Sejarah Peringatan Kematian

DODOLAN

Si Mbah dulu pernah bercerita kepadaku :
Ngger...cucuku
Memang Islam sampai kesini itu dibawa pedagang
Bahkan yang mendapatkan amanat menyampaikannya pun juga pedagang

Tapi ingat,
Islam tidak untuk diperdagangkan
Islam tidak mendidik berdagang dalam beragama
Itu hanya untuk memudahkanmu memahami
Karena logika perdaganganlah yang paling mudah kau pahami
Sebab kamu itu mata duitan.......

Ngger....
Islam datang untuk meneguhkan keyakinan yang sudah dibangun leluhurmu
Islam datang untuk menuntunmu pada sejarah dan kisah
Karena batinmu condong pada asalmu.....”

(Sumber : Kitab Teles, Bab Padudon, Pasal Dodolan)

LEPET Lebaran

Memasuki hari raya Idul Fitri, biasanya orang membahas mengenai soal Kupat (Ketupat) dengan makna simboliknya. Biasanya dijlentrehkan melalui kerata basa, yakni ngaKU lePAT. Pada hari Idul Fitri, sudah lazim saling meminta maaf, saling mengaku kesalahan diri masing-masing. Semangat kembali fitri (suci) melalui proses saling meminta maaf dan memaafkan sesama manusia.

Namun, jarang yang membahas LEPET, makanan yang juga selalu hadir mendampingi KUPAT saat lebaran. LEPET bisa dijlentrehkan sebagai LEbar opo sing diemPET. Maksudnya, sudah bebas melakukan apa yang selama Ramadhan ditahan. Seperti halnya makan, minum, dan seks. Jika bentuknya adalah selalu menyerupai (maaf) alat kelamin laki-laki, bisa jadi dulu ibu-ibu yang membuat Lepet ingin mengingatkan kepada suaminya, bahwa menjimak sudah diperbolehkan, sudah leluasa, tidak seperti pada bulan puasa.

Jadi ... dengan tafsir ini, anda akan bisa menemukan tafsir lain atas KUPAT, bukan sekedar, ngaKU lePAT....

Punokawan diantara Kesatria dan Brahmana

Menurut saya, tayangan dari India soal Mahabarata masuk kategori teori politik yang elitis, sangat elitis sekali. Mengapa? Banyak tokoh politik yang penting adalah dari kalangan kesatria dan brhamana. Dua kelompok masyarakat itu saja yang layak membangun dunia pemerintahan. Andai saja tidak ada tokoh punokawan, bisa jadi kita generasi saat ini hanya akan mengijinkan kalangan elit saja yang layak membangun politik pemerintahan.

Kehebatan Hastinapura, masih menentramkan kelurahan Karangkedempel pimpinan Ki Semar. Ini mengajarkan bahwa, satuan komunitas politik terkecil, yaitu kelurahan menjadi unsur penting dalam sebuah kerajaan. Sekali lagi, itulah yang seharusnya menjadi potret yang bisa menggambarkan kebesaran sebuah kerajaan. Para tokoh politik harus memperhatikan itu, jangan sampai karena membanggakan Jakarta, lupa sama desa-desa terpencil.

Keberadaan punokawan, sebagai teman dalam keadaan susah (kalau senang tidak terlalu penting untuk dilibatkan) yang mendampingi para kesatria dan brahmana menyadarkan bahwa kekuatan elit tidak akan berarti tanpa keberadaan rakyat jelata (Vox populi). Melalui ini, para leluhur dulu sudah mengajarkan adanya demokrasi berbasis kerakyatan. Namun, harus diingat bahwa rakyat yang seperti apa yang akan mengantarkan keberhasilan para kesatria dan brahmana mengatur negara?

Semar sering dirujukkan pada kata ismar (paku), yang tidak goyah atau kokoh. Saya sendiri lebih suka sebagai tsamar, sebagai buah. Artinya rakyat secara mayoritas harus lebih dewasa, yang sudah matang seperti buah. Singkatnya rakyatnya jangan mudah termakan isu atau rumor yang negatif. Petruk, adalah fatruk, rakyat mampu meninggalkan hal-hal negatif tak berguna. Bahkan petruk digambarkan berkantung bolong (kantung berlubang) yang tidak akan pernah bisa menimbun kekayaan. Dia selektif dalam urusan kekayaan, tidak tamak. Gareng, dari kata qorin, artinya teman, banyak teman tidak suka bermusuhan. Artinya rakyat harus kompak, tidak konflik dan terpecah. Gareng digambarkan punya penyakit kaki yang jinjt terus. Ini menggambarkan dia tidak tega menginjak saudaranya, tidak suka menindas temannya. Yang terakhir adalah bagong, ada yang menyebutnya sebagai bagha, berarti. Bagong sering digambarkan sebagai sosok yang ceplas-ceplos, yang sebenarnya adalah kritikan-kritikan tajam. Bahkan kepada bapaknya, Ki Lurah semar tidak sungkan melakukannya. Ini berarti rakyat juga harus mempunyai keberanian menyampaikan kritik. Keterikatan punokawan tersebut tidak boleh terpisah. Bagong tidak bisa kukuh, tanpa sikap gareng, dan itu perlu dilandasi sikap petruk dan dipimpin oleh kematangan Semar.

Dalam praktek politik masa kini, seringkali rakyat meposisikan sebagai elit, memilih jadi Pandawa atau Kurawa, sementara para kesatria dan brahmana tidak menyadari adanya punokawan. Maka, yang bertempur adalah antara gareng, petruk dan bagong, sementara para kesatria dan brahmana sibuk dengan diplomasi dan upacaranya.

Anda memilih menjadi siapa?

