Arus Balik Ulama Nusantara

Pendahuluan
Akhir-akhir ini terdapat gejala atau fenomena adanya kencenderungan masyarakat mengagumi kepada para ulama atau ustadz yang datang dari Arab. Bagaimanapun harus diakui bahwa tanah Arab, dimana ada Makkah dan Madinah sejak dahulu kala adalah pusat dari keilmuwan Islam. Namun bukan berarti belahan dunia lain tidak layak disebut sebagai pusat perkembangan keilmuwan Islam tersebut. Kekaguman kepada ulama yang datangnya dari Arab, adalah hal yang sah-sah saja. Toh penghargaan kepada ulama adalah sikap yang baik. Namun, ketika sikap itu dibarengi dengan sikap merendahkan atau kurang menghormati ulama Nusantara, maka penghormatan tersebut adalah tidak baik, karena hanya berlandaskan etnis semata.

Arus Utama : Nusantara-Arab-Nusantara

Sikap meremehkan para ulama Nusantara, sebenarnya lebih disebabkan oleh kebutaan sejarah semata (ahistoris). Ketika orang-orang muslim di Nusantara masih belum begitu kuat keilmuwan keislamannya, maka banyak para kyai dan santri yang berasal dari nusantara pergi ke Arab (Makkah, Madinah, Yaman, dll) untuk memperdalam ilmu keislaman mereka. Setelah mereka belajar, kemudian mereka mengembangkan ilmunya di tanah airnya, di nusantara dengan berbagai cara. Ini adalah arus utama model penyebaran dan penguatan islam di Nusantara.

Hubungan Muslim Nusantara dan Timur Tengah terkoneksi sejak Islam berkembang di Nusantara. Berdasarkan studi Azyumardi Azra (Jaringan Ulama,1998), hubungan itu bersifat politis dan keilmuan. Hubungan politis terjalin antara sejumlah kerajaan di Nusantara dengan Dinasti Utsmani. Aceh, Banten, Mataram, telah mengirimkan utusan ke Haramain (Mekkah-Madinah) sejak abad ke-17. Sejak Dinasti Utsmani mengamankan jalur perjalanan haji, kian banyak pula yang menuntut ilmu pada abad ke-14 hingga ke-15. Hal itulah yang mendorong munculnya komunitas Jawi. Orang Arab menyebutnya ashab Al Jawiyin (saudara kita orang Jawi).[1]

Nama-nama ulama seperti Syekh Yusuf Al- Makassary (Makassar) dan Syekh Abdul Rauf Al-Sinkili (Singkel, Aceh), merupakan ulama yang malang melintang menuntut ilmu di Haramain pada abad ke-17. Syekh Abdul Shomad Al-Palimbani (Palembang), Syekh Nafis Al-Banjari (Banjar, Kalsel), Syekh Arsyad Al-Banjari (Banjar, Kalsel) merupakan ulama tasawuf Tarekat Samaniyah yang berpengaruh pada abad ke-18. Kita juga mengenal nama-nama seperti Syekh Nurudin Al-Raniri (Aceh), Syekh Abdul Rahman Al Masry Al Batawi (Jakarta), Syekh Khatib Sambas (Kalimantan), dan lain-lainnya. Pada abad ke-19 hingga awal abad ke-20, ulama kita malah makin hebat-hebat di Mekkah. Karena tak sekadar menuntut ilmu, tapi justru menembus pusat ilmu di Mekkah, yaitu sebagai pengajar dan imam di Masjidil Haram.

Ulama Nusantara Sebagai Sumber Arus Utama

Catatan perjalan ulama-ulama yang dikenal luas di dunia tersebut di atas menempuh jalur keilmuwannya menelusuri jejak-jejak ilmu di nusantara (termasuk melayu), ke berbagai negara lain sebelum pada akhirnya ke jantungnya, yaitu Mekkah dan Madinah. Setelah pulang kembali ke nusantara para ulama tersebut membangun sumber-sumber baru di daerah masing-masing. Jadi dapat dikatakan bahwa pesantren atau ulama nusantara sebenarnya bersumber langsung dari pusatnya dan mencoba menumbuhkan sumber-sumber baru dengan tetap menjaga kemurnian sumber asal tersebut.

Perjalanan Syeh Yusuf Al Makasary menunjukkan bahwa sebelum beliau belajar di Mekkah, beliau telah menimba banyak ilmu terlebih dahulu, misalnya di Cikoang (Sulawesi), Banten, Aceh, Gujarat, Turki dan Yaman. [2]Perjalanan keilmuwan ini menunjukkan betapa banyaknya bekal yang dibawa sebelum akhirnya tekun belajar di Mekkah. Demikian pula Syeh Abdul Rauf Al Sinkli, beliau menimba ilmu di Qatar, Lohor, India dan Aceh tentunya. Hebatnya lagi beliau adalah pengamal 11 tarekah.[3]

Syeh Abdul Shomad Al Palimbani adalah contoh ulama nusantara yang sangat peduli pada perjuangan nusantara, meski beliau sudah menjadi bagian masyarakat Arab. Beliau selalu mendorong agar para pangeran kesultanan Mataram meneruskan perjuangannya melawan Belanda.[4] Sementara Syeh Arsyad Al Banjari sudah dididik ilmu keislaman dalam lingkungan kerajaan Banjar. Demikian pula beliau mempunyai guru yang banyak dan mempunyai sanad keilmuwan yang kuat. Sepulangnya dari Mekah beliau membuka pesantren di Banjar dan menulis banyak kitab. Salah satu kitab yang terkenal dan dipelajari di seluruh nusantara, termasuk Brunei adalah kitab Sabilul Muhtadin.[5] Para ulama tersebut mencetak ulama-ulama lain yang kemudian menjadi tokoh di daerah masing-masing. Pun demikian dengan Syeh Ahmad Khatib Sambas, juga melahirkan para ulama berkaliber, salah satu muridnya yang terkenal adalah Syeh Imam Nawawi Al Bantani.[6]

Gelombang arus berikutnya adalah pada masa abada ke-19-20 seperti Syeh Imam Nawai Al Bantani, Syeh Ahmad Khatib Al Minangkabawi dan Syekh Mahudh At Tarmasi. Mereka adalah contoh penerus ulama nusantara yang membawa harus nusantara dalam khazanah keilmuwan Islam di dunia internasional.

Syekh Nawawi berasal dari Tanara, Banten, adalah ulama yang rendah hati, sangat alim, dan penulis kitab produktif. Syekh Ahmad Khatib berasal dari Minangkabau, adalah mujaddid, yang mendorong pembaruan di Minangkabau. Ahmad Khatib bahkan menjadi imam di Masjidil Haram. Syekh Mahfudh berasal dari Tremas, Pacitan, adalah ulama yang sangat dihormati para kiai Jawa. Murid kesayangannya, KH Hasyim Asyari, pendiri NU, membawa tradisi yang diajarkan Syekh Mahfudh ke Indonesia.

