Dialog Yudistira dengan Dewa Kematian

Para putra Pandu merasakan capek dan haus, setelah mengejar menjangan yang membawa pedupaan seorang Brahmana. Nakula kemudian melihat sebuah telaga di kejauhan. Pergilah ia kesana. Saat itu adalah memasuki tahun ke-12 masa pengasingan mereka setelah kalah berjudi. Di saat hendak meminum air telaga, terdengar suara”hai putra Madrim, jawab dulu pertanyaanku. Setelah itu puaskan dahagamu”. Nakula tak menghiraukan suara itu, segera meminum air telaga. Kejadian berikutnya ia tekapar tak berdaya. Tak sadarkan diri. Mati.

Kejadian yang sama terjadi kepada Sahadewa, Arjuna dan Bimasena. Saat Yudistira mendengar suara gaib itu, dia bersanggup menjawab sebelum meminum air telaga. Banyak pertanyaan yang diajukan kepadanya, antara lain :

“Apa yang dapat menolong manusia dari marabahaya?” dijawab :”keberanian”

“Ilmu apa yang membuat manusia bijaksana?” dijawab :”Orang menjadi bijaksana karena bergaul dan berkumpul dengan para cendekiawan besar.”

“Apa yang lebih mulia dan lebih menghidupi manusia daripada bumi ini?” Dijawab : “Ibu, yang melahirkan dan membesarkan anak-anaknya”.

“Apa yang lebih kencang dari angin?” dijawab : “Pikiran.”

“Apa yang lebih berbahaya dari jerami kering di musim panas?” dijawab :  “Hati yang menderita duka nestapa.”

“Apa yang menjadi teman seorang pengembara?” dijawab : “Kemauan belajar”.

“Siapakah yang menemani manusia dalam kematian?” dijawab : “Dharma”.

“Apakah itu, jika orang meninggalkannya ia dicintai oleh sesamanya?” dijawab :“Keangkuhan”

“Kehilangan apakah yang menyebabkan orang bahagia dan tidak sedih?” dijawab :”Amarah”.

“Apakah itu, jika orang membuangnya jauh-jauh, ia menjadi kaya?” dijawab :“Hawa nafsu”.

“Keajaiban apakah yang terbesar di dunia ini?” dijawab : “Setiap orang mampu melihat orang lain pergi menghadap Batara Yama, namun mereka yang masih hidup terus berusaha untuk hidup lebih lama lagi. Itulah keajaiban terbesar.”

dikutip dari : Mahabarat oleh Nyoman S. Pandit

Hidup Bukan Perjudian

Keberhasilan pendidikan Pandawa melalui guru Drona dan lainnya, telah mengantarkan pada kejayaan di saat membangun Indraprasta. Demikian pula kekompakan, satu rasa, setelah ditinggal Pandu dan Madrim. Bahkan Drupadipun diperistri berlima. Keberhasilan mengelola wilayah kecil dan berkembang menjadi kerajaan makmur membuat iri hati Duryudhana. Iri yang kuat melahikran hasud. Duryudana tak rela jika Hastinapura kalah oleh Indraprasta.

Namun, ujian yang demikian berat justru hadir di saat kejayaan muncul. Duryudana melalui Sakuni menantang dadu/judi dengan Yudistira. Itulah hoby Yudistira yang tak pernah hilang, meski sudah mendapatkan ilmu dan kejayaan. Kekalahan oleh Sakuni, Yudistira mempertaurhkan harta, tentara, kerjaan, saudara dan tragisnya istrinya, Drupadi juga dipertarukan. Sampai-sampai tinggal selembar penutup aurat yang tersisa. Tapi tidak untuk Drupadi, ternyata tidak bisa ditelanjangi pakaiannya.

Kekalahan judi ronde pertama, tidak juga menyadarkan Yudistira. Distrarasta telah meminta untuk dikembalikan milik Pandawa. Tantangan kedua, berbeda. Taruhannya adalah siapapun yang kalah harus hidup terasing dan menderita selama 13 tahun. Maka, lagi-lagi Pandawa kalah.

Hidup sengsara dalam pengasingan rupanya benar-benar membentuk kesadaran Pandawa untuk memperbaiki diri. Pendidikan pada penglaman hidup, kehidupan terasing justru semakin memperkuat ilmu yang diperoleh jauh sebelumnya. Kelak, hasil gemblengan kehidupan inilah yang mengantarkan Pandawa memenangkan perang Kuru Setra.....

Masihkah Yudistira bermain judi? Maka Baratayuda bukanlah perjudian ...

