Mengenang Gus Dur

Saya bukanlah santri atau kalangan pesantren yang sudah dekat dengan Gus Dur. Pengalaman ini saya dapatkan ketika menjadi pengurus IPNU Kecamatan Kembaran Banyumas. Sekitar tahun 1993-1997 dan masa itu adalah kepemimpinan Gus Dur. Secara pribadi jauh dari dekat. Apalagi bisa beriskusi dan bercengkerama. Bersalamanpun sekali, di saat peresmian kantor PCNU Banyumas. Ada pengalaman yang menarik buat saya untuk saya bagi. Gus Dur buatku, saat itu menjadi inspirasi, penguat keberanian.

Masa itu, tidaklah mudah mengadakan pengajian dengan mengumpulkan banyak jamaah. Apalagi atas nama NU. Tidak mudah. Harus berbelit dalam urusan perijinan. Kegiatan IPNU tingkat kecamatan harus dapat ijin Polres. Pengajuannya paling lambat 2 minggu sebelum pelaksanaan. Meski itu hanya pengajian atau kumpul2 di sekolah, seperti Pengkaderan Makesta, Lakmud dan sejenisnya. Anda bisa saja menganggap wajar prosedur itu. Tetapi pada tahun2 itu sedikit terasa berbeda. Tidak semuanya pasti dapat ijin.

Sering saya mengadakan kegiatan pengkaderan atau pengajian dengan jumlah banyak jamaah, menyampaikan hanya surat pemberitahuan. Bukan surat mohon ijin. Logikanya, mengapa harus ijin? Wong ya tidak ramai yang menutup jalan, di dalam sekolah. Kenapa harus ijin polisi? Toh ini bagian dari pelaksanaan berserikat dan berorganisasi. Surat pemberitahuan itu selalu saya kirim dan tidak peduli mau diijini atau tidak. Pokoknya kegiatan jalan. Tidak berniat membuat kerusuhan.

Keberanian bersikap seperti itu, karena saya dan kawan2 melihat, ada Gus Dur di atas (struktur PBNU) yang juga nekat dalam membesarkan NU. Tidak takut diatukut2ti prosedur dan perijinan. Toh terbukti tak ada pengajian NU dan Banomnya berujung kerusuhan atau makar ke pemerintah. Dengan itu, kami semakin merasa Gus Dur menjadi faktor spirit dan penyemangat bagi kader2 di bawah. Meski itu semua jauh sekali bertemu dan lama berkumpul.

Dan sekarang, begitu mudah mengadakan pengajian tak perlu ada rasa takut. Padahal bisa jadi berujung makar.

Spirit Jihad di Malam Jum'at

Nyunnah di malam Jum’at, lebih spesifik soal suami istri menjadi lazim diperbincangkan. Ada semacam spirit jihad di dalamnya. Bahwa memberi nafkah bathin kepada istri, ya MEMBERI adalah menyenangkan, menggembirakan dan sejenisnya. Idholussurur demikianlah ringkasnya. Di dalamnya ada pertarungan antara memberi dan meminta. Seringkali ini tidak dibedakan dengan jelas. Tidak mudah membedakannya, apalagi meneguhkan dalam perbuatan nyata. Jelas pertarungan antara Egois dan Altruis, mementingkan diri sendiri atau demi pasangannya.

Pada saat yang sama, jua terjadi pertarungan antara MENGABDI dan DILAYANI. Banyak sunnah yang diajukan untuk menempatkan manusia MENGABDI kepada Sang Khaliq, namun juga “Mengabdi/memberi” kepada pasangannya. Namun, yang terjadi tidak jarang yang minta dilayani. Lagi-lagi menghendaki kepuasan diri, memupuk egoisme.

 

Pertarungan antara egois dan servis, antara mengabdi dan dilayani adalah sebuah pertarungan yang tidak mudah, tidak enteng. Membutuhkan perjuangan, ketenangan, kejujuran dan ketulusan dalam melakukannya.

Mengendalikan yang satu

Mengendalikan bagian tubuh yang jumlahnya satu itu memang tidak mudah.

Rambut dalam jumlah demikian banyak menjadi primadona obyek penataan dan eksperimen berkreasi. Itu malah lebih dari sekedar mengendalikan. Bahkan warna putih yang mengganti hitam, tetap bisa "dikembalikan" ke warna asalnya. Hitam.

Jumlah sepasang itu juga memiliki kesulitan tersendiri. Dua mata, dua telinga, dua tangan, dua kaki pengendaliannya tidak mudah mengarah kepada perbuatan mulia. Bisa jadi melalui salah satunya kebaikan bisa dilakukan. Namun melalui satunya bisa melakukan keburukan.

Kemudian yang jumlah satu. Maka ini jauh lebih sulit. Mulut. Ya, melaluinya bisa muncul kata, kalimat, ungkapan yang beragam, berkonotasi, bertujuan dan sebagainya. Sekali lagi seringkali ini jauh lebih sulit mengendalikannya. Pun demikian terhadap kemaluan. Padahal cuma dan hanya satu.

Bila dengan tepuk tangan, tangan anda sudah cukup dan menemui pasangannya. Maka tidak demikian, dengan mulut. Ia akan mencari lawan atau pasangan dari orang lain. Tidak mungkin orang beradu mulut sendirian. Bicara atau tertawa sendirian. Lucu bukan??

Mikul Dhuwur, Mendem Jero

Judul di atas tentu berbeda satu huruf dengan istilah yang sering didengar di masyakarat. Apalagi dulu jaman orde baru, Pak Harto suka sekali. Mikul Dhuwur (Jawa) dapat diterjemahkan memikul, mengangkat yang tinggi. Mendhem Jero (dh), ini diterjemahkan menjadi mengubur yang dalam. Istilah ini sering diterapkan untuk menyikapi terhadap orang-orang yang sudah meninggal. Kita diharapkan dapat mengangkat nama baik almarhum setinggi-tingginya, di sisi lain harus mengubur, menyimpan aibnya. Sikap bijak, tidak menjadikan aib almarhum selama hidup sebagai bahan gunjingan yang berakibat pada buruknya nama almarhum.

Namun, satu huruf berbeda antara dh dan d, yang diterapkan pada kata Mendhem dan berubah Mendem, bisa berarti lain dan jauh sekali dari pengertian dan maksud yang pertama tadi dijelaskan. Kalimatnya menjadi, Mikul Dhuwur, Mendem Jero. Mengangkat yang tinggi, dan mabuk berat (dalam).

Kalimat ini lebih pas ditujukan pada sikap-sikap menjilat, memuji atasan atau orang lain, sehingga membuat mabok kepayang bagi atasan. Kemudian hubungan demikian dilanjutkan terus menerus, akibatnya yang memujipun ikut mabok dalam model hubungan seperti itu, jilat-menjilat.

Di segala zaman model pelaku jilat-menjilat pasti ada. Dan saya atau anda bisa menjadi modelnya. Tetapi, alangkah eloknya, jika kelak kita memperlakukan kepada mereka yang suka jilat-menjilat itu tetap diperlakukan Mikul Dhuwur, Mendhem Jero. Sehingga kita tidak terjebak menjadi pemakan bangkai saudara, tidak sekedar penjilat.

 

Cerita Soal Nama Hari

Ini hanyalah sebuah cerita atau legenda tutur yang sudah turun temurun di tanah Jawa. Sebelum mengenal hari, pada mulanya masyarakat Jawa dikenalkan dengan konsep waktu menyembah dan arahnya. Dan itu berjumlah lima. Jumlah ini berkaitan dengan konsep arah dan posisi. Hari-hari itu awalnya disebut Sri, Kala, Brahma, Wisnu dan Guru. Itu adalah nama-nama dewa. Bukan ditentukan hari Sri menyembah dewi Sri, tetapi bagi mereka keturuan Sri (lahir di hari Sri), maka menyembahnya ke arah Timur. Kemudian berturut-turut, ke selatan, barat, utara dan keatas/menunduk (pusat). Nama-nama itu kemudian dirubah sebagai bentuk penghormatan kepada para dewa, sehingga menjadi petak (putih), pita/jenar (kuning), reta (merah), kresna (hitam) dan warna (pancawarna). Konon itu warisan Empu Sangkala.

Datanglah Resi Radi (jelmaan Dewa Surya) memberi nama baru pada hari yang sudah ada, yaitu Legi, Paing, Pon, Kresna dan Kliwon. Ketika Resi Budda menggantikan Resi Radi, dirubah sedikit, menjadi Legi, Paing, Pon, Wage dan Kliwon.

Nama-nama hari berjumlah 7 baru datang kemudian, ketika Resi Radi menerima wangsit. Wangsit pertama mengisaratkan tentang dirinya sendiri yang sudah lama berada di bumi, maka hari pertama biasa disebut Radite (Surya). Berikutnya dapat wangsit dari Hyang Candra, kemudian disebut hari Soma (bulan). Berlanjut wangsit dari bintang Anggara, maka hari kemudian disebut Anggara (Api). Kemudian dapat wangsit dari bintang Budda, maka disebut hari Budda (Bumi). Kemudian dari bintang Wrahaspati atau halilintar, maka disebut hari Respati. Kemudian dapat wangsit dari bintang Sukra (tembaga), sehingga disebut hari Sukra (larangan). Terakhir dari bintang Niscaya (angin), maka disebut hari Saniscaya.

Nama-nama hari itu sama dengan yang kita pakai sekarang, minggu, senin, selasa, rabu, kamis, jumat dan sabtu. Dalam khazanah Jawa hari pertama itu Radite (minggu/Sunday). Ini tentu berbeda dengan kalender masehi yang sebenarnya mengawalinya dari Saturday (1 masehi hari sabtu pertama) sebagai kelanjutan tradisi Romawi dan Yunani, dimana pengaruh Saturnus sangat kuat di saat pukul 00.00.

Silakan, anda mengutak-atiknya, tentang sebutan nama-nama hari/waktu di Jawa yang bermula dari 5 kemudian 7. Filosofi 5 itu adalah filosofi peribadatan, sedangkan 7 adalah aktivitas di dunia, seperti halnya peran Resi Radi sebagai jelmaan Hyang Surya turun ke bumi menjalankan aktivitas dan urusannya. Kebiasaan orang jawa beraktivitas akan memperhatikan terbitnya matahari (harian) dan mingguan. Namun berpijak ke bumi (budda/rabu) seringkali menjadi awal dari aktivitas tertentu yang baik. Sementara di hari sukra/jumat, banyak larangan yang harus diperhatikan.

Untuk selanjutnya kembali kepada anda masing-masing.

Optimisme Zaman Edan

Polahe wong Jawa kaya gabah diinteri\ endi sing bener endi sing sejati\ para tapa padha ora wani\ padha wedi ngajarake piwulang adi\ salah-salah anemani pati\

Itulah sepenggal bait ramalan Jayabaya yang terkenal itu. Sebuah gambaran mengenai zaman yang kacau balau, zaman edan, zaman kala bendhu. Tingkah polah orang (Jawa) seperti gabah yang diinteri (diputar-putar tanpa bisa mengendalikan diri). Zaman sudah demikian parah hingga mepengaruhi perilaku manusia. Ungkapan gabah diinteri merefleksikan adanya proses seleksi. Proses itu akan memiliah mana gabah (padi yang masih ada kulitnya) dan mana beras yang siap dimasak.

Kegilaan tingkah polah manusia sudah demikian terbuka, tersuguhkan bisa dinikmati oleh khalayak tanpa ditutupi atau bisa ditutupi. Sudah saatnya memang diketahui publik. Setiap hari koruptor diuangkap. Perilaku amoral pelajar yang semakin menjadi-jadi sebagai berita sehari-hari.

Bahkan, bagi yang menyaksikan itu semua juga turut pusing memikirkannya. Tak mampu menalar dan menjelaskan tentang berbagai peristiwa tersebut. Semua menjadi pesimis atas kebesaran dan kejayaan bangsa di masa mendatang. Jatuhnya ikut-ikutan gila.

Kembali pada ungkapan gabah diinteri sebagai proses seleksi, maka apa yang terjadi dan dipandang sebagai kegilaan jaman, kekacauan sosial dan malapetaka alam sebenarnya adalah proses seleksi. Proses memilah antara gabah, beras dan kerikil akan semakin jelas. Toh yang akan di masak hanya berasnya saja, sementara gabah dan kerikil tak perlu diambil.

Larutkan kita pada kegilaan? Atau sekedar menonton dan mengomentarinya? atau hanya bingung tanpa bisa berbuat apa-apa? Inilah nasehat dari Jayabaya :

Menangi jaman edan, …sak bejo-bejone wong sing lali, isih bejo wong sing eling lan waspodo”

Menemui zaman gila tersebut, banyak yang lupa, dan seuntung-untungnya manusia yang lupa (ikut gila), namun masih beruntung yang ingat dan waspada.

Akankah diri kita akan memposisikan sebagai gabah, kerikil atau beras? Hanya beras yang bernas saja lah yang akan bermanfaat. Dan proses diinteri adalah proses yang memang harus dilalui. Bagi siapa saja. Maka beruntunglah bagi mereka yang menyadarinya dan tetap optimis memandang jaman gila.

HIJRAH : Antara Strategi Manusia dan Takdir Allah swt.

Ka’bah yang berada di Mekkah adalah rumah suci, pusat peribadatan manusia. Dan Ka’bah adalah rumah (ibadah) yang mula-mula dibangun untuk manusia. Demikianlah penegasan Allah kepada kita dalam Al Qur’an. Sepanjang sejarah, melalui para nabinya Allah tunjukkan kuasa pembuktian atas penegasannya. Sepenggal kisah dari Nabi Ibrahim dan Ismail adalah wujud kuasa Allah menjaga keberadaan rumah suci tersebut.

Rasulullah, Muhammad SAW, lahir di Mekkah, sebagai penduduk Mekkah. Utusan akhir zaman yang merupakan akhir dari risalah para nabi-nabi dan rasul sebelumnya. Tentu posisi Mekkah (dan Ka’bah di dalamnya) menjadi hal penting. Penguasaan kota Mekkah akan menjadi wujud simbolik atas keberhasilan dakwah Islam Rasulullah mengembalikan Ka’bah sebagai rumah suci, pusat peribadatan manusia. Namun apa yang terjadi? Meski sebagai orang Mekkah, keturunan penjaga Ka’bah, ternyata menguasai Mekkah tidaklah mudah. Kesulitan dan hambatan selalu menghadang. Selama 13 tahun dakwah di Mekkah, tidak jua membawa hasil signifikan.

Perintah Hijrah ke Madinah, sebuah daerah yang jauh di luar Mekkah, tentu akan dipahami sebagai bentuk kekalahan untuk upaya menguasai Mekkah. Demikian pula, keberhasilan penguasaan Mekkah bisa jadi dipahami semakin menjauh dari upaya mengembalikan posisi Ka’bah dalam kerangka kerasulan. Tetapi apa yang terjadi? Allah menakdirkan, melalui Hijrah itu pada akhirnya Mekkah bisa ditundukkan (Fathul Makkah), benar-benar melalui proses yang elegan, damai dan mencerahkan.