Demikianlah gambaran bagaimana sumber-sumber keilmuwan tersebut bisa tersebar di seluruh nusantara dan mengambil langsung dari sumber mata air di jantung pusatnya. Para ulama-ulama dari nusantara tersebut ternyata juga menjadi sumber utama di Arab, menjadi rujukan para ulama-ulama dari berbagai belahan dunia.

Arus Balik : Arab Sentris

Yang terjadi saat ini ada semacam keterputusan sejarah mengenai arus keilmuwan para ulama nusantara. Ulama-ulama nusantara yang tumbuh, berkembang dan lahir dari pesantren di nusantara kurang mendapat penghormatan yang layak jika dibandingkan dengan ulama yang datang dari negara Asing (khususnya Arab Saudi). Padahal sudah beberapa abad silam, ulama nusantara adalah sumber di Arab Saudi. Demikian pula pesantren atau pusat-pusat keilmuwan yang ada di nusantara adalah warisan atau bagian dari ulama-ulama yang menjadi sumber utama tersebut. Dengan kata lain, ulama produk pesantern di nusantara adalah produk para ulama dahulu yang menjadi sumber arus utama keislaman di nusantara. Mereka tidak kalah alim dalam hal ilmu keagamaan dibandingkan dengan ulama dari negara lain, karena memang mereka menyerap jalur (sanad) yang masih terjaga dan berasal dari sumbernya.

Yang terjadi kemudian adalah para santri atau pelajar berlomba-lomba menempuh jalur pendidikan di pusat-pusat studi di Timur Tengah (Arab), sementara pusat-pusat di nusantara sudah dianggap tidak memadai dan tidak layak. Sikap demikian merupakan wujud dari sikap ahistoris yang melupakan para ulama nusantara terdahulu. Mereka tidak berusaha membangun ketersambungan jalur keilmuwan di nusantara yang memiliki jalur demikian jelas sejak abad ke-17 seperti diuraikan sebelumnya.

Penutup

Secara sederhana, para pelajar dahulu berbondong-bondong berguru kepada ulama dari nusantara, baik yang ada di nusantara maupun yang ada di Arab. Namun saat ini sudah mulai arus balik, dimana mereka  langsung berbondong-bondong ke Arab langsung, dengan meninggalkan ulama nusantara. Inilah yang saya sebut sebagai arus balik ulama nusantara saat ini. Yang lebih memprihatnkan adalah mulai muncul kebanggaan yang menyandarkan adanya Arab sentris, dimana menilai bahwa lulusan Arab (Timur Tengah) adalah jauh lebih alim dan kapabel sebagai ulama dibandingkan mereka yang lulusan dari pesantren di nusantara.

Apakah memang sudah demikian seharusnya? Atau memang kita sudah melupakan sejarah  kita sendiri? Atau ada alasan lain dari itu?

Wallahu ‘Alamu Bishshowab

Catatan Kaki :

"Yahannu" sebagai Strategi Politik

Pendahuluan

Di kalangan kelompok masyarakat tertentu (seperti pesantren) istilah Yahannu sudah biasa digunakan dan akrab. Salah satunya adalah untuk mengungkapkan sikap kecerdikan atau kepura-puraan. Namun juga ada yang menyebut Yahannu sebagai sikap kepura-puraan. KH Hasyim Muzadi sendiri menggunakan istilah Yahannu untuk menggambarkan ruwetnya dalam perpolitikan. “Politik itu yahannu-nya banyak. Politik itu mbulet-mbuletnya banyak. Panggungnya banyak”. [1] Yahannu kemudian menjadi istilah yang mencerminkan sebuah sikap atau kondisi yang tidak baik.

Strategi Yahannu di tangan para kyai (KH A Wahid Hasyim)

Namun demikian, istilah Yahannu dapat dijadikan gambaran tentang gaya politik yang dilakukan oleh para kyai di saat-saat menghadapi situasi yang sangat ruwet bin mbulet dan berbahaya. Kedatangan Jepang, menggantikan Belanda di Indonesia ternyata jauh lebih kejam perlakuannya terhadap masyarakat. Pemerintah militer Jepang, tidak ragu-ragu menyiksa orang-orang yang dianggapnya membangkang, bahkan memenjarakannya jika yang bersangkutan termasuk tokoh masyarakat. Seperti yang dialami KH. M. Hasyim Asy’ari, Rois Akbar NU, dan KH. Machfudz Siddik, seorang Ketua NU. Kedua tokoh ini diksiksa dan dijebloskan ke penjara Jombang selama empat bulan, hanya karena menolak mengikuti orang–orang Jepang, ber-saikere, memberi hormat kepada Tenno Haika, dengan cara membukuk, yang proposinya diyakini melanggar akidah Islam. Kendati pada akhirnya pemerintah Jepang mengoreksi kebijakan menyiksa orang–orang yang enggan ber-saikere, terbukti tidak lama kemudian budaya negeri matahari terbit itu dihapus, tetapi praktek kekejaman di awal kedatanganya itu, cukup membuktikan totaliterianismenya kekuasaan pemerintah militer Jepang. [2]

Situasi seperti itu tentu akan membahayakan bagi perjuangan bangsa Indonesia mencapai kemerdekaan, karena tindakan Jepang yang demikian kejam dan reaktif. Apa yang dialami oleh para kyai tersebut menjadi inspirasi bagi tokoh-tokoh lainnya untuk melakukan terobosan strategi politik di tengah ancaman bahaya dan harapan segera merdeka. Oleh karena itu sikap NU (tokoh-tokoh NU) kepada Jepang tidak sekeras terhadap Belanda, ketika menolak untuk duduk di Vloksraad (dewan perwakilan) bikinan pemerintah Hindia-Belanda. [3] Sikap seperti ini juga dilakukan oleh banyak organsasi perjuangan, dengan satu keyakinan dan harapan segera merdeka. Sikap atau strategi politik seperti itu disebut yahannu. [4]

Dengan sikap yahannu itulah kemudian, beberapa langkah penting serta manfaat yang diperoleh, antara lain :

1)    Beberapa tokoh Islam kemudian diangkat Jepang menjadi anggota legislatif, Chuo Sangi-in. Posisi ini digunakan oleh KH A. Wahid Hasyim untuk menggalang kekuatan dengan kelompok-kelompok lain seperti Muhammadiyah.

2)    Pada september 1943, NU dan Muhammadiyah Jepang mengizinkan dan mengakui aktifnya kembali NU dan Muhammadiyah.

Posisi strategis dan kerjasama NU dengan lembaga-lembaga lain itulah nantinya yang melahirkan Masyumi sebagai kekuatan politik umat Islam dalam melawan penjajahan Jepang.

