NU DAN SIKLUS COBAAN SUKSESI DI INDONESIA

Menurut saya, akan sering terulang pola hubungan antara NU dengan suksesi dan cobaannya. Saya akan memulainya pada awal pendirian. Sebelum NU berdiri ada upaya-upaya dari kalangan umat Islam untuk mewujudkan persatuan, meski disadari adanya perbedaan. Hal ini berkaitan dengan suksesi kekhilfahan di jaziah arab. Awalnya NU mempunyai peran signifikan dalam upaya itu, katakanlan dalam Kongres Umat Islam. Namun di saat suksesi, para kyai ditinggalkan, bahkan kemudian dinafikan perannya. Maka muncullah protes dari kyai negeri Jawa yang berujung pada lahirnya NU. Pola mirip seperti ini kemudian berulang pada periode-periode NU selanjutnya.

 
Pun demikian, di saat agresi NICA ke Indonesia. Resolusi Jihad dikumandangkan. Bahkan rumitnya penerimaan Pancasial sebagai dasar negara hampir tidak bisa, dan Indonesia terancam bubar dengan seumuran sayur sawi (masih mending jagung kayaknya). Setelah itu? NU ya dibiarkan hidup dengan habitatnya sendiri.
 
Saat agresi belanda berikutnya, perang mempertahankan kemerdekaan. Para santri bertempur bersama tentara, sehingga banyak santri menjadi korban. Tapi toh sejarah tetap menempatkan TNI semata sebagai pahlawannya.
 
Ketika pemilu tahun 1955 kekuatan NU demikian kuat, bahkan bersatu kembali dengan elemen muslim lainnya, seperti awal ketika mau berdiri. Lagi-lagi NU ditinggal gelanggang. Tetap sabar saja NU, sampai pada suksesi ’65, dimana negara mendapat ancaman sangat serius, komunisme, NU harus berhadap-hadapan. Eh, sekarang malah dituding sebagai tukang jagal.
 
Kemudian, masuklah era pembangunan. Apa yang diperoleh NU? Ya cobaan lagi. NU dipinggirkan. Bahkan tokoh2 kritis dari NU “disingkirkan”. Dan derita itu cukup lama sekali, sampai pada akhirnya muncullah Gus Dur yang melakukan perlawanan dan menghimpun kekuatan. Bahkan Soeharto pun sangat menyegani NU.
 
Tahun ’98 suksesi terjadi lagi, dan rakyat berhadap-hadapan. Nah tokoh NU menjadi pendamai. Negara aman. Tidak lama, kenyamanan itu, lagi-lagi cobaan berdatangan.
 
2014 tidak lama lagi, tentu cobaan juga akan menerpa NU. Jika dulu ada Gus Dur yang disegani baik oleh kawan dan lawan, lantas siapa kini? Andai saja pada tahun2 itu NU tidak terseret persolan suksesi, Insa Allah akan menjadi kunci proses suksesi itu sendiri. Lagi-lagi NU bisa menjadi pemeran penting, dan tentu bersiaplah menghadapi cobaan yang biasanya terjadi.....
 
Maka mumpung itu belum terjadi, sikat saja NU ..... atau

Sumpah Pemuda : Kesadaran Bersama

Kebangsaan dibangun atas “kesadaran bersama atas keberbedaan”. Hanya ada satu kesamaan dalam hal ini, yaitu “kesadaran”. Sementara perbedaan demikianlah komplek dan banyak. Apalagi dunia saat ini sudah digoncang revolusi digital, dimana setiap orang bisa mengakses berbagai informasi dan pengetahuan  dari manapun, di manapun dan kapanpun.

Dahulu, para pemuda deklarator Sumpah Pemuda sebelum mendeklarasikan kesatuan kebangsaan, mereka demikian kuat kesadaran akan kesamaan, ada Jong Java, Jong Selebes, Jong Borne dan bermacam-macam. Kesadaran kesamaan itu akhirnya berubah dan berbuah kesadaraan bersama akan keberbedaan, kesadaran bersama itulah yang mereka sebut sebagai Bangsa Indonesia.

Dunia yang semakin menyatu ini mendesak kita untuk menjadi sebuah keluarga, padahal kita hanya saudara. Seperti Naisbit nyatakan, bahwa globalisasi pada akhirnya akan menumbuhkan identitas spasial, seperti tradisi, etnis, kelompok dan sepsifikasi lainnya. Cakra Manggilingan orang menyebutnya, dimana perputaran sejarah itu terjadi, dimana identitas-identitas berbeda tersebut muncul demikian kuat.

Bangsa yang pada era awal abad 20 menjadi identitas yang dibangun atas keberbedaan, kemudian berubah menjadi kesadaran bersatu dalam dunia, maka akhirnya melahirkan keberbedaan kembali, bahkan jauh lebih komplek. Tidak sekedar etnik, tapi seluruh komponen identitas bercampur menjadi satu.