Di saat Rasulullah dan umat Islam waktu itu, berkonsentrasi membangun komunitas peradaban baru di Madinah, Allah sekali lagi menunjukkan kuasanya untuk menundukkan Mekkah bagi umat Islam. Ini seperti yang terjadi pada peristiwa serangan Raja Abrahah terhadap Mekkah menjelang kelahiran Rasulullah saw. Jika dalam peristiwa perang gajah tersebut Mukjizat yang menakjuban digunakan Allah, maka melalui Hijrah menunjukkan bahwa antara takdir Allah dan usaha manusia bisa bertemu pada titik yang sama. Upaya Hijrah atas perintah Allah juga dikendalikan Allah, tetapi manusia berperan penting dalam prosesnya. Sementara penundukkan Mekkah (Fathul Makkah) seolah menjadi hadiah, atas kesungguhan manusia dalam membangun strategi. Hijrah ke Madinah adalah sebuah strategi yang tidak langsung menuju target utama atau jantung persoalan. Pergi ke Madinah adalah mencari sahabat yang sejalan, menemukan area perjuangan yang tepat.

Maka, Allah lah yang akan menentukan hasil dari upaya manusia, akan memberikan hadiah yang tak terduga atas jerih payahnya. Bisa jadi apa yang dilakukan tidak secara langsung berhubungan dengan target yang diharapkan, tetapi upaya tersebut masih relevan dengan apa yang dicitakan.

Ibarat makan bubur, maka anda jangan memulai dari tengahnya. Karena yang tengah tentu paling panas. Maka mulailah dari yang pinggir. Anda tidak perlu memulai dari ide-ide besar atau mengejar hal-hal besar, tetapi menyelesaikan hal-hal kecil akan mengantar anda pada takdir yang besar. Tetapi, mengenal hal-hal kecil tidaklah mudah. Butuh ketelitian dan ketelatenan.

Itulah hikmah yang bisa dipetik dari hijrah Rasulullah saw. ke Madinah.

Selamat Tahun Baru 1435 Hijriyah

Berkurban Dalam Membentuk Pribadi

Hewan qurban yang disembelih pada Hari Raya Idul Adha adalah sajian yang bisa dinikmati oleh banyak orang. Terlebih bagi mereka fakir miskin. Kenikmatan daging sebagai menu makanan akan memberi kegembiraan. Meski itu sedikit. Bagi yang berkurban, merupakan bentuk persembahan ketaatan, keikhlasan dalam berkurban bagi sesama.

Kesempurnaan berkurban bukan pada seberapa banyak kambing atau seberapa besar sapi yang disembelih. Tetapi kerelaan berbagi kepada sesama itulah yang menjadi fondasinya. Itupun masih sebagian kecil yang bisa dikurbankan. Kemudian meningkat pengurbanan apa-apa yang menjadi miliknya lainnya, berbagi dengan apa-apa yang dicintainya, yang bernilai.

Sang Resi Bisma bertutur : “Ing layang Wedha awewarah, yen mangreh pribadine iku angungkuli sesaji”. Dalam Serat Wedha diajarkan, jika kehendak membentuk pribadi unggul jauh lebih mulia ketimbang sesaji. Jumlah hewan kurban atau besarnya daging kurban, masih kalah jauh timbangannya dibanding jika berkurban adalah diarahkan pada pembentukan pribadi.

Nabi Ibrahim melalui kurban berkehendakan untuk semakin meneguhkan kecintaannya kepada Allah swt. Kerelaan Ismail a.s. disembelih menjadi media membentuk pribadi yang rela turut dalam kecintaan tersebut, bukan karena yang berkehendak adalah Irbahim, Bapaknya.

Melatih diri pribadi adalah melatih jiwa. Wong bisa sinau anyegah, sarana lair tuwin batin, nanging panyegah ing dalem batin iku luwih rekasa. Wong ora bisa dadi yogi mung sarana panganggo kang katon, ananing mung saka jejeging suksma tuwin pedhoting tali pepenginan. (Orang bisa belajar mencegah, melalui lahir dan batin, tetapi mencegah/mengendalikan dalam batin itu lebih berat. Orang tidak bisa menjadi pertapa hanya dengan pakaian yang terlihat, tetapi hanya karena keteguhan suksma dan putusnya tali nafsu).

Berkurban di Hari Raya Idul Adha adalah hari raya bagi semua umat muslim. Jika kita tak punya hewan untuk disembelih, maka sembelihlah tali nafsu kehewanan yang ada dalam diri kita. Dengan demikian, kita semua masih bisa merayakan hari Agung tersebut.

Selamat hari Raya Idul Adha 1434 H

Nahnu KULI Kulliyah

Dulu untuk menyebut wartawan adalah kuli tinta. Sebutan ini terdengar sedikit memberi cita rasa, tanpa merendahkan profesi wartawan. Sementara, sebagian orang menganggap remeh profesi kuli. Mereka yang bekerja sebagai pembawa barang dengan tangan atau badan fisiknya disebut kuli. Kata kuli sendiri diambil dri kata Mikuli (memikul) barang-barang. Di pelabuhan, pasar, terminal atau proyek pembangunan akan ada orang-orang yang menawarkan jasanya atau bertugas membawa barang-barang untuk diantar ke suatu tempat. Mereka itulah yang sering disebut kuli.

Potret lusuh, penuh keringat dan mengandalkan tenaga fisik dari kuli, menjadi wajah yang ditangkap oleh khalayak. Akhirnya, sebagian menilai bahwa kuli adalah para pekerja kasar, kotor dan rendahan. Berlanjut kemudian membuat stigma memasukkan para kuli menjadi lapisan sosial yang rendah.

Cobalah sedikit berbeda fokus yang kita gunakan memandang kuli. Lihatlah beban yang dipikulnya. Beras sekwintal, sayuran, tepung atau lainnya. Perhatikanlah, para kuli memanggul beban begitu berat dengan kekuatan fisiknya. Bahwa beban itu, seperti beras adalah beban penjual, beban konsumen, beban petani yang harus terangkut serta beban ekonomi keluarga yang harus dihidupi. Kuli merupakan bagian dari sistem sosial yang turut serta menahan beban orang lain dan keluarganya.

Apapun pekerjaan kita, terdapat beban yang ada di pundak kita, di pikiran kita, di hati kita, seperti kuli. Hanya karena fisik yang dipakai oleh kuli, maka keringatlah yang mengucur. Jika kekuatan fikir yang digunakan, maka stresslah yang menggurat. Jika mulut yang diandalkan, maka celotehlah yang menerocos. Nahnu kuli kulliyah. He he he, mungkin ini istilah yang pas untuk menggambarkan itu.

Masihkan anda dan saya meremehkan kerja keras para kuli?

Membina Budaya, Membangun Peradaban

Budaya, sering dipahami dalam bentuk fisiknya yang terlalu kecil. Ketika pemerintah mengurusi festival film sudah disebut sebagai upaya membina budaya. Padahal, jika mau jujur, masih jauh dari kata tepat. Demikian pula perlakukan-perlakuan terhadap bentuk fisik sempit lainnya, seperti wayang, musik, patung dan lainnya.

Budaya, gampangnya adalah budi dan daya. Polah dan kemampuan. Aktivitas manusia bisa disebut budi. Sedangkan kemampuan beraktivitas sampai pada batas tertentu menunjukkan kemampuan manusia. Dalam pengertian ini, budaya memiliki puncak-puncaknya. Itulah peradaban, dimana aktivitas dan kemampuan sampai pada titik tertentu yang mewujudkan nilai adab, etika dan estetika.

Kesenian yang hanya berujung pada rusaknya mental atau degradasi moral sebenarnya bukan budaya yang bisa membangun peradaban. Itu hanya menunjukkan budaya saja. Dus, budaya itu bisa saja berupa budaya yang tidak beradab dan beradab.

Titik tolah pemahaman budaya dan perabadan secara demikian akan membimbing kita untuk mencari-cari budi dan daya yang bisa membimbing manusia dalam membentuk akhlakul karimah. Di sinilah relevansi segala bentuk jenis budaya yang ada kemudian bersesuaian dengan visi agama Islam.

Para wali (songo) dahulu, memahami persoalan kebudayaan tidak dilepas dari peradaban. Wayang bukan sekedar hiburan atau cerita pengantar tidur bagi anak-anak atau orang dewasa waktu itu. Tembang mocopat, syiiran, seni ukir dan sebagainya pada ujungnya adalah membentuk Etika Islam.

Anda kemudian, saat ini masih bisa melihat bangunan peradaban itu. Tradisi penghormatan kepada leluhur, merupakan bentuk budaya yang membangun etika dasar bagi generasi muda (anak-anak) kepada orang tua. Tembang-tembang yang begitu dihayati masyarakat dan bertahan lama, ratusan tahun, dengan segala variasi dan perubahannya. Itu semua menunjukkan bahwa budaya bukan untuk budaya, tetapi untuk adab manusia.

Akhir-akhir ini, berbagai jenis wujud budaya telah diabdikan bagi industri pemuas konsumsi manusia. Manusia bisa bahagia dan tertawa darinya. Tetapi jenis adab macam apakah yang akan diukir melalui budaya semacam ini?

Dewi Sri : Nasibmu Kini

Memanggil hewan piaran dengan sebutan layaknya manusia merupakan bentuk konstruksi komunikasi yang sejajar, komunikasi cermin interaktif. Seperti menyebut Kitty untuk kucing, Joni untuk monyet atau lainnya. Manusia mencoba untuk memperlakukan hewan-hewan itu secara sangat layak, selaiknya memperlakukan dirinya (manusia). Jika diri lapar kemudian makan dengan menu yang sehat, maka terhadap hewan piaran kita juga diperlakukan sedemikian. Bahkan Rasulullah juga memberi nama-nama kepada benda-benda miliknya, seperti pedang, pakaian dan perabotan.

Dahulu, leluhur kita menyebut Bumi, Tanah itu dengan sebutan Dewi Sri. Para petani memperlakukan selayaknya seperti Dewi. Perlakuan yang cantik, menghormati dan dikonsepsikan sebagai perempuan yang subur, memiliki potensi dan kemampuan melahirkan kehidupan-kehidupan. Sesaji merupakan ekspresi perilaku komunikasi pergaulan antara manusia dengan lingkungannya.

Saat ini, bumi layanya seorang pelacur. Manusia memperlakukannya dengan penuh nafsu untuk memenuhi segala kepentingan. Memesan pelacur, anda tak perlu mengenal siapa nama sebenarnya. Tak perlu tahu data KTPnya. Tak perlu perlakuan manis. Kalau toh iya, hanya bentuk strategi mengeruk kepuasan dan keuntungan yang jauh lebih besar belaka.

Para petani mencekoki Dewi Sri dengan aneka ramuan yang beracun, memabokkan, memaksa untuk melahirkan. Tak peduli apakah Dewi Sri harus beristirahat atau sekedar haid, atau sekedar menunggu masa nifas. Perlakuan semacam ini terus menerus, tanpa disadari sebagai bentuk pemerasan dan pemerkosaan. Sebab kata manusia, “Dewi Sri diciptakan untuk menjadi budak manusia, dari sononya”.

Manusia semacam itu telah memposisikan dirinya sebagai Tuhan bagi alam, bagi lingkungan, bagi benda sekitar. Ketika dikabarkan bahwa ada Tuhan atas semesta alam, termasuk manusia, menjadi bingung cara mengkopsepsikan. Pemuja manusia atau diri sendiri, hanya tahu bahwa Tuhan itu ya seperti dirinya, seperti manusia.

Parahnya, manusia sering memperbudak sesamanya. Kemudian secara perlahan dan pasti, memperlakukan Tuhan seperti mereka memperlakuan budak manusia. Dengan alat doa, kuasa ikhtiar, loyalitas menyembah, memaksa Tuhan untuk memenuhi segala kebutuhannya. Harus mau dan bisa. Jika tidak, maka Tuhan akan dicampakkan, tak layak dipercaya.


Sungguh tragis nian, nasib Dewi Sri dan Tuhan. Mungkin juga kucing atau sapi anda, bahkan HP yang selama ini begitu taat dan setia menemani hari-hari anda.

Kyai : Sebuah Relasi Agama dan Kekuasaan

Istilah Kyai, menurut pandangan saya merupakan sebuah sebutan yang mencerminkan adanya relasi kekuasaan/politik dan agama. Memahami Kyai sebagai tokoh agama, tidak bisa dilepaskan dan terpisah sama sekali dengan lingkaran kekuasaan. Sekulerisme yang absolut dalam hal ini tidak terjadi. Sebab keberadaan Kyai, sebenarnya tidak bisa dilepaskan dari keberadaan para elit bangsawan di pusaran kekuasaan.


Jika, priyayi adalah sebutan yang merujuk kepada mereka para bangsawan atau lingkaran kerajaan (kekuasaan), maka istilah Kyai juga mengarah kepada hal tersebut. Kata priyayi ada yang menjelaskan sebagai para yayi atau mereka adik-adik raja. Ada juga yang menyebutnya berakar kata priya atau laki-laki. Dus priyayi itu lebih maskulin. Bagaimana untuk yang perempuan, maka digunakan priyayi putri.


Sedangkan Kyai, menurut saya (menurut gothak-gathik-gathuk) saya diurai menjadi Ki Yayi. Ki sendiri berasal dari Kaki, yang berarti kakek atau orang yang sudah tua. Kemudian meluas, tidak hanya ukuran umur, tetapi sepuh dalam pengertian mempunyai kebijaksanaan yang luar biasa, mempunyai keilmuwan yang linuwih, mempunyai kehormatan yang tinggi.


Para tokoh wicaksana yang menjadi penasehat para raja atau priyayi kemudian disebut Kyai. Karena sebenarnya mereka adalah yayi yang lebih tua atau sepuh (jika hanya umur ada istilah raka dan yang muda rayi). Mereka adalah saudara atau orang dekat para raja, seperti para priyayi. Bahkan benda, hewan yang begitu dekat dengan raja yang memiliki kelebihan luar biasa kemudian disebut juga dengan Kyai, misalnya tombak Kyai Plered, kebo Kyai Slamet. Jangan membayangkan bahwa kelebihan itu harus berupa kesaktian atau kekuatan. Kebo Kyai Slamet itu kelebihan fisiknya saja sudah jelas luar biasa, bule. Itu tidak lumrah dan nganeh-anehi. Kyai dengan demikian menjadi elit kerajaan tetapi mempunyai basis legitimasi berbeda dengan priyayi.


