Resi Bisma dalam Baratha Yudha

Meninggalnya Syeh Said Ramadhan Al Buthy beberap waktu lalu membuat saya teringat sosok Bhisma, ya Putra Santanu dan Dewi Gangga. Terlahir dengan nama Dewabrata. Memang tidak pas membandingkan atau menyandingkan, tetapi ada nilai yang bisa saya petik dari keduanya. Keduanya sama-sama yakin atas pilihan politiknya yang dilandasi atas kecintaan pada negara dan kedamaian. Keduanya sama-sama ikhlas menerima takdirnya yang disadari atas pilihan dan akhir kehidupannya.

Tidak mudah untuk menilai seseorang dalam sebuah konflik peperangan termasuk pada sosok Bisma. Nama Bisma sendiri muncul karena kesetiaannya untuk mengabdi pada Rajanya, Ayahnya Santanu, demi kebahagiaan. Dewabrata adalah putra mahkota yang berhak atas tahta Hastina. Namun, karena Dewi Gangga kembali ke kahyangan, tidak bisa mendampingi sebagai permaisuri, maka demia kebahagiaan, Dewabrata bersumpah untuk tidak menjadi putra mahkota, karena syarat yang diajukan Setyawati, calon istri ayahnya meminta putranya yang lahir darinya kelak sebagai raja.

Pandhawa yang ditipu oleh Kurawa melalaui permainan dadu, terpaksa dihukum dalam hutan bertahun-tahun. Orang boleh menyebut itu adalah kesalahan fatal Bisma. Namun, perlu diketahui, bahwa Kurawa dan Pandawa sudah ada dalam bimbingan Drona, sehingga Bisma tidak mengetahui adanya tipu daya ini sangat wajar. Tentu tidak pantas dilakukan ketika Kurawa dan Pandawa dalam asuhan seorang Rsi, kemudian Bisama turut campur tangan. Nyatanya Sangkuni punya peran besar dalam hal ini, bukan Drona.

Setalah masa hukuman, Pandawa menuntut hak akan tahta Hastina, karena dalam perjanjiannya demikian. Maka muncullah perang Barata di kuru setra. Posisi Bisma tetap membela Hastina. Sekali lagi Hastina yang dibela. Memang saat itu yang berkuasa adalah Kurawa, sedangkan Kurawa tidak rela menyerahkan tahta tersebut kepada Pandhawa sesuai perjanjian. Namun, kita juga perlu tahu bahwa Pandhawa menyerang Hastina, sudah atas nama kerajaan baru, yakni Amarta. Artinya, dua kerajaan yang berperang, meski itu adalah perang saudara untuk mengambil hak. Andai saja, Pandhawa cukup dengan Amartanya, yang sudah mempunyai nama besar, tentu perang itu bisa dihindari. Atau sebaliknya, Kurawa dengan rela mengembalikan kepada Pandhawa tentu juga bisa. Kurawa bisa berdalih, bahwa Amarta adalah kerajaan baru, yang memberontak, yang berusaha mengambil alih tahta Hastina.

Dalam posisi itulah, Bisma berusaha mempertahankan kedaulatan Hastina. Bagaimana, Hastina tidak boleh hancur, tidak boleh dianeksasi oleh kerajaan lainnya, meski itu dilakukan oleh Pandhawa. Karena Bisma adalah kakek mereka, yang seharusnya sedari dulu dia pewaris tahta atas Hastina. Sikap itu tetap konsiten, dari awal sampai ajalnya. Bahkan ajal yang diyakini melalui panah Srikandi pun diterima dengan senyuman. Ya .. Srikandi adalah titisan Dewi Amba yang begitu membencinya, untuk membalas dendam. Apakah itu membuat Bisma sakit hati? Tidak sama sekali, bahkan ketika banyak panah menghujam tubuhnya dia lantang berkata, “bukan panah Srikandi yang mengenai tubuhnya, tapi panah Partha (Arjuna)”. Padahal, panah yang mampu menembus tubuhnya pertama kali adalah panah Srikandi.

Begitulah sikap Bisma, kepada lawan yang membunuhnya. Karena kesadaran akan jalan kematian yang harus dilaluinya. Demikian pula keteguhannya akan cintanya kepada Hastina, kepada keluarga Baratha, sebelum meninggal dia berpesan, “Wahai Putra Mahkota, semoga engkau dapat memetik hikmah dari semua yang telah terjadi. Apakah engkau melihat bagaimana Arjuna memberiku air minum yang jernih untuk pengobat hausku? Berdamailah engkau sekarang juga, jangan ditunda-tunda lagi. Akhirilah peperangan ini sekarang juga. Perhatikan kata-kataku. Cucuku Duryodhana, berdamailah engkau dengan Pandawa!”.

