Saya menduga nama Ruwah untuk bulan Sya’ban bagi orang Jawa berasal dari kata Arwah (para ruh-yang sering dirujukkan kepada mereka yang sudah meninggal). Penamaan bulan dalam kalender Hijriyah dalam lisan Jawa, nampaknya tidak semuanya menyerap nama asal arabnya. Bulan poso dan ruwah bisa dijadikan contoh. Mengapa orang Jawa menyebut demikian? Saya sedikit berhipotesa, sebab saya temukan ada tradisi di banyak desa yang mentradisikan penghurmatan arwah dilakukan secara massal pada bulan tersebut. Menjadi wajar kemudian, bulan ini diberi nama Ruwah (Arwah), karena di dalam bulan itu masyarakat mempunyai hajat bersama untuk menghurmati para arwah leluhur atau keraba mereka (yang sudah meninggal dunia).
Pertanyaannya kemudian, mengapa tidak pada bulan lain? Bahwa ada sebuah do’a yang sering dilantunkan saat memasuki bulan Rajab, “Allahumma baarik lanaa fii rajaban wa sya’banan wa ballighna ramadhana”. Dalam do’a tersebut ada 3 bulan dalam satu rangkaian. Pada bulan Rajab, masyarakat diajarkan untuk banyak melakukan ibadah, lebih-lebih puasa sunnah. Ini juga ditujukan dalam rangka mempersiapkan diri menyambut Ramadhan. Bukankan ujung do’a tersebut adalah sampainya kesempatan beribadah di bulan Ramadhan? Ibaratnya, pada bulan Rajab manusia diajarkan melatih diri segi fisik dan jiwa/spirit yang ujungnya adalah berjihad di bulan Ramadhan.
Nah, lantas apa berkah dalam bulan Sya’ban kemudian? Para leluhur kita dulu mengajarkan untuk tidak lupa bahwa amal kita yang bisa dilakukan saat ini, bagaimanapun adalah kelanjutan dan ada keterkaitan dengan orang tua atau kerabat atau saudara kita, meski itu sudah meninggalkan dunia. Membangun ketersambungan amal (jariyah) semacam ini menjadi penting jika dilhat dari keberkahan 3 bulan yang disebut. Jadi, persiapan diri dan restu atau kesadaran akan perjuangan leluhur menjadi bekal lebih besar dalam menjalankan ibadah Ramadhan. Harapannya tentu ibadah Ramadhan bisa terlaksana dengan baik dan membawa dampak bagi kehidupan.
Namun dalam prakteknya tradisi menghurmat arwah ini kemudian ditempatkan pada penghujung akhir dan biasa disebut megengan. Sebuah tradisi menyambut Ramadhan dengan tetap mengingat leluhur. Ini tentu menjadi cermin yang sangat berguna. Jika orang tua dulu mampu menjalankan ibadah Ramadhan dengan capaian katakanlah tingkat 5, maka untuk kita bisa ditingkatkan lebih dari itu. Paling tidak jangan jauh-jauh kisarannya. Demikianlah salah satu nasehat yang disampaikan melalui tradisi megengan atau hurmat arwah.
Bagi anda yang mempunyai tradisi hurmat arwah dengan ziarah ya silakan. Cukup dengan tahlilan ya monggo. Melalui sedekah yang ditujukan untuk leluhur yang silakan. Atau sekedar memperbanyak doa habis shalat yang monggo. Atau apalagi yang biasa anda lakukan. Lagi-lagi, jangan membuang isi, hanya karena tidak suka bungkusnya.
Wallahu ‘alamu bishshowab
Kang Yatiman (5) : Istikhoroh Pilitik Kyai
Kyai Sujak bagi kang Yatiman adalah sosok yang sangat dikagumi. Selama ini sudah menjadi jujukannya meminta nasehat, pendapat bahkan banyak hal yang paad akhirnya pendapatnya dipakai kang Yatiman. Perkenalannya dengan kyai Sujak sudah lama, sehingga kang Yatiman paham betul bahwa pendapat kyai Sujak bukan sekedar berpendapat, tetapi sudah ditimbang masak dan diupayakan secara ruhani.
Demikian pula Kyai Juki. Dia adalah teladan yang selama ini memberi inspirasi, contoh dan tuntutan bagi kang Yatiman. Sudah lama apa yang diikuti dari kebiasaan kyai Juki diamalkan oleh kang Yatiman. Jangan tanya manfaat yang didapat. Barokahnya demikian melimpah diterima kang Yatiman sekeluarga. Itulah yang menjadi keyakinan kang Yatiman.
Menjadi sulit untuk saat ini bagi kang Yatiman. Harus mengikuti siapa. Ikut kyai Sujak berarti dia mendukung capres yang selama ini tidak disukainya. Sementara membuntut langkah kyai Juki berarti dia harus siap-siap dikritik habis teman dan tetangganya. Tidak mampu kang Yatiman memberi alasan bagi pilihannya itu.
“Kyai,” kang Yatiman matur ke kyai Sujak.
”Mengapa kyai memberi dukungan pada capres yang itu?”.