3)    Di saat Jepang mengumpulkan pemuda dan dilatih menjadi PETA (Pembela Tanah Air), maka KH A. Wahid Hasyim meminta Jepang untuk melatih para santri. Tentara santri inilah kemudian disebut sebagai Hizbullah dan Sabilillah. Namun, kekuatan tentara santri itu tidak boleh dikirim Jepang melawan sekutu dalam peperangan, namun sebagai cadangan saja.

Kelak strategi ini melahirkan para pejuang dan tentara muslim serta menjadi tulang punggung dalam perang Nopember 1945 di Surabaya.

4)    Kelanjutan dari strategi yahannu adalah berhasilnya KH A Wahid Hasyim meyakinkan Jepang untuk mendirikan kantor urusan agama (Shumuka) di seluruh Indonesia. [5]

Melalui strategi yahannu, KH A Wahid Hasyim dan para ulama lainnya berhasil membangun kekuatan strategis, kekuatan tentara (Hizbullah dan Sabilillah), kekuatan politik (keanggotaan dewan perwakilan dan masyumi), kekuatan birokrasi (kantor urusan agama) dan terlibatnya para tokoh pesantren dalam gerakan menuju kemerdekaan. Keberhasilan ini pula yang mampu menekan pemerintah Jepang untuk segera menentukan nasib Indonesia (yang pada kemerdekaan itu dapat diraih oleh bangsa Indonesia sendiri). Bahkan atas masifnya gerakan umat Islam dalam percaturan politik dan pemerintahan tersebut telah mengundang perhatian dunia untuk turut serta menekan Jepang. Syeh Muhammad al Amin al Husaini, sebagai ketua Kongres Muslimin sedunia mengirim kawat teguran kepada Duta Besar Jepang di Jerman agar segera mengambil keputusan atas umat Islam di Indonesia. Tekanan internasional inilah termasuk mempunyai pengaruh signifikan atas janji yang kemudian disampaikan oleh Jepang atas kemerdekaan Indonesia.

Penutup

Yahannu, sebagai sikap cerdik, sikap yang terkesan pura-pura dalam rule of game politik saat Jepang ternyata telah menghasilkan banyak sekali manfaat bagi persiapan kemerdekaan Indonesia. Strategi yahannu dalam perpolitikan oleh KH A Wahid Hasyim menjadi strategi ampuh yang telah membawa manfaat besar bagi umat islam Indonesia dan perjuangan kemerdekaan Indonesia itu sendiri. Namun jika strategi yahannu itu hanya untuk kepentingan pribadi atau golongan, maka tidak pantas menyebutnya sebagai strategi politik yahannu ala pesantren.

Wallahu ‘Alamu Bishshowab

Catatan Kaki :



[1] Tempo, 2004, “Hasyim Muzadi : Pasangan Manapun yang Menang, Selisihnya Tipis”, Rabu 25 Agustus 2004 (Tempo.co.id)




[2] Harry J. Benda, The Crescent and the rising Sun Indonesia; Islam Under the Japanese Occupation 1942-1945, terjemahan Daniel Dhakidae, (Jakarta: Pustaka Jaya  1979 ), hal 155.




[3] Harry J Benda, Ibid.




[4] KH Syaifuddin Zuhri,”Peranan NU dalam Pengembangan Islam dan Membela Tanah Air”, dalam Choirul Anam, 2010, Pertumbuhan dan Perkembangan Nahlatul Ulama, Duta Aksara Mulia.




[5] Choirul Anam, 2010, Ibid.


MAJAPAHIT NEGARA BHINNEKA, BUKAN AGAMA

Jika ada yang manyatakan bahwa Majapahit adalah negara berdasarkan agama tertentu (Hindu/Budha Syiwa), buat saya kurang meyakinkan. Ada beberapa alasan yang bisa saya ajukan, yaitu : Pertama, berdasarkan prasasti Bendasari yang dikeluarkan oleh Rajasanagar (Hayam Wuruk) disebutkan adanya kitab hukum Kutara Manawa atau Kutaramanawadharmasastra yang berisi pasal-pasal dalam hukum pidana dan perdata. Dan isi pasal-pasal tersebut tidak mencerminkan adanya pengaruh dominan dari sebuah agama tertentu (Hindu), namun lebih merujuk pada aturan berdasarkan nilai-nilai masyarakat Jawa pada waktu itu (yang berkembang dalam masyarakat). Misalnya dalam pasal 87 disebutkan : “Barangsiapa sengaja merampas kerbau atau sapi orang lain dikenakan denda dua laksa. Barangsiapa merampas hamba orang, dendanya dua laksa. Denda itu dipersembahkan kepada raja yang berkuasa. Pendapatan dari kerbau, sapi dan segala apa yang dirampas terutama hamba dikembalikan kepada pemiliknya dua kali lipat”. Hewan sapi diperlakukan sebagai hewan ternak (kekayaan) seperti kerbau dan lainnya (bukan hewan suci yang tak tersentuh). Pasal 108 berbunyi :”Djika seorang istri enggan kepada suaminja, karena ia tidak suka kepadanja, uang tukon (mahar) harus dikembalikan dua kali lipat. Perbuatan itu disebut amadal sanggama (menolak bertjampur)”.

Kedua, Dalam sistem kependetaan (tokoh agama) ada dua yaitu kependetaan yang dekat dengan agama dan para pertapa di luar istana (Rsi). Para Rsi ini bisa datang dari berbagai agama, tidak hanya dari Hindu. Setiap tahun diadakan acara paseban (pertemuan besar), dimana tokoh-tokoh agama hadir, dari pendeta, Siwa, Budha dan Rsi untuk membacakan kitab suci dan mantra untuk keselamatan Raja. Dan seluruh tempat-tempat suci dari berbagai agama tersebut dilindungi dan dibantu oleh Raja.

Paling tidak dua alasan utama itulah yang membuat saya yakin bahwa Majapahit di saat Hayam Wuruk menerapkan sistem hukum positif yang bersumber dari nilai-nilai yang berkembang dalam masyarakat, bukan sistem agama tertentu, namun bisa diterima oleh masyarakat yang beragama ragam. Oleh karena itu, saya menyebutnya majapahit sebagai kerajaan (negara) bhinneka. Maka menjadi wajar, jika Islam juga berkembang dan mencapai penerimaan luas oleh masyarakat, karena memang kerajaan tidak membatasi agama tertentu untuk berkembang.

Disarikan dari :

Agus Aris Munandar, 2008, “Kejayaan Kerajaan Majapahit Rajasanagara di Puncak Peradaban Majapahit (1350-1389)”, Departemen Arkeologi, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia.

