseluruh jagad (Murwo Kuncoro). Artiya ketakterdugaan itu adalah dalam model seringnya dipenjara. Banyak orang tentu tidak akan menduga kepada orang yang suka dipenjara itu bisa menjadi penguasa. Mana bisa, padahal dirinya sendiri saja lama di penjara atau sering ke luar masuk penjara? Dengan model ini, kita tidak boleh gegabah dalam menilai seseorag, apakah seseorag yang dipenjara selamanya adalah penjahat? Tentu tidak. Sebab ada penjara politik, dimana urusannya adalah urusan kekuasaan, dan sebagai pihak yang melawan penguasa dan kalah tentu masuk penjara adalah wajar. Lihatlah Lech Walesa atau Nelso Mandela atau Soekarno. Di saat mereka dipenjara, tentu tak ada teori manapun yang bisa mendukung atau meyakinkan mereka layak jadi presiden.

2)    SATRIO MUKTI WIBOWO KESANDUNG KESAMPAR. Tokoh pemimpin yang berharta dunia (Mukti) juga berwibawa/ditakuti (Wibowo), namun akan mengalami suatu keadaan selalu dipersalahkan (kesandung kesampar). Hal ini mirip dengan model yang pertama, namun kesialannya tidak dalam bentuk penjara. Bisa jadi kesialannya adalah kegagalan-kegagalan dalam pemilu atau tak dianggap. Maka orang-orang macam itu bisa menjadi pemenangnya. Model ini banyak ditemukan dalam proses pemilihan kepala daerah di Indonesia.

3)    SATRIO JINUMPUT SUMELA ATUR. Tokoh pemimpin yang diangkat/terpungut (Jinumput) akan tetapi hanya dalam masa jeda atau transisi atau sekedar menyelingi saja (Sumela Atur). Model ini menekakan adanya penguasa yang muncul karena diambil. Sebenarnya tidak dikehendaki banyak orang karena situasi tertentu dia ditunjuk/dipilih. Model ini  sangat pas diterapkan pada penguasa-penguasa masa transisi, seperti pejabat pelaksana tugas.

4)    SATRIO LELONO TAPA NGRAME. Tokoh pemimpin yang suka mengembara / keliling dunia (Lelono) juga seseorang yang suka bertapa di keramaian. Model ini lebih tepat ditafsirkan sebagai orang yang sebenarnya menggembleng dirinya serius dalam kepemimpinan, menyiapkan dirinya, namu tidak berambisi dalam kekuasaan. Orang-orang hanya mengenal sebagai pencari ilmu, pengusaha yang suka berkeliling atau insinyur yang sibuk dengan pekerjaannya. Sehingga dia dianggap seperti kebanyak manusia yang sibuk dengan urusan biasa dan bertingkah seperti kebanyak orang. Seorang artis bisa saja menjadi penguasa, karena artis itu biasa saja dalam kacamata politik, dan berbaur dengan kehidupan duniawi.

5)    SATRIO PININGIT HAMONG TUWUH. Tokoh pemimpin yang muncul membawa kharisma keturunan dari moyangnya (Hamong Tuwuh). Model ini juga tersembunyi. Sebenarya memiliki trah penguasa, punya akses untuk berkuasa tetapi semua itu tidak diketahui orang, tidak terkenal. Model ini juga memperkuat ungkapan bahwa seorang penguasa/tokoh lahir dari penguasa pula.

6)    SATRIO BOYONG PAMBUKANING GAPURO. Tokoh pemimpin yang berpindah tempat (Boyong) dan akan menjadi peletak dasar sebagai pembuka gerbang (Pambukaning Gapuro). Model ini merujuk pada orang-orang baru yang selama ini tidak berkecimpung dalam politik kekuasaan. Dia diibaratkan sebagai satrio boyong (berpindah), dan itu sebagai langkah pembuka untuk memasuki dunia politik. Ketersembunyian model ini adalah dalam bentuk perpindaha bidang seseorang. Misalnya seorang yang selama ini bergelut sebagai petani, tetapi setelah memasuki dunia politik yang baru dan berusaha keras mampu menjadi pemenang.

7)    SATRIO PINANDITO SINISIHAN WAHYU. Tokoh pemimpin yang amat sangat Religius sampai-sampai digambarkan bagaikan seorang Resi Begawan (Pinandito) dan akan senantiasa bertindak atas dasar hukum / petunjuk Allah SWT (Sinisihan Wahyu).  Model ini juga tidak terduga, apalagi di zaman Ranggawarsito. Seorang kestaria yang sangat dekat dengan kehidupan ruhani, kemudian menjadi penguasa? Tentu zaman itu tidak lazim dan tak populer. Namun saat ini itu bisa saja terjadi.

Model-model satrio piningit yang diajukan Ranggawarsito tersebut, tentu pada zamannya belum lazim, dan benar-benar piningit, tersembunyi. Namun saat ini semua model bisa dijumpai dalam proses suksesi di beberapa negara atau daerah. Jika dalam pengertian ini, maka Ranggawarsito telah melampui pikiran orang pada zamannya menyangkut proses suksesi. Dan inilah mengapa banyak orang menyebutnya sebagai ramalan. Padahal, jika dilihat seperti uraian di atas, justru model yang diajukan oleh Ranggwarsito sebagai penjelas atau deskrispi yang lebih luas daripada sekedar “pudhak sinumpet” yang muncul pada era sebelumnya.