Posisi dekat dengan kekuasaan atau kerajaan tidak menyenangkan bagi semua Kyai atau mereka yang disebut dengan Kyai. Mereka kemudian lebih mendekat kepada rakyat. Pergeseran posisi ini tidak begitu saja kemudian menghilangkan strata elit sebelumnya yang sudah disematkan. Mereka tetap elit, tetapi sudah berbeda peran dan perilaku, berbeda orientasi perjuangannya.


Maka, anda tidak perlu heran, jika membaca sejarah para Kyai di Jawa masa lalu, yang tidak bisa dipisahkan dari sejarah kerajaan atau bangsawan di zamannya. Sebab mereka adalah bagian yang tak terpisahkan dari dinamika relasi agama dan kekuasaan.

Aji Saka : Siapa atau Apa?

Berbicara mengenai Aji Saka dalam khazanah peradaban tanah Jawa akan membuka diskusi, perdebatan dan khayal yang luar biasa. Sebagian dengan pengalamannya, yang lain dengan referensinya, dan lainnya dengan usaha gothak-gathik-gathuk berusaha sekuat tenaga untuk menebak-nebak siapa sebenarnya sosok Aji Saka. Mencari dan memperdebatkan sosok manusia “bernama” Aji Saka telah menelan waktu demikian lama, dengan hasil temuan yang diyakini masing-masing. Tak pernah ada kesepakatan tunggal dan universal.

Dalam kamus Sansekerta-Indonesia (Drs. Purwadi) mengartikan Aji sebagai raja, ilmu, nilai. Dengan demikian sebuat Aji menunjukkan adanya nilai superlatif (diperbandingkan) atau melebihi kelaziman. Jayabaya sering disebut sebagai Sri Aji Jayabaya dibandingkan dari raja-raja lain dari Kediri. Artinya sebagai raja dipandang punyai nilai lebih dibandingkan raja-raja (Kediri) lainnya.

Sementara, Saka (sansekerta) bisa diartikan sebagai dari (asal/awal) dan tiang. Dengan demikian, Aji Saka adalah sebuah awal yang sangat bernilai. Jika peradaban Jawa dimulai dari legenda Aji Saka, itu berarti perdaban Jawa didasari oleh nilai-nilai yang sangat berharga mengenai tiang, asas, pokok dan asalnya. Apa itu pokok, tiang dan asal?

Maka, aksara Jawa, Caraka dibagi menjadi empat kelompok. Manusia Jawa diingatkan bahwa memulai peradaban harus diawali dengan kesadaran akan asal sebagai utusan (khalifah) di bumi (Hanacaraka). Kemudian hendaknya menjaga kerukunan, menghindari pertengkaran seperti legenda yang dikisahkan (Datasawal). Jika demikian, kejayaaan akan dicapai secara bersama-sama. Kejayaan hanya dapat diraih dengan persatuan, jumbuh lahir batin, jumbuh pemimpin dan yang dipimpin, begitu seterusnya (Padhajayanya). Prinsip keempat yang harus diingat adalah bahwa kelak, bagaimanapun dan pasti semuanya akan mati, berakhir. Setinggi apapun kejayaan yang diraih, akan ada saat berakhirnya. Inilah sebenarnya empat pilar peradaban yang diajarkan.

Masihkah anda berspekulasi bahwa Aji Saka adalah merujuk sosok manusia? Apakah Nabi Iskak? Ataukah orang India? Ataukah orang Thailand? Atau bahkan makhluk kadewatan dari kerajaan langit?   Tetapi melupakan ajaran yang sudah begitu terang, jelas, yang dibawa oleh para utusan (Nabi) sebagai caraka. Lupa pada carakan, pada asal, bibit (carakan) sebagai manusia hidup di dunia ini.

Salam Rahayu------

Hutang Budi Dibalas Dengan Budi

Mesir, hari ini mengalami konflik politik luar biasa, menelan korban jiwa ratusan, bahkan bisa meningkat menjadi ribuan di waktu mendatang. Ini tentu memprihatinkan bagi kemanusiaan. Bangsa Indonesiapun layak, dan selayaknya menunjukkan rasa keprihatinan dan dukungan kepada rakyat Mesir.

Di masa lalu, Mesir punya andil besar bagi kedaulatan NKRI. Mesir menjadi negara pertama yang mengakui kedaulatan RI, di saat yang lainnya masih ragu dan belum berani memberikannya. Kolonialisme menjadi musuh besar saat itu. Pengakuan itu kemudian menjadi bentuk perlawanan yang sangat berani. Itulah budi baik Mesir kepada kita. Bolehlah itu disebut hutang budi kepada Mesir.

Persahabatan kemudian berlanjut. Indonesia dan Mesir terus berjuang melawan kolonialisme dan imperialisme dunia. Bersama beberapa negara lain, membentuk arus non blok. Sebuah sikap netralitas, mandiri dan berdaulat atas dua kecenderungan blok politik saat itu. Lagi-lagi soal kedaulatan dan kemandirian.

Saat ini, saat Mesir dilanda konflik, apakah menjadi momen terbaik membalas budi itu? Apakah Mesir memang akan menagih hutang tersebut? Terlalu naif rasanya jika mengasumsikan Mesir akan menagih utang budi tersebut saat ini. Pengakuan kedaulatan Mesir terhadap RI bukanlah bentuk piutang, tetapi bentuk konsistensi mereka adalah perjuangan dan perlawanan terhadap kolonialisme. Kebersamaan sekian lama dalam memperjuangkan hal itu telah menjadikan Mesir dan RI menjadi sahabat sejati.

Konflik saat ini, apakah sebuah bentuk penindasan kolonialisme yang perlu diperjuangkan bersama seperti saat itu? Konflik saat ini adalah konflik internal. Sama ketika di republik ini mengalami konflik politik dan sosial. Apakah Mesir kemudian membela salah satu pihak dalam konflik internal tersebut? Tentu TIDAK.

Kemudian, apakah kita perlu membalas budi dengan memihak pihak-pihak yang sedang bersengketa, apalagi berebut kuasa. TIDAK sama sekali. Jika itu dilakukan, sama saja mencideriai niat baik Mesir kala itu. Menciderai kedaulatan mereka. Apa bedanya dengan perilaku para kolonial? Yang selalu ikut campur dan memihak pihak-pihak bersengketa di negara lain? Padahal itulah sikap yang dibenci oleh Mesir saat itu. Tentu saat ini juga. Mereka tentu tidak mau diobok-obok kedaulatannya. Hutang budi, tak perlu dibalas dengan politik. Tetapi dengan budi pekerti yang utama.

Maka, saya berharap rakyat Mesir segera menyadarinya. Bahwa kedaulatan sebagai bangsa itu lebih utama daripada kekuasaan sebagai pengusa. Mereka memiliki pengalaman sejarah yang amat panjang soal ini. Tak perlu diajari atau digurui. Pengalaman para Pharao di sana sudah demikian banyak dan melimpah.

Mari kita do’akan semoga kedamaian segera terwujud dan Mesir tetap sebagai negara dan bangsa yang berdaulat.

Dirgahayu Republik Indonesia yang ke-68

Tuhan, apakah Engkau?

Tuhan,
apakah malam ini Engkau bergembira, seperti kami?
berkspresi dengan kembang api
kesenangan dengan letusan petasan

Jika tidak, lantas kapan Engkau berbahagia?

Tuhan,
apakah malam ini Engkau berbangga, kepada kami?
menyanjung keagunganMu dengan tetabuhan
memekikkan namaMu di sepanjang jalan

Jika tidak, lantas kapan Engkau berbangga?

Tuhan,
apakah di hari fitri ini Engkau berbagi, seperti kami?
memberikan rezeki kepada yang papa
berbagi angpao kepada yang muda

Jika tidak, lantas kapan Engkau berbagi?

Tuhan,
apakah besok hari Engkau berbaju baru, seperti kita?
berhias maaf sepanjang perjumpaan
bersolek selamat setiap pertemuan

Jika iya, lantas dimana Engkau simpan baju lamaMu?

Tuhan,
apakah setelah Ramadhan ini Engkau berbuat sesuka hati, seperti kami?
terlepas beban dan kepayahan selama sebulan
karena telah kembali fitri dan tak bergelimang dosa lagi

Jika iya, lantas kapan Engkau berkuasa?

Tuhan,
apakah Engkau seperti kami?

Subhanallah

Surabaya, 7-8-2013

Kupat Mbah Munir (Cerpen)

Kupat Mbah Munir

Tema yang paling tepat untuk disampaikan pada pertemuan besok adalah soal ketupat.Kupat. Apalagi ini momennya pas lebaran. Ya sudah. Satu tema ketupat untuk berbagai pertemuan dengan kelompok masyarakat. Sebagai pejabat negara, sebagai bupati aku bisa menjadikan kupat dalam kerangka kebangsaan. Kupat kebangsaan. Masih segar ingatan para pejabat yang besok hadir dalam pertemuan. Tentu mereka akan sepakat denganku, bahwa kupat dengan sudut empat merupakan simbol empat pilar kebangsaan.

Jauh sebelum negeri ini berdiri, para leluhur kita membekali kita makanan yang sarat makna filosofis. Sejarah kemerdekaan bangsa Indonesia diproklamirkan bersamaan bulan Ramadhan. Dulu pun masayrakat menyabut kemerdekaan tersebut dengan makanan kupat. Boleh tidak ada lepet, tapi kupat harus ada. Bangsa ini boleh tidak memiliki pesawat tempur canggih, tapi tidak boleh kehilangan salah satu dari empat pilar.


Demikianlah aku berpidato dan menjelaskan filosofi kupat kepada para kepala dinas, satuan kerja perangkat daerah dan tamu undangan di pendopo kabupaten. Sebagai pejabat pemerintah, mereka semua harus paham betul dan turut serta menjaga keutuhan empat pilar tersebut. Tidak boleh lengah sedikitpun.

“Pak, maaf menganggu”, tiba-tiba suara Yanto, dulu teman sekolah SMAku yang serakang kepala dinas sosial.

Ono opo mas..” sahutku.

“Pidatone pancen jos, mas. Njenengan bisa menyampaikan soal empat pilar melalui budaya. Pas lebaran lagi”.

“Dari dulu, aku itu kan selalu berusaha belajar dari sekitar to, Yan. Kamu masih ingat? Waktu kamu dan teman-teman lain membuat prakarya dulu di sekolah. Aku menggunakan bekas sandal jepit.”

“Ya, aku masih ingat mas. Tapi, njenengan apa tidak tahu. Kalau empat pilar sekarang sedang digugat dan dikritik. Harusnya pancasila tidak termasuk satu pilarnya”

“Ah...sak karep mas. Mau digugat, disidangkan, dikritik. Pokoknya ya kupat. Kudu papat. Mau isinya diganti-ganti yo sak karep”.

==

Kali ini dihadapan para tokoh agama, kalangan pesantren dan tokoh masyarakat. Aku masih tetap menggunakan kupat sebagai bahan pembicaraan.

“Hadirin sekalian, Sunan Kalijaga dulu, juga memanfaatkan momen hari raya idul fitri dan hari raya syawal untuk memberi pengajaran melalui kupat. Jadi Kupat menjadi simbol utama pada hari raya tersebut”, begitulah aku membangun pikiran orang-orang yang hadir melalui sosok Sunan Kalijaga. Entah itu memang benar atau tidak, tapi aku yakin bahwa sosok itu bisa diterima oleh masyarakat umum.

Kupat adalah simbol mengakui kesalahan (mengaku lepat). Di hari raya, kita semua saling meminta dan memberi maaf kepada sesama. Kesalahan-kesalahan di masa lalu bisa terhapus. Ini semakin menyempurnakan ibadah puasa yang sudah dijalani selama sebulan. Idul fitri sebagai penghujung, merupakan tanda berakhirnya proses puasa. Semua keprihatinan, jerih payah dan kecapekan tlah terlewati, sudah lebar. Kemudian dari proses ini, mampu memberi, melimpahkan maaf dan kebaikan kepada sesama. Itu lah luber. Semuanya saling memberi dan melimpahkan kebaikan, semua menjadi melebur, menyatu dan melebur keburukan dan dosa-dosa. Betapa indah kehidupan semacam itu. Layaknya seperti penghias. Kebaikan yang melimpah merupakan penghias (labur) dalam kehidupan manusia.

“Pak Bupati, sangat pas yang Bapak sampaikan”, kata Ustad Ghonim saat makan bersama usai acara.

“Betul itu pak”, timpal Pak RT,”jarang pejabat yang mau menggali nilai-nilai budaya atau tradisi. Apalagi jaman sekarang, semua pejabat lebih bangga pada kemajuan negara-negara lain”.

Aku hanya manggut-manggut dan senyum. Tidak berani menjawab. Bisa-bisa lebih banyak perdebatan yang muncul nantinya. Lebih aman, begitu saja. Konsentrasi menikmati suguhan kupat sayurnya.

==

“Bapak tidak berangkat ke balai desa?”, tanya istriku. Aku tidak mengerti. Balai desa. Ada acara apa ya.

“Kan warga desa malam ini mengadakan acara bersih desa, pak. Mereka kumpul di balai, sekalian katanya acara halal bi halal”.

“Oo, acara itu, bu.”, sahutku, baru ingat sekarang. Seminggu yang lalu aku menitipkan uang untuk kepentingan acara tersebut.

“Malam ini aku janjian sama orang Jakarta, Bu. Investor besar yang rencananya mau nanam investasinya di daerah kita”, jawabku.

“Ini pak, tadi kita dikirimi makanan. Kupat” kata istriku, sambil menyodorkan kiriman yang masih utuh.

“Bu..! ini siapa yang ngasih?, kok seperti ini? Masak ada ketupat dari plastik? Ujungnya kok sudah dipotong?, apa Ibu yang memotongnya?”, dengan agak marah aku bertanya pada istriku.

“Tidak kok, pak. Dari tadi saya tidak buka sama sekali.”, jawab istriku.

“Baiklah, besok akan kuselesaikan ini”, gamamku.

“Assalamu alaikum, mbah”, aku menghampiri rumah Mbah Munir. Ia sesepuh desa yang selama ini aku kagumi. Bahkan, tanpa dukungan beliau, belum tentu aku bisa jadi seperti ini, bisa jadi Bupati.

“Waalaikum salam..wah Pak Bupati...mari-mari pak,” jawab Mbah Munir yang tetap saja menghormatiku, tetap saja menyebut jabatanku. Padahal aku ini dulu bisa dikatakan muridnya.

“Begini, mbah. Kemarin saya dapat kiriman makanan, tapi aneh mbah, kupatnya kok terbuat dari plastik, dan ujung-ujungya sudah dipotong, tidak lancip. Jadi sudah bukan kupat lagi,” dengan agak jengkel aku sampaikan unek-unekku.

“Saya tidak tahu, apakah semua warga sini dapat sama seperti saya?, tapi yang jelas saat acara bersih desa kemarin, aku dapat kupat yang sudah tidak jelas itu,” lanjutku.