 

CERITA KANCIL DAN KEYONG : KESEMBRONOAN BERAKIBAT FATAL

Kancil sebagai hewan yang lincah, cerdik, pandai, atletis dan rupawan demikian membanggakan dirinya. Makhluk seperti Keyong dihina dan direndahkan. Demikian hinaannya :

“sudah mati saja//hidup lama juga celaka//wujudmu jelek//dengan punggung//tidak lumrah makhluk Tuhan seperti itu//polah tingkah rumahmu turut serta//merecoki dalam bekerja”

“luhung cupêta bae wis | urip ndêdawa cilaka | wujud sifatira asor | sarta tyasmu punggung mudha | tan kaprah makhluking Hyang | mobah molah wisma katut | ngrêribêdi barang karya ||”

mokal darbea sirèki | kagunan ingkang mulyarja | pantêse atimu bodho | klêlar-klêlêr mak-êmakan | tur tan darbe agama | kitab Kuran nora wêruh | apa manèh tatakrama ||

“Mustahil kamu punya kemulyaan//pantas saja hatimu bodoh//klelar kleler manja//juga tak punya agama//kitab Quran tidak tahu//apalagi tata krama//

Begitulah awal perseteruan antara kancil dan keyong, sehingga keyong menantang adu lari. Dan perlombaan laripun terjadi. Setiap kancil lari mendahului Keyong, di depannya ada “Kancil aku di sini”, begitulah seterusnya. Sehingga pada akhirnya Kancil menyerah kalah.

Sikap sombong kancil telah membuatnya tidak jeli dan teliti. Bahkan bentuk keyong yang sudah kodratpun dicaci maki. Namun justru karena bentuk itulah keyong memenangkan pertarungan.

Seringkali manusia “gebyah uyah”, menggenelarisir terhadap orang lain. Tidak pernah mau jeli dan memahami bahwa setiap individu adalah unik. Jangan sampai sikap kecerobohan seperti Kancil ini menjermuskan kita ke dalam kesalahan yang sama seperti dialami oleh si Kancil.

Dikutip dari Kitab :
KANCIL KRIDHAMATANA
Oleh : Raden Panji Natarata, Ngayugyakarta
Diterbitkan oleh H. Buning, Yogya, 1909

Sumber : Yayasan Sastra Lestari

Bersatu Atas Nama Bangsa

Adalah bangsa Amerika yang dikenal dan mengenalkan dirinya sebagai bangsa yang kokoh persatuan dan kesatuannya. Banyak film menyajikan bagaimana ketika satu orang Amerika teraniaya di sebuah negara, maka akan segera mendapatkan bantuan dan pertolongan. Mengapa? Karena dia bangsa Amerika.

Konflik kepentingan para pebisnis dari Amerika di berbagai belahan dunia, hampir selalu mengupayakan keuntungan hanya bagi mereka. Jika toh ada yang kalah, maka akan ada “kompensasi” atau tidak merugi besar. Bagaimana dengan warga lokal? Mereka selalu dinomosekiankan. Bagi mereka warga lokal sikap semacam itu sungguh zalim dan diskriminatif, tanpa mengutamakan prinsip keadilan dan nilai kemanusiaan universal. Bahkan, perbedaan ideologi, agama, ras, selama itu bangsa Amerika akan menjadi prioritas.

Sungguh Ironi, kita sebagai bangsa Indonesia. Banyak sekali warga kita menderita di bumi bangsa lain. Tapi apakah kemudian “bertempur” mengenakkannya?

Saat ini, sikap yang ditempuh bangsa Amerika sudah ditiru oleh bangsa-bangsa lain. Lihatlah Singapura, bagaimana sikap mereka terhadap para pelarian koruptor dari Indonesia. Sikap Malaysia dalam menghadapi konflik dengan Indonesia atas problem warganya.

Jika hanya perbedaan paham keagamaan saja kemudian kita melupakan warga bangsa lainnya dan aniaya terhadap mereka, bagaimana kita membangun kejayaan bangsa kita sendiri?

Jika politik, ekonomi dan agama tak lagi mampu menyatukan kita, mungkin atas nama bangsa Indonesia kita bisa tetap bersatu. Tak ada diskriminasi antarsesama warga bangsa Indonesia. Belajarlah kepada mereka yang sudah mampu membangun itu semua.

Merdeka ..............!!!

 

 

 

Sisi Lain Gus Dur

Salah satu orang yang dikenal luas sebagai penelusur situs-situs makam ulama (wali) adalah Gus Dur. Andai ada istilah Sarjana Kuburan (Sarkub), maka beliau sangat layak disebut Profesornya. Apa yang dilakukannya tidak sekedar ziarah, berdo’a dan untuk kepentingan diri sendiri. Tetapi apa yang dilakukan selama ini telah meninggalkan jejak bertebaran dan menjadi inspirasi banyak orang.

Makam yang dulu tidak dikenali, setelah kedatangan beliau, menjadi situs yang kemudian banyak diziarahi. Masyarakat yang sebelumnya tidak mengenal dengan para tokoh ulama tempo doele, pada akhirnya berusaha untuk menggali lebih dalam keberadaan tokoh yang sudah diungkap oleh Gus Dur

Sungguh itu merupakan pembelajaran yang mencerdaskan, karena selalu memberi tantangan bagi mereka yang benar-benar serius untuk menggali sejarah situs-situs makam tersebut. Pada akhirnya, kita semua diajak kembali kepada sejarah perjuangan para leluhur sebelumnya.

Banyak contoh dan teladan dari para oelama doeloe yang bisa ditransformasikan dalam konteks kekinian. Pun demikian kita menjadi bisa lebih memahami segala aspek sosial dan lingkungan dimana kita hidup.

Jika, dari mereka yang masih hidup jarang yang bisa kita teladani, maka kepada mereka yang sudah mati, kita bisa bangkitkan keteladanannya.

Anda boleh tidak bersepakat dengan saya, tapi itulah yang saya pahami.

Wallahu 'Alamu Bishshowab

 

 

 

 

Ajaran dari Sunan Kudus (Pantangan-Pantangan)

Niki dawuh ajaran saking Kanjeng Susuhunan ing Kudus (Sunan Kudus) :

1) ora kena dhahar iwak sapi
2) ora kena ngunjuk powan sapi (susu sapi)
3) ora kena sikara (nyiksa) marang macan
4) ora kena cidra
5) ora kena laku durjana
6) ora kena ngunjuk wargang (arak)
7) ora kena dhahar iwak banyak
8) ora kena gawe seriking sapada-pada
9) ora kena dhahar iwak celeng
10) ora kena dhahar iwak gangsir
11) ora kena kesed
12) ora kena nganake duwit
13) ora kena mingkuh manawa wis kabener
14) ora kena adol dodolan kang oleh bathi akeh
15) ora kena dhahar timun sarta krai
Sumber : Kitab Sabda Sasmaya

SERAT PATEKAH

Bismillahirrahmanirrakim ... Utawi sakèhing puji kaduwe ing Allah.

Alkamdulillahi ... Jênênge kang murba misesa.

Robbil ngalamin ... Allah Ingsun kang pinangeran.

Arohmannirakim ... Kang murah ing donya asih ing akerat.

Malikiyaomiddin ... Nyatane karaton Ingsun.