“Saya sudah pikirkan matang. Sudah istikhoroh. Hasilnya ya itu. Aku mendukung dia.”
“Kang dia itu orangnya punya masa lalu yang buruk?”
“Apa kamu tahu betul latar belakang dia? Kehidupannya di masa lalu?”
“Tidak kyai”
“Ya sudah. Aku saja tidak berani begitu. Aku hanya yakin atas ikhtiarku untuk membuat pilihan”.
Apa yang disampaikan oleh kyai Sujak tidak beda jauh dengan kyai Juki. Keduanya sama-sama atas ikhtiar atau ijtihad yang sudah dilakukannya. Kang Yatiman benar-benar galau, harus pilih yang mana dari kedua pendapat tersebut.
==
Biasanya kang Yatiman meminta pendapat untuk urusan begini dari kang Sakur.
“Kang Sakur, piye menurutmu?”
“Benar semua”
“Kok bisa? Tidak mungkin. Salah satu harus ada yang benar dan satunya salah”.
“Loh, ini kan bukan soal benar salah. Bukan soal ujian anak-anak SD itu kang”
“Ya, tapi apa saya harus memilih keduanya? Kan tidak sah nanti dalam pemilu?”
“lha kan enak, tinggal pilih salah satu. Katanya keduanya menurut sampean baik semuanya? Jadi milih salah satu yang tentu baik. Ya khan?”
“Saya masih bingung, kang”.
“Wes, gini saja kang Yatiman. Seandainya ada sepuluh santri jomblow semua berusaha mencari jodohnya. Kemudian mereka sama-sama istikhoroh. Apa hasilnya sama? Nek, jawabane satu gadis apa tidak gelut? Ha ha ha ....”
“Ini kan urusan presiden, bukan jodoh”
“Ya sama saja. Sama-sama bukan urusan dalil to? Bukan urusan wahyu to?. Ketika satu santri dapat isyarat jodohnya A, ya memang itu yang cocok buatnya. Begitu santri-santri lainnya. Jadi poro kyai itu punya jodoh masing-masing dalam urusan calon presidennya”.
“kalau nanti ternyata yang dipilih itu tidak baik? Apa kyai tidak malu?”
“kenapa mesti malu? Wong itu didasari ilmu dan istikhoroh ruhani kok. Yang suka bikin malu itu kan mereka yang milih jomblow tapi pura-pura istikhoroh...”
“Maksudnya?”
“Ha ha ha ....”
Rupanya kang Yatiman jadi mikir kalimat kang Sakur. Begitulah, harusnya dia mendapat penjelasan gamblang untuk satu hal, tetapi dia malah mencari soal baru yang butuh jawaban lagi.
Pres...capres
Pres...capres
Pres...cawapres
Semua ruwet, saling gores
Bisa beres
Pres...capres
Pres...cawapres
Partai kumpul, jadi bakul
Bisa jujur, bisa ngibul
Pres...capres
Pres...cawapres
Cegah prahara, gandeng raja
Ditambah sa, agar wibawa
Pres...capres
Pres...cawapres
Hindari Owi, ajak sulawesi
JK jadi menggenapi
Pres...capres
Pres...cawapres
Berase kari sak peres
Rupane rembes...
Kokehan mbahas
Pres...capres
Pres...cawapres
Kang Yatiman (4) : "Lurah Kyai Yatiman"
Kali ini, Kyai Yatiman menghadapi problem pilihan yang rumit. Dua santrinya, Joko dan Bowo maju sebagai calon kepala desa. Kalau soal restu, sebenarnya mereka sudah mendapat restu untuk maju. Tapi soal dukungan, itulah yang menjadi masalahnya. Tidak mungkin, Kyai Yatiman hanya memberi dukungan kepada salah satunya. Atau membagi santrinya untuk mendukung mereka. Pasti tidak bisa persis. Karena jumlah santrinya juga tidak diketahui persis.
Jauh sebelum masa pendaftaran, Kyai Yatiman menyampaikan pendapatnya. “Monggo, Kang Joko silakan maju sebagai calon kepala desa. Saya bangga, seandainya kelak sampean yang terpilih.” Kalimat seperti itu juga berlaku bagi Bowo. Tanpa ada penambahan atau pengurangan makna pesannya. Masa pendaftaran masih terbuka. Namun, calon yang ada masih saja hanya mereka. Padahal, masih memungkinkan adanya calon lain. Pilihannya pada akhirnya ya salah satu dari mereka. Mau tidak mau.
Ada keprihatinan lain bagi Kyai Yatiman. Isu-isu yang beredar berhembus tentang upaya saling menjegal dengan kampanye buruk. Kampanye hitam saling menjelekkan. Situasi seperti ini tentu tidak baik bagi mereka berdua. Apalagi bagi Kyai Yatiman. Semuanya santrinya, tetapi dalam kampanye saling menjelekkan. Ini tidak boleh terjadi.
“Apa benar kamu menjelekkan kang Joko, Wo?” suatu waktu Kyai Yatiman menegur Kang Bowo.