Wallahu ‘Alamu Bishshowab

ISLAM DATANG MELAWAN KESOMBONGAN

Kelahiran Iblis

Ketika Azazil dengan bala malaikat menumpas makhluk perusak bumi, baik dari bangsa Jin dan lainnya yang sudah berperang dan konflik berlarut-larut, maka mulialah ia. Kerusakan dan kekacauan akibat perang merebut kekuasaan atas bumi tersebut telah menghancurkan banyak kehidupan. Prestasi gemilang tersebut kemudian mengantarkannya kepada sebuah kedudukan mulia di sisi Allah SWT. Sebagai pimpinan para malaikat yang mulia, sungguh luar biasa hadiah tersebut bagi Azazil atas usaha dan perjuangannya mengembalikan bumi menjadi damai.

Hingga suatu masa, Allah SWT mengumumkan diciptakanNYA makhluk yang diplot menjadi khalifah di bumi. Azazil tersentak dengan pernyataan dan kenyataan tersebut. Terlebih lagi Allah SWT mendudukkan makhluk tersebut sebagai makhluk yang mulia, dan sangat layak menjadi khalifah, sebagai pengendali kehidupan dunia. Rasa berontak Azazil semakin tegas ketika Allah SWT memerintahkan semuanya untuk tunduk (sujud) kepada makhluk tersebut, yaitu Adam, jenis manusia. Bahkan ia berargumen kepada Allah SWT : “Aku lebih baik dari dia, karena aku tercipta dari api, sedang ia dari tanah”. Sungguh jawaban yang luar biasa beraninya. Ia lupa bahwa kedudukan yang ia peroleh saat ini, prestasi gemilang yang ditorehkan, kekuatan dan keahlian yang dimiliki semua berasal dari Allah SWT. TETAPI dia hanya melihat itu semua karena dirinya sendiri, karena dirinya berasal dari bahan yang lebih baik. Dengan sengaja ia telah memutuskan rahmat dan nikmat dari Allah SWT. Maka kemudian Allah SWT melaknatnya, mengusirnya dari surga. Kedudukan mulia dicabut dan diganti dengan derajat yang demikian rendah serendah-rendahnya. Ia seolah berharap, dengan kedudukan mulia itu mendapat kemuliaan yang lebih tinggi, terbukti dengan dipilihnya manusia menjadi khalifah, dia langsung berontak. Apa yang tersimpan dalam dadanya melalaui peperangan dan upayanya menumpas makhluk perusak bumi ternyata hanya mengejar kedudukan semata. Dia berputus asa dari rahmat Allah SWT yang akan mengalir terus kepadanya meski tidak harus menjadi khalifah di bumi. Maka tersebutlah ia sebagai Iblis, yang berputus asa dari rahmat Allah SWT.

Sungguh Allah SWT Mahamengetahui apa yang ada dalam batin makhluknya, dan DIA Mahamengetahui apa yang akan terjadi kelak, masa lalu dan masa kini. Pilihannya kepada manusia seolah berlawanan dengan apa yang terjadi sebelumnya, seperti bagi Azazil ketika jabatan mulia diperolehnya melalui jerih payah dan kekuatannya. Terbukti kelak Adam dan keturuanannya lah yang mampu menjadi makhluk termulia di sisi Allah SWT. Saat itu, Iblis tidak tahu sama sekali, tetapi dia sudah merasa paling tahu. Dia merasa paling mengenal seluruh makhluk Allah SWT, dan dialah yang terbaik, tetapi lupa bahwa Allah SWT adalah yang Mahamengetahui akan makhlukNYA.

Kesombongan adalah Ajaran Iblis

Kesombongan Iblis, karena kecewa dengan ketetapan Allah SWT yang menentukan Adam sebagai khalifah, karena dia merasa yang paling berhak atas itu, karena dia memang sedari awal menginginkannya, karena dia merasa mempunyai potensi dan kekuatan yang lebih baik, karena ia sudah underestimate terhadap Adam, karena dia menilai rendah apa yang belum ia kenali dan ketahui. Ya, kesombongan yang muncul sebagai bentuk pembangkangan kepada Allah SWT, telah melupakan diri, dari mana dia berasal, dari mana semua yang diperolehnya. Iblis hanya terpaku pada asalnya yang dari api, prestasi dari upaya dan kekuatan diri sendiri. Sungguh sikap menafikan Allah SWT, yang mengakibatkannya terlaknat dan terusir dari surga.

Demikianlah, selanjutnya Iblis mengajak manusia, keturunan Adam menjadi kawannya yang terlaknat, yang berputus asa, yang memutus rahmat Allah SWT. Menjadi kawan untuk menafikan Allah SWT, bahkan untuk menghabisi sesama makhluk (manusia) yang menyembah Allah SWT. Suatu bukti yang semakin membuat Iblis sangat membenci manusia, di saat banyak keturunan Adam menjadi kekasih Allah SWT, menjadi hamba pilihanNYA. Maka setiap ada manusia-manusia tersebut lahir dan hidup di dunia, Iblis akan selalu berupaya keras untuk menghabisinya, menyesatkannya. Upaya tersebut akan terus dilakukan hingga masa perjanjian tiba, dimana masa pengadilan yang sesungguhnya ditakdirkan oleh Allah SWT.