Namun, kebencian Duryodana sudah demikian memuncak, sehingga kata damai itu tidak pernah terjadi. Dan kita tahu, setelah kematian Bisma, perang demikian cepat berlangsung dan segera menemukan pemenangnya.

Akankah demikian untuk Suriah, setelah gugurnya Syeh Said Ramadhan Al Buthy? Oh ... wallahu ‘alamu, tentu beda antara cerita wayang dan perang yang sesungguhnya. Tetapi berharap lebih baik itu tentu jauh lebih tepat dilakukan, kebaikan buat semuanya.

Turunkan Harga atau Presiden?

Sudah beberapa kali kejadian di Indonesia, selalu berkaitan antara naiknya harga (komiditas) dengan tuntutan turunnya kepala negara. Mungkin kasus Gus Dur adalah pengecualian untuk hal ini.

Melambungnya harga beras di era 60-an dan melemahnya rupiah (di sisi lain naiknya mata uang asing), telah berujung pada lengsernya Soekarno. Demikian pula tahun 1998-an, kenaikan BBM dan dollar juga berujung pada lengsernya Soeharto. Loh, kok model-model itu akan digunakan kali ini, di saat harga bawang dan daging sapi naik. Turunkan SBY ...!!! begitu teriaknya.

Kalau mau jujur, presiden itu tidak mampu kok menurunkan atau menaikkan harga komoditas yang sudah masuk pasar. Sistem ekonomi itulah yang sudah bermain. Banyak invisble hand yang turut mengendalikan harga komoditas pasar. Jadi, menuntut mundur SBY atas kenaikan harga barang tentu menjadi kurang efektif.

Apalagi, hukum ekonomi menyatakan bahwa kondisi kekacauan (tidak cetiris paribus), akan sangat memperparah ketidakstabilan pasar. Kita sudah terlanjur menjadikan ekonomi pasar itu menjadi sistem ekonomi kita. Dan nampaknya sudah menjadi “kewajiban” global untuk ikut serta.

Tapi, kalau mau meniru China dengan sistem sosialis komunis (meski ada yg diliberalkan), masalah-masalah seperti itu bisa dikendalikan oleh negara. Di saat harga mencekik, maka layak menuntut.... Turunkan Presiden.

Masihkah tertarik dengan sistem ekonomi sentralistis? Soal nama bisa diberi belakangan, mau ekonomi komunis, ekonomi abangan, ekonomi syariah atau apapun....

Sumonggo....

Kunjungan Obama dan Bom Bunuh Diri di Suriah

Ijinkan saya yang tidak paham benar soal konflik timur tengah membuat tulisan mengenai hal itu. Rasanya aneh saja, tidak berselang lama daripada kunjungan Presiden AS, Obama ke Israel, kemudian disusul dengan peristiwa pengeboman di masjid di Suria yang menyahidkan seorang Ulama Sunny terkenal, Syeh Said Ramadhan Al Buthy. Dua peristiwa yang berbeda, baik waktu dan tempat. Namun ketika dirangkai akan mempunyai makna yang bisa berarti bagi siapa saja.

Kunjungan Obama kemarin dapat dibilang kunjungan spesial, apalagi di saat konflik Suria tidak kunjung usai. Boleh jadi ini adalah kunjungan “rasa terima kasih” atas dukungan Israel, baik langsung atau tidak atas kemenangan Obama kedua kali. Namun, ada satu hal perlu dicatat, bahwa satu kesepakatan dicapai, “Konflik Israel-Palestina harus melalui perundingan”. Tidak ada cara kekerasan, perang, tidak ada cara perjuangan melalaui PBB. Dengan kata lain adalah bagaimana perundingan itu terjadi. Ini tentu dikehendaki agar pihak-pihak yang berunding selalu memberi keuntungan kepada AS. Kesepakatan ini jelas menandaskan bahwa problem Palestina tergantung perundingan, dan di sinilah peran AS akan sangat penting.