“Bukan kyai. Saya tidak bermaksud demikian. Tetapi, saya dengar di masyarakat ada yang berusaha menjelekkan saya. Membuat fitnah terhadap saya. Tentu ini dari timnya Kang Joko. Apa saya harus diam saja kyai? Apa njenengan rela saya difitnah semacam itu?” Kilah Kang Bowo.
“Lha apa tidak ada cara lain, misalnya sampean datangi langsung Kang Joko?”
“Tidak mungkin kyai, kuatir salah paham, malah kemudian konflik. Kalau saya diam, saya bisa kalah kyai.”
“Oooh, soal kalah menang to ini?”
“Lha inggih kyai. Pilkades kan mencari pemenang?”
Rasanya sulit sekali bagi Kyai Yatiman untuk mendamaikan keduanya. Bisa saja, Joko dan Bowo bisa tidak ada masalah. Tim sukses yang menghendaki mereka menang itu tentu tidak terima atau tidak ingin calon yang diusung kalah.
==
“Assalamu ‘alaikum,”
“Waalaikum salam kyai. Apa yang bisa saya bantu?”
“Saya mau daftar jadi calon kades, pak!”
“Yang benar saja kyai?”
Petugas pendaftar pilkades keheranan. Kenapa Kyai Yatiman mendaftar jadi calon kades. Kedatangannya tidak pernah diduga oleh petugas. Pikiran mereka barangkali Kyai Yatiman akan memberi nasehat atau masukan kepada panitia. Tapi tidak sama sekali. Kyai Yatiman maju sebagai calon kades.
Syarat sudah terpenuhi. Kyai Yatiman berhak maju sebagai calon kades. Pilihannya menjadi tiga calon. Kabar ini kemudian diketahui masyarakat luas. Joko dan Bowo benar-benar bingung dengan kondisi ini. Bagi mereka Kyai Yatiman jelas menjadi ancaman. Bersaing dengan gurunya sendiri tentu mereka kalah. Masyarakat jelas lebih condong kepada Kyai Yatiman. Itu jelas dari hitung-hitungan di atas kertas ataupun kondisi riilnya.
Bersepakatlah mereka. Kyai Yatiman adalah ancaman kemenangan mereka. Strategi bersama disepakati. Pokoknya jangan sampai kalah dari Kyai Yatiman. Dan benar, kampanye mereka berbalik untuk melemahkan suara pendukung Kyai Yatiman.
==
Kyai Yatiman. Kyai Yatiman. Joko. Bowo. Kyai Yatiman. Demikian juru hitung pilkades. Sampai jam 3 sore perhitungan selesai, Pemilih yang ikut nyoblos hampir 100 persen. Hasil penghitungan diketahui. Kyai Yatiman memperoleh suara 1233, Joko 543, dan Bowo 542. Jelas hasil ini pukulan telak bagi Joko dan Bowo. Bagaimana bisa kekuatan bersama mereka bisa kalah dengan Kyai Yatiman. Tetapi mereka lupa, bagaimanapun suara mereka dibagi dua, tidak seperti suara Kyai Yatiman yang utuh hanya untuk dirinya.
Hasil tersebut kemudian ditetapkan Kyai Yatiman sebagai pemenangnya.
“Terima kasih saudara-saudara atas suara yang diberikan kepada saya. Demikian juga untuk dua santri saya, Joko dan Bowo yang sudah bekerja keras turut serta dalam pemilihan ini” begitulah pidatonya. Tetapi kemudian, “...namun demikian, saat ini juga saya mengundurkan diri sebagai pemenang Pilkades. Tugas saya mengajar tidak bisa saya tinggalkan....”. Semua yang hadir terdiam. Kaget, tidak tahu apa maksud dari semua ini.
Kondisi itu tentu menempatkan Joko sebagai pemenang, karena lebih banyak dari Bowo, meski hanya satu suara. Bagi Joko tetap saja tidak senang dengan hasil ini. Meski menang itu hanya suara sedikit. Bukan yang sebenarnya. Demikian pula kelebihannya dari Bowo. Hal yang lebih membuat Joko tidak suka adalah, kenyataan Kyai Yatiman harus dipenjara. Karena mengundurkan diri dari proses pilihan yang sudah ditetapkan.
Joko dan Bowo benar-benar menyesal, kenapa Kyai Yatiman harus masuk penjara akibat pilkades. Saat mereka besuk di penjara kepolisian, Kyai Yatiman berkata kepada mereka,”apakah cara ini bisa membuat kalian rukun?” Sungguh pertanyaan yang menyesakkan dada mereka. Mereka tidak sadar selama ini, keikutsertaan Kyai Yatiman hanya untuk menyadarkan kepada mereka untuk tidak saling menjatuhkan dalam kampanye.
“Tapi...tidak apa-apa itu pilihanku. Toh masyarakat yang menentukan kalian. Dan aku terbebas dari beban memberi dukungan kepada salah satu dari kalian”.
“Tapi kyai”, Joko dan Bowo menyela, “mengapa harus sampai seperti ini?”
“Ketahuilah kalian, do’a restuku itu jauh lebih berharga dari sekedar suara dukunganku”.