Keberlangsungan Bangsa Indonesia dengan demikian, memasuki babak baru “seperti” sebelum Sumpah Pemuda, kesadaran akan kesamaan. Oleh karena, apakah bangsa Indonesia akan tetap utuh atau tidak sangat bergantung “kesadaran bersama” itu. Sebab keberbedaan sudah jelas adanya.

Pertanyaannya kemudian adalah, “Apakah saya, anda atau mereka saat ini masih sadar?”, Jika sadar, “Apakah mempunyai kesadaran yang sama?” Sebab saat ini banyak ilmu sihir yang jauh lebih canggih yang membuat orang sadar dalam jumlah massiv. Sihir itu bisa melupakan orang-orang, dimana ia sedang berada. Tragisnya, Sihir itu tidak dianggap sihir........

Wallahu ‘Alamu Bishshowab

 

 

Menyambut Harlah Warkop dan Sumpah Pemuda

Mimpi Menjadi Pintar

Dulu waktu kuliah, aku punya kebiasaan yang buruk dan aneh. Setiap mau tidur, biasanya aku selipkan buku di bawah bantal, dan berdoa dengan harapan agar dengan begitu aku bisa menguasai isi buku tersebut. Kadang, malah buku itu sendiri jadi bantal. Itu semua dampak dari kekagumanku pada seorang pemuda syiah.

Sekitar tahun 93-an, saya bersama teman2 PMII Purwokerto diajak oleh seorang Tokoh agama merintis Islamic Centre. Di sebuah diskusi, di tengah keasyikan narsumber menjelaskan soal faham syiah, tiba-tiba dengan lantang seorang pemuda berusia 27th protes dengan narasumber. Dia berdebat dan berargumen. Dengan fasih dia menyampaikan berbagai dalil, al qur’an, hadis demikian lancar sekali, bahkan referensi kitab klasik, nglonthok. Memang tidak terjadi keributan atau antem2an sama sekali. Dia akhirnya meminta untuk dipertemukan dengan narasumber yang lebih hebat. Pada pertemuan berikutnya itulah dia mengaku kalah hujjah dan akhirnya mempersilakan untuk dilanjutkan IC nya tanpa keikutsertaan dia.

Kami sempat mendekatinya, bagaimana dia yang masih begitu muda demikian luar biasa. Menurut pengakuannya, dia baru mengenal Islam 3 tahun. Belajar serius 2 tahun. Wow.... kok bisa? Itu pertanyaan kami. Dengan desakan lemah lembut, akhirnya dia mengakui bahwa selama 2 tahun dia mendapat pendidikan khusus di Iran, semacam pengisian, dari nol sampai menguasai dan menghafal al quran beserta artinya. Semua ilmu itu dia peroleh selama 2 tahun.

Aku jadi pengen seperti dia. Dia sempat menawari saya bergabung, bahkan saya diajak dalam pertemuan mereka, waktu itu pas kebetulan ada tokoh syiah dari Solo. Saya sempat datang ke mereka, tapi saya tidak mau mengikuti, cukup melihat saja.

Kucari-cari kyai yang bisa mengajariku seperti itu. Bahkan ke dukunpun aku kejar. Semua tak ada yang mampu. Angkat tangan. Untuk pelampiasannya, maka itulah cara yang kutempuh. Memasukkan buku di bawah bantal supaya pintar. Namun apa lacur, dalam sebuah tidur malam, sebuah suara keras membentakku...... "Lrrrrre... kui ngunu ngimpi.....”. Terkejut, aku terbangun..... dan sayup2 kuingat lagu Ebiet g Ade....”Mimpi..di atas mimpi......”

 

 

 

 

Suluk Galaw

Kekasih,
Semakin rasa ini mendekat
Semakin sempit mulut ini berucap
Kuhanya berharap tuk melihat,
Engkau

Kekasih,
Demikian banyak macam hajat
Demikian sedikit rupa yang kuingat
Kuhanya mampu munculkan hasrat,
Hajat

Duhai,
engkau yang selama ini kuakrabi
dalam suasana suka dan sepi
tiba-tiba lenyap meninggalkan diri,
di mana engkau kini?

Duhai,
engkau yang selama ini kuyakini
dalam jiwa ragu dan asa tinggi
tampak rapuh menyangga diri,
tak kuasakah engkau kini?

Lalu,
Sejenak kurebahkan,
di atas hamparan cakrawala
Sekejap kupejamkan,
dalam gelap tanpa api suci,
Sungguh kosong, tanpa jati diri

Lalu,
Kemana arah yang kutuju?
jika jalanpun  tak kutemu.
Kepada apakah kukembali?
jika pulangpun harus sendiri.

Guru .....
Bimbinglah diriku
Walau dalam mimpi,
Walau Melalui rasa ini,
Walau tanpa hadirmu di sini,
Walau sudah tidak seperti dulu,
Lagi...... Guru.
Sby, 19/10/2012, 20.13

Nyadran

NYADRAN : TRADISI MENGINGAT SAUDARA

Tradisi nyadran, yang biasanya dalam bentuk ziarah ke makam kubur keluarga merupakan adat orang Jawa yang sejak lama berlangsung. Kegiatan ini biasanya juga dilakukan pada bulan Sya’ban (ruwah) menjelang bulan puasa/ramadhan. Ada juga dilaksanakan habis panen sebagai wujud rasa syukur kepada Sang Pencipta.