Selamat menyambut presiden RI yang baru

Dialog Yudistira dengan Dewa Kematian

Para putra Pandu merasakan capek dan haus, setelah mengejar menjangan yang membawa pedupaan seorang Brahmana. Nakula kemudian melihat sebuah telaga di kejauhan. Pergilah ia kesana. Saat itu adalah memasuki tahun ke-12 masa pengasingan mereka setelah kalah berjudi. Di saat hendak meminum air telaga, terdengar suara”hai putra Madrim, jawab dulu pertanyaanku. Setelah itu puaskan dahagamu”. Nakula tak menghiraukan suara itu, segera meminum air telaga. Kejadian berikutnya ia tekapar tak berdaya. Tak sadarkan diri. Mati.

Kejadian yang sama terjadi kepada Sahadewa, Arjuna dan Bimasena. Saat Yudistira mendengar suara gaib itu, dia bersanggup menjawab sebelum meminum air telaga. Banyak pertanyaan yang diajukan kepadanya, antara lain :

“Apa yang dapat menolong manusia dari marabahaya?” dijawab :”keberanian”

“Ilmu apa yang membuat manusia bijaksana?” dijawab :”Orang menjadi bijaksana karena bergaul dan berkumpul dengan para cendekiawan besar.”

“Apa yang lebih mulia dan lebih menghidupi manusia daripada bumi ini?” Dijawab : “Ibu, yang melahirkan dan membesarkan anak-anaknya”.

“Apa yang lebih kencang dari angin?” dijawab : “Pikiran.”

“Apa yang lebih berbahaya dari jerami kering di musim panas?” dijawab :  “Hati yang menderita duka nestapa.”

“Apa yang menjadi teman seorang pengembara?” dijawab : “Kemauan belajar”.

“Siapakah yang menemani manusia dalam kematian?” dijawab : “Dharma”.

“Apakah itu, jika orang meninggalkannya ia dicintai oleh sesamanya?” dijawab :“Keangkuhan”

“Kehilangan apakah yang menyebabkan orang bahagia dan tidak sedih?” dijawab :”Amarah”.

“Apakah itu, jika orang membuangnya jauh-jauh, ia menjadi kaya?” dijawab :“Hawa nafsu”.

“Keajaiban apakah yang terbesar di dunia ini?” dijawab : “Setiap orang mampu melihat orang lain pergi menghadap Batara Yama, namun mereka yang masih hidup terus berusaha untuk hidup lebih lama lagi. Itulah keajaiban terbesar.”

dikutip dari : Mahabarat oleh Nyoman S. Pandit

Hidup Bukan Perjudian

Keberhasilan pendidikan Pandawa melalui guru Drona dan lainnya, telah mengantarkan pada kejayaan di saat membangun Indraprasta. Demikian pula kekompakan, satu rasa, setelah ditinggal Pandu dan Madrim. Bahkan Drupadipun diperistri berlima. Keberhasilan mengelola wilayah kecil dan berkembang menjadi kerajaan makmur membuat iri hati Duryudhana. Iri yang kuat melahikran hasud. Duryudana tak rela jika Hastinapura kalah oleh Indraprasta.

Namun, ujian yang demikian berat justru hadir di saat kejayaan muncul. Duryudana melalui Sakuni menantang dadu/judi dengan Yudistira. Itulah hoby Yudistira yang tak pernah hilang, meski sudah mendapatkan ilmu dan kejayaan. Kekalahan oleh Sakuni, Yudistira mempertaurhkan harta, tentara, kerjaan, saudara dan tragisnya istrinya, Drupadi juga dipertarukan. Sampai-sampai tinggal selembar penutup aurat yang tersisa. Tapi tidak untuk Drupadi, ternyata tidak bisa ditelanjangi pakaiannya.

Kekalahan judi ronde pertama, tidak juga menyadarkan Yudistira. Distrarasta telah meminta untuk dikembalikan milik Pandawa. Tantangan kedua, berbeda. Taruhannya adalah siapapun yang kalah harus hidup terasing dan menderita selama 13 tahun. Maka, lagi-lagi Pandawa kalah.

Hidup sengsara dalam pengasingan rupanya benar-benar membentuk kesadaran Pandawa untuk memperbaiki diri. Pendidikan pada penglaman hidup, kehidupan terasing justru semakin memperkuat ilmu yang diperoleh jauh sebelumnya. Kelak, hasil gemblengan kehidupan inilah yang mengantarkan Pandawa memenangkan perang Kuru Setra.....

Masihkah Yudistira bermain judi? Maka Baratayuda bukanlah perjudian ...

Isra' Mi'raj : Nobel Perdamaian Sejati

Banyak sudah tokoh dari berbagai belahan dunia mendapatkan hadiah nobel perdamaian. Banyak juga karya atau prestasi yang menjadi pertimbangan untuk pemberian hadiah tersebut. Namun siapa sesungguhnya peraih nobel perdamaian sejati itu?

Menurut saya, momentum Isra’ Mi’raj adalah hadiah perdamaian tertinggi, yang berlaku bagi seluruh alam semesta. Bagaimana tidak, perintah shalat adalah puncak pengabdian manusia dalam kehidupan di alam semesta ini. Shalat tidak sekedar ritual yang melatih kekhusyu’an pribadi semata, tetapi jauh dari itu, adalah menebarkan kedamaian di alam semesta.

Salam ke arah kanan, salam ke arah kiri sebagai akhir ritus shalat mengajarkan bahwa shalat ditujukan dalam rangka menciptakan rahmat bagi alam semesta, keselamatan dan kedamaian di dalamnya.

Dengan demikian, mereka yang sudah benar-benar menegakkan shalat adalah para peraih nobel perdamaian sejati.

Maka, tetap carilah isi dalam bungkusnya.