Kemuliaan Maulid dalam SERAT PARAS

Dalam Pupuh Sinom dan Asmarandan (Pupuh IV dan V) SERAT PARAS karya Sunan Kalijaga, menyatakan bahwa kisah Nabi Muhammad merupakan pusaka, jimat yang harus dijaga, pegang erat-erat dengan jemari.

Barang siapa yang suka cita atas kelahirannya, Nabi Muhammad, akan diberi rahmat dan kelak dosanya akan diampuni. Akan diringankan saat sakaratul maut, bagi siapa saja yang membacanya, mendengarnya.

//Sun luputaken ing benjing / ing nalikane sekarat / lagi den ambil nyawane / benjing sun wehi rahmat / lan sing sapa amacaha / miwah sekehe kang angrungu / sipat nabi caritanya//

//Miwah ta ingkang anulis / atwa simpena ika / senejan nyiliha bahe / miwah ingkang anggawaha / atawa muru kapisan / miwah sekehe kang angrungu / caritane jeng nabi paras//

Bahkan Allah akan menjaga dari rencana jin dan iblis, asal anda menjaganya, membacanya kisah tentang baginda Nabi Muhammad. Atau simpanlah kisah itu di rumah anda, akan dijauhkan dari bahaya. Kisah Nabi, jika dijadikan lelaku, maka anda akan dikasihi oleh siapapun. Siapapun yang mebaca kisah Beliau, pada hari yang sama akan diturunkan rahmat, rejeki tidak habis-habis dan dimudahkan.

//Dateng carita puniki / tetkala nabi pinaras / katurunan iku mangko / rohmating wong tunggal dina / lan rijenike perapta[48] / esuk sore ora surud-surud / peraptane[49] teka ya gampang//

 

==Monggo siapa saja yang akan lebih mendalaminya baca saja naskah SERAT PARAS...tanya saja sama Mbah Google...pasti dikasih tahu

 

 

 

Nama Amerika : Untold Story

Ini adalah sebuah "untold story" tentang Amerika. Nama Amerika bukanlah diambil dari nama Amerigo Vespucci ketika dia melakukan perjalanan ke "dunia luar" pada tahun 1400-an. Tahukah anda, darimana kata Amerika?

Jauh sebelum itu, sebenarnya, banyak pendatang muslim dari belahan dunia lain, seperti Afrika, Asia, Eropa (spanyol) yang sudah masuk ke pedalaman amerika. Dan kebetulan mereka adalah muslim. Suku cheroke diyakini telah memeluk Islam jauh sebelum Colombus ataupun Amerigo Vespucci datang ke sana.

Kehidupan suku-suku asli (Indian lazimnya disebut) berjalan seperti biasa. Namun kedatangan bangsa-bangsa eropa dengan semboyan kapitalisme, maka nafsu menguasai amerika terjadi. Dalam dialognya, kemudian muncul perkembangan dan pernyataan, bahwa para pendatang adalah penguasa mereka, "Aana Amiruka".......lambat laun, daratan dengan suku-suku asli tersebut dikuasai, dan mereka benar-benar menjadi penguasa. benar-benar menjadi Amir mereka.......So....nama Amerika menjadi sebutan umum untuk menyebut mereka para penakluk dan penguasa.

Dus....zaman kini, Amerika begitu ngotot berkuasa di tanah arab dan sekitarnya. Ini karena adanya kemudahan menyebut dirinya....Ana tetap "Amiruka"..........

Sialnya, Amerika pusing menguasai Indonesia, apalagi kemudian ketemu orang Jawa. "Siapa sampean?", dijawab, "Saya Amerika", kemudian, "Oh....tiyang meriko to...", "kulo tiyang meriki".......Pusingya semakin menjadi-jadi mendengar jawaban itu.

Maka timbullah siasat......untuk menguasainya, Amerika menggunakan rekannya, "tiyang mriki"....untuk berkuasa....toh "dari mriko tetap bisa berkuasa".......

Mengenang Gus Dur

Saya bukanlah santri atau kalangan pesantren yang sudah dekat dengan Gus Dur. Pengalaman ini saya dapatkan ketika menjadi pengurus IPNU Kecamatan Kembaran Banyumas. Sekitar tahun 1993-1997 dan masa itu adalah kepemimpinan Gus Dur. Secara pribadi jauh dari dekat. Apalagi bisa beriskusi dan bercengkerama. Bersalamanpun sekali, di saat peresmian kantor PCNU Banyumas. Ada pengalaman yang menarik buat saya untuk saya bagi. Gus Dur buatku, saat itu menjadi inspirasi, penguat keberanian.