Sadran yang kemudian mudah diucapkan lisan Jawa menjadi nyadran, jika ditinjau dari bahasa, berasal dari kata Sadra (sadara-sansekerta), berarti saudara, menghormati. Kemudian seiring dengan berjalannya waktu, kata tersebut lebih dispesifikkan dengan kegiatan berziarah. Maka dengan pengertian ini, bisa dipahami bahwa sadra, merupakan saat mengenang saudara atau menghormati para leluhur yang sudah meninggal. Dalam pengertian lain, bahwa sadran berarti membangun persaudaraan atau saling menghormati antar sesawa warga sebuah kampung atau komunitas.

Tradisi nyadran sudah ada sejak zaman purba. Bukan hanya ketika Hindu-Budha masuk, tetapi sudah ada sebelumnya. Karena ini merupakan tradisi orang Jawa dahulu untuk menghormati. Pasang surut pelaksanaannya tentu akan dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah satunya adalah agama yang berkembang dalam masyarakat. Agama Islam misalnya juga turut serta memberi warna dalam pelaksanaan nyadaran tersebut. Kebiasaan menghormati leluhur dan membangun persaudaran tersebut diisi dengan kegiatan do’a kepada para leluhur atau saudara yang sudah meninggal melalui bacaan do’a tahlil. Beberapa daerah melaksanakannya juga tidak seragam, ada juga yang mengirim makanan kepada saudara/tetangga. Jadi tidak melulu mengunjungi makam.

Tradisi ini dapat diterima oleh masyarakat luas, bukan hanya karena agama atau kegiatan di dalamnya, tetapi memang ada titik temu dengan psikologis manusia pada umumnya, dimana ada saat-saat tertentu seseorang itu rindu kepada leluhur atau saudara yang sudah meninggal. Jadi, bagaimanapun ini adalah adat kebiasaan, sebab di belahan dunia lain, ungkapan rindu kepada leluhur dan penghormatan kepada mereka ternyata tidak sama.

Wallahu ‘alam

 

ALLAH PUN AKAN KUBUNUH *)

Kebenaran yang Haq adalah prinsip hidupku dan garis perjuanganku untuk menegakkan  Kekuasaan Allah Yang Haq.

Kebenaran begitu nyata dan terang benderang, layaknya matahari di siang bolong yang terik. Hanya orang-orang buta saja yang menafikan kebenaran. Mereka buta mata hatinya dan jauh dari hidayah.

Kebenaran begitu rinci tertulis dalam ayat-ayat Qur’an yang suci. Tak perlu penafsiran yang njlimet, karena kebenaran sudah menampakkan dirinya sendiri bagi orang-orang yang melihatnya.

Siapapun anda, yang tidak sesuai dengan kebenaran haq tersebut, layaklah untuk disingkirkan, karena hanya kebenaran yang haq lah yang layak hidup dan ditegakkan. Di belahan dunia manapun, kebenaran akan kutegakkan, bahkan dengan aliran darah sekalipun.

Misiku hanya satu : kebenaran tegak di muka bumi. Andai saja ada sebagian belahan bumi yang tidak mengikuti kebenaran tersebut, maka akan kuhancurkan, hingga pada akhirnya seluruhnya mengikuti kebenaran tersebut.

Bahkan jika, muncul perlawanan, yang berbeda, yang tidak mau menerima kebenaran itu, tetap akan aku hancurkan. Sekalipun itu sudah kodrat Allah, kendatipun itu sudah digariskan olehNYA. Jika perlu Allah sendiri akan kubunuh, karena membiarkan itu semua menghalangi kebenaran yang harusnya ditegakkan.

Allahu Akbar ....!!!

*) membayangkan dan berkhayal menjadi pemegang mutlak atas kebenaran

Satrio Piningit

Bersukurlah kita yang hidup di Indonesia (Jawa), dibekali sebuah tradisi tutur tentang adanya sosok Satrio Piningit, yakni tokoh kesatria yang tersembunyi, tak terduga.

Peradaban modern seringkali menyandarkan analisisnya pada angka-angka, hasil survey. Ini kecenderungan yang semakin hari, semakin memaksa masyarakat untuk mempercayainya. Meski dalam metodologi survey sendiri juga menyimpan error dan deviasi, tetapi mereka selalu meyakinkan tidak ada yang salah dalam survey mereka.

Konsep satrio piningit mengajarkan kepada kita, akan si X yang tak terduga atau tak terhitung dalam survey muncul sebagai pemenang dalam kontes pemilihan pemimpin. Kearifan dalam bentuk konsep itu akan menyadarkan kepada kita bahwa apa yang sudah dihitung dengan cermat bisa jadi salah, karena faktor X atau Z.

