Materialisme dan Ajaran Kapitayan

Sebelum saya membahas lebih jauh, perlu saya sampaikan bahwa pemilihan istilah Ajaran Kapitayan adalah upaya saya untuk membedakan dengan kepercayaan ataupun kejawen yang sudah berkembang demikian ragam. Demikian pula materialisme yang saya maksud adalah dalam pengertian luas dan berkaitan dengan kepercayaan akan Tuhan, Sang Pencipta.

Penyesatan oleh materialisme

Sebagaimana dijumpai di belahan dunia lainnya, persoalan materialisme menjadi ancaman serius dalam perkembangan sebuah ajaran (agama). Perkembangan agama samawy yang turun di belahan timur tengah menampilkan sebuah gambaran bahwa materialisme merupakan ancaman serius dalam kemurnian konsep Agama yang lurus, dalam penyembahan kepada Tuhan YangEsa (Ajaran Tauhid). Ketika Agama samawy yang dibawa oleh Nabi Adam, Hud, Soleh, Ibrahim, Musa, dan sampai kepada Kanjeng Nabi Muhammad SAW godaan dan ajakan kepada materialisme begitu kuat dan membuat banyak manusia sesat. Seperti Namrud, Fir’aun adalah contoh manusia yang terjebak pada materialisme dalam arti diri sendiri, sebagai bagian materi ciptaan (hamba) yang mengaku menjadi Tuhan yang layak disembah. Bagaimana Korun, Bal’am, Samiri yang tersesat oleh kilauan materialisme dalam bentuk harta, ilmu dan sesembahan. Masih banyak lagi bentuk-bentuk materialisme, termasuk di dalamnya adalah hedonisme, pemuasaan nafsu sahwat yang berlebihan.

Materialisme dalam konteks ini adalah sebuah pemahaman dan keyakinan bahwa materi adalah sebagai segala-galanya, maka Tuhan itu “tidak ada”. Demikian pula materialisme mengajarkan upaya untuk mempersonkan Tuhan dalam bentuk materi, apakah manusia, ide yang tercapai oleh akal, batu dan bentuk-bentuk lain. Memang manusia tidak bisa lepas dari kebutuhan akan materi, namun ajaran tauhid selalu mengajak manusia kembali kepada Sang Pencipta materi, bukan terjebak dan terpukau oleh materi itu sendiri.

Ajaran Kapitayan dan Materialisme

Jauh sebelum masuknya beberapa agama, ide dan kepercayaan ke Jawa, masyarakat Jawa mempunyai ajaran Kapitayan, yaitu kepercayaan kepada Shang Hyang Taya (Diri yang tanpo kinoyo). Zat mutlak yang disebut Tuhan sebagai sumber segala sesuatu dikonsepsikan dalam kata Taya yang diartikan sebagai tan kinoyo (tak dapat diserupakan dengan apapun), karena DIA adalah yang absolut dan tak terjangkau. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa ajaran ini masih lurus, karena mengusung keESAan (monotheisme). Sebagian orang ada yang berpendapat bahwa ajaran ini juga mengajarkan sembahyang (sembah hyang) di tempat yang disebut langgar (batu datar dalam bentuk kotak). Waktu melakukannya ada tiga, yaitu di saat matahari terbit, beduk (beduk siang dan malam bisa jadi 2 kali) dan terbenam. Soal tatacara ini memang kurang meyakinkan, karena memang masyarakat Jawa saat itu masih belum mengenal tulisan (pra sejarah), sehingga sangat mengandalkan budaya tutur, yang sangat memungkinkan adanya distorsi-distorsi. Namun soal Kapitayan beberapa ahli sejarah membenarkannya.

Kembali kepada topik. Bahwa Ajaran Kapitayaan yang monotheis dalam perkembangannya juga dipengaruhi oleh materialisme. Shang Hyang Taya sebagai sumber baik itu kebaikan dan keburukan (menurut pandangan manusia), pada akhirnya dijatuhkan pada dua diri, yaitu diri yang baik dan buruk (padahal itu hanyalah sudut pandang manusia). Hingga kemudian muncul konsep Tu dan To, dimana Tu adalah yang baik dan To adalah yang buruk. Ada sebagian kemudian ini dikaitkan dengan keberadaan dua tokoh, yaitu Semar (sebagai pemawa ajaran Tu) dan Togo (sebagai pembawa ajaran To), dan bisa jadi lebih tragisnya adalah Semar sebagai Wujud Shang Hyang Taya yang Baik dan Togog adalah wujud Shang Hyang Taya yang buruk. Jadi sudah ada derivasi dari Tuhan menjadi person-person, sudah tidak Tunggal Lagi.

Keberadaan Tu dan To juga dimaknai oleh beberapa kalangan sebagai bentuk penyembahan, dimana Tu mengajarkan penyembahan kepada Shang Hyang Tunggal (Tu-nggal) dan To adalah mengajarkan penyembahan Kepada Shang Hyang Taya dengan berbagai sarana. Di sini kemudian lebih jauh lagi bahwa Shang Hyang Taya menyatu (dalam arti satu fisik) dalam berbagai benda fisik dan nonfisik. Karenanya baik yang fisik dan nonfisik tersebut kemudian diyakini sebagai Shang Hyang Wenang (sebutan lain karena Kuasa), maka pada perkembangan ini sudah menjadi politheisme, beragam Tuhan. Fenomena inilah kemudian oleh ahli Barat (Belanda khususnya) menyebut animisme dan dinamisme. Dan ini yang biasa disebut sebagai agama asli Jawa. Padahal dari uraian sebelumnya tidak demikian.

Dengan datangnya berbagai kepercayaan dan agama di Jawa kemudian memunculkan keragaman keyakinan yang demikian banyak dan kompleks, seperti ajaran pengorbanan (bahkan korban manusia di beberapa gunung berapi di Jawa). Pengaruh materialisme berikutnya adalah adanya pemujaan hawa nafsu dalam segala bentuk. Misalnya minuman keras (mabok), seks (medok), membunuh dan sebagainya dalam sebuah ritual. Ini adalah perkembangan lebih jauh daripada To itu tadi, yang mengajarkan penyembahan kepada Shang Hyang Taya dengan beragam cara dan sarana, meski itu dengan tindakan buruk. Mereka yakin juga sampai kepadaNYA. Sisa-sisa ajaran seperti ini juga disinyalir masih ada di beberapa daerah meski itu sangat rahasia.

Dengan uraian di atas, sungguh benar, jika dikatakan bahwa cobaan manusia hidup di dunia yang terberat adalah materi. Kebutuhan akan materi seringkali menjerumuskan kepada cinta berlebihan dan pengagungan. Demikian pula ketakjuban kepada materi dalam segala bentuknya juga telah mendorong manusia meyakininya sebagai sumber kehidupan, bahkan Shang Hyang Tunggal yang tan kinoyo opo-opo (Shang Hyang Taya) dianggap tidak ada diada-adakan saja sesuai selera manusia. Semoga kita bisa melewati ujian berat ini tidak jatuh kepada penyembahan yang keliru.

Wallahu 'Alamu Bishshowab