Banyak dari golongan manusia mengikuti jalan yang sudah ditempuh oleh Iblis. Yakni meyakini kekuasaan materi, merasa dirinya sebagai golongan yang paling unggul dan mulia. Sejarah manusia dihiasi oleh pertempuran dan perebutan akan materi, seperti keyakinan Iblis bahwa kekuatan dan prestasinya lah yang layak mendapatkan posisi paling mulia di sisi Allah SWT. Saksikanlah bagaimana Fir’aun, Namrud, Hitler, Zionis, Jengkhis Khan, dan sebagainya merasa dirinya paling unggul dan mulia. Bahkan kelakpun dunia akan tetap terisi catatan sejarah yang tidak jauh berbeda dari kisah-kisah itu semua.

Islam datang Melawan Kesombongan

Nabi Muhammad SAW diutus ke dunia dengan misi menyelamatkan manusia dari godaan Iblis, mengembalikan kedudukan yang sepantasnya dan seharusnya sebagai hamba Allah SWT, yang mana kedudukan tersebut sebenarnya sebagai kedudukan yang paling mulia (ini sangat berbeda dengan pandangan Iblis). Nabi Muhammad SAW meneruskan dan menyempurnakan apa yang sudah diawali oleh Nabi Adam a.s, dan para nabi setelahnya. Tetapi Iblis tidak pernah lupa kepada sumpahnya untuk menyesatkan manusia.

Iblis telah berkali-kali mengajarkan manusia untuk tersesat. Kepada Fir’aun, Qorun dan Namrud diajarkan soal prestasi diri, soal kapasitas diri yang unggul dibandingkan manusia lainnya. Namun rayuan Iblis begitu sempurna ketika menjerumuskan umat Nabi Musa, a.s. (Bani Israel). Tidak sekedar kapasitas dan kemampuan diri yang unggul, tetapi dibisikkan kesombongan berikutnya atas dalih keunggulan kodrati, asal dan keturunan. Seperti Iblis ketika mengklaim bahwa api lebih mulia daripada tanah. Sejarah bani Israel dipenuhi dua kesombongan itu, karena prestasi dan asal kodrati. Bagi mereka bangsa Israel adalah kodratnya pling mulia, paling layak menjadi penguasa dunia. Maka tidak mengherankan, para nabi dari kalangan mereka sendiri difitnah, dilawan bahkan dibunuh, karena mereka semua mengajarkan kepada penghambaan kepada Allah SWT, tidak mencintai dunia. Apalagi ketika mereka mengetahui datangnya Rasul yang dianggap bukan dari golongan mereka yang dikabarkan melalui kitab suci wahyu langit. Demikianlah Nabi Isa menjadi korban yang sangat tragis, difitnah untuk diserahkan kepada dikatator untuk disalib. Namun Allah SWT berkehendak lain, menyelamatkanNYA. Tapi lagi-lagi mereka menghasut bahwa yang digantung adalah Isa dan ia adalah Anak Allah.

Kedatangan Rasulullah Muhammad SAW, semakin membuat Iblis berupaya keras melakukan penyesatan-penyesatan. Banyak kaum Israel berhasil disesatkan. Nabi Muhammad dengan tegas, jelas dan lantang menyatakan perang dengan Iblis, dengan wahyu yang diterima, “sesungguhnya yang paling mulia diantara kamu adalah yang paling bertaqwa”, ini jelas-jelas menyadarkan atas kesesatan yang diajarkan oleh Iblis, bukan karena prestasi dalam beribadah, berjuang dan sebagainya. Jika itu semua tanpa dilandasi dengan ketaqwaan maka sia-sialah. Sebab Iblis sudah pernah mencapai itu semua. Ketaqwaan adalah kunci dimana menjadi pembeda (antara hasil upaya Iblis dan orang bertaqwa) dimana pembeda yang paling jelas adalah sikap kehambaan, penyerahan diri total kepada Allah SWT (Islam). Hal itu muncul dalam bentuk perilaku rendah diri, saling menghormati, kasih sayang, saling membantu, tidak terjebak dalam kehidupan dunia dan sebagainya.

Apakah setelah Nabi Muhammad SAW tuntas mengajarkan Islam Iblis berhenti? Jelas tidak, karena saat perjanjian dengan Allah SWT masih belum jatuh tempo. Umat Islam juga dihasut, yang mana fitnah dan hasutan itu selalu didasarkan pada satu ajaran pokok yaitu kesombongan, baik sebab materi, prestasi atau asal diri. Belajar dari pengalaman umat-umat nabi sebelumnya, maka banyak diantara kaum muslimin sendiri saling bertikai, saling menghabisi hanya demi menunjukkan kehebatan dan prestasi mereka atau karena asal mereka atau demi kejayaan materi semata. Itu akan terjadi terus menerus sampai kelak kemudian hari, dan anak cucu kita akan menghadapinya.

Marilah kita berusaha keras untuk menghapus kesombongan itu dari diri kita. Dengan ajaran Islam harusnya itu bisa diraih, bukan sebaliknya setelah mengenal ajaran Islam dan mengamalkannya rasa angkuh dan paling benar itu yang diperoleh serta menguasai hati dan keyakinan. Jika itu yang kita rasakan saat ini, maka percayalah anda atau saya sedang mengikuti atau menjadi Iblis itu sendiri.