Iyyaka nakbudu ... Ingsun kang anêmbah kang sinêmbah.

Wa iyaka nastangin ... Ora anane ingsun iki, sira kang ana, iku ora ketung Ingsun malih.

Ihdinas siratal mustakim.........Nyatane ananira iku ananingsun.

Siratalladina an'amta ngalaihim ... Margaa ing sira, Ingsun suka dening sira, margane ana mukmin ya dening sira.

Ghaeril maghlubi ngalaihim, waladdêlolin ... Ya Ahmad, sira iku ya ora beda lan ananingsun, lan mukmin iku ora beda kalawan wali, Ingsun iku ya Ahmad, dudu sira, sajatine ora ana Ingsun lan sira, yaiku wahananira wahananingsun.

Amin ... Rasanira rasaningsun, iya iku kang aran tingal bagêna.

Sumber : Yayasan Sastra Lestari

BUDDHA = DZUL KIFLI A.S?

1. Menurut Abu’l Kalam Azad (seorang Urdu scholar), Sang Buddha (Buddha Shakyamuni) yang dikenal sebagai guru suci bagi umat Buddha tidak lain adalah Nabi Zulkifli as, yg dalam Al-Quran disebut sebagai Nabi yg mempunyai tingkat kesabaran yang tinggi, dan sangat baik. Dalam bahasa Arab Zulkifli sendiri berarti “orang yg berasal dari Kifl”. Sedangkan Kifl itu sendiri, masih menurut Kalam Azad, merupakan nama Arab untuk Kapila (singkatan dari Kapilavastu).

2. Buddha Maitreya yang dikenal dalam agama Buddha sebagai “Buddha yang akan datang” menurut beberapa analisa tidak lain adalah Nabi Muhammad saw. Dalam kitab Chakkavatti Sinhnad Suttanta D. III, 76 bisa ditemui: “There will arise in the world a Buddha named Maitreya (the benevolent one) a holy one, a supreme one, an enlightened one, endowed with wisdom in conduct, auspicious, knowing the universe“.

SIAPAKAH NABI ZULKIFLI

Zulkifli bermaksud sanggup menjalankan amanah raja. Menurut cerita, raja di negeri itu sudah lanjut usia dan ingin mengundurkan diri daripada menjadi pemerintah, tetapi beliau tidak mempunyai anak.

Justeru, raja itu berkata di khalayak ramai:”Wahai rakyatku! Siapakah antara kamu yang sanggup berpuasa pada waktu siang dan beribadah pada waktu malam. Selain itu, sentiasa bersabar ketika menghadapi urusan, maka akan aku serahkan kerajaan ini kepadanya.”

Tiada seorang pun menyahut tawaran raja itu. Sekali lagi raja berkata:”Siapakah antara kamu yang sanggup berpuasa pada waktu siang dan beribadah pada malamnya serta sanggup bersabar?”

Sejurus itu, Basyar dengan suara yang lantang menyatakan kesanggupannya. Dengan keberanian dan kesanggupan Basyar melaksanakan amanah itu beliau diberi gelaran Zulkifli.

Baginda juga adalah nabi yang cukup sabar seperti firman Allah, bermaksud:
“Ismail, Idris dan Zulkifli adalah orang yang sabar dan Kami beri rahmat kepada semua karena mereka orang yang suka bersabar.”

SIAPAKAH SIDDHARTHA GAUTAMA

Pada akhir abad ketujuh S.M. (tahun 623 S.M.), lahirlah seorang yang bernama Siddhartha Gautama di bandar Kapilavastu/Kapilavathu (Kapil, lidah Arab menyebut Kafil @ Kafli). Siddhartha Gautama merupakan putera kepada Raja Suddhodana dan Permaisuri Maha Maya. Raja Suddhodana dari keturunan suku kaum Sakyas, dari keluarga kesastrian dan memerintah Sakyas berdekatan negeri Nepal. Manakala Permaisuri Maha Maya pula adalah puteri kepada Raja Anjana yang memerintah kaum Koliya di bandar Devadaha.

Sebelum kelahiran Buddha: Permaisuri bermimpi dibawa oleh 4 orang dewa ke sebuah gunung yang tinggi. Kemudian, permaisuri melihat seekor gajah putih yang cantik. Pada belalai gajah itu terdapat sekuntum bunga teratai. Gajah mengelilinginya 3 kali sebelum masuk ke dalam perut permaisuri.

MAKSUD ISTILAH BUDDHA

Dalam agama Buddha, perkataan Buddha bermaksud ‘seorang yang bijaksana’ atau ‘dia yang mendapat petunjuk’. Kadang kala istilah ini digunakan dengan maksud ‘nabi’. Gautama Buddha pernah menceritakan kedatangan seorang Antim Buddha. Perkataan Antim bermaksud ‘yang terakhir’ dan Antim Buddha bermaksud ‘nabi yang terakhir’ (Antim terakhir yang dimaksudkan ialah Muhammad SAW sebagai Nabi dan Rasul terakhir). Pada saat kematian Gautama Buddha, beliau memberitahu perkara ini kepada pengikut setianya bernama Ananda.

Makna “Nabi” dalam bahasa Arab (berasal dari kata naba yang berarti “dari tempat yang tinggi”; karena itu orang ‘yang di tempat tinggi’ dapat melihat tempat yang jauh). Nabi dalam bahasa Arab sinonim dengan kata Buddha sebagaimana yang difahami oleh para penganut Buddha. Sinonimnya pengertian ini dapat diringkaskan sebagai “Seorang yang diberi petunjuk oleh Tuhan sehingga mendapat kebijaksanaan yang tinggi menggunung”.

RINGKASAN KISAH SIDDARTHA GAUTAMA

Kelahiran Bodhisatta (Bodhisattva, bakal Buddha atau bakal mencapai Pencerahan) pada tanggal 623 S.M. pada bulan purnama Vesak. Selepas sahaja Bodhisatta dilahirkan, Permaisuri Maha Maya mangkat selepas tujuh hari melahirkan anak.

Pada hari kelahiran Bodhisatta telah disadari secara ghaib oleh seorang tua yang sedang bertapa di kaki gunung Himalaya yang digelar Asita Bijaksana (nama asalnya Kala Devala). Asita bergegas ke istana pada keesokannya untuk melihat dan menilik putera Raja Suddhodana.

Asita mendapati terdapat 32 tanda utama dan 80 tanda kecil menunjukkan Bodhisatta bakal menjadi Manusia Agung dan Guru Agung kepada manusia dan dewa-dewa (i.e. Jin dan Malaikat, kelemahan umat Hindu dan Buddha ialah tidak dapat bedakan antara Jin dan Malaikat yang keduanya dipanggil DEWA-DEWA).

Asita menangis karena sedih tidak sempat mendengar ucapan dan pengajaran Buddha di masa akan datang, beliau kemudian berlutut tunduk hormat kepada bayi Bodhisatta.