“Mbah, jujur. Saya tersinggung, sebagai pejabat, sebagai tokoh masyarakat saya tersinggung dengan pemerian seperti ini. Apa susahnya membuat kupat dari janur?, kan saya juga nyumbang?”, semakin kesal aku.

“Sabar to Nak,” demikian Mbah Munir menahan emosiku. Cukup ampuh juga sebutan Nak untuk meredamnya. Sudah lama aku tidak mendengar sapaan itu dari Mbah Munir.

“Nak Bupati, apakah nanda selama ini sadar dengan penilaian, harapan dan kangennya warga terhadap Bapak?”, wajah serius seperti ini sudah biasa. Pasti akan ada sesuatu yang disampaikan. Dan itu sangat penting.

“Tahukah, maksud plastik untuk pada kupat yang Bapak terima? Sebab semua sekarang sudah serba imitasi, seperti plastik. Kupat yang sejati terbuat dari Janur, Jatining Nur,hati nurani. Beras sebagai perlambang nafsu, keinginan, cita-cita dan kreativitas terbungkus oleh hati nurani. Semuanya sudah tak terkendali, tanpa nurani. Amarah dibakar dimana-mana, di masjid, vihara, kantor polisi, pasar dan sebagainya,” kalimat ini mulai menyerang jantungku.

“Apakah uang yang Bapak sumbangkan sudah menyelesaikan semuanya? Apakah gotong rotong, kerjasama dan kerukunan kita sebagai warga desa selama ini sudah cukup diganti dengan uang? Apakah sumbangan Bapak demikian sangat besar, sehingga tidak perlu berkumpul lagi? Ataukah Bapak sedang terkena musibah?,” sungguh ini sangat menyakitkan.

“Bukan begitu, Mbah. Kemarin malam itu, saya ada janji bertemu investor dari Jakarta,” aku berusaha memberi penjelasan.

“Nah, klop kan. Uang. Demi Uang. Apakah invetasi yang Bapak harapkan juga pasti menjamin kesejahteraan warga?”, semakin tegas Mbah Munir seolah semakin menekan batinku.

“Budi pekerti, hati nurani sudah tidak dijadikan pedoman. Itulah ketupat yang sudah bocor di setiap ujungnya. Yang terlihat hanya nafsu, angan-angan dan harapan semata-mata,” batinku benar-benar diserang habis-habisan. Tapi aku masih berterima kasih, karena yang menyampaikan itu adalah Mbah Munir.

“Janur adalah daun muda”, lanjut Mbah Munir,  “janur juga melambangkan generasi muda. Bapak selama ini melupakan generasi muda, generasi mendatang, harusnya pembangunan yang dilakukan saat ini selalu diorientasikan ke masa depan, yang memperhatikan generasi muda saat ini. Bukankah, dalam pilkada lalu, merekalah yang menjadi pemilih banyak Bapak?”

“Benar, Mbah.” Hanya itu yang bisa kusampaikan kepada Mbah Munir.

Jujur Saja

JUJUR SAJA

Jujur saja, jika ramadhan ini
biasa-biasa saja
tetap biasa makan banyak, biasa tidur banyak, biasa leha-leha

Jujur saja, jika malam-malamnya
asyik-asyik saja
tetap asyik nonton tivi, asyik puter lagu, asyik nytatus facebook

Rasanya
Tak ada yang istimewa, meksi lailatul qadar katanya
Istimewa
tetap saja lawakan dan film sebagai tontonan istimewa

Rasanya
Tak ada yang luar biasa, meski tarawih katanya
luar biasa
tetap saja luar biasa capeknya, luar biasa malasnya

Nampaknya
Tak ada perubahan berarti apa-apa
Semua masih sedia kala, masih saja laiknya waktu-waktu sebelumnya
paling hanya merubah waktu berbuka dan sarapan pagi

Nampaknya
Tak ada hasil nyata yang kudapat
semua masih saja tetap, masih saja seperti hari-hari sebelumnya
paling hanya mengganti atau menukar waktu saja

Ramadhan hampir usai
Haruskan kubersedih atas perginya?
Haruskah kugembira menyambut hari raya?
Jujur saja, ku tak tahu harus bagaimana
Jujur saja, ku tak tahu harus berbuat apa
Kecuali
Bersikap biasa-biasa saja
Surabaya, 6-08-2013

Tradisi Mudik

Mudik atau pulang kampung itu adalah sebuah tradisi. Sekali lagi tradisi atau kebiasaan saja. Persoalannya kemudian itu dinilai sebagai amal ibadah atau foya-foya saja, itu soal laen. Dan saya tidak akan membahas dan mempersoalkan itu. Sekali lagi, bukan wilayah saya untuk menilainya apalagi menghukuminya, sebab saya bukan ahli hukum atau juru nilai.

Pulang kampung akan menjadi sebuah aktivitas biasa saja atau individual, jika hanya dilakukan oleh para individu, tanpa melibatkan sistem, nilai, norma dan adat sosial. Dalam pengertian ini, anda atau siapa saja bisa mudik kapan saja, tanpa harus menunggu momen sosial. Mudik hanya terjadi pada mereka yang bermigrasi, perantau. Bagaimana bisa dikatakan mudik, jika ia menetap atau berdiam di kampung halamannya.

Dalam kerangka ini, mudik dapat terjadi di berbagai kelompok masyarakat di berbagai belahan dunia. Di Amerika saja bisa terjadi kok aktivitas mudik, mungkin saat perayaan thank giving atau natal. Di China, Bangladesh, Malaysia, Nigeria dan sebagainya. Memang biasanya, mudik itu dikaitkan dengan momentum hari raya sebuah masyarakat, apakah hari raya keagamaan ataupun budaya. Mudah dipahami dengan demikian, karena hari raya akan dihormati oleh negara. Kemudian diberikan hak libur yang “cukup” untuk merayakannya. Kesempatan ini lalu digunakan untuk menengok kembali pada sanak keluarga dan orang tua di kampung asal.

Dalam konteks sosial demikian, mudik telah menjadi bagian dari aktivitas negara, masyarakat, keagamaan dan kebudayaan. Kita jadi lebih bisa memahami bahwa mudik benar-benar sebuah tradisi, karena adanya libur yang diberikan bagi para pekerja imigran, kebutuhan menengok keluarga, menghabiskan waktu libur dan tentu ada nilai-nilai sosial yang hendak tetap dijaga.

Jika demikian, maka salah satu cara menghilangkan tradisi mudik adalah melalui tradisi juga. Ciptakan tradisi baru yang lebih menjanjikan ketimbang mudik dan itu harus bisa diterima secara massive, misalnya berikan bonus besar-besaran dan adanya aturan keras bagi para pekerja yang mudik. Penjarakan bila perlu mereka yang mudik. Tapi siapkah dengan segala resiko sosial politik akibat itu?

Jangan Meninggalkan Sejarah

Sayyidina Umar bin Khattab, setelah perjanjian perdamaian dengan keuskupan di Yerussalem. Tibalah waktu shalat. Sang Uskup menawarinya gereja, beliau menolaknya, karena dikira nanti akan dikira menjadi tempat ibadah orang Islam dan merebutnya. Bahkan ketika ditawari halaman atau dekat pintu gereja, tetap menolaknya. Kekuatiran kelak akan saling memperebutkan sebagai tempat Ibadah.

Mana batu jejak petilasan Nabi Muhammad ketika isra'a mi'raj. Begitu tanyanya kepada uskup. Dan ditunjukilah beliau di sebuah tempat yang tak terawat. Sayyidina Umar. r.a. kemudian membersihkannya. Lokasi batu itu dijadikan tempat shalat, dibangun masjid al aqsha.

Disaat berkuasa, tetap menjaga tempat ibadah mereka yang ditaklukannya. Saat berjaya tak lupa pada jejak pendahulunya yang sudah meninggalkannya, dirawat dan diperbaiki.

Menghargai sejarah, menghargai jerih payah para leluhur, menjadikan sebuah peristiwa penting itu tetap menjadi penting akan membantu kita tidak lupa diri. Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah.

=== edisi nonton tipi agustusan

Ilmu Lembu Sekilan

Kebutuhan manusia itu kalau dipikir2 ya berujung pada perut dan sekitarnya. Kalau mau agak detail ya, sekitar sekilan ke bawah dan ke atas. Jadi ya urusan perut, sekilan ke bawah dan sekilan ke atas.

Nah, apakah kemudian agama mampu memenuhi itu semua? urusan perut adalah makanan. Sekilan ke bawah ya syahwat. Sekilan ke atas ya rasa. Nampaknya, banyak urusan yang sulit disambungkan dengan agama. Jangan heran jadinya, manusia juga sulit untuk mendalami agama. Tapi ya silakan sih, kalau mau dipaksa-paksakan, ketiganya dipenuhi dengan agama. Tidak mudah lo mengolah menjadi menu yang pas buat ketiganya. Jika hanya sibuk pada timbangan ke bawah, jadinya urusan bawah saja. Lain lagi kalau mau naik.

Ilmu lembu sekilan, akan menghindarkan pemiliknya dari serangan yang membahayakannya. Kuncinya adalah menguasai itu tadi sekilan ke bawah dan ke atas dari pusat (pusar).

Tak perlu ngrowot atau mutih dan sebagainya. Mau mengusainya?
Ya monggo, jangan berguru pada saya. Tapi jangan sampai belajar dari mereka yang tak punya pusar, sebab akan sulit menentukan jarak sekilan tersebut.

Malam Ketetapan

Qiila : "malam qadar atau lailatul qadar adalah malam ketentuan dan ketetapan. Termasuk di dalamnya ketentuan dan ketetapan mengenai yang akan dijalani oleh manusia". Gampangnya ya takdir manusia untuk satu tahun ke depan (malam qadar berikutnya).

Memohon ampunan pada malam itu merupakan sebuah amalan yang sangat baik. Permintaan ampunan adalah permintaan yang utama di dalamnya. "Allahumma innaka afuwwun tuhibbul afwa wa'fu anny".

Kelahiran dalam kondisi fitrah adalah sebuah takdir yang terbaik. Sebab kelahiran akan melahirkan banyak hal, banyak kebaikan, meski tak sedikit keburukan.

Kesempatan dengan demikian menjadi hadiah terindah bagi manusia sebagai hamba.

Masihkah mengajukan pinta yang beragam? Masihkah meragukan takdir Tuhan atas diri ini?

Lakon Hidup Al Wahsy


Adalah al wahsy, seorang budak yang sudah membunuh Hamzah, orang yang dicintai Allah dan RasulNya. Sebuah pembunuhan yang kejam. Bagi umat Islam, itu tentu sangat menyakitkan. Bahkan bisa jadi bagi kaum Arab Jahiliyah itu merupakan penghinaan yang besar. Bagaimana seorang yang terhomat, dari keluarga terhormat, dibunuh oleh seorang Budak, kaum yang tak dihargai saat itu, yang dihinakan oleh sistem sosial.

Sungguh Allah swt, tlah menyiapkan sebuah skenario besar buat wahsy. saat kepalsuan nabi musailamah merajalela dan merongrong umat Islam, melalui wahsy, Allah swt. mematikan nabi palsu tersebut.

Tentu, tidak mudah mengampuni wahsy yang telah membunuh orang yang dicintai rasulullah s.a.w. Namun sekali lagi, ampunan telah memberi takdir kepada wahsy untuk menebusnya.

"Masihkah aku diejek sebagai pembunuh Hamzah???", ungkapan wahsy yang begitu getir harus melakoni dua takdir yang saling berlawanan. Tidak mudah memang, bagi wahsy, bagi umat islam waktu itu, dan bagi siapa saja menjalani situasi seperti itu.

== akibat nonton pelem tipi......


 

 

Ah itu Biasa ...

FPI melakukan sweeping pada tempat maksiat seperti tempat judi togel, itu hal biasa. Berita biasa. Mungkin, jika para anggota FPI menemui para pelaku maksiat dan keluarganya dengan membawa bingkisan di bulan Ramadhan seperti mie instan baru luar biasa. Apalagi mau mengajak mereka istighosahan dan shalat tarawih.

Peristiwa tabrak lari, kemudian pengemudinya dikejar, dikeroyok dan kendaraannya dibakar massa, juga peristiwa biasa (terjadi). Bahkan, seringkali tidak peduli, apakah kendaraan itu ditumpangi pejabat, tentara, polisi atau orang biasa. Tapi kok ya menjadi luar biasa ya, ketika penumpangnya itu anggota FPI?

Kemudian, pak polisi memproses kasus tabrak lari sesuai prosedur hukum soal tabrak lari ya juga biasa. Dan itu sewajarnya. Baru luar biasa itu, jika pak polisi kemudian memprosesnya dengan undang-undang ormas.  Dan juga sewajarnya, keluarga korban mendapat perhatian dan santunan. Meski masalah hukumnya tetap dijalankan.

Masih juga hal biasa, jika di tempat maksiat itu banyak preman. Mereka kemudian mempertahankan praktek ilegal mereka. Biasa bukan? Apakah mereka itu punya agama, atau agamanya Islam, Kristen dan lainnya.

Semuanya biasa-biasa saja. Namun, semua hal biasa tersebut diberitakan menjadi luar biasa. Kalau perlu yang luar biasa itu dianggap biasa. Kalau banyak pegawai tempat hiburan yang tidak bekerja di bulan Ramadhan dan tidak digaji, kan harusnya luar biasa? Jika korban mati kemudian tak dikasih empati, itu juga luar biasa.

Hanya di tangan orang-orang luar biasa saja, hal biasa menjadi luar biasa. Sebaliknya di tangan orang-orang biasa, hal luar biasa menjadi biasa saja. Pembuat berita dan pembacanya adalah orang-orang luar biasa. Mereka korban kecelakaan, preman, anggota FPI, keluarga kekurangan di bulan Ramadhan adalah orang-orang biasa. Mereka biasa dibuat luar biasa dan dibiasakan diluar perhatian kita.

Menguasai Ilmu Jawa melalui Carakan Jawa

Dalam tulisan saya yang lain, bahwa Ilmu Jawa itu pada intinya adalah menjaga jiwa, menjaga hidup agar hidup dari diri kita juga mampu menghidupkan yang lainnya. Untuk jauh lebih memahaminya, salah satunya adalah memahami aksara (Caraka) Jawa.

Aksara Jawa jumlahny ada 20, ini adalah aksara dasarnya, yang terdiri dari :

Ha, Na, Ca, Ra, Ka
Da, Ta, Sa, Wa, La
Pa, Dha, Ja, Ya, Nya
Ma, Ga, Ba, Tha, Nga

Dari sekian huruf-huruf tersebut untuk memegang kuncinya adalah memfokuskan pada aksara Ha dan Nga. Dua huruf ini adalah awal dan akhir. Ha dan Nga kemudian dijabarkan menjadi :

Ha = Hana (Ada)
Nga = pergi (luNga)
HaNga = Angen-angen (Angan-Angan)
HaNga = Angin, Nafas
Ha Nga = Hawa Sanga

Kehadiran manusia di dunia ini disebut Ada (Ha), pada mulanya, namun akhirnya akan pergi (Nga) juga. Itu adalah kodrat manusia yang tak bisa dihindari. Kepergiannya ditandai jika sudah tak ada nafasnya (Angin). Sementara kehidupan di dunia menjadi begitu berarti dan bergairah ketika manusia punya angan-angan, cita-cita, ide, inovasi dan sebagainya dalam mengisi kehidupannya.