Wallahu 'Alamu Bishshowab

Agama Iblis

Jika agama yang kaupelajari
Mengajarkan kebencian kepada sesama,
Lebih baik tinggalkan
sebab Iblis lebih dahulu melakukannya

Jika agama yang kaupahami
Menuntunmu pada kebanggan diri
Lebih baik tanggalkan
sebab Iblislah lebih mula mengerjakannya

Jika agama yang kauikuti
Mengarahkan kepada cinta dunia
Lebih baik lupakan saja
sebab Iblislah yang punya penangguhan usia

Jika agama yang kauyakini
Memberimu kekuasaan atas surga
Lebih baik campakkan saja
sebab Iblislah yang mampu membuatkannya

Suluk Rojak Rajuk

Ya roshulalloh..salam mun'alaika...
Ya rofi'asyaaniwaddaarojii....
'Athfataiyajii rotal'alaami...
Ya Uuhailaljudiwalkaromi.....2X

Kabeh menungsa ngarepke mulyo
Begja ing ndonya, mlebu suarga
Apik nasibe, luhur pungkase
Kabul kajate, cukup butuhe... x2

Fatehah kunci, dadi pambuka
Atur hadiah, ngalap barokah
Lisan lan ati, seja lan puji
Amung pinuju Ngarsaning Gusti ...x2

Kelawan nabi, lan para wali
Sohabat papat, mursyid tarekat
Marang wong soleh uga kyai
kang muruk ngaji, kang tuduh bekti ...x2

Wong tuwo loro, para leluhur
Aja ditinggal, aja disingkur
Sing dadi bakal drajat kang luhur
Kang aweh suwuk, kang paring sembur ...x2

Kelawan yoga, estri wes mesti
Nyuwun ngapura rahayu ugi
Slamet lampahe, manteb imane
Luhur akhlake, guna ilmune ... x2

Tur para kadang, tangga lan kanca
Sapa kang seneng, sopo kang cidra
Drengki lan iri, mugio sirno
Anggayuh guyub, ngilangi ujub ... x2

(Sururi Arrumbani)

Gombal ... !!!

Jubah putih, serban menawan
kadang hanya hiasan
atau sebuah rambu peringatan
ingatlah bahwa yang terbungkus
dan terikat
adalah kelemahan
maka hati-hatilah kawan ...!
Kata makian dan cacian
bukan pula jaminan
menjadi samaran yang mengalihkan
perhatian dan sangkaan
sadarlah bahwa yang terejawantahkan
dan terkatakan
adalah keengganan
maka rasakanlah kawan ...!

Engkau mau apa adanya
atau berlaku biasa saja

Engkau mau malih rupa
atau berdandan apa saja

tak ada yang terlewatkan
karena niatmu
begitu jelas terdengar
begitu nyata terlihat

lantas, kenapa kau memilih
salah satunya?
lantas, untuk apa itu semua?
hanya ingin merayuNYA?

Gombal ...!!!

(Sumber : Kitab Teles, Bab : Laku, Pasal : Gombal)

Mbah Lalar : Hidup Demokrasi

Sudah lama Mbah Lalar tidak bertemu dengan Kang Bangkak. Mungkin sedang menjalankan ibadah haji. Tak berapa lama, Mbah Lalar menemui kerumunan, dan ternyata Kang Bangkak sedang berpidato di dalamnya :

Kang Bangkak : “Saudara-saudara, negeri ini jelas-jelas tidak sesuai syariat. Demokrasi menjadi sistem pemerintahannya, bukankah harusnya hukum Allah? Bukankah harusnya syariat islam? Bukankah harusnya khilafah? Saudara-saudara...!!!

Mbah lalar tercenung, dan membatin “ternyata Kang Bangkak sudah menjadi orator ulung. Selama ini menghilang dia menggembleng diri dalam orasi.

Kang Bangkak : “oleh karena itu saudara-saudara.... kita harus rubah sistem demokrasi yang merupakan sistemnya toghut. Haram hukumnya memakainya, apalagi kita jadikan sistem kenegaraan kita. Tegakkan syariat...tegakkan khilafah... Allahu Akbar...Allahu Akbar......

Kang Bangkak masih melanjutkan : “saat ini banyak dilakukan pemilihan kepala daerah... maka kita harus merebut itu semuanya, kita menangkan kader-kader kita agar bisa menjadi gubernur, bupati dan walikota. Tidak bisa tidak, kita harus menang jika kita ingin khilfah tegak di negeri ini....Allahu Akbar.... Allahu Akbar....”

Tiba-tiba Mbah Lalar geram dan berteriak : “Hidup demokrasi...hidup demokrasi.... berikan suara anda melalui pilihan langsung.... hidup demokrasi...hidup demokrasi....!!!

Kang Bangkak kaget melihat aksi mbah lalar... dia diam dan tercenung... bergumam “hmmmm .... demokrasi memberi peluang untuk tegakknya khilafah.....demokrasi, demokrasi...... hidup.....!”

 

KEPEMIMPINAN ALA JAWA : RATU ADIL

Soal kepemimpinan, orang Jawa cenderung merujuk pada konsep RATU ADIL. Menurut Saya, ia adalah sosok, identitas, pribadi. Mungkin orang lain berpendapat itu adalah sistem. Sebab bagi orang Jawa, apakah orang itu dipilih, ditunjuk atau mengangkat dirinya sendiri bukanlah esensi dari RATU ADIL.