Jauh sebelum masa pendaftaran, Kyai Yatiman menyampaikan pendapatnya. “Monggo, Kang Joko silakan maju sebagai calon kepala desa. Saya bangga, seandainya kelak sampean yang terpilih.” Kalimat seperti itu juga berlaku bagi Bowo. Tanpa ada penambahan atau pengurangan makna pesannya. Masa pendaftaran masih terbuka. Namun, calon yang ada masih saja hanya mereka. Padahal, masih memungkinkan adanya calon lain. Pilihannya pada akhirnya ya salah satu dari mereka. Mau tidak mau.
Ada keprihatinan lain bagi Kyai Yatiman. Isu-isu yang beredar berhembus tentang upaya saling menjegal dengan kampanye buruk. Kampanye hitam saling menjelekkan. Situasi seperti ini tentu tidak baik bagi mereka berdua. Apalagi bagi Kyai Yatiman. Semuanya santrinya, tetapi dalam kampanye saling menjelekkan. Ini tidak boleh terjadi.
“Apa benar kamu menjelekkan kang Joko, Wo?” suatu waktu Kyai Yatiman menegur Kang Bowo.
“Bukan kyai. Saya tidak bermaksud demikian. Tetapi, saya dengar di masyarakat ada yang berusaha menjelekkan saya. Membuat fitnah terhadap saya. Tentu ini dari timnya Kang Joko. Apa saya harus diam saja kyai? Apa njenengan rela saya difitnah semacam itu?” Kilah Kang Bowo.
“Lha apa tidak ada cara lain, misalnya sampean datangi langsung Kang Joko?”
“Tidak mungkin kyai, kuatir salah paham, malah kemudian konflik. Kalau saya diam, saya bisa kalah kyai.”
“Oooh, soal kalah menang to ini?”
“Lha inggih kyai. Pilkades kan mencari pemenang?”
Rasanya sulit sekali bagi Kyai Yatiman untuk mendamaikan keduanya. Bisa saja, Joko dan Bowo bisa tidak ada masalah. Tim sukses yang menghendaki mereka menang itu tentu tidak terima atau tidak ingin calon yang diusung kalah.
==
“Assalamu ‘alaikum,”
“Waalaikum salam kyai. Apa yang bisa saya bantu?”
“Saya mau daftar jadi calon kades, pak!”
“Yang benar saja kyai?”
Petugas pendaftar pilkades keheranan. Kenapa Kyai Yatiman mendaftar jadi calon kades. Kedatangannya tidak pernah diduga oleh petugas. Pikiran mereka barangkali Kyai Yatiman akan memberi nasehat atau masukan kepada panitia. Tapi tidak sama sekali. Kyai Yatiman maju sebagai calon kades.
Syarat sudah terpenuhi. Kyai Yatiman berhak maju sebagai calon kades. Pilihannya menjadi tiga calon. Kabar ini kemudian diketahui masyarakat luas. Joko dan Bowo benar-benar bingung dengan kondisi ini. Bagi mereka Kyai Yatiman jelas menjadi ancaman. Bersaing dengan gurunya sendiri tentu mereka kalah. Masyarakat jelas lebih condong kepada Kyai Yatiman. Itu jelas dari hitung-hitungan di atas kertas ataupun kondisi riilnya.
Bersepakatlah mereka. Kyai Yatiman adalah ancaman kemenangan mereka. Strategi bersama disepakati. Pokoknya jangan sampai kalah dari Kyai Yatiman. Dan benar, kampanye mereka berbalik untuk melemahkan suara pendukung Kyai Yatiman.
==
Kyai Yatiman. Kyai Yatiman. Joko. Bowo. Kyai Yatiman. Demikian juru hitung pilkades. Sampai jam 3 sore perhitungan selesai, Pemilih yang ikut nyoblos hampir 100 persen. Hasil penghitungan diketahui. Kyai Yatiman memperoleh suara 1233, Joko 543, dan Bowo 542. Jelas hasil ini pukulan telak bagi Joko dan Bowo. Bagaimana bisa kekuatan bersama mereka bisa kalah dengan Kyai Yatiman. Tetapi mereka lupa, bagaimanapun suara mereka dibagi dua, tidak seperti suara Kyai Yatiman yang utuh hanya untuk dirinya.
Hasil tersebut kemudian ditetapkan Kyai Yatiman sebagai pemenangnya.
“Terima kasih saudara-saudara atas suara yang diberikan kepada saya. Demikian juga untuk dua santri saya, Joko dan Bowo yang sudah bekerja keras turut serta dalam pemilihan ini” begitulah pidatonya. Tetapi kemudian, “...namun demikian, saat ini juga saya mengundurkan diri sebagai pemenang Pilkades. Tugas saya mengajar tidak bisa saya tinggalkan....”. Semua yang hadir terdiam. Kaget, tidak tahu apa maksud dari semua ini.
Kondisi itu tentu menempatkan Joko sebagai pemenang, karena lebih banyak dari Bowo, meski hanya satu suara. Bagi Joko tetap saja tidak senang dengan hasil ini. Meski menang itu hanya suara sedikit. Bukan yang sebenarnya. Demikian pula kelebihannya dari Bowo. Hal yang lebih membuat Joko tidak suka adalah, kenyataan Kyai Yatiman harus dipenjara. Karena mengundurkan diri dari proses pilihan yang sudah ditetapkan.