Isra' Mi'raj : Nobel Perdamaian Sejati

Banyak sudah tokoh dari berbagai belahan dunia mendapatkan hadiah nobel perdamaian. Banyak juga karya atau prestasi yang menjadi pertimbangan untuk pemberian hadiah tersebut. Namun siapa sesungguhnya peraih nobel perdamaian sejati itu?

Menurut saya, momentum Isra’ Mi’raj adalah hadiah perdamaian tertinggi, yang berlaku bagi seluruh alam semesta. Bagaimana tidak, perintah shalat adalah puncak pengabdian manusia dalam kehidupan di alam semesta ini. Shalat tidak sekedar ritual yang melatih kekhusyu’an pribadi semata, tetapi jauh dari itu, adalah menebarkan kedamaian di alam semesta.

Salam ke arah kanan, salam ke arah kiri sebagai akhir ritus shalat mengajarkan bahwa shalat ditujukan dalam rangka menciptakan rahmat bagi alam semesta, keselamatan dan kedamaian di dalamnya.

Dengan demikian, mereka yang sudah benar-benar menegakkan shalat adalah para peraih nobel perdamaian sejati.

Maka, tetap carilah isi dalam bungkusnya.

Bulan Ruwah

Saya menduga nama Ruwah untuk bulan Sya’ban bagi orang Jawa berasal dari kata Arwah (para ruh-yang sering dirujukkan kepada mereka yang sudah meninggal). Penamaan bulan dalam kalender Hijriyah dalam lisan Jawa, nampaknya tidak semuanya menyerap nama asal arabnya. Bulan poso dan ruwah bisa dijadikan contoh. Mengapa orang Jawa menyebut demikian? Saya sedikit berhipotesa, sebab saya temukan ada tradisi di banyak desa yang mentradisikan penghurmatan arwah dilakukan secara massal pada bulan tersebut. Menjadi wajar kemudian, bulan ini diberi nama Ruwah (Arwah), karena di dalam bulan itu masyarakat mempunyai hajat bersama untuk menghurmati para arwah leluhur atau keraba mereka (yang sudah meninggal dunia).

Pertanyaannya kemudian, mengapa tidak pada bulan lain? Bahwa ada sebuah do’a yang sering dilantunkan saat memasuki bulan Rajab, “Allahumma baarik lanaa fii rajaban wa sya’banan wa ballighna ramadhana”. Dalam do’a tersebut ada 3 bulan dalam satu rangkaian. Pada bulan Rajab, masyarakat diajarkan untuk banyak melakukan ibadah, lebih-lebih puasa sunnah. Ini juga ditujukan dalam rangka mempersiapkan diri menyambut Ramadhan. Bukankan ujung do’a tersebut adalah sampainya kesempatan beribadah di bulan Ramadhan? Ibaratnya, pada bulan Rajab manusia diajarkan melatih diri segi fisik dan jiwa/spirit yang ujungnya adalah berjihad di bulan Ramadhan.

Nah, lantas apa berkah dalam bulan Sya’ban kemudian? Para leluhur kita dulu mengajarkan untuk tidak lupa bahwa amal kita yang bisa dilakukan saat ini, bagaimanapun adalah kelanjutan dan ada keterkaitan dengan orang tua atau kerabat atau saudara kita, meski itu sudah meninggalkan dunia. Membangun ketersambungan amal (jariyah) semacam ini menjadi penting jika dilhat dari keberkahan 3 bulan yang disebut. Jadi, persiapan diri dan restu atau kesadaran akan perjuangan leluhur menjadi bekal lebih besar dalam menjalankan ibadah Ramadhan. Harapannya tentu ibadah Ramadhan bisa terlaksana dengan baik dan membawa dampak bagi kehidupan.

Namun dalam prakteknya tradisi menghurmat arwah ini kemudian ditempatkan pada penghujung akhir dan biasa disebut megengan. Sebuah tradisi menyambut Ramadhan dengan tetap mengingat leluhur. Ini tentu menjadi cermin yang sangat berguna. Jika orang tua dulu mampu menjalankan ibadah Ramadhan dengan capaian katakanlah tingkat 5, maka untuk kita bisa ditingkatkan lebih dari itu. Paling tidak jangan jauh-jauh kisarannya. Demikianlah salah satu nasehat yang disampaikan melalui tradisi megengan atau hurmat arwah.

Bagi anda yang mempunyai tradisi hurmat arwah dengan ziarah ya silakan. Cukup dengan tahlilan ya monggo. Melalui sedekah yang ditujukan untuk leluhur yang silakan. Atau sekedar memperbanyak doa habis shalat yang monggo. Atau apalagi yang biasa anda lakukan. Lagi-lagi, jangan membuang isi, hanya karena tidak suka bungkusnya.

Wallahu ‘alamu bishshowab