Di Suria, dengan jeda waktu tidak lama meledak Bom Bunuh Diri, di Masjid lagi. Kematian Syeh Said Ramadhan Al Buthy, kemudian bisa menjadi simbol rontoknya pendukung sipil bagi Basar Asad. Kekuatan sipil mana lagi yang bisa diandalkan setelah ini? Memang ada, namun tidak akan sekuat sebelumnya. Dengan demikian, posisi Asad sudah semakin lemah. Efek dominonya adalah melemahnya perjuangan rakyat Palestina, dan inilah dua “hasil besar” dari kunjungan Obama dan bom di Suriah.

Bagi, AS tentu targetnya adalah ganti presiden/pemerintahan. Apakah dia Syiah, atau Sunny, saya yakin tidak begitu penting buat AS. Asal bisa mewakili kepentingan AS di Suriah dan Timur Tengah pada umumnya, tentu beres. Namun, bisa jadi yang mengganti harus dari kalangan tertentu, kelompok “mujahidin” tertentu, sebagai balas jasa. Tapi apakah AS mau menyerahkan begitu saja kepada kelompok-kelompok ini? Mengingat posisi Suriah sangat strategis dibandingkan negara-negara lain. Atau akan menampilkan “wajah Sunny” baru  yang berbeda dari Syeh Al Buthy sebelumnya?, namun tetap dalam kendali AS, toh di beberapa negara lain itu demikian yang terjadi. 

Wallahu 'Alamu Bishshowab

Ada Dendam Cinta dibalik Kisah Mahabarata

Kisah pewayangan, kisah Mahabarata, khususnya perang Baratha tidak melulu sebab konflik kekuasaan, atau perebutan kekuasaan Hastinapura. Ada dendam asmara yang bisa dikatakan sebagai asal muasal perang Baratha.

Di saat, Pandhu memenangkan sayembara memperoleh tiga gadis cantik, Madrim, Kunthi dan Gendari, harusnya ketiganya diperistri oleh Pandhudewanata. Namun, atas rasa hormatnya kepada saudara tuanya, Destarata, Gendari dihadiahkan kepadanya. Inilah mulanya. Gendari dalam hatinya tidak sudi, karena Destarata buta matanya. Buat apa perempuan cantik seperti dia, diperistri oleh orang buta? Sejak itu, Gendari begitu dendam kepada Pandhu. Dalam dendamnya dia berharap bisa membalas sakit hati, mempunyai banyak anak sehingga mengalahkan keturunan Pandhu (Pandhawa).

Kehamilan selama 3 tahun Gendari membuatnya semakin frustasi. Apalagi menyaksikan Pandhu sudah berputra Puntadewa dan Bima. Semakin dendamnya, sementara Gendari tak kunjung berputra. Apalagi di saat dia melahirkan hanyalah segumpal daging/darah dia mengamuk. Diinjak-injaknya daging tersebut, sehingga menjadi 100 gumpalan. Atas perintah Begawan Abiyasa untuk menutupi setiap gumpalan dengan daun jati. Maka berubahlah gumpalan tersebut menjadi bayi manusia, sehingga berjumlah 100. Inilah kemudian disebut Kurawa.

Dendam cinta Gendari telah merubah daging, menjadi manusia pembawa dendam kekuasaan, dendam cinta untuk selalu memusuhi anak turun Pandhu. Sungguh berbahaya, jika seorang Ibu menanam benih dendam sejak dalam kandungan, bahkan sebelum mengandung. Maunya dibunuh semua (diinjak-injak), andai saja tak ada mukjizat yang mengubahnya menjadi manusia. Meski demikian, dendam itu telah berubah menjadi kekuatan perusak mahadahsyat yang melahirkan kisah Mahabarata.

Padahal, Destara mempunyai anak lain, selain dari Gendari, yang melahirkan Yuyutsu dan keturunannya. Pihak inilah yang awalnya akan membela Kurawa dalam perang kuru, dan berbalik membela Pandhawa. Yuyutsu lahir dari perempuan kasta Waisya (rendah), namun tidak pernah ada dendam yang diajarkan kepada anak-anaknya, sehingga keberpihakan pada pihak Pendahawa yang baik masih bisa dilakukan.