Joko dan Bowo benar-benar menyesal, kenapa Kyai Yatiman harus masuk penjara akibat pilkades. Saat mereka besuk di penjara kepolisian, Kyai Yatiman berkata kepada mereka,”apakah cara ini bisa membuat kalian rukun?” Sungguh pertanyaan yang menyesakkan dada mereka. Mereka tidak sadar selama ini, keikutsertaan Kyai Yatiman hanya untuk menyadarkan kepada mereka untuk tidak saling menjatuhkan dalam kampanye.
“Tapi...tidak apa-apa itu pilihanku. Toh masyarakat yang menentukan kalian. Dan aku terbebas dari beban memberi dukungan kepada salah satu dari kalian”.
“Tapi kyai”, Joko dan Bowo menyela, “mengapa harus sampai seperti ini?”
“Ketahuilah kalian, do’a restuku itu jauh lebih berharga dari sekedar suara dukunganku”.
Kang Yatiman (3) : Memilih Rakyat, Bukan Capres
Tumben, Kang Yatiman pagi-pagi sekali berkunjung ke rumahku. Sudah lama sekali, sejak kunjunganku waktu lalu mengundang Haul Kyai Yahya kami tidak bertemu.
“Kang, tolong beri aku nasehat atau petunjuk...”
“Loh, sebagai kyai mosok minta bantuan orang macam saya?
“Ah, jangan gitu Kang Sakur. Sudahlah, beri saja saya petunjuk”
“Soal apa?”
“Pilpres. Menurut sampean, pasangan siapa yang harus dipilih?“
Kang Yatiman mengakui, akhir-akhir banyak warga yang bertamu atau jamaah yang hadir di majelisnya menanyakan soal itu. Maklum, sebagai kyai tentu ditunggu pendapatnya. Bagi jamaahnya, pendapatnya akan membuat tentram hati mereka.
“Ah, jaman sekarang gak usah begitu-begituan Kang”
“Lha gimana to Kang, wong mereka tetap meminta pendapatku”
“Ya, jawab saja sekenanya. Atau serahkan pilihan pada mereka. Kan beres”
“Itu dia, masalahnya, sudah saya lakukan begitu, tetap saja selalu ditanya”.
Kang Yatiman, tetap saja mendesakku untuk memberikan jawabannya.
“Wes, Kang. Begini saja. Mulai besok sampai tujuh hari ke depan, sampean saya tugasi marung, jagong di warung kopi”.
“Loh, apa hubungannya?”
“Lah, sampean minta petunjuk. Itu petunjukku. Mau ya sudah, tidak mau ya monggo. Beres.”
==
Hari pertama, Kang Yatiman njagong di warung Kopi dekat rumahnya. Seharian dia ngobrol bersama pengunjung lain. Obrolan orang-orang di sana, tak beda jauh dengan yang di rumah. Soal Pilpres tetap jadi pembahasan yang anget. Dia mencoba mencerna bagaimana sebenarnya suara orang-orang itu. Tetap saja, ada dua kubu yang saling memperkuat pilihannya masing-masing.
“Ah, sama saja. Tambah pusing saja. Di mana-mana kok soal capres yang diurus.” Begitu kesimpulannya njagong hari pertama. Demikian juga hari berikutnya, dia mencoba njagong di warung kopi yang agak jauh dari rumah. Sama saja hasilnya. Sampai hari keenam, kesimpulan itu saja terus menerus. Sampai-sampai dia mempertanyakan apa maksud dari Kang Sakur memberi nasehat tersebut.
==
Sudah hampir enam jam dia njagong di warung kopi dekat rumahnya. Itu adalah hari terakhir seperti petunjuk Kang Sakur. Tidak banyak berbeda. Sejak jam delapan pagi, yang didengar adalah obrolah soal capres dan cawapres. Semakin memuakkan saja baginya mendengar diskusi-diskusi seperti itu.
Kang Yatiman tidak menyadari, bahwa masih ada seseorang yang juga duduk di warung tersebut hampir selama yang dilakukannya.
“Kyai, saya perhatikan kok panjenengan lama sekali di warung ini,”
Sedikit kaget, “Oh, kang yanto. Ya kang, saya pengen njagong saja. Lama saya tidak njagong di sini. Padahal dekat dengan rumah.”
“Ooooh. Refreshing begitu kyai?”
“Ya, begitulah. Sampean sendiri sedang apa?”
“Kalau saya sudah biasa begini kyai. Gak ada pekerjaan. Daripada di rumah diomelin istri, mending di sini, cukup modal dua ribu bisa duduk dan ngobrol lama sekali. Nanti kalau sudah sore baru pulang”.
“Sampean kerjanya apa?”
“Gak mesti kyai, serabutan. Pekerjaan saya membuat kasur.”
“Bagus itu.”
“Nggeh, bagus. Tapi kalau sepi order begini saya dak bisa memberi uang belanja kepada istri, apalagi buat biaya sekolah anak-anak”.
“Loh, kenapa tidak datang ke rumah? Kalau pas nganggur begini. Kan dekat dengan rumah saya?”