Kenyataan terakhir Asita ialah Bodhisatta hanya akan menjadi salah satu dari dua yaitu sekiranya ia kekal membesar dalam istana dia akan menjadi Maharaja Agung manakala kalau dia berjaya lari dari istana maka dia akan menjadi Mahaguru Agung.

Upacara menamakan putera raja diadakan pada hari kelima selepas Boddhisatta dilahirkan. Pada akhir majlis itu, 108 orang bijaksana memutuskan nama yang sesuai untuk putera raja iaitu SIDDHARTHA GAUTAMA yang membawa maksud ‘Cita-Cita Terkabul’.

Siddhartha kemudian membesar di istana dan belajar kepada seorang guru istana bernama Sirva Mitra. Beliau menjadi pelajar yang luar biasa pintar dan mahir dengan ilmu ketenteraan. Yang menjadi keheranan kepada orang disekeliling dan gurunya ialah sifat Siddharta yang sensitif terhadap penganiayaan hingga tidak ada seorang pun yang beliau lihat menganiaya binatang kecuali mencegahnya serta merta.

Malah beliau sangat bersedih melihat para petani berkerja keras membajak tanah dibawah terik matahari menyebabkannya lari ketempat lain ke sebuah pohon (Tiin-Bodhi) dan duduk di sana secara bertafakur (samadhi) untuk membuang stress.

PERSAMAAN NABI ZULKIFLI DENGAN SIDDARTHA GAUTAMA

Maka berbalik kepada maudhu’ perbahasan, benarkah Buddha itu disebut dalam Al-Qur’an? Sebenarnya tidak ada kata-kata “Buddha” dalam Al-Qur’an, namun menurut Dr. Alexander Berzin bahawa terdapat catatan para sejarawan dan peneliti yang mengaitkan beberapa ayat Al-Qur’an dengan Sang Buddha, yaitu pada maksud ayat;

“Demi (buah) Tin (fig) dan (buah) Zaitun, dan demi bukit Sinai, dan demi kota (Mekah) ini yang aman, sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya (neraka), kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh; maka bagi mereka pahala yang tiada putus-putusnya. Maka apakah yang menyebabkan kamu mendustakan (hari) pembalasan sesudah (adanya keterangan-keterangan) itu? Bukankah Allah Hakim yang seadil-adilnya?”(At-Tin 95 : 1)

Beliau menjelaskan bahwa buah Zaitun melambangkan Jerusalem, Isa a.s. (Jesus, Kristian). Bukit Sinai melambangkan Musa a.s. dan Yahudi. Kota Mekah pula menunjukkan Islam dan Muhammad SAW. Manakala pohon Tin (fig) pula melambangkan apa?

Tin (fig) = Pohon Bodhi

Pohon Bodhi adalah tempat Buddha mencapai Pencerahan Sempurna. Al-Qasimi di dalam tafsirnya berpendapat bahawa sumpah Allah SWT dengan buah tin yang dimaksud ialah pohon Bodhi. Prof. Hamidullah juga berpendapat sama dengan al-Qasimi bahawa perumpamaan pohon (buah) tin (fig) di dalam Al-Qur’an ini menunjukkan Buddha itu sendiri, maka dari sinilah mengapa sebahagian ilmuan Islam meyakini bahawa Buddha telah diakui sebagai nabi di dalam agama Islam.

Manakala Hamid Abdul Qadir, seorang sejarawan abad ke-20 mengatakan dalam bukunya Buddha Yang Agung: Riwayat dan Ajarannya (Arab: Budha al-Akbar Hayatuh wa Falsaftuh), menjelaskan bahawa Buddha adalah nabi Dhul-Kifl, yang bererti “ia yang berasal dari Kifl”. Nabi Dhul-Kifl @ Zulkifli disebutkan 2 kali dalam Al-Qur’an:

“Dan (ingatlah kisah) Ismail, Idris dan Dzulkifli (Dhul Kifl). Semua mereka termasuk orang-orang yang sabar.” (Al-Anbiya’ 21: 85).

“Dan ingatlah akan Ismail, Ilyasa, dan Dzulkifli (Dhul Kifl). Semuanya termasuk orang-orang yang paling baik.” (Shad 38 : 48).

KESIMPULAN

“Kifl” adalah terjemahan Arab dari Kapilavastu (Kapil), tempat kelahiran Bodhisattva (Buddha). Hal ini juga yang mungkin menyebabkan Mawlana Abul Azad seorang ahli teologi Muslim abad ke-20 turut menekankan bahawa Dhul-Kifl dalam Al-Qur’an boleh jadi adalah Buddha.

Dalam sejarah Islam, Nabi Zulkifli a.s. adalah antara nabi yang mempunyai cerita yang paling sedikit dibicarakan. Hal ini mungkin menjadi faktor kepada sebahagian ulama’ menyamakan watak Dzul-Kifli dalam Al-Qur’an dengan Buddha yang secara kebetulan banyak persamaan sekiranya disuaikan.

Yang menarik perhatian saya ialah mengenai surah at-tin (the fig). Allah berfirman mengenai pokok/buah tin, pokok/buah zaitun, bukit sinai dan kota mekah. Mekah dikaitkan dgn Nabi Muhammad s.a.w., Bukit Sinai dengan Nabi Musa, zaitun dengan Nabi Isa a.s., dan siapa pula dikaitkan dengan buah atau pokok tin?

Dikatakan dalam sejarah bahawa Gautama Buddha duduk bawah pokok tin. Kalau ikut istilah islam, dia dapat wahyu masa duduk bawah pokok tersebut. Ikut tulisan orang Buddhist, dia dapat ilham masa duduk bawah pokok tersebut.

Bila Allah berfirman :“Wattiini wazaitun. watuurisinina wahazal baladil amin.”
Allah menyebut perihal Nabi-Nabi-Nya. Tiin (Nabi Zulkifli-Buddha), Zaitun (Nabi Isa a.s), Siniina- bukit Sinai (Nabi Musa) dan Baladil amin -Tanah yang aman dan selamat (Mekah)- Nabi Muhammad saw. ia ikut urutan, hebatnya Qur’an sebagai kalimat Tuhan susunan sejarah riwayat Nabi-Nya. Mari kita sama-sama fikirkan. HANYA ALLAH YANG MAHA MENGETAHUI.

Sumber : http://mualaf-alhamdulillah.blogspot.com/2012/06/ternyata-sidharta-buddha-gautama-adalah.html

Antara WATU (Batu) dan BUTO (Wuto)

Ajaran kapiTAYAn yang kemudian dipengaruhi oleh materialisme, menumbuhkan pemahaman personifikasi DIA YANG MUTLAK dalam dua bentuk diri utama, yaitu TU yang baik dan TO yang jahat. Dua-duanya adalah bentuk dari TUHAN itu sendiri. Penyembahan kepada salah satunya adalah bagian dari penyembahan kepadaNYA.