Terdapat dua konsep utama, yaitu RATU dan ADIL. RATU adalah penguasa entah seberapa luas cakupan wilayahnya, bisa sedikit, bisa sangat luas sampai seluruh jagad raya. Sementara kata kunci  kedua adalah ADIL. Bahwa keadilan adalah hal mutlak dimiliki oleh seorang RATU. Jika tak ada keadilan dalam kepemimpinannya, maka penguasa tersebut adalah dzalim. Konsep ADIL sendiri, bisa dikatakan konsep yang universal, namun dalam pandangan kelompok tertentu mempunyai definisi yang bisa jadi ada beberapa variasi.

Kembali kepada konsep RATU ADIL dalam budaya Jawa, saya kutip dari Serat Syeh Subakir (Pupuh III Pangkur) mengenai RATU ADIL, digambarkan :

“Ratu iku luwih mlarat, datan mawi sangu amung sadremi, mung semende mring Hyang Agung, tan ana janma wikan, pan kasandang kasampar-sandung tan weruh, pudak sinumpet punika, timbule kang tunjung putih”

Sosok RATU yang adil adalah adil terhadap dirinya sendiri, dimana dia sadar keterbatasan kebutuhan dirinya sendiri. Tidak berlebihan, “mawi sangu amung sadremi”, berbekal untuk kebutuhannya sekedar memang kebutuhan. Dengan demikian tidak ada sikap berlebihan, apalagi korup. Mengapa bisa demikian? Karena ia selalu bersandar kepada Gusti Allah, kepada Yang Mahakuasa, Mahakaya yang mencukupi segala kebutuhan hidupnya. Tak ada niat mencari keuntungan pribadi, semua dikerahkan kepada pengabdian melalui sikap adil. Pun ia tidak suka pamer atas jasa-jasanya, apalagi atas siapa dirinya, suku, asal, ataupun keturunan. Bahkan “tan ana janma wikan”, tak ada orang yang tahu tentang dirinya, yang dikenal hanyalah sikap adilnya. Orang-orang bahkan tidak mengetahui bagaimana jerih payahnya mereka, “pan kesandang kesampar-sandung tan weruh”. Dalam konsep lain “sepi ing pamrih rame ing gawe”, banyak berbuat dan susah payah tanpa pamrih. Keberadaanya ibarat “pudhak sinumpet puniko”, seperti daun pandang yang wangi tapi tersembunyi, harum namanya tanpa diketahui pohon pandannnya. Jika sikap-sikap seperti itu bisa dilakukan, maka “timbule kang tunjung putih”, munculnya bunga yang harum nan indah.

Sepak terjang RATU ADIL membuat hati rakyat kecil tentram, bahkan para musuh juga keder melawannya. Meski banyak yang menyerang, toh akhirnya mereka sirna, tak berdaya, “Mungsuh ngarep ekeh sirna, ingkang pada wani samya mati, tumpes tapis sirna larut”, karena kepasrahan kepada Gusti Allah yang demikian kuta, maka bala tentaranya adalah kekuatan Sirrullah. Bahkan alampun ikut mendukungnya, “mung kalabang kalajengking gamanipun”.

Bagaimana bisa seseorang bisa menjadi ADIL? Itulah sebenarnya yang diharapkan kepada para pemimpin untuk mencapainya. Kekuatan spiritual harus digembleng dan diasah. Dalam serat tersebut : “anjurungi marang Sang Ratu Adil, ana dene kutanipun, alas bumi Ketangga, pan rineka kedatonira Sang Prabu, Juluk Sultan Herucokro”. Tempat keratonnya adalah Alas Ketangga, dimana ini merupakan simbol penguasaan batiniyah sang pemimpin. Alas diartikan sebagai hutan, asal, tempat yang ramai, seperti batin manusia penuh dengan nafsu, niat, cita-cita dan sebagainya. Kekuatan dan potensi batin ini benar-benar nyata “Katon”, namun juga halus “Onggo”. Jika penguasaan spiritualitas ini mumpuni, maka dia akan bisa menguasai Alas Ketonggo sebagai keratonnya. Kemudian dia juga bergelar Herucakra, dimana penguasaan akal pikiran (Heru=mustika, kepala, pikiran). Dus, sosok RATU ADIL tentu memiliki kekuatan spiritual, intelejensia mumpuni. Dengan modal itulah dia akan bisa berlaku adil kepada rakyat, bahkan mampu orang lain bertobat dan bersujud “botoh keh pada kabutuh, awit adil Sang Nata, akeh ngungsi mring masjid pada asujud, eling marang kabecikan, pada dadi santri mursid”. Orang yang kayapun butuh, apalagi orang kecil. Semua ingat kepada kebaikan, dan bersujud, berduyun-duyun ke masjid, dan menjadi santri mursid.

Sungguh, konsep RATU ADIL adalah konsep kepemimpinan yang demikian berat dipenuhi. Namun, apalagi yang bisa diandalkan oleh pemimpin jika sudah tak ada keadilan? Apakah dia orang adalah berlatar belakang ulama, profesor, tentara dan sebagainya. Semuanya sia-sia tanpa keadilan yang menyejahterakan rakyat, tanpa keadilan yang menentramkan rakyat, tanpa keadilan yang mengajak kebaikan kepada masyarakat.

