Mengendalikan yang satu

Mengendalikan bagian tubuh yang jumlahnya satu itu memang tidak mudah.

Rambut dalam jumlah demikian banyak menjadi primadona obyek penataan dan eksperimen berkreasi. Itu malah lebih dari sekedar mengendalikan. Bahkan warna putih yang mengganti hitam, tetap bisa "dikembalikan" ke warna asalnya. Hitam.

Jumlah sepasang itu juga memiliki kesulitan tersendiri. Dua mata, dua telinga, dua tangan, dua kaki pengendaliannya tidak mudah mengarah kepada perbuatan mulia. Bisa jadi melalui salah satunya kebaikan bisa dilakukan. Namun melalui satunya bisa melakukan keburukan.

Kemudian yang jumlah satu. Maka ini jauh lebih sulit. Mulut. Ya, melaluinya bisa muncul kata, kalimat, ungkapan yang beragam, berkonotasi, bertujuan dan sebagainya. Sekali lagi seringkali ini jauh lebih sulit mengendalikannya. Pun demikian terhadap kemaluan. Padahal cuma dan hanya satu.

Bila dengan tepuk tangan, tangan anda sudah cukup dan menemui pasangannya. Maka tidak demikian, dengan mulut. Ia akan mencari lawan atau pasangan dari orang lain. Tidak mungkin orang beradu mulut sendirian. Bicara atau tertawa sendirian. Lucu bukan??

Mikul Dhuwur, Mendem Jero

Judul di atas tentu berbeda satu huruf dengan istilah yang sering didengar di masyakarat. Apalagi dulu jaman orde baru, Pak Harto suka sekali. Mikul Dhuwur (Jawa) dapat diterjemahkan memikul, mengangkat yang tinggi. Mendhem Jero (dh), ini diterjemahkan menjadi mengubur yang dalam. Istilah ini sering diterapkan untuk menyikapi terhadap orang-orang yang sudah meninggal. Kita diharapkan dapat mengangkat nama baik almarhum setinggi-tingginya, di sisi lain harus mengubur, menyimpan aibnya. Sikap bijak, tidak menjadikan aib almarhum selama hidup sebagai bahan gunjingan yang berakibat pada buruknya nama almarhum.

Namun, satu huruf berbeda antara dh dan d, yang diterapkan pada kata Mendhem dan berubah Mendem, bisa berarti lain dan jauh sekali dari pengertian dan maksud yang pertama tadi dijelaskan. Kalimatnya menjadi, Mikul Dhuwur, Mendem Jero. Mengangkat yang tinggi, dan mabuk berat (dalam).

Kalimat ini lebih pas ditujukan pada sikap-sikap menjilat, memuji atasan atau orang lain, sehingga membuat mabok kepayang bagi atasan. Kemudian hubungan demikian dilanjutkan terus menerus, akibatnya yang memujipun ikut mabok dalam model hubungan seperti itu, jilat-menjilat.

Di segala zaman model pelaku jilat-menjilat pasti ada. Dan saya atau anda bisa menjadi modelnya. Tetapi, alangkah eloknya, jika kelak kita memperlakukan kepada mereka yang suka jilat-menjilat itu tetap diperlakukan Mikul Dhuwur, Mendhem Jero. Sehingga kita tidak terjebak menjadi pemakan bangkai saudara, tidak sekedar penjilat.

 

Cerita Soal Nama Hari

Ini hanyalah sebuah cerita atau legenda tutur yang sudah turun temurun di tanah Jawa. Sebelum mengenal hari, pada mulanya masyarakat Jawa dikenalkan dengan konsep waktu menyembah dan arahnya. Dan itu berjumlah lima. Jumlah ini berkaitan dengan konsep arah dan posisi. Hari-hari itu awalnya disebut Sri, Kala, Brahma, Wisnu dan Guru. Itu adalah nama-nama dewa. Bukan ditentukan hari Sri menyembah dewi Sri, tetapi bagi mereka keturuan Sri (lahir di hari Sri), maka menyembahnya ke arah Timur. Kemudian berturut-turut, ke selatan, barat, utara dan keatas/menunduk (pusat). Nama-nama itu kemudian dirubah sebagai bentuk penghormatan kepada para dewa, sehingga menjadi petak (putih), pita/jenar (kuning), reta (merah), kresna (hitam) dan warna (pancawarna). Konon itu warisan Empu Sangkala.