Pilpres masih 2 tahun lagi, namun nama-nama yang muncul dari survey masih berkisar itu-itu saja. Untuk tidak membuat anda stress, maka konsep satrio piningit dapat anda ajukan, misalnya : Ani Yudhoyono, Yenny Wachid, Gonzales, atau Sule, atau diri anda sendiri. Santai bukan? Tidak perlu gontok-gontokan......

Kasus Tempo : Menyoal NU

Di awal tahun 90-an, saya adalah termasuk mahasiswa yang turut serta demo menolak pembredelan majalah TEMPO, karena memuat persoalan pembelian alat tentara. Begitu gigihnya, hingga harus rela menjadi sasaran target dari aparat intelejen, bahkan harus rela di black list dari daftar penerima beasiswa super semar di kampus.

Itu dulu, TEMPO menjadi media simbol perlawanan terhadap rejim orba yang otoritarian. Dia waktu itu mampu menjadi pilar keempat demokrasi yang memadai. Namun saat ini, acara pembredelan yang sudah tidak ngetrend, TEMPO memuat berita soal algojo 1965, dan fokusnya adalah Anshor dan NU. Jika itu hanya urusan pribadi, "kok kurang ajarnya dirimu dulu yang kubela". Jaman sudah berubah, saya melihat TEMPO bukan sebagai pilar keempat demokrasi, sebab 3 pilar lainnya juga sudah mending berjalan ketimbang dahulu.

Berangkat dari teori umum komunikasi, selalu saja agenda setting yang bisa jadi itu hidden (tersembunyi) atau sudah jamak lumar di ketahui publik. Jika itu agendanya adalah kapitalisme TEMPO sendiri, maka anda bisa mencari berapa jumlah oplahnya saat ini, apakah masih menjanjikan bagi sebuah perusahaan besar? Namun sumber kapital tidak hanya dari itu, banyak pihak tentu berani membayar mahal untuk beberapa halaman, apakah utk kepentingan bisnis, promosi atau bahkan politik.

Pertanyaan berikutnya yang bisa diajukan adalah : Siapa yang akan dapat keuntungan dari isu yang diberitakan? tentu banyak sekali yang bisa dieksplor. Tetapi momentum 2012 adalah dapat dikaitkan dengan suksesi 2014. Apa masih lama? Oh tentu tidak, 2 tahun itu waktu mepet untuk menggelindingkan, menggiring dan menembak ke gawang dan GOL........ maka dengan jatuhnya citra NU, maka peluang untuk menjadi orang nomor 1, diharapkan akan semakin sulit, apalagi jika isu itu kemudian sampai internasional. Maka kesimpulan sederhana adalah umat Islam Indonesia adalah kejam, bahkan melebihi kekejaman teroris selama ini........ So.... perlu diganti dengan Islam yang tidak kejam... yang murni..... kira-kira begitu....

Wallahu 'alamu bishshowab

DERITA KAUM ABANGAN

Siapa kaum abangan itu?

Karl Marx membedakan kelompok masyarakat menjadi kelas atas dan kelas bawah. Kategor tersebut merupakan struktur sosial yang dibedakan berdasarkan ekonomi, kepemilikan atas modal, sebab kontek masyarakat Marx adalah masyarakat industri. Mereka yang berpunya (modal) adalah kaum borjuis sebagai kelas atas, di sisi berseberangan adalah mereka para pekerjanya, buruhnya, kacungnya yang disebut proletar, Dikotomi ini dipandang tidak realistis bagi sebagian ilmuwan. Marx Weber mengajukan alternatif, yaitu trikotomi dimana dia memasukkan kelas menengah (middle class), yaitu mereka bukan pemilik modal tetapi mempunyai tingkat ekonomi di atas para pekerja/buruh. Siapa mereka? Ya seperti para manajer atau mandor di pabrik. Dikotomi atau trikotomi seperti itu relevan pada masyarakat industri, sementara untuk masyarakat agraris kurang relevan. Maka muncullah Clifford Greetz dengan “Religion of Java” yang mengajukan trikotomi, yaitu abangan, santri dan priyayi. Pembedaan ini didasarkan pada kelas yaitu kelas atas priyayi, menengah santri, dan bawah adalah abangan. Kelas bawah berarti ekonominya lemah, santri lebih baik dengan pekerjaan pedagang dan priyayi sebagai bangsawan dan pegawai. Trikotomi tersebut juga memasukkan unsur agama/religi, tradisi dari mereka. Kaum abangan adalah mereka yang masih dominan bertradisi jawa, meski Islam, simbol-simbolnya masih minim. Sedangkan santri adalah mereka yang memiliki simbol2 islam lebih dominan, misalnya ditandai dengan kitab-kitab berbahasa arab, haji, dan pakainnya. Sementara priyayi, adalah Hindu. Pembedaan ini sebenarnya tidak mutlak, masih ada percampuran-percampuran misalnya ada juga priyayi yang beragama Islam. Namun dengan trikotomi ini dengan jelas bahwa kaum Abangan adalah kaum yang lemah, baik dari sisi ekonomi dan agama (muallaf).