Namun, manusia tak seperti hewan, dari lahir kemudian mati tak ada jasanya. Oleh karena itu, perlu dipelajari mengenai ilmu Lobang Sembilan (Hawa Sanga), baik yang lahir dan batin. Menguasai Ilmu Jawa, maka hendaknya mampu menguasai 9 lobang dalam diri manusia. 9 Lobang lahir tersebut adalah : Mata (2), Telinga (2), Hidung (2), Wadi (1) Dubur (1), dan Mulut. Itu adalah 9 lobang lahir. Artinya, kita sebagai manusia harus mampu menguasai (“menutup”) lobang-lobang tersebut dari pengaruh yang negatif, tidak baik sehingga akan berdampak pada ketidakbaikan jiwa kita sendiri. Kesembilan lobang lahir ini dapat dilambangkan oleh Na, Ca, Ra, Ka, Da, Ta, Sa, Wa, La.

Demikian pula, kita juga harus mampu menguasi lobang 9 batin, pintu-pintu batin yang dapat menjermuskan jiwa manusia, yaitu : Gemedhe, menghina (merendahkan lainnya),Tamak (berlebih pada dunia), serakah (menguasai bukan haknya), Iri, Dengki, Hasut, Benci dan Dendam. Mengenai lobang batin ini anda boleh berbeda pendapat. Pada intinya, bahwa dalam batin manusia itu juga ada pintu-pintu yang dimasuki untuk mengganggu jiwa manusia, merusak akhlak manusia. Kesemuanya disimbolkan oleh Pa, Dha, Ja, Ya, Nya, Ma, Ga, Ba, Tha.

Kunci menguasai hawa sanga, baik batin dan lahir, adalah melatih nafas, olah nafas yang sampai ke batin. Katakanlah anda sedang membenci seseorang, maka aturlah nafas anda, tahan dan resapi ke dalam jiwa anda. Inilah mengapa, dalam tradisi Ilmu Jawa, olah nafas menjadi begitu sangat penting dalam melatih diri, mempertajam batin dan sebagainya. Sebab HaNga, jika tidak dikendalikan akan menjadi angan-angan yang liar dan menjermuskan manusia pada kegelapan, pada pintu-pintu 18 yang ada dalam diri manusia.

Dalam ajaran tasawuf dikenal dengan zikir batin, ini bertumpu pada nafas. Membaca Al Quran dengan tajwid dan makhraj yang benar juga melatih nafas. Kalimah Hu...Hu....Hu adalah bentuk melatih nafas kita dengan mengikat Dia, Allah Swt.

Maka, jangan biarkan nafas kita meNga, terbuka tanpa diisi oleh zikir yang terarah, sebab jika terbuka demikian, syetanlah yang menjadi penghuninya, dan jiwa kita dikuasai oleh mereka, kemudian jiwa kita terpenjara, tidak merdeka, karena menjadi budaknya.

Bagi, anda yang juga mempelajari ajaran aksara/huruf Arab berjumlah 30, perpaduan dengan 20 aksara Jawa ini akan semakin menambah, memperkaya dan menggenapinya. Orang-orang menyebutnya ilmu 50, separoh dari kesempurnaan 100.

Semoga bermanfaat.

Akar Illuminati dalam Mitologi

Tradisi gnostik, dimana mendasarkan pada aktualitas obyektif yang terukur mengarahkan kepada sebuah tradisi ilmu pengetahuan. Itu kemudian mengarahkan kepada mengutamakan peran akal ketimbang hati, mengutamakan ilmu ketimbang wahyu. Ilmu pengetahuan adalah sumber pencerahan bagi peradaban manusia, sedangkan agama justru dianggap menjerumuskan pada kebutaan fanatis dan gelap.

Inilah yang kemarin saya sebut dalam SERAT MAHAPURWA, bahwa Sang Hyang Adama menyebut Sang Hyang Nurcahya kelak akan menjauhi agama, tidak seperti saudaranya Sang Hyang Nasa (Anwas) yang kelak menurunkan para nabi dan rasul sebagai pembawa ajaran agama.

Nurcahya, adalah cahayanya cahaya. Yang lahir dalam keadaan cahaya, kemudian berguru pada azazil (nar). Sikap pertama ditunjukkan oleh Sang Hyang Nurcahya melihat kematian kakeknya Sang Hyang Adama adalah “mencari ilmu” agar tidak terkena mati. Tentu ini akan berbeda sikap dari para penganut agama, yang menerima sebagai takdir dari Tuhan, mencari hikmah demi perbaikan diri. Perjalanan kemudian berlanjut mengelana mencari ilmu di seluruh penjuru bumi, ilmu terawang (melalui Uzza), ilmu kesaktian (Azazil), ilmu menghidupkan yang mati dan sebagainya. Maka pada puncaknya dia kemudian meneguhkan melalui ilmu/cahaya/dirinya dia mampu mewujudkan banyak impian, bahkan membangun surga kahyangan. Ujungnya dia menetapkan dirinya sebagai Sang Hyang Dewata.

Berturut-turu dia melahirkan Nurrasa, melalui penciptaan cupumanik dan air tirta kamandanu, kemudian melahirkan Hyang Wenang. Ketiga sosok ini dalam kisah pewayangan adanya di alam awang-awung, alam kekosongan, alam awal. Tiga sosok ini bisa dikorelasikan sebagai Akal (Nurcahya), Nurrasa (benih kehidupan) Nafus/kehendak (Wenang), ini juga bisa dikorelasikan dengan Baitul Makmur (Nur cahya), Baitul Muqadas (Nur Rasa) dan Baitul Haram (Wenang). Jadi ada alam ide, kehendak dan kuasa, atau cipta, rasa dan karsa. Inilah kemudian menyatu dalam SangHyang Tunggal.

Eksistensi mereka kemudian semakin jelas dan maujud (emanasi) dalam bentuk 3 putranya, Manikmaya (Guru/Akal), Semar (rasa/hati) dan Antaboga dimana pemujaan utama pada akal (Guru) menjadi lebih utama. Wajar kemudian, keturunan Nur Cahya memiliki peradaban ilmu pengetahuan yang demikian maju, bahkan bisa menandingi keturunan Anwas. Di sinilah bisa dikhayalkan lagi, bahwa kehancuran Atlantis yang berbasis ilmu pengetahuan, jendela dunia (mata sapi) yang dibangun oleh para jin dan sekutunya demikian maju dan kemudian dihancurkan, sehingga kekuatan Agama tetap berkuasa.

Inilah jalur gnostik dalam mitologi wayang. Dan akan semakin jelas, ketika ilmu itu sangat diagung, dengan simbol Manikmaya/Guru yang didewa-dewakan, muncul spesialisasi. Ini seperti pendapat mengenai globalisasi, dimana semakin maju ilmu, akan semakin terspesialisasi. Maka penyembahan kemudian tidak hanya pada Guru, tetapi kepada Bayu, Surya, Agni dan sebagainya dengan spesifikasi penguasaan masing-masing.

 

Kepemimpinan ala Gajah Mada

Siapa yang tak kenal dengan Gajah Mada, seorang Pejabat Majapahit, dan dalam kepemimpinannya mampu mengantar Majapahit berjaya dan menyatukan Nusantara. Beliau menerapkan 18 Ajaran Kepemimpinan (Hasta Dasa Parateming Pramu), yakni :

1)    Wijaya, harus mempunyai jiwa tenang, sabar, tidak mudah panik, dan bijaksana.
2)    Mantriwira, harus berani membela dan menegakkan kebenaran dan keadilan tanpa pengaruh tekanan dari pihak manapun
3)    Natangguan, harus mendapat kepercayaan dari masyarakat dan berusaha menjaga kepercayaan tersebut.
4)    Satya Bhakti Prabhu, harus memiliki loyalitas kepada kepentingan yang lebih tinggi (nusa bangsa).
5)    Magwimak, harus pandai menyampaikan pendapat dengan tutur kata yang tertib, sopan dan menggugah kesadaran masyarakat
6)    Wicaksaneng Naya, harus pandai berdiplomasi dan berstrategi
7)    Sarjawa Upasama, harus rendah hati
8)    Dhirotsaha, harus rajin dan tekun bekerja
9)    Tan Satrsna, tidak pilih kasih, harus mampu mengatasi berbagai golongan
10) Masihi Samasta Bhuwana, mencintai alam semesta dan melestarikannya
11) Sih Samasta Bhuana, mencintai dan dicintai rakyatnya
12) Negara Gineng Prayitna, mengutamakan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi
13) Dibyacitta, harus lapang dada menerima masukan
14) Sumantri, harus tegar, bersih, jujur dan berwibawa
15) Nayaken Musuh, harus mampu menguasai musuh, baik dari dalam dan luar
16) Ambek Parama Artha, harus pandai menentukan prioritas
17) Waspada Purwa Artha, harus waspada dan melakukan mawas diri
18) Prasaja, harus berpola hidup sederhana (apa adanya)

Asal Mula Dewa

Kisah ini merujuk pada judul Serat Mahapurwa. Bisa diartikan sebagai serat/naskah tentang kisah yang sangat awal. Kisah tentang Adam dan kemudian muncul Dewa. Ini fokus pada sosok Sang Hyang Nurcahya yang kemudian menyebut dirinya sebagai Sang Hyang Dewata, Sang Hyang Mahamulia, dan sebagainya. Silakan menikmati.

=====

Serat Mahapurwa menceritakan kisah Sang Hyang Adama, Sang Hyang Sita, Sang Hyang Nurcahya, Sang Hyang Nurasa, Sang Hyang Wenang, Sang Hyang Tunggal, beserta Sang Hyang Manikmaya. Dasar serat ini merujuk pada Serat Paramayoga karya Pujangga Ranggawarsita di Surakarta yang merujuk Serat Jitapsara karya Begawan Palasara di Astina dan merujuk Pustaka Darya karya Sang Hyang Nurcahya di Lokadewa.

Sang Hyang Adama

Dikisahkan Sang Hyang Adama, sesudah diturunkan ke alam dunia bersamaan dengan ampunan dosa, menjadi raja di Kusniamalabari, merajai hewan-hewan. Makannya dari para pengikutnya. Sang Hyang Adam menciptakan tahun surya dan tahun candra, kemudian menciptakan Tanajultarki untuk permulaan menanam pada tahun 129 SA atau tahun 133 CA. Tak lama istrinya Sang Hyang Adama, yakni Dewi Hawa melahirkan kembar dampit putra-putri. Kembar  pertama buruk rupa, kedua bagus, ketiga jelek dan keempat baik, kelima jelek, begitu seterusnya sampai empat puluh dua kali, tetapi yang keenam dan keempat satu, tidak kembar.

Setelah punya putra kembar lima, Sang Hayang Adam akan menjodohkan putra-putrinya. Putra yang gagah dijodohkan dengan putri yang jelek. Putri yang cantik dijodohkan dengan putra yang jelak. Jadi tak ada perjodohan dengan kembarannya sendiri.

Sedangkan maksud Dewi Hawa, putra putrinya dijodohkan dengan kembarannya, yang gagah dijodohkan dengan yang cantik, yang jelek dengan yang jelek. Perjodohan ini jadi perselisihan antara Sang Hyang Adama dan Dewi Hawa. Perselisihannya sampai adu kuasa mengeluarkan “rahsa pamuja” yang diwadahi cupumanik dan dimintakan kepada Tuhan.

Setelah sampai pada masanya, cupumanik dibuka. Rahsa pamuja di cupumanik Sang Hyang Adam menjadi bayi namun hanya raga; sedangkan Rahsa pamuja di cupumanik Dewi Hawa berwujud darah/benih. Dewi Hawa merasa sedih atas keadaan itu.

Jabang bayi yang ada di cupumanik Sang Hyang Adama dapat dipastikan menjadi bayi yang sempurna dan ada petunjuk dari Tuhan bahwa nama bayi itu adalah Sang Hyang Sita. Beliau bergembira tiada tara.

Tak lama ada peristiwa menggemparkan, cupumanik Sang Hyang Adama tertiup angin puyuh jatuh di pusat laut hitam. Cupumanik tertangkap oleh Danyang Azazil, raja Banujan yang menguasai laut hitam.

Akhirnya Dewi Hawa patuh pada aturan perjodohan Sang Hyang Adama. Semua putra putrinya semua empat puluh kembar, dan ada yang dua tidak kembar yaitu Sang Hyang Sita dan Dewi Hunun.

Putra Putri Sang Hyang Adama, yaitu
1) Sang Hyang Kabila,
2) Dewi Alima,
3) Sang Hyang Habila,
4) Dewi Damima,
5) Sang Hyang Isrila,
6) Dewi Sarira,
7) Sang Hyang Israwana,
8) Dewi Mona,
9) Sang Hyang Basaradiwana,
10) Dewi Dayuna,
11) Sang Hyang Sita,
12) Sang Hyang Yasita,
13) Dewi Awisa,
14) Sang Hyang Sesana,
15) Dewi Aisa,
16) Sang Hyang Yasmiyana,
17) Dewi Ramsa,
18) Sang Hyang Yanmiyana,
19) Dewi Yarusa,
20) Sang Hyang Suryana,
21) Dewi Siriya,
22) Sang Hyang Amana,
23) Dewi Mahasa,
24) Sang Hyang Kayumarata,
25) Dewi Hindunmaras,
26) Sang Hyang Yajuja,
27) Dewi Majuja,
28) Sang Hyang Lata,
29) Dewi Uzza,
30) Sang Hyang Harata,
31) Dewi Haruti,
32) Sang Hyang Danaba,
33) Dewi Daniba,
34) Sang Hyang Bantasa,
35) Dewi Bintisa,
36) Sang Hyang Somala,
37) Dewi Susia,
38) Sang Hyang Jamaruta
39) Dewi Malki,
40) Sang Hyang Tamakala,
41) Dewi Tamakali,
42) Sang Hyang Adana,
43) Dewi Adini,
44) Sang Hyang Harnala,
45) Dewi Harnila,
46) Sang Hyang Samala,
47) Dewi Samila,
48) Sang Hyang Awala,
49) Dewi Awila,
50) Sang Hyang Astala,
51) Dewi Astila,
52) Sang Hyang Nurala,
53) Dewi Nureli,
54) Sang Hyang Nuhkala,
55) Dewi Nuhkali,
56) Sang Hyang Nuskala,
57) Dewi Arki,
58) Sang Hyang Sarkala,
59) Dewi Sarki,
60) Sang Hyang Karala,
61) Dewi Karia,
62) Sang Hyang Dujala,
63) Dewi Dujila,
64) Sang Hyang Katala,
65) Dewi Katili,
66) Sang Hyang Arkala,
67) Dewi Arkali,
68) Sang Hyang Mrihakala,
69) Dewi Mrihakali,
70) Sang Hyang Ardabala,
71) Dewi Ardiati,
72) Sang Hyang Sanala,
73) Dewi Peni,
74) Sang Hyang Pujala,
75) Dewi Puji,
76) Sang Hyang Sasala,
77) Dewi Sasi,
78) Sang Hyang Sahnala,
79) Dewi Sani,
80) Dewi Hunun,
81) Sang Hyang Sahalanala,
82) Dewi Sahini.