Datanglah Resi Radi (jelmaan Dewa Surya) memberi nama baru pada hari yang sudah ada, yaitu Legi, Paing, Pon, Kresna dan Kliwon. Ketika Resi Budda menggantikan Resi Radi, dirubah sedikit, menjadi Legi, Paing, Pon, Wage dan Kliwon.

Nama-nama hari berjumlah 7 baru datang kemudian, ketika Resi Radi menerima wangsit. Wangsit pertama mengisaratkan tentang dirinya sendiri yang sudah lama berada di bumi, maka hari pertama biasa disebut Radite (Surya). Berikutnya dapat wangsit dari Hyang Candra, kemudian disebut hari Soma (bulan). Berlanjut wangsit dari bintang Anggara, maka hari kemudian disebut Anggara (Api). Kemudian dapat wangsit dari bintang Budda, maka disebut hari Budda (Bumi). Kemudian dari bintang Wrahaspati atau halilintar, maka disebut hari Respati. Kemudian dapat wangsit dari bintang Sukra (tembaga), sehingga disebut hari Sukra (larangan). Terakhir dari bintang Niscaya (angin), maka disebut hari Saniscaya.

Nama-nama hari itu sama dengan yang kita pakai sekarang, minggu, senin, selasa, rabu, kamis, jumat dan sabtu. Dalam khazanah Jawa hari pertama itu Radite (minggu/Sunday). Ini tentu berbeda dengan kalender masehi yang sebenarnya mengawalinya dari Saturday (1 masehi hari sabtu pertama) sebagai kelanjutan tradisi Romawi dan Yunani, dimana pengaruh Saturnus sangat kuat di saat pukul 00.00.

Silakan, anda mengutak-atiknya, tentang sebutan nama-nama hari/waktu di Jawa yang bermula dari 5 kemudian 7. Filosofi 5 itu adalah filosofi peribadatan, sedangkan 7 adalah aktivitas di dunia, seperti halnya peran Resi Radi sebagai jelmaan Hyang Surya turun ke bumi menjalankan aktivitas dan urusannya. Kebiasaan orang jawa beraktivitas akan memperhatikan terbitnya matahari (harian) dan mingguan. Namun berpijak ke bumi (budda/rabu) seringkali menjadi awal dari aktivitas tertentu yang baik. Sementara di hari sukra/jumat, banyak larangan yang harus diperhatikan.

Untuk selanjutnya kembali kepada anda masing-masing.

Optimisme Zaman Edan

Polahe wong Jawa kaya gabah diinteri\ endi sing bener endi sing sejati\ para tapa padha ora wani\ padha wedi ngajarake piwulang adi\ salah-salah anemani pati\

Itulah sepenggal bait ramalan Jayabaya yang terkenal itu. Sebuah gambaran mengenai zaman yang kacau balau, zaman edan, zaman kala bendhu. Tingkah polah orang (Jawa) seperti gabah yang diinteri (diputar-putar tanpa bisa mengendalikan diri). Zaman sudah demikian parah hingga mepengaruhi perilaku manusia. Ungkapan gabah diinteri merefleksikan adanya proses seleksi. Proses itu akan memiliah mana gabah (padi yang masih ada kulitnya) dan mana beras yang siap dimasak.

Kegilaan tingkah polah manusia sudah demikian terbuka, tersuguhkan bisa dinikmati oleh khalayak tanpa ditutupi atau bisa ditutupi. Sudah saatnya memang diketahui publik. Setiap hari koruptor diuangkap. Perilaku amoral pelajar yang semakin menjadi-jadi sebagai berita sehari-hari.

Bahkan, bagi yang menyaksikan itu semua juga turut pusing memikirkannya. Tak mampu menalar dan menjelaskan tentang berbagai peristiwa tersebut. Semua menjadi pesimis atas kebesaran dan kejayaan bangsa di masa mendatang. Jatuhnya ikut-ikutan gila.

Kembali pada ungkapan gabah diinteri sebagai proses seleksi, maka apa yang terjadi dan dipandang sebagai kegilaan jaman, kekacauan sosial dan malapetaka alam sebenarnya adalah proses seleksi. Proses memilah antara gabah, beras dan kerikil akan semakin jelas. Toh yang akan di masak hanya berasnya saja, sementara gabah dan kerikil tak perlu diambil.

Larutkan kita pada kegilaan? Atau sekedar menonton dan mengomentarinya? atau hanya bingung tanpa bisa berbuat apa-apa? Inilah nasehat dari Jayabaya :

Menangi jaman edan, …sak bejo-bejone wong sing lali, isih bejo wong sing eling lan waspodo”

Menemui zaman gila tersebut, banyak yang lupa, dan seuntung-untungnya manusia yang lupa (ikut gila), namun masih beruntung yang ingat dan waspada.