Kata abangan, dalam konteks budaya Jawa dapat dirujukkan kepada tahapan manusia yang masih lemah, sebagai bayi “merah”. Populernya masih “pupuk bawang”, seperti bawang merah, belum tahu banyak dan perlu dibimbing. Itulah yang digambarkan oleh Geertz dalam “Religion of Java”nya.

Derita Kaum Abangan

Istilah abangan menjadi populer melalui Geertz, di tahun 60-an. Namun, istilah ini diperkosa oleh komunis menjadi alat propaganda politik adu domba hanya demi meraih kekuasaan. Seperti Marxis lainnya, PKI menempatkan kaum abangan sebagai proletar dan yang layak menjadi musuh bagi mereka adalah borjuis. Namun siapa borju itu? Maka yang paling jelas adalah kaum santri (para pedagang). Dan tentu para kyainya sekalian, karena merekalah yang menjadi tumpuan para kelas menengah tersebut. Sudah lemah ekonomi, kaum abangan diekploitasi untuk memusuhi para santri yang selama ini hidup rukun di desa-desa. Sungguh kejam dengan memanfaatkan kaum abangan menjadi alat politik semata.

Berbeda dari itu, Soekarno mendekati kaum abangan dan mengambil jiwa, spiritnya yang tak kenal menyerah, kuat dalam kemelaratan dan terus berjuang demi kehidupannya dan melahirkan ideologi Marhenisme. Mereka kaum petani (abangan) adalah orang-orang yang setia pada profesinya, meski tidak menjadikan kaya tetapi tetap ditekuni demi mempertahankan hidup dan kehidupannya.

Memasuki era 80-90an, setelah melewati masa pembangunan yang demikian gencar dan cepat, kaum abangan sudah bergeser pengertiannya. Kemakmuran yang sudah mulai banyak, simbol-simbol agama Islam sudah dominan, lagi-lagi kaum abangan menjadi sasaran tembak dari sekelompok orang, dicap sebagai kaum kafir, kaum sesat. Di sini kaum abangan menjadi musuh dari Islam, berbeda dengan PKI yang menjadikannya alat.

Sosok Gus Dur, seperti Soekarno berusaha menempatkan kaum abangan tidak didefinisikan sebagai alat atau musuh politik, tetapi abangan sebagai kaum marginal, baik dari sisi ekonomi dan agama (seperti yang dilakukan oleh Geertz pada mulanya). Kaum minoritas menjadi kaum yang sering dibela oleh Gus Dur, meski dia harus berhadapan dengan rezim orde baru ataupun dari kalangan Islam sendiri. Gus Dur juga berusaha menciptakan idiom baru, Kyai Kampung sebagai representasi kaum santri yang peduli kepada kaum abangan. Bagaimanapun mereka yang masih lemah dan kurang sempurna keislamannya perlu didorong untuk mencapai kesempurnaan, dan itu akan berhasil jika tidak menjadikannya mereka musuh yang harus dihancurkan.

Apakah memang demikian nasib kaum abangan, yang sudah jelas-jelas lemah hanya dijadikan alat politik dan amunisi permusuhan? Layakkah sebuah kefakiran, kemiskinan dijadikan pembenar bagi kita untuk memberi cap kepada mereka kafir dan harus masuk neraka? Sungguh malang benar nasib kaum abangan, dibantu tidak, tetapi hanya “dipisuh-pisuhi” belaka. Apa mungkin mereka akan hormat dan mengikuti jalan mereka yang membenci dan memisuhinya???

GUS DUR dan MBAH HASYIM


Perilaku Gus Dur selama ini bisa menjadi bahan kajian menarik dan penuh interpretatif, baik dari sisi pandangan ilmu sosial, kacamata infotaintment maupun dalam khazanah perklenikan. Salah satu perilaku yang menarik itu adalah kebiasaan Gus Dur “menemui Mbah Hasyim” melakukan konsultasi. Kita tahu bahwa Mbah Hasyim Asyari sudah meninggal dunia beberapa puluh tahun lalu. Itulah yang pernah disampaikan oleh Mahfud MD, "Saya nanti mau ketemu Mbah Hasyim mau tanya dulu," kata Mahfud menirukan Gus Dur. Demikian pula dari sumber lain menceritakan bahwa Gus Dur pernah dinasehati oleh Mbah Hasyim, “Le, kok tugasmu bersih-bersih terus yo? Sing sabar yo?”.

Apa yang dilakukan oleh Gus Dur tersebut, dalam kerangka toeri sosial Weber adalah tindakan yang rasional, bukan irrasional. Kita seringkali terjebak pada istilah rasional dimana batasannya sangat strukturalis atau fungsionalis dari sudut teori sosial. Weber menegaskan bahwa perilaku seseorang mempunyai makna subyektif sebagai rasionalitasnya. Tindakan Gus Dur “berkonsultasi dengan leluhur” dengan demikian, adalah subyektif rasional bagi Gus Dur. Dengan kacamata teori “Meaning of Action” Weberian tersebut, maka apa yang dilakukan Gus Dur didasari pada realitas sosial yang dimaknai oleh Gus Dur sendiri. Mereka yang melihat ini dengan kacamata Durkhemian, memandang tidak rasional, sebab bagi teori struktural fungsional seperti Durkheim, rasionalitas adalah wujud dari tindakan yang berbasis fungsi dari struktur. Tindakan Gus Dur yang rasional dengan demikian adalah ketika apa yang akan dilakukan oleh Gus Dur selalu dilandasi oleh peraturan, norma, dan struktur sosial (khususnya NU).