Masa itu, tidaklah mudah mengadakan pengajian dengan mengumpulkan banyak jamaah. Apalagi atas nama NU. Tidak mudah. Harus berbelit dalam urusan perijinan. Kegiatan IPNU tingkat kecamatan harus dapat ijin Polres. Pengajuannya paling lambat 2 minggu sebelum pelaksanaan. Meski itu hanya pengajian atau kumpul2 di sekolah, seperti Pengkaderan Makesta, Lakmud dan sejenisnya. Anda bisa saja menganggap wajar prosedur itu. Tetapi pada tahun2 itu sedikit terasa berbeda. Tidak semuanya pasti dapat ijin.

Sering saya mengadakan kegiatan pengkaderan atau pengajian dengan jumlah banyak jamaah, menyampaikan hanya surat pemberitahuan. Bukan surat mohon ijin. Logikanya, mengapa harus ijin? Wong ya tidak ramai yang menutup jalan, di dalam sekolah. Kenapa harus ijin polisi? Toh ini bagian dari pelaksanaan berserikat dan berorganisasi. Surat pemberitahuan itu selalu saya kirim dan tidak peduli mau diijini atau tidak. Pokoknya kegiatan jalan. Tidak berniat membuat kerusuhan.

Keberanian bersikap seperti itu, karena saya dan kawan2 melihat, ada Gus Dur di atas (struktur PBNU) yang juga nekat dalam membesarkan NU. Tidak takut diatukut2ti prosedur dan perijinan. Toh terbukti tak ada pengajian NU dan Banomnya berujung kerusuhan atau makar ke pemerintah. Dengan itu, kami semakin merasa Gus Dur menjadi faktor spirit dan penyemangat bagi kader2 di bawah. Meski itu semua jauh sekali bertemu dan lama berkumpul.

Dan sekarang, begitu mudah mengadakan pengajian tak perlu ada rasa takut. Padahal bisa jadi berujung makar.

Spirit Jihad di Malam Jum'at

Nyunnah di malam Jum’at, lebih spesifik soal suami istri menjadi lazim diperbincangkan. Ada semacam spirit jihad di dalamnya. Bahwa memberi nafkah bathin kepada istri, ya MEMBERI adalah menyenangkan, menggembirakan dan sejenisnya. Idholussurur demikianlah ringkasnya. Di dalamnya ada pertarungan antara memberi dan meminta. Seringkali ini tidak dibedakan dengan jelas. Tidak mudah membedakannya, apalagi meneguhkan dalam perbuatan nyata. Jelas pertarungan antara Egois dan Altruis, mementingkan diri sendiri atau demi pasangannya.

Pada saat yang sama, jua terjadi pertarungan antara MENGABDI dan DILAYANI. Banyak sunnah yang diajukan untuk menempatkan manusia MENGABDI kepada Sang Khaliq, namun juga “Mengabdi/memberi” kepada pasangannya. Namun, yang terjadi tidak jarang yang minta dilayani. Lagi-lagi menghendaki kepuasan diri, memupuk egoisme.

 

Pertarungan antara egois dan servis, antara mengabdi dan dilayani adalah sebuah pertarungan yang tidak mudah, tidak enteng. Membutuhkan perjuangan, ketenangan, kejujuran dan ketulusan dalam melakukannya.

Mengendalikan yang satu

Mengendalikan bagian tubuh yang jumlahnya satu itu memang tidak mudah.

Rambut dalam jumlah demikian banyak menjadi primadona obyek penataan dan eksperimen berkreasi. Itu malah lebih dari sekedar mengendalikan. Bahkan warna putih yang mengganti hitam, tetap bisa "dikembalikan" ke warna asalnya. Hitam.

Jumlah sepasang itu juga memiliki kesulitan tersendiri. Dua mata, dua telinga, dua tangan, dua kaki pengendaliannya tidak mudah mengarah kepada perbuatan mulia. Bisa jadi melalui salah satunya kebaikan bisa dilakukan. Namun melalui satunya bisa melakukan keburukan.

Kemudian yang jumlah satu. Maka ini jauh lebih sulit. Mulut. Ya, melaluinya bisa muncul kata, kalimat, ungkapan yang beragam, berkonotasi, bertujuan dan sebagainya. Sekali lagi seringkali ini jauh lebih sulit mengendalikannya. Pun demikian terhadap kemaluan. Padahal cuma dan hanya satu.

Bila dengan tepuk tangan, tangan anda sudah cukup dan menemui pasangannya. Maka tidak demikian, dengan mulut. Ia akan mencari lawan atau pasangan dari orang lain. Tidak mungkin orang beradu mulut sendirian. Bicara atau tertawa sendirian. Lucu bukan??

Mikul Dhuwur, Mendem Jero

Judul di atas tentu berbeda satu huruf dengan istilah yang sering didengar di masyakarat. Apalagi dulu jaman orde baru, Pak Harto suka sekali. Mikul Dhuwur (Jawa) dapat diterjemahkan memikul, mengangkat yang tinggi. Mendhem Jero (dh), ini diterjemahkan menjadi mengubur yang dalam. Istilah ini sering diterapkan untuk menyikapi terhadap orang-orang yang sudah meninggal. Kita diharapkan dapat mengangkat nama baik almarhum setinggi-tingginya, di sisi lain harus mengubur, menyimpan aibnya. Sikap bijak, tidak menjadikan aib almarhum selama hidup sebagai bahan gunjingan yang berakibat pada buruknya nama almarhum.