“Malu kyai, saya tidak bisa ngaji. Jarang shalat. Apa pantas kumpul dengan mereka yang ahli ibadah dan mengaji?”
==
Baru kali ini selama masa melakukan petunjuk Kang Sakur. Obrolan ringan, tidak membahas capres, tidak membahas politik. Tetapi membahas soal pekerjaan, soal nafkah keluarga sehari-hari, soal keberagamaan. Padahal, Kang Yanto adalah tetangga dari Kang Yatiman.
Sejak obrolannya dengan Kang Yanto tersebut, Kyai Yatiman memutuskan tidak mau membahas soal capres apalagi memberi pertimbangan dalam memilih capres. Dia baru menyadari bahwa, selama ini sebagai kyai, dia terlalu disibukkan dengan urusan dan kepentingan tamu-tamunya, kepentingan mereka yang suka beribadah, suka mengaji. Tetapi lupa, kepada tetangga yang masih kekurangan ekonomi dan malu beribadah.
“Kang, tolong beri aku nasehat atau petunjuk...”
“Loh, sebagai kyai mosok minta bantuan orang macam saya?
“Ah, jangan gitu Kang Sakur. Sudahlah, beri saja saya petunjuk”
“Soal apa?”
“Pilpres. Menurut sampean, pasangan siapa yang harus dipilih?“
Kang Yatiman mengakui, akhir-akhir banyak warga yang bertamu atau jamaah yang hadir di majelisnya menanyakan soal itu. Maklum, sebagai kyai tentu ditunggu pendapatnya. Bagi jamaahnya, pendapatnya akan membuat tentram hati mereka.
“Ah, jaman sekarang gak usah begitu-begituan Kang”
“Lha gimana to Kang, wong mereka tetap meminta pendapatku”
“Ya, jawab saja sekenanya. Atau serahkan pilihan pada mereka. Kan beres”
“Itu dia, masalahnya, sudah saya lakukan begitu, tetap saja selalu ditanya”.
Kang Yatiman, tetap saja mendesakku untuk memberikan jawabannya.
“Wes, Kang. Begini saja. Mulai besok sampai tujuh hari ke depan, sampean saya tugasi marung, jagong di warung kopi”.
“Loh, apa hubungannya?”
“Lah, sampean minta petunjuk. Itu petunjukku. Mau ya sudah, tidak mau ya monggo. Beres.”
==
Hari pertama, Kang Yatiman njagong di warung Kopi dekat rumahnya. Seharian dia ngobrol bersama pengunjung lain. Obrolan orang-orang di sana, tak beda jauh dengan yang di rumah. Soal Pilpres tetap jadi pembahasan yang anget. Dia mencoba mencerna bagaimana sebenarnya suara orang-orang itu. Tetap saja, ada dua kubu yang saling memperkuat pilihannya masing-masing.
“Ah, sama saja. Tambah pusing saja. Di mana-mana kok soal capres yang diurus.” Begitu kesimpulannya njagong hari pertama. Demikian juga hari berikutnya, dia mencoba njagong di warung kopi yang agak jauh dari rumah. Sama saja hasilnya. Sampai hari keenam, kesimpulan itu saja terus menerus. Sampai-sampai dia mempertanyakan apa maksud dari Kang Sakur memberi nasehat tersebut.
==
Sudah hampir enam jam dia njagong di warung kopi dekat rumahnya. Itu adalah hari terakhir seperti petunjuk Kang Sakur. Tidak banyak berbeda. Sejak jam delapan pagi, yang didengar adalah obrolah soal capres dan cawapres. Semakin memuakkan saja baginya mendengar diskusi-diskusi seperti itu.
Kang Yatiman tidak menyadari, bahwa masih ada seseorang yang juga duduk di warung tersebut hampir selama yang dilakukannya.
“Kyai, saya perhatikan kok panjenengan lama sekali di warung ini,”
Sedikit kaget, “Oh, kang yanto. Ya kang, saya pengen njagong saja. Lama saya tidak njagong di sini. Padahal dekat dengan rumah.”
“Ooooh. Refreshing begitu kyai?”
“Ya, begitulah. Sampean sendiri sedang apa?”
“Kalau saya sudah biasa begini kyai. Gak ada pekerjaan. Daripada di rumah diomelin istri, mending di sini, cukup modal dua ribu bisa duduk dan ngobrol lama sekali. Nanti kalau sudah sore baru pulang”.
“Sampean kerjanya apa?”
“Gak mesti kyai, serabutan. Pekerjaan saya membuat kasur.”
“Bagus itu.”
“Nggeh, bagus. Tapi kalau sepi order begini saya dak bisa memberi uang belanja kepada istri, apalagi buat biaya sekolah anak-anak”.
“Loh, kenapa tidak datang ke rumah? Kalau pas nganggur begini. Kan dekat dengan rumah saya?”
“Malu kyai, saya tidak bisa ngaji. Jarang shalat. Apa pantas kumpul dengan mereka yang ahli ibadah dan mengaji?”