 

Wallahu ‘alamu bishshowab

 

 

 

 

 

 

 

MEMAKNAI BULAN SURO

Banyak beredar mengenai bulan Suro ini, apalagi di Jawa. Berbagai tafsir dan keyakinan menggelayuti makna bulan Suro itu sendiri. Bulan Suro dalam kalender Jawa yang diprakarsasi oleh Sultan Agung dijadikan awal bulan dalam satu tahun putaran. Sekaligus disamakan dengan bulan Muharram yang berasal dari kalender Hijriyah. Menurut pendapat saya dan lebih condong untuk mengatakan bahwa SURO adalah nama khas Jawa, tidak ada sangkut pautnya dengan nama yang diambil dari kata Arab seperti Asyuro (hari kesepuluh). Nama-nama bulan yang diajukan oleh Sultan Agung yang masih murni Jawa dan dikenal luas ya hanya SURO (mungkin ada yang lain yaitu REHEB = REJEB).

SURO ada yang memaknai sebagai SURO DUROKO, dimana bulan itu adalah “tundhan demit”, yakni bulan yang penuh demit memangsa manusia, oleh karena itu banyak pantangan di dalamnya, karena adanya serangan demit yang berlipat-lipat tersebut. Kemudian disusul ritual-ritual untuk mencegah manusia agar tidak menjadi sasaran demit yang mengamuk tersebut.

SURO ada yang menyebut mengambil kata ASYURO, dimana artinya adalah hari kesepuluh. Tanggal 10 bulan tersebut (Muharram) bagi kaum syiah menjadi hari sangat bersejarah, yakni terbunuhnya Sayyid Husain di padang Karbala. Namun dari sumber-sumber lain justru menceritakan kabar kegembiraan pada hari tersebut, seperti terbebasnya kaum Yahudi dari Fir’aun. Jadi pengambilan nama bulan SURO berdasarkan hal ini jelas-jelas tidak tepat. Faktanya, masyarakat Jawa tidak kemudian menjadi pengikut syiah secara massiv.

Bahwa bulan Muharram adalah bulan yang dimuliakan itu sudah jelas dan tegas. Kemudian Sayyidina Umar bin Khattab menetapkan sebagai bulan awal dalam siklus 1 tahun dimaknai sebagai penanda peristiwa hijrah Rasulullah dan kaum muslimin ke Madinah. Hijrah menuju peluang yang lebih baik, membuka upaya dan kesempatan agar lebih baik menjadi dasar untuk mengawali tahun adalah makna yang sangat mendasar. Sehingga pemaknaan ini akan membantu umat Islam setiap awal selalu berusaha melakukan perubahan-perubahan ke arah lebih baik. Bagaimana dengan SURO bagi orang Jawa?

SURO adalah kata sansekerta yang berarti BERANI. Menurut keratabasanya adalah SU = Mesu dan RO = sariRO, artinya adalah mati raga, berpuasa, menggembleng diri. Keratabasa lainnya yang dapat diajukan adalah SU = Suluk dan RO = Roso (Rasa), artinya SURO sebagai waktu melakukan perjalanan spiritual mengolah rasa. Inilah mungkin mengapa Sultan Agung tetap mempertahankan sebutan SURO meski tahu bahwa itu adalah Muharram sebagai awal tahun hijriyah.

Dengan demikian, jika tahun baru Hijriyah ditandai dengan adanya peristiwa hijrah, perpindahan, maka ada semangat atau spirit yang terlengkapi dalam khazanah Jawa, yaitu mengawali tahun dengan penuh keberanian memulai sesuatu, mengolah rasa, bertirakat, bersusah payah terlebih dahulu sehingga kelak pada akhir tahun dapat mencapai puncak spiritual yaitu HAJI. Jika bulan SURO adalah bulan bersusah payah dalam mengolah rasa, mengapa harus berfoya-foya atau bergembira? Dengan demikian kita bisa memahami mengapa pada bulan SURO orang Jawa tidak patut dan dilarang melakukan hajatan yang sifatnya kegembiraan, sebab tidak sinkron dengan semangat yang ada.

Akhirnya, mengapa kita tidak berupaya memahami bulan SURO dalam kerangka pemahaman makna HIJRIYAH (perubahan) dan sebagai bentuk memuliakan bulan yang mulia tersebut dengan laku prihatin dan berjuang? Perubahan dapat dicapai hanya dengan keberanian dan kerja keras, susah payah dan itulah caranya kita memuliakan permulaan perjalanan satu tahun ke depan. Semoga kita bisa memulainya......

Wallahu ‘alamu bishshowab

OBAMA Vs ROMNEY : SISI ITUNGAN JAWA

Pertarungan antara Obama Vs Romney selesai sudah, dengan kemenangan meyakinkan pihak Obama dengan perolehan electoral vote yang lebih banyak. “sopo menang sing nyirik”, itulah model khas pemilu di AS.

Andai saja Romney mau memperhatikan dukun Jawa, dengan itung2an yang sudah dikenal dan bisa dipelajari melalui buku2 loak, mungkin akan ada upaya-upaya suwuk lain yang bisa memenangkannya. Mari kita sedikit ulas:

Obama terlahir pada hari Jumah Pahing dengan Neptu 15, sedangkan Romney terlahir Rebo Pon jumlah neptu 14. Dari sisi ini saja, Obama lebih unggul. Memang ada unsur yang mempunyai kesamaan, seperti Rakam sama-sama Mantri Sinaroja. Kata mantri itu identik dengan pejabat, orang terpandang lah begitu. Keduanya sama-sama pejabat publik dari partai masing-masing.