Namun, satu huruf berbeda antara dh dan d, yang diterapkan pada kata Mendhem dan berubah Mendem, bisa berarti lain dan jauh sekali dari pengertian dan maksud yang pertama tadi dijelaskan. Kalimatnya menjadi, Mikul Dhuwur, Mendem Jero. Mengangkat yang tinggi, dan mabuk berat (dalam).

Kalimat ini lebih pas ditujukan pada sikap-sikap menjilat, memuji atasan atau orang lain, sehingga membuat mabok kepayang bagi atasan. Kemudian hubungan demikian dilanjutkan terus menerus, akibatnya yang memujipun ikut mabok dalam model hubungan seperti itu, jilat-menjilat.

Di segala zaman model pelaku jilat-menjilat pasti ada. Dan saya atau anda bisa menjadi modelnya. Tetapi, alangkah eloknya, jika kelak kita memperlakukan kepada mereka yang suka jilat-menjilat itu tetap diperlakukan Mikul Dhuwur, Mendhem Jero. Sehingga kita tidak terjebak menjadi pemakan bangkai saudara, tidak sekedar penjilat.

 

Cerita Soal Nama Hari

Ini hanyalah sebuah cerita atau legenda tutur yang sudah turun temurun di tanah Jawa. Sebelum mengenal hari, pada mulanya masyarakat Jawa dikenalkan dengan konsep waktu menyembah dan arahnya. Dan itu berjumlah lima. Jumlah ini berkaitan dengan konsep arah dan posisi. Hari-hari itu awalnya disebut Sri, Kala, Brahma, Wisnu dan Guru. Itu adalah nama-nama dewa. Bukan ditentukan hari Sri menyembah dewi Sri, tetapi bagi mereka keturuan Sri (lahir di hari Sri), maka menyembahnya ke arah Timur. Kemudian berturut-turut, ke selatan, barat, utara dan keatas/menunduk (pusat). Nama-nama itu kemudian dirubah sebagai bentuk penghormatan kepada para dewa, sehingga menjadi petak (putih), pita/jenar (kuning), reta (merah), kresna (hitam) dan warna (pancawarna). Konon itu warisan Empu Sangkala.

Datanglah Resi Radi (jelmaan Dewa Surya) memberi nama baru pada hari yang sudah ada, yaitu Legi, Paing, Pon, Kresna dan Kliwon. Ketika Resi Budda menggantikan Resi Radi, dirubah sedikit, menjadi Legi, Paing, Pon, Wage dan Kliwon.

Nama-nama hari berjumlah 7 baru datang kemudian, ketika Resi Radi menerima wangsit. Wangsit pertama mengisaratkan tentang dirinya sendiri yang sudah lama berada di bumi, maka hari pertama biasa disebut Radite (Surya). Berikutnya dapat wangsit dari Hyang Candra, kemudian disebut hari Soma (bulan). Berlanjut wangsit dari bintang Anggara, maka hari kemudian disebut Anggara (Api). Kemudian dapat wangsit dari bintang Budda, maka disebut hari Budda (Bumi). Kemudian dari bintang Wrahaspati atau halilintar, maka disebut hari Respati. Kemudian dapat wangsit dari bintang Sukra (tembaga), sehingga disebut hari Sukra (larangan). Terakhir dari bintang Niscaya (angin), maka disebut hari Saniscaya.

Nama-nama hari itu sama dengan yang kita pakai sekarang, minggu, senin, selasa, rabu, kamis, jumat dan sabtu. Dalam khazanah Jawa hari pertama itu Radite (minggu/Sunday). Ini tentu berbeda dengan kalender masehi yang sebenarnya mengawalinya dari Saturday (1 masehi hari sabtu pertama) sebagai kelanjutan tradisi Romawi dan Yunani, dimana pengaruh Saturnus sangat kuat di saat pukul 00.00.

Silakan, anda mengutak-atiknya, tentang sebutan nama-nama hari/waktu di Jawa yang bermula dari 5 kemudian 7. Filosofi 5 itu adalah filosofi peribadatan, sedangkan 7 adalah aktivitas di dunia, seperti halnya peran Resi Radi sebagai jelmaan Hyang Surya turun ke bumi menjalankan aktivitas dan urusannya. Kebiasaan orang jawa beraktivitas akan memperhatikan terbitnya matahari (harian) dan mingguan. Namun berpijak ke bumi (budda/rabu) seringkali menjadi awal dari aktivitas tertentu yang baik. Sementara di hari sukra/jumat, banyak larangan yang harus diperhatikan.

Untuk selanjutnya kembali kepada anda masing-masing.