==
Baru kali ini selama masa melakukan petunjuk Kang Sakur. Obrolan ringan, tidak membahas capres, tidak membahas politik. Tetapi membahas soal pekerjaan, soal nafkah keluarga sehari-hari, soal keberagamaan. Padahal, Kang Yanto adalah tetangga dari Kang Yatiman.
Sejak obrolannya dengan Kang Yanto tersebut, Kyai Yatiman memutuskan tidak mau membahas soal capres apalagi memberi pertimbangan dalam memilih capres. Dia baru menyadari bahwa, selama ini sebagai kyai, dia terlalu disibukkan dengan urusan dan kepentingan tamu-tamunya, kepentingan mereka yang suka beribadah, suka mengaji. Tetapi lupa, kepada tetangga yang masih kekurangan ekonomi dan malu beribadah.
Warga NU Bangkit Berkali-kali
Tahun 1908 dijadikan tahun bangkitnya nasionalisme bangsa Indonesia. Budi Oetomo, sebuah organisasi kepemudaan dijadikan rujukan awal pertanda kebangkitan nasional. Namun, bagi warga Nahdlatul Ulama, kebangkitan itu terjadi berkali-kali. Sekitar tahun 1916, dari para kyai dideklarasikan Nahdlatul Wathan, kebangkitan akan cinta tanah air. Bukan sebuah ormas kepemudaan, namun ditumbuhkembangkan pada diri pelajar. Melalui perguruan Nahdlatul wathan, warga NU sudah bangkit untuk pertama kalinya. Siapa mereka? Kaum pelajar.
Kebangkitan berikutnya adalah, nahdlatututtujar, kebangkitan para saudagar. Bukan hanya karena situasi kondisi yang menuntut mereka untuk bangkit melawan kapitalisme, serbuan para pedagang besar kota, tetapi satu target lain, yakni mendukung pembiayaan bagi kebangkitan tanah air dan dakwah para ulama. Jelas sekali, para pengusaha bangkit dalam gerakan kebangsaan.
Berikutnya, meski tidak dengan nama kebangkitan (nahdlat), tetapi taswirul afkar pada hakikatnya adalah sebuah kebangkitan pemikiran. Pergolakan pemikiran menjadi tanda bangkitnya para pemikir, bangkitnya cara berpikira dalam memandang berbagai persoalan dalam bingkai kebangsaan dan dakwah.
Inilah puncaknya, jika sebelumnya para kyai, ulama menjadi motor, pengelola dan pembina, 1926 mereka benar-benar bangkit, dan lahirlah Nahdlatul Ulama. Bangkitnya kaum pelajar, kaum pedagang, kaum cendekia dan pergerakan kemudian diwadahi dalam sebuah kebangkitan para ulama. Satu tujuan dan tekad dalam bingkai kebangsaan dan menyebarkan Islam yang rahmat bagi seluruh alam.
Konteks inilah hendaknya yang dijadikan pijakan kesejarahan Kebangkitan Nasional bagi warga NU, sebuah gerakan kebangkitan yang melibatkan banyak pihak, beragam aspek dan tetap kaidah keagamaan. Kebangkitan yang tuntas atas problem hubungan agama dan negara (bangsa).
Kemudian, bangkitlah para politisi dalam wadah PKB. Ini adalah kebangkitan di era reformasi. Menghadapi masa transisi dan chaos politik menumbuhkan kebangkitan untuk sebuah partai.
Masihkah perlu bangkit kembali? Atau menunggu mati untuk bangkit yang kesekian kali?
Kebangkitan berikutnya adalah, nahdlatututtujar, kebangkitan para saudagar. Bukan hanya karena situasi kondisi yang menuntut mereka untuk bangkit melawan kapitalisme, serbuan para pedagang besar kota, tetapi satu target lain, yakni mendukung pembiayaan bagi kebangkitan tanah air dan dakwah para ulama. Jelas sekali, para pengusaha bangkit dalam gerakan kebangsaan.
Berikutnya, meski tidak dengan nama kebangkitan (nahdlat), tetapi taswirul afkar pada hakikatnya adalah sebuah kebangkitan pemikiran. Pergolakan pemikiran menjadi tanda bangkitnya para pemikir, bangkitnya cara berpikira dalam memandang berbagai persoalan dalam bingkai kebangsaan dan dakwah.
Inilah puncaknya, jika sebelumnya para kyai, ulama menjadi motor, pengelola dan pembina, 1926 mereka benar-benar bangkit, dan lahirlah Nahdlatul Ulama. Bangkitnya kaum pelajar, kaum pedagang, kaum cendekia dan pergerakan kemudian diwadahi dalam sebuah kebangkitan para ulama. Satu tujuan dan tekad dalam bingkai kebangsaan dan menyebarkan Islam yang rahmat bagi seluruh alam.
Konteks inilah hendaknya yang dijadikan pijakan kesejarahan Kebangkitan Nasional bagi warga NU, sebuah gerakan kebangkitan yang melibatkan banyak pihak, beragam aspek dan tetap kaidah keagamaan. Kebangkitan yang tuntas atas problem hubungan agama dan negara (bangsa).