Akankah diri kita akan memposisikan sebagai gabah, kerikil atau beras? Hanya beras yang bernas saja lah yang akan bermanfaat. Dan proses diinteri adalah proses yang memang harus dilalui. Bagi siapa saja. Maka beruntunglah bagi mereka yang menyadarinya dan tetap optimis memandang jaman gila.

HIJRAH : Antara Strategi Manusia dan Takdir Allah swt.

Ka’bah yang berada di Mekkah adalah rumah suci, pusat peribadatan manusia. Dan Ka’bah adalah rumah (ibadah) yang mula-mula dibangun untuk manusia. Demikianlah penegasan Allah kepada kita dalam Al Qur’an. Sepanjang sejarah, melalui para nabinya Allah tunjukkan kuasa pembuktian atas penegasannya. Sepenggal kisah dari Nabi Ibrahim dan Ismail adalah wujud kuasa Allah menjaga keberadaan rumah suci tersebut.

Rasulullah, Muhammad SAW, lahir di Mekkah, sebagai penduduk Mekkah. Utusan akhir zaman yang merupakan akhir dari risalah para nabi-nabi dan rasul sebelumnya. Tentu posisi Mekkah (dan Ka’bah di dalamnya) menjadi hal penting. Penguasaan kota Mekkah akan menjadi wujud simbolik atas keberhasilan dakwah Islam Rasulullah mengembalikan Ka’bah sebagai rumah suci, pusat peribadatan manusia. Namun apa yang terjadi? Meski sebagai orang Mekkah, keturunan penjaga Ka’bah, ternyata menguasai Mekkah tidaklah mudah. Kesulitan dan hambatan selalu menghadang. Selama 13 tahun dakwah di Mekkah, tidak jua membawa hasil signifikan.

Perintah Hijrah ke Madinah, sebuah daerah yang jauh di luar Mekkah, tentu akan dipahami sebagai bentuk kekalahan untuk upaya menguasai Mekkah. Demikian pula, keberhasilan penguasaan Mekkah bisa jadi dipahami semakin menjauh dari upaya mengembalikan posisi Ka’bah dalam kerangka kerasulan. Tetapi apa yang terjadi? Allah menakdirkan, melalui Hijrah itu pada akhirnya Mekkah bisa ditundukkan (Fathul Makkah), benar-benar melalui proses yang elegan, damai dan mencerahkan.

Di saat Rasulullah dan umat Islam waktu itu, berkonsentrasi membangun komunitas peradaban baru di Madinah, Allah sekali lagi menunjukkan kuasanya untuk menundukkan Mekkah bagi umat Islam. Ini seperti yang terjadi pada peristiwa serangan Raja Abrahah terhadap Mekkah menjelang kelahiran Rasulullah saw. Jika dalam peristiwa perang gajah tersebut Mukjizat yang menakjuban digunakan Allah, maka melalui Hijrah menunjukkan bahwa antara takdir Allah dan usaha manusia bisa bertemu pada titik yang sama. Upaya Hijrah atas perintah Allah juga dikendalikan Allah, tetapi manusia berperan penting dalam prosesnya. Sementara penundukkan Mekkah (Fathul Makkah) seolah menjadi hadiah, atas kesungguhan manusia dalam membangun strategi. Hijrah ke Madinah adalah sebuah strategi yang tidak langsung menuju target utama atau jantung persoalan. Pergi ke Madinah adalah mencari sahabat yang sejalan, menemukan area perjuangan yang tepat.

Maka, Allah lah yang akan menentukan hasil dari upaya manusia, akan memberikan hadiah yang tak terduga atas jerih payahnya. Bisa jadi apa yang dilakukan tidak secara langsung berhubungan dengan target yang diharapkan, tetapi upaya tersebut masih relevan dengan apa yang dicitakan.

Ibarat makan bubur, maka anda jangan memulai dari tengahnya. Karena yang tengah tentu paling panas. Maka mulailah dari yang pinggir. Anda tidak perlu memulai dari ide-ide besar atau mengejar hal-hal besar, tetapi menyelesaikan hal-hal kecil akan mengantar anda pada takdir yang besar. Tetapi, mengenal hal-hal kecil tidaklah mudah. Butuh ketelitian dan ketelatenan.

Itulah hikmah yang bisa dipetik dari hijrah Rasulullah saw. ke Madinah.

Selamat Tahun Baru 1435 Hijriyah