SABAR (Bagian II)

Agak sulit memang menemukan definisi sabar yang benar-benar pas. Antara satu orang dengan lainnya bisa mempunyai definisi yang berbeda. Wajar jika demikian, sebab sabar merupakan istilah yang memuat hal-hal fisik dan non fisik. Campuran yang abstrak dengan yang riil. Sabar bisa tercermin dalam sikap perilaku yang keliatan, tetapi dia didasari pada sikap batin yang abstrak, ghoib. Allah tidak memberi batasan yang benar-benar jelas. Di berbagai ayat al qur'an sabar muncul. Salah satunya adalah ketika menggambarkan orang yang sabar : "...mereka yang ketika ditimpa musibah berkata inna lillahi wa innaa ilaihi rojiun". Orang sabar digamabrkan oleh allah adalah merek a yang ketika ditimpa musibah (kejadian yang tidak mengenakkan-pen) berujar innaa lillahi wa innaa ilaihi rojiun. gambaran tersebut lebih fokus kepada musibah, bukan nikmat. Allah paham betul terhadap psikologis manusia. Ketika nikmat manusia akan mudah mengucap terima kasih. Mudah memuji allah. Tetapi bagaimana kalau tidak menyenangkan? maga disitulah akan tergambar kesabaran seseorang. Dari sini ada satu pelajaran yang bisa kita ambil, bahwa manusia yang teruji adalah ketika mereka bisa melalui kesulitan, ketidakenakan. Kalau mau tahu apakah manusia itu bersukur atau tidak, maka lihatlah ketika tidak punya apa-apa. Apakah kita termasuk orang yang bersukur atau tidak atas kesehatan, maka lihatlah sikap kita ketika sakit. Apakah anda akan menggerutu dan mengomel ketika sakit? jika ya, berarti anda tidak bersukur atas kesehatan. Terkadang kita diberi flu satu jam saja mengeluhnya luar biasa...lupa jika allah memberi sehat selama puluhan tahun...itulah manusia yang sering melupakan allah. Tidak enak sedikit saja melupakan nikmat yang besar dan lama sebelumnya.

Tepat sekali allah menggambarkan tentang manusia yang sabar itu. Di saat tidak enak, maka manusia itu dengan penuh kesadaran mengakui : "sungguh...kami ini adalah milik allah dan kami semua akan kembali kepada allah...". Kalimat ini dalam masyarakat kita sudah dipelintir sedemikian rupa hanya berlaku ketika ada orang meninggal. Kalau mau jujur sungguh ungkapan itu diucapkan hanya ketika ada orang meninggal adalah mengecilkan arti yang sesungguhnya. Ungkapan itu akan keluar dari mulut mereka yang terkena musibah. Bukan orang lain yang tidak kena musibah. Seandainya diucapkan orang lain, maka itu adalah bentuk mengingatkan untuk bersabar bagi yang ditimpa musibah.

Kata kami (innaa) adalah menunjukkan subyek jamak (pertama) atau kami. Jadi saya dan apa yang beserta saya. Sehingga disitu yang menjadi milik allah ada saya dan apa saja yang beserta saya, baik benda, kejadian atau apapun. Sehingga ketika ada kejadian yang membuat kita tidak nyaman, tidak menyenangkan, maka allah mengajari kita untuk mengakui bahwa itu semua dari allah. Orang sering dan mudah mengumpat ketika cuma tersandung. siapa sebenarnya yang diumpat?? kaki, batu, kejadian atau yang menciptakan kejadian tersandung tersebut. Sungguh seandainya tahu...orang di dunia ini tidak akan mudah mengumpat. Dosa besar. Demikian pula mengeluh...di al qur'an berkali-kali disebut "wa laa tai-asu.." berkali-kali...jangan putus asa...atas rahmat allah. kenapa lupa dengan nikmat-nikmat yang telah diberikan selama ini (wa bi ayyi alaai robbikuma tukadziban)?

dengan demikian, sabar kah diri kita??? cobalah apa yang pertama kali muncul dalam benak kita, hati kita; apa yang pertama terucap dari mulut kita ketika kita menemui kejadian, situasi, hal dan sesuatu yang buat diri kita tidak enak, tidak senang. Apapun yang muncul dalam benak kita, apapun yang terucap dari mulut kita, maka itulah indikator kesabaran kita. Selanjutnya nilailah sendiri...hanya anda dan allah yang paling tahu tentang diri anda.

Sabar adalah sebuah sikap yang tidak hanya soal ucapan, tetapi lebih dari itu, yaitu sikap hati, sikap batin yang terlahir melalui sikap perilaku dan dipertegas melalui ucapan. Sabar demikian penting, tetapi demikian berat dilakukan? untuk apa itu semua dilakukan? seberapa penting sabar dalam hidup, dalam ajaran agama? semoga bisa berlanjut dalam tulisan berikutnya.