Bagaimana dengan kondisi saat ini? Begitu banyak perempuan yang menikah, hamil dan melahirkan dengan membawa kebencian, membawa dendam, apakah dendam akan harta atau lainnya. Sehingga tidak mengherankan banyak lahir generasi yang mudah marah, mudah terbakar amarah dendam. Secantik ataupun setinggi derajat yang disandang tak menjamin melahirkan generasi yang baik,selama dendam itu menjadi bagian dalam dirinya, seperti Putri Gendari.
Wallahu ‘Alamu Bishshowab

Do'a Makan dan Krisis Pangan

اَللّهُمَّ بَارِكْ لَنَافِيْمَا رَزَقْتَنَا وَقِنَا عَذَابَالنَّارِ

Artinya :

Wahai Tuhanku Berkahilah rizqi yang telah Engkau Limpahkan kepada “kami” dan peliharalah “kami” dari siksa neraka.

Do’a di atas sudah kita kenal sejak kecil. Bahkan anak-anak sekarang yang sekolah di Taman Kanak-Kanak atau Taman Pendidikan Al Qur’an sudah mengenalnya dan menghafal di luar kepala. Seringkali do’a ini diajarkan kepada kita agar rezeki, dalam hal ini spesifik makanan dan minuman yang sedang dihadapan dan akan disantap agar diberi berkah oleh Allah.

Namun, dibalik pemilihan kata kami, mengandung unsur pelaku jamak. Kita bisa memahami itu jika do’a itu dilafalkan ketika akan makan bersama dengan orang lain atau anggota keluarga lainnya. Penggunaan kata “kami” tetap saja dilafalkan, meski yang berdo’a adalah hanya seorang saja. Berkah yang diharapkan tetap untuk “kami”. Dalam konteks ini, kata “kami” bisa diperluas kepada siapa saja, pihak yang sudah terlibat dan andil dalam tersajinya makanan dan minuman sampai dihadapan kita.

Mereka, bisa mulai para petani yang menanam padi, sayur, kedelai dan sebagainya. Kepada para penjual, para importer, para pedagang keliling, juru masak, pembantu dan sebagainya. Selama proses dari hulu sampai hilir (tersajikan), melalui proses jual beli, dimana ada rezeki yang diperoleh mereka semua.

Maka, do’a yang kita lafalkan adalah bentuk dari rasa syukur dan terima kasih kita kepada semua pihak yang sudah terlibat dalam proses tersebut di atas. Selanjutnya kita juga memohonkan berkah atas rezeki yang sudah mereka terima, termasuk makanan dan minuman yang akan kita santap itu sendiri. Di saat krisis pangan, seperti tingginya harga daging sapi, mahalnya harga bawang merah dan putih atau produk-produk konsumtif lainnya, tentu ada beberapa pihak yang menerima rezeki yang kurang menguntungkan. Dengan do’a itu pula kita menunjukkan simpati, mendo’akan untuk tetap berkah, meski rezeki yang diperoleh tidak menyenangkan.

Bahkan tidak hanya rezeki yang diterima agar berkah, tetapi semoga dihindarkan dari siksa api neraka. Tentu ini do’a yang jauh lebih khusus dan jangka panjang. Keselamatan kelak di akhirat kita juga panjatkan. Persoalan kemudian, pihak-pihak yang terlibat ternyata berbeda agama, tentu Allah Maha Mengatahui dan Adil untuk menujukan dan mengabulkan do’a yang kita ucap. Paling tidak, apa yang kita lakukan adalah bentuk solidaritas dan rasa terima kasih kepada pihak-pihak yang selama ini bisa jadi jauh dari kehidupan kita, tetapi punya andil besar untuk kehidupan kita. Daripada hanya berteori dan berbusa bahasa untuk membahas nasib para petani, dengan do’a yang kita ucapkan ketika akan makan, kita sudah turut andil dalam problem krisis pangan yang sedang dan akan terjadi.

Wallahu 'Alamu Bishshowan

Pasal Santet : Berhati-hatilah Santri ...

Judul ini mungkin terlalu berlebihan, dan mengada-ada. Tapi biarlah itu dituduh seperti itu, toh ini tulisan spekulatif. Kita sudah mafhum bahwa sebagian kelompok dalam muslim tidak suka dengan praktek-praktek do’a, hikmah atau model pengobatan alternatif berbasis suwuk. Semuanya sering digebyah uyah, disamaratakan dengan praktek sihir, maka merekapun dengan mudah dicap bertentangan dengan syariat Islam. Santet adalah salah satu bentuk kejahatan yang dicoba diatur dengan spirit demikian, karena mendapatkan landasan syar’ie, filosofi dan sosiologis (karena mayoritas warga Indonesia adalah muslim).