Sementara unsur lainnya, Obama menunjukkan sifat yang lebih “ideal”. Dilihat dari sisi Padewan, Obama adalah Betara Guru, sedangkan Romney adalah Betari Uma. Sebenarnya keduanya dalam pewayangan adalah pasangannya. Namun Betari Uma adalah raksasa perwujudan dari jiwa Dewi Permoni yang jatuh cinta kepada Guru. Dilihat dari Pancasuda/Saptawara Obama adalah tunggak semi, sedangkan Romney adalah bumi kapethak. Romney memang lebih gigih, berkeringat, namun nampaknya kekecewaan lebih banyak menghampirinya. Beda dengan Obama, hilang satu tumbuh seribu, ada saja pendukungnya. Sisi sadwara, Obama itu ceroboh, sedang Romney orangnya suka was-was. Keduanya mempunyai kelemahan. Berikutnya adalah Paarasan, Obama mengikuti lakunya matahari, sedangkan Romney mengikuti lakunya rembulan. Memang keduanya sama-sama penting pada waktu yang berbeda. Namun soal kekuatan cahaya, maka matahari mempunyai kekuatan lebih besar.

Dan terakhir, pemilihan akhir pada hari Selasa 6 Nopember 2012 mempunyai neptu 7 (Selasa Wage), maka ketika dilakukan pemilihan, Obama mempunyai selisih kelebihan 1 (15/7 = 2 sisa 1), sedangkan Romney tak ada sisa, pus.... ilang (14/7 = 2 tanpa sisa).

Itung2an ini hanya usaha untuk lebih memahami saja, bukan untuk meramal, atau menentukan takdir. Mungkin, kalau pemilihannya adalah Kamis Pon atau Rabu Kliwon, bisa saja berbeda... tapi toh memang begitulah yang sudah terjadi.

Wallahu 'alamu bishshowab

AKU (ISLAM) ABANGAN

Abangan dipopulekan oleh Cliford Geertz untuk menggambakan “agama Jawa”. Ia mengambil dari istilah yang digunakan oleh masyarakat Jawa waktu itu untuk menyebut dirinya yang masih minim simbol-simbol keislaman yang kuat. Mereka adalah para petani kebanyakan yang tinggal di desa dengan pertanian sebagai mata pencaharian. Juga mereka tidak bergelar haji atau kyai atau berguru di pesantren. Dengan demikian berbeda dari kaum santi yang memiliki simbol keislaman kental dan banyak bergelut di bidang perdagangan.
Abangan, dari kata abang, berarti merah merujuk pada keadaan atau suatu tahapan yang masih rendah atau baru. Bayi yang baru lahir sering digambarkan oleh masyarakat Jawa sebagai bayi abang, kulitnya masih merah. Makna ini pada perkembangannya sering diasosiasikan dengan politik, sehingga muncul persepsi yang tidak tepat dan cenderung negatif. Kaum abangan bukanlah kaum yang negatif, mereka adalah kaum lemah, baik dari sisi ekonomi dan kegamaan.
Demikian pula, ketika kugambarkan diriku untuk sebuah pemahaman konsep keberagamanku. Sungguh aku ini benar-benar abangan. Masih lemah keagamaan, masih lemah iman, masih kurang dalam simbol keislaman dalam keberagamaanku sehari-hari.  Tidak berani sedikitpun, jika aku haus menyebut diriku sebagai kaum putih, simbol kebersihan, keunggulan dalam keberagamaan. Kalau toh masih pantas adalah sebagai santri, namun bukan dalam pengertian Geertz, penuh dengan simbol keislaman. Santri buatku adalah tahapan baru dalam belajar agama, masih sedikit ilmu, pengalaman dan wawasan. Jadi, jika disebut abangan, dalam pandanganku ini tak beda jauh dengan santri, sama-sama masih baru, minim dan lemah.
Bagaimana menurut anda?

MULUT DAN SILIT

Mulut dan silit, sama-sama memiliki bau tak sedap. Namun mulut masih bisa dicuci, disemprot minyak wangi, dan berubah mengikuti jenis minyak wanginya. Sedangkan silit, dikasih parfum mahal sekalipun tetap menghasilkan aroma yang tak sedap.

Mulut masih bisa menerima, angin, oksigen, makanan dan minuman. Mulut masih bisa memberi masukan kepada siempunya. Sedangkan silit hanya mampu membuangnya. Hanya cara itu dia membantu siempunya agar tak stress. Namun sayang, sekali lagi itu hanya bau belaka, bahkan siempunya pun tak sudi mengendusnya.

Dengan olah kata, mulut bisa menjalin kerjasama. Bahasa dan tutur yang ada bisa menambah saudara, bahkan rejeki pula. Silit, baik banyak atau sedikit saja berulah, selalu membuat gundah gulana, bahkan bisa membawa malapetaka.

Mulut dan silit, bentuknya jelas berbeda. Fungsinya pun jauh berbeda. Kadang manusia saling mempertukarkannya. Itulah anehnya. Si mulut hanya menebar bau busuk dan petaka. Sementara silitnya diam seribu bahasa.

(Sumber : Kitab Teles, Bab : Silit, Pasal : Mambu)

NU DAN SIKLUS COBAAN SUKSESI DI INDONESIA

Menurut saya, akan sering terulang pola hubungan antara NU dengan suksesi dan cobaannya. Saya akan memulainya pada awal pendirian. Sebelum NU berdiri ada upaya-upaya dari kalangan umat Islam untuk mewujudkan persatuan, meski disadari adanya perbedaan. Hal ini berkaitan dengan suksesi kekhilfahan di jaziah arab. Awalnya NU mempunyai peran signifikan dalam upaya itu, katakanlan dalam Kongres Umat Islam. Namun di saat suksesi, para kyai ditinggalkan, bahkan kemudian dinafikan perannya. Maka muncullah protes dari kyai negeri Jawa yang berujung pada lahirnya NU. Pola mirip seperti ini kemudian berulang pada periode-periode NU selanjutnya.