Namun Sang Hyang Kabila, Dewi Alima, Sang Hyang Basaradiwana, Dewi Dayuna, Sang Hyang Lata, Dewi Uzza tidak menurut pada aturan perjodohan Sang Hyang Adama. Sang Hyang Kabila tak sejalan, dan menghendaki dijodohkan dengan kembarannya, yaitu jodoh bagi Sang Hyang Habila. Perbedaan memperebutkan jodoh tersebut sampai kematian. Sang Hyang Habila dikalahkan oleh Sang Hyang Kabila. Setelah adiknya mati, Sang Hyang Kabila termenung memikirkan bagaimana caranya mengubur jasad adiknya. Kemudian ada burung gagak mengaduk-aduk tanah. Sang Hyang Kabila mengikuti burung gagak untuk membuat liang lahat.

Sang Hyang Kabila dan Istrinya Dewi Alima serta Dewi Damima diusir oleh Sang Hyang Adama, lalu mengelana sampai tanah Afrika, dibarengi oleh adiknya Sang Hyang Basaradiwana dan Dewi Dayunan. Demikian juga Sang Hyang Yajuja dan kembarannya Dewi Majuja menyusul Sang Hyang Kabila ke tanah Afrika. Sedangkan Sang Hyang Lata dan Dewi Uzza mengelana ke tanah Asia.

Sang Hyang Sita

Setelah dewasa Sang Hyang Sita diberi jodoh bidadari dari Tuhan. Nama istrinya Dewi Mulat. Rumah tangganya saling asah, asih dan asuh.

Dikisahkan, Danyang Azazil raja Banujan di Laut Hitam akan menjodohkan putrinya yang bernama Dayang Dalajah dengan keturunan Sang Hyang Adama agar bisa berkuasa pada manusia. Danyang Azazil memboyong putrinya ke Kusniamalabari. Dengan kesaktiannya Danyang Azazil, putrinya dirubah rupa menjadi Dewi Mulat. Sedangkan Dewi Mulat yang asil hilang sebab disembunyikan oleh Danyang Azazil.

Terdorong rasa terhadap orang yang dicinta, Sang Hyang Sita bersetubuh dengan Dewi Mulat jadi-jadian. Benih masuk ke dalam rahim Danyang Dalajah, kemudian Dewi Mulat jelmaan kembali ke laut hitam bersama ayahnya Danyang Azazil. Dewi Mulat yang asil sudah muncul lagi, tidur bersama Sang Hyang Sita.

Dewi Mulat mengandung bayi. Hari saatnya melahirkan, sekitar fajar, Dewi Mulat melahirkan kembar, yang pertama laki-laki, yang kedua berupa cahaya. Bersamaan itu juga Danyang Dalajah juga melahirkan berwujud darah, kemudian di bawa ke Kusniamalabari oleh Danyang Azazil.

Darah dan cahaya bergulung menyatu jadi bayi laki-laki yang terselimuti oleh cahaya terang benderang yang menyilaukan.

Kakeknya, Sang Hyang Adama, masih menganggap kedua bayi itu kembar. Yang pertama diberi nama Sang Hyang Nasa, yang kedua Sang Hyang Nurcahya, karena berselimut cahaya.

Setelah dewasa, Sang Hyang Nasa suka pada ilmu agama yang diajarkan oleh kakeknya Sang Hyang Adama. Sedangkan Sang Hyang Nurcahya suka bertapa di hutan, gunung atau di dalam gua.

Sang Hyang Nurcahya suka berkelana melanglang buana, kemudian bertemu Danyang Azazil yang malih rupa menjadi maharesi yang sakti mandraguna. Sang Hyang Nurcahya berguru kepada Danyang Azazil, diajari olah kanuragan, kesaktian, ilmu pengobatan dan sebagainya. Sang Hyang Nurcahya tak hangus oleh api, tak basah oleh air, hilang tanpa alat, bisa terbang diatas awan, bisa masuk ke bumi dan masuk lautan.

Setelah tamat berguru, Sang Hyang Nurcahya pulang ke Kusniamalabari. Sang Hyang Adama kaget melihat keadaan cucunya. Sang Hyang Nurcahya berbeda dengan kembarannya Sang Hyang Nasa. Namun Sang Hyang Adama tak samar jika itu semua disebabkan oleh Danyang Azazil.

Sang Hyang Adama berkata kepada putranya Sang Hyang Sita menyampaikan jika Sang Hyang Nurcahya akan berpaling dari ajaran agama, dikarenakan menganut ajaran Danyang Azazil. Sang Hyang Sita diam termangu, menyesal sebab kelakuan Sang Hyang Nurcahya.

Saat umur 900 tahun Sang Hyang Adama meninggal dunia. Semua ilmunya diwariskan kepada Sang Hyang Sita, sedangkan kekuasaannya diserahkan kepada Sang Hyang Kayumarata, putra ketiga belas. Pembagian tersebut didasarkan atas kualitas dari putra-putranya. Sang Hyang Sita menjadi penguasa masalah rohani, sedangkan Sang Hyang Kayumaratan menjadi penguasa urusan jasmani.

Sang Hyang Nurcahya

Meninggalnya sang kakek, Sang Hyang Adama menjadikan kaget cucunya Sang Hyang Nurcahya. Apalagi menyesal sebab Sang Hyang Adama mati karena sakit. Dia kemudian membayangkan dirinya, Seumpama dia masih memakai ilmu Sang Hyang Adama, pasti bakal terkena mati. Kemudian Sang Hyang Nurcahya meninggalkan Kusniamalabari akan mencari ilmu yang tidak bisa kena kematian sehingga hidupnya sehat abadi.

Sang Hyang Nurcahya berkelana sampai keluar batas negeri Kusniamalabari. Masuk hutan, Sang Hyang bertemu dengan Danyang Azazil. Dia dibantu menuju ke daerah Awinda, yaitu daerahnya para siluman, yang terkenal angker, adanya di pojok bumi, tak pernah tersentuh cahaya. Di sana ada Air Tirtamarta Kamandalu, yaitu air kehidupan yang dari mustika mega.

Sang Hyang Nurcahya dan Danyang Azazil memohon ke Tuhan supaya dikasih air Tirta Kamandalu. Kemduian ada mega yang memancarkan air kehidupan dari Lautan Rahmat. Sang Hyang Nurcahya diperintahkan mandi dan minum air Tirtamarta Kamandalu. Sang Hyang Nurcahya tanpa wadah. Danyang Azazil memberi wadah Cupumanik Astagina yang sebenarnya kepunyaan Sang Hyang Adama waktu tertiup angin sampai ke pusat lautan hitam daerah kekuasaan Danyang Azazil. Cupumanik Astagina punya kesaktian apa yang didalam wadah tak bakalan habis.

Kemudian Sang Hyang Nurcahya keluar dari daerah Awinda, dan Danyang Azazil hilang. Sang Hyang Nurcahya meneruskan perjalanan seorang diri. Di sebuah daerah dia menemukan sebuah pepohonan yang akarnya bisa menyebabkan hidup kembali, kembali ke asal, kerbau pulang ke kandang, sumber kehidupan alam dunia, yang mendapat sebutan Lata Maosadi.

Di saat Sang Hyang Nurcahya mau pulang ke Kusniamalabari bingung, tak ingat jalannya. Dia tersesat mengelana, bertemu jurang, gunung dan hutan belantara.

Di suatu hari dia sampai di pantai, dan melihat ada dua makhluk di atas lautan. Sang Hyang Nurcahya meluncur di atas air mendekati. Yang satu bernama danyang Haruta dan kedua Danyang Maruta. Dulunya, makhluk itu namanya Sang Hyang Isyana dan Sang Hyang Isaya yang mendapat hukuman dari Tuhan sebagai hukumannya menjadi banujan yaitu bangsa jin.

Danyang Haruta dan Danyang Maruta mengajarkan Sang Hyang Nurcahya masalah bumi, hari, bulan, bintang, yang disebut ilmu falakiah dan ilmu hikmah.

Sang Hyang Nurcahya berkisah jika dia ingin ke surga. Danyang Haruta dan Danyang Maruta bercerita jika sruga itu adanya di hulu sungai yang besar di daerah Afrika. Sang Hyang Nurcahya percaya saja pada dongeng itu, kemudian berkelana ke surga yang ada di sungai itu.

Sang Hyang Nrucahya bertemu dengan paman dan bibinya, yaitu putra-putri Sang Hyang Adama yang kelima belas bernama Sang Hyang Lata dan Dewi Uzza saat bertapa di sisi sungai tersebut. Sang Hyang Nurcahya bercerita jika dia adalah putra Sang Hyang Sita. Sang Hyang Lata dan Dewi Uzza menerima kedatangan Sang Hyang Nurcahya, kemudian diajari ilmu “kawruh sak durunge winarah” semua yang sudah dan bakal terjadi.

Kemudian Sang Hyang Nurcahya meneruskan mencari surga sampai ke telaga di hulu sungai yang ada di puncak gunung Kaspia. Sang Hyang Nurcahya bingung, sebab taka ada tanda-tanda surga.

Ada suara dari dalam kawah gunung Kaspia yang mana apinya menyala, mengaku jika suara itu suara Tuhan Penguasa Bumi yang memiliki surga dan neraka. Suara itu adalah suara Danyang Azazil yang berubah warna. Sang Hyang Nurcahya masuk ke permata bernama Ratnadumilah, melihat keindahan semua isi surga.

Setelah keluar dari permata, Danyang Azazi yang berubah menyamar menjadi Tuhan Amurma Bumi (Penguasa Bumi) memberikan Ratnadumilah kepada Sang Hyang Nurcahaya. Kesaktian permata tersebut semuanya yang dikehendaki bisa terwujud, yang diharapkan datang, tidak kena sakit. Kemudian Sang Hyang Nurcahya diajari ilmu menitis pangiwa, memasuki akhir kematian, dan jalannya cakramanggilingan.

Sang Hyang Nurcahya tidak mau pulang ke Kusniamalabari. Danyang Azazil menunjukkan sebuah tempat yang bisa ditinggali oleh Sang Hyang Nurcahya yang disebut Lokadewa. Kemudian Sang Hyang Nurcahya pergi ketempat itu.

Di Lokadewa, Sang Hyang Nurcahya meneruskan tapanya di puncak gunung. Di saat fajar menghadap timur, di tengah hari menghadap ke atas, saat sore menghadarp ke barat. Lama tapanya tujuh tahun, sampai meraga sukma masuk ke dalam alam kosong, yakni alam Banujan. Sang Hyang berada dalam alam tersebut selama 1000 tahun.

Dikisahkan ada satu raja jin yang menguasai Lokadewa bernama Danyang Maladewa, putranya Danyang Harataketu. Dia saat mengelilingi bumi melihat ada cahaya bersinar bukan matahari bukan bintang seperti permata bukan rembulan, tetapi cahaya sukma keturunan Sang Hyang Adama.

Danyang Maladewa mau memegang cahaya itu namun tak bisa. Kemudian menjadi pertempuran dan sukma cahaya itu mengaku-aku Amurbamisesa Alam. Danyang Maladewa kalah tunduk pada Sang Hyang Nurcahya, yang kemudian memperistri putrinya Danyang Maladewa yang disebut Dewi Mahamuni. Semua keluarga dan balatentara Danyang Maladewa sama2 menghadap tunduk ke Sang Hyang Nurcahya yang disebut Dewata yaitu guru mulia Lokadewa. Itulah awal mulanya disebut Sang Hyang menjadi sebutan yang dipakai oleh Sang Hyang Nurcahya.

Diceritakan Sang Hyang Nurcahya bergelar Sang Hyang Dewata, Sang Hyang Dewapamungkas, Sang Hyang Atmadewa, Sang Hyang Sukmakawekas, Sang Hyang Amurbengrat, Sang Hyang Manon, Sang Hyang Permana, Sang Hyang Permata, Sang Hyang Mahawidi, Sang Hyang Mahasidi, Sang Hyang Mahamulia, Sang Hyang Kahanantunggal, Sang Hyang Jagatmurtitaya, adalah putra Sang Hyang Sita, cucu Sang Hyang Adama.

Sang Hyang Nurcahya punya putra tunggal dari istrinya Dewi Mahamuni, yang namanya Sang Hyang Nurasa sebab tercipta dari cahaya dan rahsa (benih/rahsa) yang disirami air Tirtamarta Kamandalu.

Sang Hyang Nurasa

Setelah Sang Hyang Nurasa dewasa, kemudian Sang Hyang Nurcahya mewariskan kerajaan kepada putranya dan memberi Cupumanik Astagina, Lata Maosadi, dan Ratnadumilah. Sang Hyang Nurcahya kemudian mencipta Pustaka Darya, yaitu kitab pengingat hari, mantra tanpa suara, suara tanpa tulisan, yang menceritakan tentang dirinya. Psuta Darya juga dikasihkan kepada Sang Hyang Nurasa.

Sareat dan Puasa

Apa itu Sareat?

Dalam Serat Hidayat Bahrul Qulub (Serat Syeh Jangkung) disebutkan :

Mengertio sira kabéh, narimoho kanthi saréh, opo kang dadi toto lan aturan, opo kang dadi pinesténan, anggoning ngabdi marang Pangeran

(Mengertilah kalian semua,terimalah dengan segala kerendahan jiwa,terimalah dengan tulus dan rela,apa yang menjadi ketetapan dan aturan,apa yang telah digariskan,untuk mengabdi pada Keagungan Tuhan)

Basa sarak istilah ‘Arbi, tedah isarat urip niki, mulo kénging nampik milih, pundhi ingkang dipun lampahi, anggoning ngabdi marang Ilahi

(Istilah syarak adalah bahasa Arab,yang berarti petunjuk atau pedoman untuk menjalani kehidupan ‘agama’,untuk itulah diperbolehkan memilih,mana yang akan dijalani sesuai dengan kemampuan diri,guna mengabdi pada Keagungan Ilahi)

Saréngat iku tan ora keno, tininggal selagi kuwoso, ageming diri kang wigati, cecekelan maring kitab suci, amrih murih rahmating Gusti

(Apa yang telah di-syari‘at-kan hendaknya jangan kita tinggal,selama diri ini mampu untuk menjalankan,aturan yang menjadi pegangan hidup kita,aturan yang sudah dijelaskan dalam kitab suci al-Qur’an,Itu semua, tidak lain hanya usaha kita untuk mendapat rahmat, dan pengampunan dari Yang Maha Kuasa)

Saréngat iku keno dén aran, patemoné badan lawan lésan, ono maneh kang pepiling, sareh anggoné kidmat, nyembah ngabdi marang Dzat.