Saya sendiri belum membaca dengan detail pasal-pasal yang diajukan dalam draft RUU KUHP tersebut, tetapi secara sekilas aturan tersebut adalah adanya larangan penggunaan ilmu gaib untuk mencelakai orang. Saat ini banyak pihak yang sedang adu argumen mengenai pasal-pasal tersebut. Saya sendiri tak yakin sampai dimana ujungnya.

Bahwa satu negara di dunia ini yang membuat aturan semacam itu adalah Arab Saudi, dimana di sana dilarang menggunakan ilmu sihir. Menurut Muhaimin Iskandar (Menakertrans), kasus sihir yang menimpa TKI di Arab Saudi merupakan kasus yang dominan. Misalnya saja TKI yang membawa bungkusan seperti suwuk/jimat dapat dirazia dan dikenai pidana.

Bagi sebagian pihak, aturan tersebut tentu dipandang sangat syar’ie, meski prakteknya telah memakan korban para TKI yang bekerja di Arab Saudi. Lagi-lagi urusan pembuktian menjadi sulit dan kekuasaan akan cenderung lebih berkuasa ketimbang aturan itu sendiri.

Jadi, meski itu tidak diatur dengan bunyi pasal jelas, jika pasal pidana santet dan ilmu gaib diatur dalam KUHP, maka anda yang punya keris, jimat, atau sejenis bisa-bisa dituduh dengan pasal ini. Dan tentu semua benda-benda museum yang berbau gaib bisa dimusnahkan, termasuk kitab-kitab berbau ilmu gaib dan begitu seterusnya. Dan ujung2nya adalah para pengikut wali atau bahkan makam wali itu akan dibongkar, karena dianggap memiliki kekuatan gaib. Dan itu semua DEMI KEMURNIAN TAUHID.

"Tertipu" Dukun

Orang sering tidak mau mempersoalkan kapabilitas dukun, ketika dia memperoleh manfaat atau paling tidak kepentingan dirinya terpenuhi melalui dukun. Namun seiring kerugian yang dirasakan semakin membesar, lama-lama orang menjadi berani menggugatnya apalagi dibumbui dengan nilai-nilai agama, kedokteran atau hal lain yang berbau lebih ilmiah. Gampangnya, pas di saat terpenuhi hajat, menyanjungnya setinggi langit. Di saat tidak bisa memenuhinya,dihujat habis-habis, kalau perlu dicap teroris.

Kalau saya berusaha mencoba menentukan seseorang dengan sebuah definisi tertentu, misalnya : si A ini dukun, si B ini orang biasa, si C ini ulama, si D ini penceramah. Soal kemampuannya yang bisa begini dan begitu itu soal berikutnya. Maksud saya dengan definisi itu akan membantu saya memperlakukan seseorang, apa yang bisa diambil manfaat darinya. Kalau memang dukun, ya urusannya ada problem, ada solusi, onok udu, yo rukun.

Maka, ketika dulu saya pernah mondok yang kemudian kyai saya divonis sesat, ditolak masyarakat dan dikucilkan, banyak yang bertanya kepada saya, bagaimana pandangan saya mengenai beliau. Buat saya beliau itu sudah memberi manfaat bagi saya, mengenalkan saya shalat malam dengan kedisiplinan tinggi. Saya tidak bisa bercerita seperti kawan2 lain yang mengisahkan bahwa beliau bisa ini dan itu. Nah di saat saya tidak kuat menjalaninya maka saya mundur, bukan karena saya merasa ditipu atau disesatkan. Wong jujur saja saya tidak banyak mengikuti kebiasaan atau ajaran2 beliau, kecuali shalat malam dan membaca buku soal puisi2 Imam Nifary.

Jadi, tidak heran ketika ada seorang artis saat ini sedang gegeran dengan orang yang dianggap menipu, dan membawa ajaran sesat. Lah, dari awal dianggap apa dia? Dukun, kyai, ulama, atau apa? Ini karena sikap kita sendiri sering tidak jelas dari awal, mudah tergiur dengan kesaktian atau kelebihan-kelebihannya. Hanya saat sadar “ditipu” saja kemudian baru menyebut dengan jelas.... trus selama ini yang digauli itu siapa donk?....

Memang tidak mudah mendefinisikan orang lain.... tapi semua kembali kepada diri masing-masing.... Don’t talk to the stranger....