Demikian pula dari cuplikan cerita di atas, menunjukkan bahwa realitas yang dibangun oleh Gus Dur adalah adanya ketersambungan antara dirinya dengan Mbah Hasyim. Apalagi “le, kok tugasmu bersih-bersih terus yo? Sing sabar yo?”. Dalam kerangka Weberian, maka kita dapat memahami bahwa apa yang dilakukan oleh Gus Dur selama ini adalah upaya-upaya pembersihan, yang tentu sudah mendapat restu dari Mbah Hasyim. Persoalannya, apa yang dibersihkan dan bagaimana cara membersihkannya, ya Gus Dur sendiri yang paling paham. Sebab itulah makna subyektif baginya.

Mungkin anda tidak sepakat dengan saya, ya silakan dan monggo. Namun jika kita menggunakan kerangka yang sama atau mendekati sama, mungkin tidak jauh berbeda hasilnya.

Anda boleh mengajukan kritik ataupun gugatan, namun bisakah dengan cara yang sama seperti yang dilakukan oleh Gus Dur? Sama-sama menemui Mbah Hasyim? Agar bisa sebanding dalam memperoleh kejelasan khabarnya.


Sekali lagi, kacamata berbeda niscaya akan menghasilkan gambar yang berbeda.

Wallahu 'alamu bishshowab

5 PILAR KEJAWEN

Banyak sekali pihak-pihak yang menganggap, bahkan meyakini jikalau kejawen itu adalah sebuah agama. Bahkan orang kejawen itu sendiri. Orang seperti Cliffort Geertz menulis buku yang fenomenal, “The Religion of Java”, agama Jawa. Baginya di Jawa itu ada agama tersendiri, yang unik berbeda dari agama-agama besar di dunia. Saya sendiri maklum jika Geertz membuat terminologi Agama Jawa, sebab kacamata yang dia pakai itu adalah antropologi, dimana religi didefinisikan sebagai sebuah kepercayaan kepada kekuatan supranatural yang mengendalikan kehidupan manusia. Sehingga religiusitas dimaknai sebagai sikap akan adanya atau hadirnya Kekuatan Supranatural yang Berkuasa itu. Inilah yang disebut Geertz sebagai agama. Jangan dipahami bahwa sebagai agama, di Jawa ada agama yang khas Jawa, dengan Nabi sendiri, kitab suci sendiri. Bukan begitu maksud Geertz.

Pemahaman religi seperti itu, akan membawa kita untuk bisa memahami berbagai religi-religi di seluruh dunia. Hampir seluruh peradaban yang tergelar di dunia ini sudah membangun tradisi kepercayaan kepada Yang Supranatural, Ekstraordinary di luar diri manusia. Kejawen sendiri sebenarnya sudah mapan sebagai tradisi dalam religi yang dipahami seperti itu. Jauh sebelum agama-agama yang kita kenal saat ini datang dan berinteraksi.

Terdapat beberapa pilar tradisi Kejawen dalam bentuk-bentuk filsafat kehidupan yang sudah terpola sejak dulu kala. Hal itu bisa kita lacak dari beberapa pilar tersebut dalam bentuk ujaran, ungkapan atau bentuk ritus yang tersisa. Hal mendasar menyangkut siapa DIA sebagai kekuatan supranatural (di luar dini manusia) yang sangat menguasai manusia, menentukan haru biru manusia dalam kejawen digambarkan melalui ungkapan “Tan kinoyo ngopo”, tak bisa di-sepertikan apapun. Dengan ungkapan ini, DIA adalah yang sudah tak terjangkau akal dan kemampuan manusia untuk menggambarkannya. Ini adalah pilar pertama.

Kedua, adalah menyangkut keberadaan manusia itu sendiri. Bahwa manusia dalam tradisi Kejawen disebut sebagai “TITAH”, sebagai ayat, tanda akan DIA yang “Tan Kinoyo Ngopo” tadi. Ini juga mengandung pengertian bahwa manusia adalah bagian dari sebuah sistem kehidupan yang besar (makrokosmos) dan mempunyai kehidupan sendiri dalam lingkup kecil (mikrokosmos), atau “jagad alit lan jagat gedhe”. Hidup atau “Urip” adalah “roso rumongso” dengan sesama. Merasa sama-sama sebagai manusia, dan lebih luas lagi sebagai titah. Seseorang bagi orang lain adalah ayat, cermin dan demikian sebaliknya. Agar bisa lebih memahami ini, maka dalam Kejawen di ajarkan mengenai “sangkan paraning dumadi”, atau “kiblat papar lima pancer” dan lainnya sehingga membentuk sebuah pemahaman akan pada pilar yang ketiga yakni “DUNUNG” posisi diri dalam jagat raya ini. “DUNUNG”  dalam Kejawen lebih berfokus pada posisi (hubungan dengan yang lain), sedangkan dalam posisi berkaitan diri sendiri (SELF), diajarkan “NGERTI”.