(Syariat juga diartikan, sebuah pertemuan antara badan dengan lisan,bertemunya raga dengan apa yang dikata,ada juga yang memberi pengertian,bahwa syariat adalah pasrah dalam berkhidmat,menyembah dan mengabdi pada Keagungan Yang Mahasuci)

Saréngat utawi sembah raga iku, pakartining wong amagang laku, sesucine asarana saking warih, kang wus lumrah limang wektu, wantu wataking wawaton

(Syari`at atau Sembah Raga itu,merupakan tahap persiapan, di mana seseorang harus melewati proses pembersihan diri,dengan cara mengikuti peraturan-peraturan yang ada,dan yang sudah ditentukan—rukun Islam)

Syaringat ugi kawastanan, laku sembah mawi badan, sembah suci maring Hyang, Hyang ingkang nyipto alam, sembahyang tinemu pungkasan

(Syariat juga dinamakan, melakukan penyembahan dengan menggunakan anggota badan, menyembah pada Keagungan Tuhan, Tuhan yang menciptakan alam, Sembah Hyang, begitu kiranya nama yang diberikan)

Salah satu sareat Islam adalah Puasa (Poso). Inilah sarat rukunnya :

Islam, balék, kiat, ngakal, papat sampun kinebatan, wonten maleh ingkang lintu, Islam, balék lawan ngakal, dados sarat nglampahi siam.

(Islam, baligh, kuat, berakal, empat sudah disebutkan, ada juga yang mengatakan, Islam, baligh, dan berakal, menjadi syarat menjalankan puasa)

Kados sarat rukun ugi sami, kedah dilampai kanthi wigati, niat ikhlas jroning ati, cegah dahar lawan ngombé, nejo jimak kaping teluné, mutah-mutah kang digawé.

(Seperti syarat, rukun juga sama, harus dijalanlan dengan hati-hati, niat ikhlas di dalam hati, mencegah makan dan minum, jangan bersetubuh nomor tiga, jangan memuntahkan sesuatu karena sengaja.)

Papat jangkep sampun cekap, dadus sarat rukuné pasa, ngatos-ngatos ampun léna, mugiyo hasil ingkang dipun seja, tentreming ati urip kang mulya.

(Empat genap sudah cukup, menjadi syarat rukunnya puasa, hati-hati jangan terlena, semoga berhasil apa yang diinginkan, tentramnya hati hidup dengan mulia)

Dikutip dari : “Serat Hidayat Bahrul Qulub”

Islam bisa diterima di Jawa

Di Jawa, satu tradisi yang dari sejak jaman nenek moyang sampai sekarang adalah tradisi slametan. Bahwa ajaran para leluhur tersebut yang diwariskan kepada kita adalah pencapaian keselamatan dalam hidup dan setelah kehidupan. Dari bangun tidur sampai tidur kembali, permohonan dan ritualnya adalah memohon slamet. Dari awal kejadian (kehamilan), berubah segumpal daging, utuh menjadi An-nas yang lahir, berdiri, berjalan, anak-anak, remaja, menikah, dan begitu seterusnya bahkan sampai setelah kematiannya.

Pernahkah anda melihat tradisi semacam ini di belahan dunia lain?

Selain itu, kepercayaan kepada Hyang Taya, Dia yang Tanpa Kinoyo, Dia Yang Tak Termisalkan, Tak Terserupakan oleh apapun, juga sudah menjadi bagian keyakinan masyarakat Jawa Purba.

Namun, lagi-lagi materialisme kemudian membelokkan itu semua. Hyang Toyo dimaterialkan, maka lahirlah baTu, dan sejenisnya. Berbagai sajian yang material. Demikian pula, "slametan" menjadi tradisi materialistik, terjebak pada materi-materi ritual, melupakan esensi dari permohonan kepada Hyang Toyo memperoleh keselamatan hidup di Archapada dan alam pangrantunan.

Datangnya Islam dengan kemudian di Jawa, membuka itu semua, mengembalikan itu semua, untuk memalingkan dari materialisme dunia dan kembali kepada Dia Yang Esa, laisa kamitslihi syai'un.

Percayalah, Allah swt, telah menyampaikan ajaranNYA di seluruh muka bumi melalui hamba-hambaNYA.

Menjadi Bangsa Nuswantara

Kata Nuswa, sering diartikan secara sederhana dengan pulau (nusa). Padahal bisa diartikan jauh lebih kompleks, yaitu tempat hidup atau tempat yang bisa dihuni. Pemaknaan ini akan bisa dikembangkan lebih lanjut untuk memahami diri kita sebagai bagian dari bangsa Nuswantara.

Selama ini dikonsepsikan bahwa Nuswantara/Nusantara adalah sebuah nation/bangsa yang terdiri dari pulau-pulau yang diantaranya ada jarak yakni lautan. Dan lautan adalah pemersatu kepulauan itu. Sehingga menjadi sangat simple, bahwa nusantara ya negeri kepulauan. Itu saja. Tak ada bedanya dengan Karibia, Jepang atau lainnya. Yang lebih bersifat geografis, mencoba mengartikan, bahwa Nusantara adalah negeri yang berada di antara dua samudra dan dua benua.

Menurutku, Nuswantara bisa dipahami sebagai filosofi hidup yang didasarkan atas posisi dan tempat dimana kita hidup. Nuswantara, bukan hanya berarti pulau, tetapi “tempat yang bisa dihuni/tempat hidup”. Bisa dipahami sebagai rumah, desa, kecamatan, negara dan jagad raya. Kehidupan yang kita bangun, dimanapun, maka harus menunjukkan kejelasan jaraknya, bisa antara kiri dan kanan, hitam dan putih dan sebagainya. Kita bisa memiliki warna hitam atau putih, tetapi kita bukan hitam atau putih itu sendiri. Dalam politik, ini bisa dikorelasikan sebagai politik Non-Blok, meski itu adalah blok sendiri.

Ada jalan tengah. Leluhur kita dahulu mengajarkan keseimbangan, antara jagad cilik dan jagad gede, antara dunia dan akhirat, antara diri dan orang lain, demikian seterusnya. Ungkapan, “ngono yo ngono, nanging ojo ngono-ngono”.

Saat ini, bangsa kita sudah tidak memiliki sikap sebagai bangsa Nuswantara. Lebih besar memihak sebelah, namun mengabaikan pihak lain. Nilai-nilai inidviudalitas yang semakin kuat, tanpa keseimbangan sosial. Begitulah seterusnya.

Singkatnya, kita tidak sekedar hidup seperti pulau-pulau, sebagai individu yang disatukan dengan wilayah atau lingkungan, tetapi lebih dari itu, adanya pilihan atas posisi hidup itu sendiri dengan kesadaran akan dua sisi kehidupan.

Siji ganjil, loro genep, telu tunggal.

Salam rahayu.

Semar dan Atlantis

Tulisan ini hanya sekedar merangkai-rangkai berbagai sumber. Soal kebenarannya, jangan dituntut dulu. Lebih baik gunakan imajinasi anda saja agar lebih terasa eksotik.

 

Siapa yang tidak pernah mendengar nama Semar, bagi orang Jawa? Ia sering juga disebut, ya Semar, ya Sabdopalon, dan ya sebutan-sebutan lainnya. Dalam naskah Serat Jangka Syeh Subakir, Semar menyebutkan bahwa dirinya tinggal/menghuni di pulau Jawa sudah 9000 tahun di saat bertemu dengan Syeh Subakir utusan dari Negari Rum. Dari sumber lain, pertemuan itu bisa dikisaran tahun 1400 Masehi. Artinya Semar menempati pulau Jawa itu ya sekitar 7600 tahun. Tapi sejak kapan ia dilahirkan?

Sebuah catatan lain menyebutkan bahwa Atlantis, sebuah negeri kepulauan yang begitu maju kehidupannya dan modern pernah ada. Dan itu berakhir sekitar 9000 tahun sebelum masa Plato, sedangkan Plato dikisaran 400 SM. Artinya Atlantis itu keberadaanya di atas 9000 SM. Dalam catatan itu pula disebutkan sebab alamiah yang menenggelamkan Atlantias, yakni Tsunami (Atlantik). Cerita ini bila disinkronkan dengan catatan lain dari Sejarah Kawitane Wong Jawa lan Konung menggambarkan sekitar 9000 tahun sebelum kedatangan Kin Sheng Dhang (dari Sampit- gelombang eksodus Hainan), berarti dikisaran 9230 SM menggambarkan adanya letusan Gunung Lawu yang mengakibatkan Jawa terbagi menjadi tiga kepulauan besar, Kendheng Utara,Selatan dan pulau satunya (Jawa). Dua catatan yang satu dari Yunani dan Jawa nampaknya ada kemiripan dalam soal mengenai bencana. Ini dalam sejarah arkeologis masuk pada zaman Mesolitikum di mana manusianya hidup di gua dan berburu. Dari sisi geologis, zaman ini termasuk zaman Holosen setelah berakhirnya masa Divilium (masa Es).

 

Kembali ke Semar, jadi seperti diungkap dalam Serat Jangka Syeh Subakir dan Serat Jangka Tanah Jawi, Semar sebelum berdiam di gunung Tidar tinggal di Merbabu dan setelah itu tidak mengetahui perkembanga masyarakatnya. Bisa jadi dia ke situ mengungsi untuk menghindari peristiwa mencairnya es, di akhri zaman Divilium. Tahu-tahu kemudian sudah terjadi perubahan besar, dimana pulau Jawa sudah dikuasai oleh bangsa demit. Bisa jadi juga, Semar adalah salah satu bagian dari masayrakat Atlantsi yang digambarkan oleh Plato tadi, karena dilihat dari beberapa catatan di atas.

Bila, khayalan ini disinkronkan dengan silislah dari Babad Demak Pesisiran, Batara Guru itu urutan ke-6 (Semar merupakan saduaranya, dari sumber lain) dari Nabi Sis (ini disebut silsilah sisi kiri), sedangkan sisi kanan pada urutan yang sama adalah Sultan Barad kemudian Nabi Idris (ke-7). Artinya Semar hidup sezaman zaman ayahnya Nabi Idris (ini jika urutan umur dalam silsilah persis loh ya...). Atau sekitar itu lah. Atlantis dengan demikian ada di zaman Nabi Idris ini. Bukankah gambaran umat Nabi Idris sudah makmur, maju? Dengan perkembangan ilmu pengetahuan? Namun kemudian diturunkan masa-masa paceklik dan penderitaan. Berangsur-angsur memburuk.

Jika semar bisa demikian panjang umur saat bertemu Syeh Subakir, maka apakah dia manusia abadi?

Daripada menerka-nerka itu, lebih baik anda menonton Film Highlander saja, pertempurannya seru dan memunculkan hanya satu pemenang dan dia menjadi manusia kesepian.

Masa Gelap Pulau Jawa

Memang susah untuk mengetahui keadaan, asal usul atau gambaran kondisi sebuah masyarakat nun jauh ke masa lalu. Semakin jauh masa itu, semakin gelap gambarannya. Namun, upaya-upaya ahli sejarah dan lainnya untuk menguaknya patut dihargai. Paling tidak ada sedikit gambaran yang mungkin bisa kita lihat, meski tidak sepenuhnya benar satus persen.

Beberapa naskah yang beredar mencoba menggambarkan hal itu. Seperti dalam Serat Jangka Syeh Subakir.

“Sampun sangang ewu warsa, inggih wonten pulo ngriki, dedukuh ing hardi Tidar, saweg antuk sewu warsi, langkung taun puniki, Sech Bakir gawok angrungu, dika niku wong napa, napa ta ayekti janmi, umur dika dene ta kaliwat-liwat”

“Sudah 9000 tahun, ya (saya Semar) sudah ada di pulau ini (Jawa), di pedusunan di Gunung Tidar, tapi baru 1000 tahun berjalan, di sini, Sech Subakir heran mendengarnya, engkau ini makhluk apa, apa benar manusia? Kok usianya luar biasa?”

Demikian perkenalan Semar dengan Syech Subakir. Selama ribuan tahun itu Semar bertapa di Gunung Merbabu dan tidak mengetahui keadaan manusia di Jawa. Gambaran tentang kondisi Pulau Jawa juga digambarkan dalam Serat tersebut penuh dihuni oleh demit, jin, gendruwo bekasaan dan sejenisnya. Bahkan beberapa utusan dari negeri Rum sebelum Syeh Subakir dimakan demit (Binadog demit). Dari serat ini, ditegaskan bahwa Raja Rum mendapat petunjuk untuk mengisi pulau Jawa : “jeng Sultan Rum kang winarni, angsal sasmitaning Sukma, dinawuhan angiseni, manungsa pilo Jawi,...”

Syeh subakir mengambil orang-orang Keling (?) untuk dibawa mengisi pulau Jawa, sebanyak 2 laksa (20000) keluarga. Dari serat ini, maka yang mengisi (menjadi penghuni P. Jawa) adalah dari bangsa Keling yang dibawa oleh Syeh Subakir. Padahal dalam naskah itu pula, Semar adalah manusia.

“Sang Hyang Semar lon wuwusnya, gih sumangga karsa Aji, sajatine gih kawula, lan kiraka tiyang Jawi, ing kina prapteng mangkin, kawak daplak inggih ulun, wong Jawa kuna mula, saderenga dika prapti, kula manggen Marbabu pucak haldaka”.

Namun, selama bertapa ribuan tahun itu pula pulau Jawa sudah berubah isinya, bukan manusia seperti Semar, tetapi sudah dikuasai oleh para demit.

Dalam SERAT JANGKA TANAH JAWI gambarannya tidak beda jauh dengan serat Jangak Syeh Subakir, yaitu pertemuan antara Semar dengan Syeh Subakir ketika memberi tumbal (mengusir) para dedemit yang menguasai tanah Jawa. Dalam serat ini ada dialog yang sebenarnya adalah bantahan anggapan bahwa tanah Jawa belum dihuni oleh manusia, hanya oleh bangsa jin dan demit.

“Syekh Bakir lon angandika, sayrkti ing tanah Jawi, pan durung ana manungsa, pan isih rupa wanadri, Hyang Semar matur aris, kawula sajatosipun, ing kina makina, saderenging tuwan prapti, hamba kalih dhedhukuh Rebabu arga”

Syeh Subakir berkata, sebenarnya di tanah Jawa, belum ada manusia, masih berupa hutan. Hyang Semar menjawab dengan lembut, hamba ini sebenarnya, di masa lalu, sebelum kedatangan tuan, hamba berdua (Semar dan Togog) ini penghuni Jawa yang bertempat di gunung Merbabu”.