 
Pun demikian, di saat agresi NICA ke Indonesia. Resolusi Jihad dikumandangkan. Bahkan rumitnya penerimaan Pancasial sebagai dasar negara hampir tidak bisa, dan Indonesia terancam bubar dengan seumuran sayur sawi (masih mending jagung kayaknya). Setelah itu? NU ya dibiarkan hidup dengan habitatnya sendiri.
 
Saat agresi belanda berikutnya, perang mempertahankan kemerdekaan. Para santri bertempur bersama tentara, sehingga banyak santri menjadi korban. Tapi toh sejarah tetap menempatkan TNI semata sebagai pahlawannya.
 
Ketika pemilu tahun 1955 kekuatan NU demikian kuat, bahkan bersatu kembali dengan elemen muslim lainnya, seperti awal ketika mau berdiri. Lagi-lagi NU ditinggal gelanggang. Tetap sabar saja NU, sampai pada suksesi ’65, dimana negara mendapat ancaman sangat serius, komunisme, NU harus berhadap-hadapan. Eh, sekarang malah dituding sebagai tukang jagal.
 
Kemudian, masuklah era pembangunan. Apa yang diperoleh NU? Ya cobaan lagi. NU dipinggirkan. Bahkan tokoh2 kritis dari NU “disingkirkan”. Dan derita itu cukup lama sekali, sampai pada akhirnya muncullah Gus Dur yang melakukan perlawanan dan menghimpun kekuatan. Bahkan Soeharto pun sangat menyegani NU.
 
Tahun ’98 suksesi terjadi lagi, dan rakyat berhadap-hadapan. Nah tokoh NU menjadi pendamai. Negara aman. Tidak lama, kenyamanan itu, lagi-lagi cobaan berdatangan.
 
2014 tidak lama lagi, tentu cobaan juga akan menerpa NU. Jika dulu ada Gus Dur yang disegani baik oleh kawan dan lawan, lantas siapa kini? Andai saja pada tahun2 itu NU tidak terseret persolan suksesi, Insa Allah akan menjadi kunci proses suksesi itu sendiri. Lagi-lagi NU bisa menjadi pemeran penting, dan tentu bersiaplah menghadapi cobaan yang biasanya terjadi.....
 
Maka mumpung itu belum terjadi, sikat saja NU ..... atau

Sumpah Pemuda : Kesadaran Bersama

Kebangsaan dibangun atas “kesadaran bersama atas keberbedaan”. Hanya ada satu kesamaan dalam hal ini, yaitu “kesadaran”. Sementara perbedaan demikianlah komplek dan banyak. Apalagi dunia saat ini sudah digoncang revolusi digital, dimana setiap orang bisa mengakses berbagai informasi dan pengetahuan  dari manapun, di manapun dan kapanpun.

Dahulu, para pemuda deklarator Sumpah Pemuda sebelum mendeklarasikan kesatuan kebangsaan, mereka demikian kuat kesadaran akan kesamaan, ada Jong Java, Jong Selebes, Jong Borne dan bermacam-macam. Kesadaran kesamaan itu akhirnya berubah dan berbuah kesadaraan bersama akan keberbedaan, kesadaran bersama itulah yang mereka sebut sebagai Bangsa Indonesia.

Dunia yang semakin menyatu ini mendesak kita untuk menjadi sebuah keluarga, padahal kita hanya saudara. Seperti Naisbit nyatakan, bahwa globalisasi pada akhirnya akan menumbuhkan identitas spasial, seperti tradisi, etnis, kelompok dan sepsifikasi lainnya. Cakra Manggilingan orang menyebutnya, dimana perputaran sejarah itu terjadi, dimana identitas-identitas berbeda tersebut muncul demikian kuat.

Bangsa yang pada era awal abad 20 menjadi identitas yang dibangun atas keberbedaan, kemudian berubah menjadi kesadaran bersatu dalam dunia, maka akhirnya melahirkan keberbedaan kembali, bahkan jauh lebih komplek. Tidak sekedar etnik, tapi seluruh komponen identitas bercampur menjadi satu.

Keberlangsungan Bangsa Indonesia dengan demikian, memasuki babak baru “seperti” sebelum Sumpah Pemuda, kesadaran akan kesamaan. Oleh karena, apakah bangsa Indonesia akan tetap utuh atau tidak sangat bergantung “kesadaran bersama” itu. Sebab keberbedaan sudah jelas adanya.

Pertanyaannya kemudian adalah, “Apakah saya, anda atau mereka saat ini masih sadar?”, Jika sadar, “Apakah mempunyai kesadaran yang sama?” Sebab saat ini banyak ilmu sihir yang jauh lebih canggih yang membuat orang sadar dalam jumlah massiv. Sihir itu bisa melupakan orang-orang, dimana ia sedang berada. Tragisnya, Sihir itu tidak dianggap sihir........

Wallahu ‘Alamu Bishshowab

 

 

Menyambut Harlah Warkop dan Sumpah Pemuda