Interaksi manusia dengan makhluk lainnya menghasilkan dan memproduksi wacana, ilmu pengetahuan dan emosi. Kejawen menuntut dan menuntut agar setiap orang bisa NGERTI. Penguasaan ilmu atau NGELMU itu kesulitan terbesarnya adalah setelah dikuasainya ilmu. Memang untuk menguasai ilmu katakanlah “kejadugan” atau kesaktian, persoalan prinsip diajukan adalah “Untuk apa kesaktian itu?”. Kejawen tidak hanya menuntut bisa, tetapi MENGERTI (pilar ketiga). Sehingga akan menghasilkan manusia yang NJAWANI, yang DUNUNG posisi diri,NGERTI banyak kaweruh, sehingga dalam bentuk perilaku menghasilkan sikap dan laku “ATI-ATI”. Ini adalah pilar keempat dalam Kejawen.

Sering orang tua kita dulu menasehati, “Ati-ati yo nak, nek mulih”, hati-hati ya nak jika pulang. Sebenarnya tidak sekedar hati-hati berjalannya, tetapi memperhatikan “HATI”. Dalam perilaku dan sikap, maka fondasi HATI menjadi sangat penting, oleh karena itu pesan “ATI-ATI” itu dimaksudkan sebagai bentuk menjaga hati dari kotoran, seperti niat yang jahat, berkhayal, berangan dan sebagainya pada akhirnya bisa mengganggu kehidupan. Jika sudah demikian, maka sampailah pada pilar kelima, terakhir, yakni “SELAMET”.

Konsep “Selamet” sebagai puncak dari tujuan manusia Jawa. Inilah mengapa dijumpai dalam tradisi Jawa banyak sekali ritual selamatan. Orang mau memulai bersawah, didahului selametan, mau pengantin selametan dan sebagainya. Bahkan sampai meninggalpun tetap dilakukan upaya-upaya keselamatan. Selamat dalam paham Kejawen ya kembali pada pilar pertama, selamat kembali kepada asal, melalui proses “sangkan paraning dumadi” sehingga bisa kembali menghadap kepada DIA “Sing Tan Kinoyo Ngopo” tadi.

Itulah 5 pilar dalam Kejawen yang saya pahami, sekali lagi Kejawen dalam pandangan antropologis, religi adalah upaya sebuah tradisi kepercayaan kepada DIA yang Ghaib mengendalikan dan mengatur kehidupan manusia. Itu semua adalah tradisi dalam berpikir, memahami dan berfilsafat. Apakah kemudian, anda akan tetap dalam tradisi seperti itu tanpa memeluk agama, maka itu adalah pilihan anda. Dan saya memilih Islam sebagai agama. Mengapa? Tentu itu adalah hak saya seandainya saya tidak membeberkan alasannya. Namun jika mencermati uraian saya tentang 5 pilar Kejawen ini, tentu bisa dimafhumi itu.

Wallahu ‘alam Bish-showab

MARXISME DAN KEARIFAN LOKAL

Marxisme mengajarkan dan meyakinkan bahwa materi adalah penentu sejarah dan peradaban manusia. Perilaku manusia, bahkan ide(ologi)nya ditentukan olehnya. Begitulah, sejarah, ketika dulu manusia hanya mengenal cangkul, garu dan luku. Ketika ditemukan mesin uap oleh James Watt, maka moda transportasi berubah. Pun cara bekerja, sudah menggunakan mesin. Maka lahirlah revolusi industri, menumbuhkan ideologi kapitalisme, sosialisme, komunisme dan isme-isme lainnya.

Perilaku dan cara berpikir orang kaya harta tentu berbeda dibandingkan dengan orang miskin, ya karena materi yang ada pada mereka. Bahkan, konsepsi Tuhan pun digantungkan pada materi, pada teks kitab suci belaka dalam rupa tulisan. Dalam pengertian ini, harus jujur diakui, bahwa kita selama ini sudah menjadi pengikut Marxisme yang sesungguhnya tanpa disadari.

Dalam khazanah budaya Jawa, dikenal wangsit, pulung, neptu atau sejenisnya yang bukan materi dalam menentukan banyak hal. Bagaimana Soekarno memilih 17 Agustus 1945, Hari Jumat sebagai hari kemerdekaan, padahal dari sisi materi obyektif, tidak ada alasan mengulur waktu. Pun Gus Dur, banyak kisah bagaimana beliau menerima perintah dari para leluhurnya dalam menentukan tindakan politik dan lainnya.

Itu adalah bentuk kearifan lokal yang ternyata tidak sejalan dengan ide Marxisme. Bagi orang-orang semacam Soekarno atau Gus Dur, yang sudah memahami betul apa itu Marxisme, dalam tindakan sudah membuktikan bahwa mereka mampu mengatasi dan melawan marxisme dengan cara-cara arif lokal keIndonesiaan.