Namun, dalam serat ini Semar sendiri menjelaskan bahwa dia bukan manusia, tetapi keturunan dewa, Sang Yang Tunggal atau Manikmaya. Agak sedikit berbeda memang dengan serat Jangka Syeh Subakir. Namun pada intinya bahwa Semar dan Togog di masa lalu adalah penghuni pulau Jawa. Apakah hanya mereka berdua? Tentu ini bisa disinkronkan dengan sumber-sumber lain misalnya Babad Demak Pesisiran yang menerangkan silsilah orang tua Syang Hyang Tunggal adalah Sang Yang Wenang, putra dari Sang Yang Wening, putra dari Sang Yang Nurasa, putra dari Sang Yang Nurcahyo atau Sayid Anwar, putra dari Nabi Sis. (dalam versi lain, Sang Yang Wening dan Wenang adalah satu pribadi). Dalam Serat Jangka Tanah Jawi, Semar adalah keturunan dari Nabi Sis (jika digabungkan Babad Demak Pesisiran, karena anak dari Sang Yang Tunggal). Namun, dalam Babad Demak Pesisiran, nama Semar tidak muncul sebagai anak Sang Yang Tunggal. Di sinilah letak gelapnya lagi, Semar di satu sisi mengaku anak Sang Yang Tunggal, namun dalam babad Demak Pesisiran, tidak masuk. Demikian pula dalam Babad Tanah Jawa, Semar dan Togog itu menjadi “penderek” Raden Palasara yang merupakan keturunan dari Sayid Anwar. Dalam babad Tanah Jawa, Palasara merupakan cikal bakal leluhur Jawa, dimana kemudian, Kurawa, Pandawa adalah bagian dari keturunannya (ini menjadi terbalik, bahwa kisah mahabarata itu mulanya dari Jawa).

Dalam serat Babad Demak Pesisiran, Nabi Ibrahim itu berbeda dengan Bathara Brhama. Nabi Ibrahim berada pada garis silsilah Sayid Anwas (saudara Sayid Anwar). Batara Brahma adalah keturunan dari Sayid Anwar.

Masa-masa gelap ini memang memunculkan banyak versi mengenai leluhur Jawa. Buku lain, yaitu SEJARAH KAWITANE WONG JAWA LAN WONG KANUNG menggambarkan : pertama jaman jamajuja (puluhan ribu- buku ini ditulis pada tahun 1931) sudah ada manusia, tetapi masih bertelanjang, seperti kera, hidupnya di gua-gua. Masih dalam masa jamajuja periode 5000 tahun (sebelumnya) manusianya sudah mengalami kemajuan, sudah memakai cawet dari dedaunan, sudah menempati di luar gua. Mereka sudah berkumpul dalam sebuah komunitas. Masyarakat ini disebut dengan masyarakat Lingga (Suku Lingga). Masa kuna (sebelum masehi), orang-orang Sampit berhijrah ke Nusa Kendheng yang kemudian disebut sebagai orang Jawa. Kata Jawa sendiri dirujukkan pada sebutan Bantheng yang “gemati” penuh perhatian terhadap anaknya. Sebab bantheng perempuan disebut Jawi, yang “gemati” kemudian disebut Jawa. Orang-orang Sampit yang mengungsi ke Jawa ini kemudian membuat pertanda awal sebagai orang Jawa, yaitu 230 tahun sebelum masehi (bukan saka). Tahun itu disebut tahun Hwuning (pengingat). Tokoh pimpinan rombongan eksodus ini namanya Khi Seng Dhang, yang kelak kemudian disebut Dhang Hyang (Danyang). Mereka berasal dari Sampit yang keturunan dari suku Hainan. Dari catatan ini, maka orang Jawa (dalam pengertian) pendatang baru yang “gemati”, mau menghormati orang Lingga adalah 230 SM. Namun penduduk Jawa asli, Suku Lingga kemudian bercampur dan kelak memenuhi Jawa.

Dengan demikian, catat buku ini menyebut mulainya peradaban Jawa itu 230SM, karena adanya kebudayaan Hainan yang dibawa, sementara suku Lingga yang masih tertinggal, hidup di gua, hutan dan bergantung pada alam, belum disebut sebagai orang Jawa. Ini tentu berbeda dengan versi Serat Jangka Syeh Subakir dan Serat Jangka Tanah Jawi. Jika kita lihat kedatangan Syeh Subakir di tanah Jawa dari sumber lain, sekitar tahun 1404. Jika berasumsi bahwa sebelum tahun itu tanah Jawa tak ada manusianya, maka akan muncul banyak persoalan, bagaimana dengan kerajaan Singasari, Kediri dan lainnya yang sebelumnya ada? Tentu membaca SERAT JANGKA SYEH SUBAKIR dan SERAT JANGKA TANAH JAWAI ini tidak bisa seleterlek ini. Mungkin butuh analisis simbol, semiotik, hermeneutik dan lain sebagainya agar mendapat pemahaman yang lebih luas. Sebab SERAT JANGKA itu pesan besarnya adalah mengenai “prediksi” masa depan Jawa dalam periodisasi tertentu, bukan membahas asal usul bangsa Jawa.

So, masih terbuka lebar untuk penilitan yang lebih jauh dan mendalam siapa sebenarnya leluhur orang Jawa di masa lampau sekali. Tentu tidak akan ditemukan jawaban tunggal, sebab sebuah masyarakat terdiri dari berbagai unsur, keluarga dan sebagainya, maka akan dimungkinkan banyak versi.

Kembali lagi, bahwa kata Jawa itu bisa diartikan “gemati”, perhatian, menghargai, menyayangi. Jadi siapapun mereka bisa melakukan itu semua di pulau Jawa ini, akan menjadi leluhur Jawa, entah dia dari belahan dunia manapun.

Salam Rahayu.....

*) Catatan : Keling, dalam wikipedia adalah daerah yang sekarang bernama India (benua Keling), seperti tercantum dalam sejarah melayu.Pada masa iniperkataan ini kebiasaannya merujuk kepada suku bangsa Dravida termasuk kaum TamilTelugu dan Malayalam. Di kawasan yang dulunya Kalinga, penduduknya pada hari ini bertutur dalam bahasa Bahasa Telugu dan Bahasa Oriya.

Kisah Si Jarum Suntik

Jarum suntik, terbungkus rapat, tersegel, kedap udara dan steril dan berjajar rapi di etalase apotik. Nun jauh di tempat lain, di tong sampah dekat rumah sakit, bertumpuk jarum suntik yang kotor, tak utuh dan berkuman. Bekas.

Bagi penjaga apotik atau penjual jarum suntik, bertemu yang ada di tong sampah tersebut bukanlah hal yang menarik hatinya. Sebab baginya adalah bagaimana yang ada di etalase harus terjual. Standar bersih dan sehat adalah motonya dalam menjual. Sebaliknya bagi pemulung, yang ada di tong sampah adalah rezeki, yang dicari untuk dijual. Jarum suntik menjadi sebab mendapatkan uang.

Kita sering berposisi sebagai penjaga apotik dalam memperlakukan orang. Menilai orang lain tak berguna, berbahaya dan kotor. Namun, seringkali kita juga bersikap layaknya pemulung, menilai orang hanya karena dia mendatangkan rezeki, tak peduli. Itu wajar, karena sudut pandang dan kepentingan berbeda yang dijadikan dasarnya.

Seorang Ayah/Suami adalah tiang keluarga, pemimpin, teladan. Pokoknya pahlawan bagi istri dan anak-anaknya. Tetapi di luar, ia kadang hanyi jadi pendengar atau penonton saat kongkow di warung kopi. Atau hanya jadi bahan guyonan saat berkumpul dengan teman-temannya. Tak ada pahlawan di luar rumahnya.

Namun, jauh di atas itu semua, kita perlu mencoba untuk melihat pada penjaga apotik atau pemulung, bukan mengambil cara pandang mereka. Anda mungkin akan seperti orang yang phobia pada jarum suntik, jangankan disuntik, melihat saja sudah risih. Bahkan dihadapan dokter spesialispun berani menolak untuk disuntik. Atau anda begitu bergantunya pada jarum suntik, sehingga dihadapan mantri anda berani memaksanya menggunakan jarum suntik.

Saya yakin, tidak semua dari kita adalah suka disuntik. Tetapi saya juga yakin, sebagiannya adalah sangat ahli menyuntik.

Sang Kiai

CATATAN DARI “SANG KIAI”

Sore ini, aku mengajak anak istriku menonon sebuah film, yakni Sang Kiai. Ada beberapa catatan yang bisa kubagikan, meski saya yakin seyakin-yakinnya anda akan mempunyai pandangan dan catatan tersendiri atasnya.

Sungguh, sejak awal film diputar, rasa dalam dada ini sudah bergolak. Sang sutradara mampu mengajakku untuk menonton dengan perasaan. Air mata tak bisa kubendung (cengeng kali saya). Bagaimana serdadu Jepang dengan pongahnya “menyerbu” Tebuireng. Dengan sigap sosok, ayahanda Cecep Karim Hasyim dengan sontak naik ke lantai dua, dengan membawa bendera merah putih melawan sikap arogan serdadu-serdadu itu. Tak berhenti sampai di situ, bahkan sepanjang film, andai saja anakku bisa tidur nyenyak, mungkin aku leluasa mengucurkan air mata begitu nikmat rasanya. Bahkan istriku yang baru mengenal NU melaluiku, tak kuasa haru dan terhanyut dalam cerita.

Sang sutradara begitu teliti, berusaha menggambarkan detail peristiwa. Salah satu episode di Jembatan Merah menghadang Mallaby, benar-benar di Jembatan itu. Kulihat ada dua truk Brimob yang aku yakin waktu shooting menutup jalan kembang Jepun. Lokasi penjara Kalisosok, desa Teburireng dengan sungainya juga demikian. Bahkan tindak-tanduk Kiai, sampai cara wudlunya kulihat begitu diperhatikan oleh Sutradara. Dus secara keseluruhan, ku menangkap sosok yang begitu lengkap, baik konteks dan tuturnya.

Apalagi, ini yang membuatku tertarik selama menonton. Kisah mispersepsi yang menimbulkan kontroversi antara Kiai dan Harun (santrinya) yang sebelumnya begitu dekat, sejalan, namun Harun memilih jalan berbeda ketika mempersepsikan Kiai telah tunduk pada Jepang. Toah diujung cerita, Harun dengan beraninya (mungkin nekatnya) menembak Wallaby, bisa jadi ini sebagai bentuk menebus rasa berdosa atas kesalahpersepsiannya terhadap sikap Kiai.Sedari dulu, sikap kontroversi atas sikap Kiai sudah jamak lumrah. Namun Kiai selalu bilang, “apa aku harus ceritakan semua yang kupikirkan?”

Di penghujungnya, utusan Jendral Sudirman memohon Kiai untuk melakukan hal sama, mengeluarkan Resolusi Jihad, ketika Belanda masuk lagi (agresi tah 1947). Namun Allah berkehendak lain, di saat mengucap “Masya Allah...Astaghfirullah” dalam posisi duduknya mereaksi laporan kebrutalan Belanda yang sudah sampai Malang mendekati Surabaya, beliau dipanggilNYA. Jadi saya kepikiran, apa yang terjadi kira-kira saat itu (agresi Belanda) resolusi itu keluar lagi?  Hanya Allah yang mengetahuinya.

Bukan tugas kita untuk menduga-duga atau mencoba cari tahu jawabnya. Yang penting, bagaimana nasib bangsa kita ini selanjutnya di tangan kita.

 

 

 

 

 

 

ANTARA KH. HASYIM ASY’ARI DAN SYEIKH M.SA’ID R AL BOUTHY

Rasanya kok eman, kurang menggigit jika nanti nonton film Sang Kiai hanya karena merasa orang NU. Atau adanya ikatan-ikatan emosional berlandaskan amaliyah ziarah, tahlilan atau hizib Falah. Jika begitu, bisa jadi nanti keluar dari gedung bioskop, diriku membusungkan dada tanpa makna apapun yang dibawa.

“Bung Karno menitipkan pesan kepada Kiai, apakah hukumnya membela tanah air, bukan membela Allah”. Kemudian, Sang Kiai menjawab : “Hukum membela negara dan melawan penjajah adalah fardlu 'ain".‘Cuplikan diialog dalam trailer tersebut adalah inti dari film keseluruhan, menurutku. Bahwa kemudian, lahir resoulis jihad, perang 10 Nopember, dan kematian jendral Sekutu (Inggris). Kiai Hasyim Asy’arie dengan demikian dapat dikatakan sebagai salah satu tokoh NKRI dalam mempertahankan kedaulatannya, kemerdekaan yang baru diproklamirkan. Pada perang itulah, Sekutu mengalami kekahalan yang cukup tragis. Film ini menggambarkan bahwa peran Kiai demikian luas, tidak hanya urusan domestik, tetapi sudah menjadi gerakan melawan kekuatan global.

Apakah, itu semua karena Bung Karno orang NU? Atau karena pernah mondok dan menjadi santri Sang Kiai? Bukan. Bahwa melawan penjajah, membela negara adalah urusan warga terhadap negaranya.

Mungkin sejarah inilah yang menjadi inspirasi yang pada akhirnya menjadikan Syeih M Said Ramadhan Al Bouthy menjadi korban. Bagaimana kekuatan fatwa Kiai, tokoh agama mempunyai efek luar biasa menggerakkan massa. Apakah Bashar Assad santri Syeh Said? Apakah Syeh Said seorang syiah? Bukan urusan itu. Tetapi mempertahankan kedaulatan Suriah, mempertahankan kedamaian yang selama ini ada adalah sebuah Jihad.

Sungguh bersyukur, film Sang Kiai ini dihadirkan untuk bangsa Indonesia secara keseluruhan. Bukan hanya untuk kalangan NU atau santri. Bahwa kesadaran membela negara kewajiban siapa saja yang menjadi warganya.

Tapi tunggu dulu, jangan senang dulu, jika nanti ada yang mengusiknya. Ada yang menyudutkan Sang Kiai, karena jihad yang digelorakan beliau tidak dilabeli agama, tidak demi membela Allah, tetapi membela negara (yang dipersepsikan sebagai Toghut). Dulu, masalah ini mungkin biasa-biasa saja, tetapi kelak, ini bisa menjadi kontroversi. Sebab membela negara (disebut) tak ada urusannya dengan tauhid, apalagi memurnikannya serta membela negara bukan urusan menegakkan syariah Islam.

Sebelum itu terjadi, mari, saya dan anda untuk menyaksikan film tersebut nikmati, resapi semoga anda mendapat bekal untuk membentengi diri dalam hal kontroversi di masa mendatang.