Maka, tidak mengherankan ketika sebelum ditemukannya logam, WATU (Batu)-kuWAT-kuWATe TU, menjadi perwujudan dari TU yang paling kuat, yang paling berkuasa. Seiring dengan penemuan berbagai jenis logam, WATU diganti dengan logam, mulai dari tembaga, emas, perak dan sebagainya. Demikianlah kita saksikan berbagai tradisi di berbagai belahan dunia.

Sementara, BUTO menjadi diri yang jahat, bertampang jelek, menakutkan dan sebagainya. BUTO adalah TO yang BUTuh, atau BUTuh-BUTuhe TO. Persembahan dalam bentuk pengorbanan hewan dan manusia menjadi bagian dari penyembahan kepada BUTO. Kepada WATU mereka hanya sekedar memberi makanan ala kadarnya dari sayur, nasi atau paling banter hewan ternak. Bahkan tidak memerlukan sesajen itu seperti itu sama sekali.

Siapa saja yang menyembah kepada BUTO, maka dia akan WUTO (Buta), karena dia hanya melihat TUHAN yang kejam saja. Tidak sedikitpun melihat dan yakin adanya kelembutan.


Wallahu 'Alamu

IBU

Keberadaan IBU adalah karena anak-anaknya. Seorang IBU hadir sebagai pendamping  suaminya. Maka IBU adalah bagian tak terpisahkan dari sebuah keluarga.

Suami yang  mulia derajat dan tinggi pangkatnya adalah berkat jasa seorang IBU.
Anak-anak soleh dan solihah serta membanggakan tak lahir  kecuali buah dari kepahlawanan seorang IBU.
Seorang IBU adalah bandul penyeimbang, antara anak dan bapaknya dalam keharmonisan keluarga.

Yah ... seorang IBU, mereka yang mampu mengikuti gerak juang suaminya.
Yah... seorang IBU, mereka yang mampu memainkan ritme tingkah polah anak-anaknya.

Karena IBU adalah orang yang mengimbangi itu semua dengan budi pekerti yang utama, menurut dawuhe si Mbah : “IBU kuwi, marang anak lan bojo...Imbangana Budi Utama”.

Kepada Almarhum

Orang yang sudah meninggal itu, bagaimanapun sudah memasuki kesadaran baru, bisa jadi lebih jernih atau mempunyai pandangan berbeda atas kehidupan dunia.

Baik kesalahan, kebenaran, dosa, maksiat, ibadah dan sebagainya telah mulai terkuak baginya atas kehakikiannya.

Baik penyesalan maupun kebahagiaan yang diperolehnya di alam kubur sudah mulai disadari sebagai bentuk akibat perbuatan di masa hidupnya.

Sementara, kita yang hidup di dunia, masih belum begitu jelas, karena dunia bukan keadilan mutlak bagi manusia.

Maka sungguh, tak layak manusia yang hidup menghakimi mereka yang sudah di alam kubur, yang lebih dahulu memperoleh bukti-bukti atas amal perbuatannya.

Salam Rahayu....

Ajaran Sesat dalam Serat JILJALAHA

SERAT JILJALAHA demikian namanya. Tulisan/karangan dari Raden Riya Radadiningrat, soerang abdi dalem bupati di Ngayogyakarta.  Naskah ini bisa dikatakan lain daripada yang lain. Terutama pada cara membacanya (memahaminya), harus dipahami secara terbalik (pemahaman berkebalikan). Jika di situ dianjurkan untuk melakukan sesuatu, maka yang dikehendaki adalah sebaliknya. Namun, bagi siapa saja yang ingin membuktikan hasil dari anjuran itu boleh-boleh saja, resiko tanggung sendiri.

Nama JILJALAHA bila dibalik menjadi JILJA, JAJIL, LAHA, ALA artinya JAJIL yang ALA (Jajil yang jelek). Bisa jadi ini adalah ajaran si JAJIL (AJAJIL) dalam versi Jawa. Saya cuplikkan beberapa saja :

Dalam bait ke-10 :

lawan aja sok ngênèhi dhuwit | nyang wong mlarat mundhak kêtularan | nadyan ta tanggamu anggèr | kalamun anjêjaluk | lênga tuwin sêga sathithik | ginawe dulang bocah | poma sira putu | wis aja korèwès pisan | iku ingkang dadi jalaran bilai | gombale anênular ||

“kepada orang lain, jangan beri uang// kepada orang miskin hanya bikin (ketularan) miskin// meski tetanggamu meminta minyak atau sedikit nasi untuk memberikan makan anaknya// andaipun kamu itu adalah cucu// sudah jangan dianggap// itu semua yang menyebabkan bilahi//gombalnya menular//”

Bait ini menganjurkan untuk tidak membantu kepada orang lain, meski orang tersebut miskin, sangat membutuhkan untuk makan. Sebab itu semua justru membuat sengsara.

Dalam bait ke-24 disebutkan :

lan yèn nuju sira kaki | jêjagongan lan wong kathah | yèn ana sing wani nyêngès | ngajak gêguyon mring sira | ya banjur pisuhana | mênèk wani malês misuh | jur sudukên babar pisan ||

“Jika engkau duduk bersama dengan orang banyak// jika ada yang berani cengar-cengir mengajak guyon// ya makilah dia// kalau berani membalas memaki// tusuk saja sekalian//”

Banyak lelaku yang intinya memuaskan nafsu sebagai cara mencapai surga.

lamun sira tumêkèng pati | tamtu ginanjar swarga | anèng watu lumbung | ika rak katon suwarga | yèn wus antuk pitulunge Hyang Ijajil | byar jlêg katon suwarga ||

“Jika engkau mati tentu mendapat ganjaran surga// di batu itu kan kelihatan surga// jika sudah mendapat pertolongan Hyang IJAJIL// cling.. nampak surga.

Anda mau mencoba mendalami dan mempraktekkan? Lebih baik jangan, tidak semua orang mampu mencapai puncaknya dan kuat dengan segala resikonya.

Wallahu ‘Alamu

*) Sumber : Serat Jiljalaha, Yayasan Sastra Lestari.

 

 

 

 

DIBALIK JATUHNYA GUS DUR : SUKSESI DENGAN KECACATAN

Pendahuluan

Sukurlah akhir-akhir ini muncul beberapa peristiwa yang menyangkut Gus Dur, khususnya seputar lengsernya dari Jabatan Presiden di tahun 2001. Selama ini banyak beredar persepsi dan itu sering dihembus-hembuskan bahwa : a) Gus Dur Lengser karena telah melanggar hukum, yaitu kasus penggelapan dana Yanatera Bulog dan Kasus Gratifikasi dari Sultan Brunai Darussalam, b) Gus Dur lengser karena telah mengeluarkan maklumat/dekrit tertanggal 22 Juli 2001 disimpulkan sebagai tindakan melawan negara dan mengancam kemanan dan ketertiban negara. Dua poin tersebut menjadi bahan sejarah masa kini, hingga kita semua menjadi tidak paham apa yang sesungguhnya terjadi. Tulisan ini mencoba menampilkan sudut pandang lain mengenai lengsernya Gus Dur.