Salam Merdeka....!!!

Ketika Saya (yang Awam) Memahami Bid'ah

 Semakin banyak tulisan mengenai penjelasan bid’ah, semakin tidak jelas juntrungnya pemahaman saya. Ada yang membagi bid’ah baik dan tercela. Ada bid’ah terpuji dan tercela. Ada pula bid’ah urusan dunia dan agama. Ada lagi bid’ah kebahasaan (lughowy) dan syar’i (syariat). Mending saya putuskan “Semua Bid’ah sesat”, baik yang terpuji atau tercela, dunia atau agama, lughowy atau syar’i. Beres kan? Jelas-jelas disabdakan oleh Rasul bahwa “Semua bid’ah itu sesat” TITIK.

Saya, sebagai orang awam, tidak menguasai bahasa arab atau dalil-dali yang njelimet. Terjemahan “Semua bid’ah itu sesat” rasanya sudah cukup untuk menjawab itu semua. Tapi persoalan muncul ketika dalam benak kemudian bertanya : “bid’ah itu sendiri apa?” kenapa tidak diterjemahin sekalian ya? Maka kutemukan definisi bahwa bid’ah itu adalah hal-gal baru yang belum ada contohnya. Terjemahan lainnya adalah hal-hal baru dalam agama, dalam syariat agama. Wah... kok jadi mulai rumit ya? Ternyata bid’ah sendiri bukan sebuah kata yang disepakati bersama pengertiannya.
;
Ah, daripada pusing mikirin definisi bid’ah mending saya mikirin kata semua. Toh itu bahasa Indonesia, bahasa yang saya mengerti. Nah soal kata “semua” baru ada soal yang bisa diajukan, “Apakah semua itu memang berarti keseluruhan (setiapnya)?” ataukah “hanya sebagian”, bisa besar atau kecil. Jadi ingat pelajaran SMP, ada istilah part pro toto atau totem to parte. Bahwa kata yang menyatakan “semua” bisa jadi tidak semuanya, malah bisa jadi sebagian saja.

Sebuah headline berita berjudul “Semua korban sukhoi meninggal dunia”, berita mengenai jatuhnya psawat sukhoi di gunung Salak beberapa waktu lalu. Dan ternyata disitu disebutkan semua nama-nama korban dan cocok dengan data jumlah penumpang. Terbukti dari berbagai bukti fisik yang ada menunjukkan “semua” korban meninggal dunia. Kata “semua” di sini berarti semuanya, tanpa kecuali (tak ada satupun yang selamat).

Sementara ada kata-kata dari seorang lelaki kepada gurunya, “Semua jerih payahku kupersembahkan kepada agamaku”. Ungkapan yang dahsyat bukan? Tapi apakah demikian adanya? Wah bagi saya (yang awam), nanti dulu. Ternyata yang mengungkapkan itu tidaklah demikian, masih ada jerih payah yang ditujukan untuk keluarganya, istrinya dan anak-anak. Jerih payah yang menghasilkan uang, ternyata tidak semuanya untuk agama. Malah 2,5% saja. Itupun kalau mau. Kalau toh benar-benar begitu, kalau ada istrinya yang merengek dan ngambek, ya meluangkan waktu untuk berjerih payah buat istrinya, toh masih ada banyak waktu buat agamanya. Hal ini bisa saja dibantah “loh untuk keluarga kan sama saja dengan agama?”. Maka saya jawab ; wong di kalimat ungkapannya tidak menyebutkan demikian kok. “Agama” titik. Jadi, tetap saja kata “semua” itu berarti keseluruhannya (total 100%).

Dari dua bentuk kalimat yang diajukan tersebut, maka layaklah sebuah pembagian, bahwa semua itu tidak mesti setiap keseluruhannya. Artinya, bisa “sebagian bid’ah itu sesat”. Kok bisa begitu? Karena dalam sabda tersebut tidak ada rinciannya (coba bandingkan dengan berita korban sukoi yang ada rinciannya). Akhirnya kemudian tergantung saya, pembagian mana yang bisa saya pilih. Apakah pembagian dunia/agama atau tercela/terpuji dan lainnya. Tetapi sekali lagi “semua bid’ah itu sesat” dimengerti sebagai semua secara keseluruhan jadi berbenturan dengan kesimpulan ini, tidak konsisten. Jika “semua” ya harusnya “semua” tapi kok ada pembagian?

Ah, ternyata memahami yang terjemahan saja tidak gampang, apalagi teks aslinya yang berbahasa arab. Harusnya saya memahami semua sisi kebahasaan itu. Apalagi bisa ditambah dengan memahami penjelasan-penjelasan dalil lain dengan kemampuan berbahasa itu.

Maka, buat saya lebih baik menyerahkan kepada mereka yang ahli saja, dan kemudian saya mengikutinya. Itu jauh lebih mudah. Meski demikian, sebagai orang awam ya berusaha bisa paham dengan itu. Kalau hanya mengikuti tapi tak paham, ya... apalah artinya????