Kemudian, bangkitlah para politisi dalam wadah PKB. Ini adalah kebangkitan di era reformasi. Menghadapi masa transisi dan chaos politik menumbuhkan kebangkitan untuk sebuah partai.
Masihkah perlu bangkit kembali? Atau menunggu mati untuk bangkit yang kesekian kali?
Nahdlatul Wathan : Madrasah Yang Luar Biasa
Banyak peneliti, khususnya yang mengkaji tentang Nahdlatul Ulama (NU) melihat Nahdlatul Wathan (NW) sebagai salah satu pilar dari berdirinya NU. Namun demikian, jangan sampai, karena kebesaran NU, kemudian saya dan anda menganggap kecil atau bahkan meremehkan peran Nahdlatul wathan. Marilah kita perhatikan satu pilar tersebut, meski harus tetap disadari, bahwa itu adalah hanya bagian dari rumah besar, bernama Nahdlatul Ulama.
Paling tidak ada beberapa alasan, jika kemudian saya menyebutnya sebagai madrasah yang luar biasa. Nahdlatul watahan didirikan para ulama, yang dipelopori oleh KH. Wahab Hasbullah. Pertama, ringkasnya nahdlatul wathan itu sekolah (madrasah) yang revolusioner. Saya sebut demikian, karena NW didirikan atas prinsip yang berbeda dengan mainstream waktu itu, yaitu dalam hal perjuangan melawan penjajah. Sebelum NW, sudah banyak berdiri ormas yang berupaya melawan penjajah Belanda, dengan tujuan dan strategi politik. Fokus mereka adalah perjuangan politik dan diplomasi. Di sisi lain, perjuangan fisik juga kuat bergolak di berbagai daerah. Mendirikan madrasah (perguruan) sebagai lembaga pendidikan yang mempunyai target membangun nasionalisme (cinta tanah air) dalam konteks zaman itu adalah revolusioner. Ada banyak sekolah yang sudah didirikan, tetapi ditujukan mengejar kecerdasan dan kepandaian, yang juga diyakini bisa dijadikan alat perjuangan. Menegaskan sebagai perguruan cinta tanah air, bagi NW adalah pilihan yang sangat beresiko. Pada era 1916, NW didirikan di Surabaya dan kemudian diikuti di berbagai daerah. Situasi masa itu adalah sedang kuat-kuatnya kolonialisme di dunia dan Belanda dengan segala cara akan meredam gerakan perlawanan dari rakyat jajahannya. Lembaga pendidikan dengan demikian tegas sekali, dijadikan alat perjuangan kemerdekaan.
Kedua, dalam kalimat singkat, NW adalah madrasah yang komplit dan uptodate. Mengapa demikian? Menurut saya, NW dikelola secara modern, berbasis sistem klasikal dan kurikulum yang seragam di antara sekolah-sekolah di bawah naungannya. Pada masa itu pergolakan pemikiran keagamaan terjadi perdebatan, perbedaan bahkan sampai konflik antar paham. Melalui sistem pengajaran yang sistematis, NW mengajarkan dan mempertahankan paham ahlussunnah wal jamaah, dengan tetap berkiblat pada pendidikan pesantren. Demikian pula, pilihan dalam membangun nasionalisme sangat sesuai dengan kebutuhan zaman itu. Jadi, NW adalah madrasah yang mengajarkan ilmu agama, ilmu pengetahuan umum dan cinta tanah air.
Maka, yang ketiga adalah NW menjadi sumber ide, semangat dan manusia dalam perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia. Banyak tokoh-tokoh nasionalis lahir dari perguruan ini. Tidak mengherankan jika kemudian, pad tahun 1945 Surabaya dipenuhi oleh para pejuang yang sangat cinta tanah air dan tidak takut pada penjajah asing.
Masa kini, tentu perlu melihat dan mengkaji apa yang sudah dilakukan oleh Nahdlatul wathan. Satu soal perlu diajukan, apakah pendidikan selama ini kemudian mampu membangun nasionalisme? Kurikulum pada akhir-akhir ini lebih dititikberatkan pada kebutuhan mencetak manusia-manusia kerja, disiapkan bisa mengerjakan sesuatu yang dibutuhkan dalam industri. Tetapi kering dalam sisi nasionalisme. Tidak mengherankan kemudian, banyak profesional dan tenaga ahli lahir dari sistem pendidikan semacam ini yang melupakan naisonalisme, mudah menjual aset kepada asing, kepada mereka yang “dianggap” ahli. Padahal, kalau mau bekerja lebih keras, keahlian yang dimiliki anak bangsa ini tidak kalah dengan orang asing.
Selanjutnya, bagaimana dengan NU? Sebagai rumah besar, mari sama-sama dilihat pilarnya. Satu saja, seperti melihat Nahdlatul Wathan, apakah masih terjaga visi dan misinya? Jika penilaian anda sudah rapuh, maka yang paling masuk akal untuk menjelaskannya adalah disebabkan gerogotan rayap. Tentu itu ada pada pilar itu sendiri atau masih berada di dalam rumah. Semoga saya dan anda bukan bagian dari rayap itu.
Selamat Hari Lahir NU yang ke-91 (16 Rajab 1435 H)
Langganan:
Postingan (Atom)