Pansus Yang Cacat Sejak Lahir

Salah satu peristiwa yang dapat dijadikan pijakan kronologis jatuhnya Gus Dur dari kursi kepresidenan adalah adanya Pansus Buloggate dan Bruneigate tersebut. Dalam dasar pembentukannya, panitia khusus tersebut mencantumkan UU 6/1954 tentang pengaturan hak angket DPR sebagai pelaksanaan UUD Sementara 1950 (pasal 70). Melihat jenis aturan yang dijadikan dasar tersebut dapat dikatakan Pansus sudah cacat sejak lahirnya, karena UU tersebut menganut sistem pemerintahan parlementer dan saat itu (2001) sudah tidak berlaku lagi.

Jika toh kemudian UU tersebut masih diakui keabsahannya dalam masalah hak angket, maka ada beberapa kecacatan selama proses pansus, yaitu :

a)    Ketentuan pencatatan pada lembaran negara di saat pembentukan pansus, namun kenyataannya baru tiga bulan setelah bekerja dimasukkan dalam lembaran negara (pelanggaran Pasal 1 (2) UU UU 6/1954

b)    Pembiayaan pansus ditentukan melalui rapat pleno DPR sebagai mata anggaran DPR, namun selama proses berjalan tidak pernah ada anggaran resmi mengenai hal itu.

Demikian pula cacat itu juga berkaitan dengan Tata Tertib DPR, Menurut tata tertib ini, DPR juga melakukan pelanggaran. Pasal 153 ayat 1 berkenaan dengan penentuan biaya pansus, dan itu juga tidak dilakukan. Pelanggaran berat juga dilakukan oleh Pansus terhadap Tata Tertib DPR-RI. Menurut pasal 156 ayat 1, mengenai laporan tertulis dan berkala hasil pansus kepada pimpinan DPR, dibagi ke anggota dan disampaikan kepada presiden. Pelanggaran berat ini terjadi karena sampai selesainya laporan akhir, Pansus tidak pernah melaporkan kepada Pimpinan DPR ataupun kepada anggota, dan juga tidak pernah memberi laporan tertulis kepada Presiden.

Memorandum adalah Targetnya

Ketika proses penyelidikan dilakukan ternyata hasilnya tidak mempunyai dasar kuat atas kasus hukum Buloggate dan Brunaigate. Anehnya hasil pansus tersebut berubah menjadi memorandum kepada presiden. Padahal hasil pansus menunjukan bahwa, ternyata hanya 31,94% dari penyelidikan pansus yang berupa fakta. Sedang 37,50% masih berupa keterangan yang harus diverifikasi untuk bisa menjadi fakta, dan 31,94% sisanya berupa analisis dan kesimpulan,yang sama sekali bukan merupakan tugas dan wewenang Pansus.

Memorandum seakan-akan menjadi target awal sejak Pansus Dana Yanatera Bulog dan pansus Sultan Brunai Darussalam ini dibentuk. Padahal hasil momerendum kepada Presiden Abdurahman Wahid tidak memiliki landasan hukum (konstitusi). Menurut ketentuan hak penyelidikan (Angket) dalam peraturan tata tertib DPR tidak ada satu pasalpun yang menyebut peringatan kepada Presiden berupa memorandum. Tindakan yang dilakukan DPR inilah yang sudah melenceng jauh dari tugas dan wewenang pansus, dengan kata lain pansus telah melanggar peraturan.

Namun kalangan DPR tidak kalah akal, maka berdalih Tap MPR No.3/1978 dijadikan dasar hukum adanya memorandum. Pada saat menjawab memorandum I, Gus Dur menolak memorandum I dan keterlibatannya dalam kasus Buloggate dan Bruneigate. Tidak berselang lama (memo I tanggal 28 April 2001 dan 20 April 2001) hanya dua hari, DPR menjatuhkan memorandum II dan mengusulkan adanya Sidang Istimewa. Jika dirunut kronologis berawal dari kasus Buloggate dan Bruneigate yang lebih kepada aspek hukum, maka tindakan DPR dalam konteks ini sudah keterlaluan, karena adanya niatan melakukan ipmpeachment kepada presiden. Inilah bagi Gus Dur sebagai kondisi berbahaya bagi kenegaraan. Tanggal 20 Juli 2001 Amin Rais menyatakan SI dapat dipercepat pada tanggal 23 Juli 2001, dan untuk mengatasi gerakan membahayakan tersebut, maka Gus Dur mengeluarkan dekrit yang isinya termasuk membekukan MPR dan DPR.

Dekrit tersebut, kemudian dibaca oleh mereka lawan-lawan politik sebagai peluang untuk benar-benar menyelenggarakan SI. Persis pada hari yang sama, saat maklumat itu dibacakan oleh Yahya Cholil S, di gedung DPR/MPR pemakzulan dilakukan dan hari itu juga Indonesia mempunyai presiden baru.

Penutup

Bagi anda yang masih bisa berpikir jernih, maka apakah kasus Buloggate atau Bruneigate adalah semacam alat politik saja, sebab bagaimanapun itu adalah kasus hukum tidak bisa DPR mengurusi proses hukumnya. Namun faktanya, itu semua dijadikan dalih politik untuk memberikan rasa tidak percaya kepada Gus Dur dan selanjutnya menjadi alat melengserkannya. Bisa jadi, alasan sebenarnya bukan itu semua. Masih ada fakta-fakta lain tersembunyi yang bisa menjelaskan mengapa Gus Dur dilengserkan. Namun, jika pertanyaan mengapa Gus Dur turun dari jabatan Presiden, maka jawaban yang tegas adalah sebab dilengeserkan oleh mereka yang dengan sengaja menghendakinya. Bukan karena pelanggaran atas peraturan apapun. Berbagai kecacatan yang menyertai pelengseran Gus Dur akan tetap menjadi bahan polemik dan menjadi bagian sejarah bangsa ini. Bersukurlah setelah dilengserkan Gus Dur biasa-biasa saja, tidak sedikitpun melakukan upaya-upaya perlawanan berarti. Sehingga tak ada darah tertumpah.

Sumber :

1)    Kronologi lengsernya Gus Dur http://nasional.news.viva.co.id/news/read/117600-kisah_kejatuhan_gus_dur_dari_kursi_presiden

2)    Fakta-fakta pelanggaran terhadap undang-undang dan tata tertib DPR oleh Pansus Dana Yanatera Bulog dan Sumbangan Sultan Brunei, di http://hasni.4mg.com/benar_files/halpol_files/politik.htm

3)    Sidang Istimewa atau Dekrit, di http://teguhtimur.com/2001/06/02/sidang-istimewa-atau-dekrit/

4)    Sumber-sumber lain