Membunuh Sengkuni

Sangkuni, atau yang dalam ejaan Sanskerta disebut Shakuni (: शकुनि ; śakuni) atau Saubala adalah seorang tokoh antagonis dalam wiracarita Mahabharata. Sangkuni terkenal sebagai tokoh licik yang selalu menghasut para Korawa agar memusuhi Pandawa. Dunia pewayangan versi Jawa mengenal nama Sangkuni (Sengkuni) yang mendapat jabatan sebagai patih saat pihak Korawa berkuasa di Kerajaan Hastina. Dalam versi Jawa dia dikenal juga dengan Trigantalpati.

Sungguh tokoh yang satu ini mempunyai peran besar dalam jalannya cerita wayang Mahabarata. Berbagai peperangan, konflik, kudeta, penindasan dan sebagainya boleh dikata, dia mempunyai peran di dalamnya. Melalui dia pula, Kurawa mampu berkuasa di tahta Hastina dan berjuang sampai darah penghabisan mempertahankan kekuasaan tersebut.

Hidupnya penuh dendam, rasa dendam atas Pandu, karena sayembara Kunthi yang dimenangkanya, dendam atas perlakukan Pandu, karena Gendari ternyata dinikahkan kepada saudaranya Destarata. Bagi saudaranya Gendari, Sengkuni rela hanya menjadi patih. Demi keturunan Gendari, dia juga rela hanya menjadi penasehat saja. Dia tidak bernafsu menjadi raja, tetapi baginya saudaranyalah yang utama. Kekuasaan yang sesungguhnyalah yang dia kehendaki, tanpa harus menjadi raja. Kekuasaan mempengaruhi siapa saja untuk menuruti kehendaknya.

Sengkuni bukan seorang pendekar dengan ilmu kanuragan, ngeda-edapi. Meski demikian, ia mempunyai kesaktian yang luar biasa, yaitu tidak mempan segala macam senjata, sekalipun senjata para Pandawa. Kesaktian tersebut diperoleh melalui minyak Tala milik sang Pandhu membaluri sekujur tubuhnya. Kelemahannya hanya pada mulut dan dubur, karena bagian itu tidak tersentuh minyak Tala. Namun, kelemahan itu tetap menjadi senjata andalannya, melalui mulutnya, nasehat-nasehat yang meluncur, dia mampu merubah banyak hal. Kelemahan sekaligus kekuatan.

Kematian sengkuni, ada dua versi (paling tidak), satu dibunuh oleh Sadewa (pandawa terakhir) dan versi lainnya adalah Bima (putra kedua). Apapun itu, tetapi satu hal, bahwa Sengkuni tetap bisa mati. Sadewa adalah sosok yang dikenal sebagai ahli perbintangan (nujum), ahli intelijen dan ahli pengobatan. Sedangkan Bima adalah sosok yang jujur, apa adanya, dan sakti. Kematian di tangan Bima, dengan menyobek mulut Sengkuni dengan Pancanakanya.

Jika, politik saat ini menurut Anas Urbaningrum adalah banyak dikendalikan oleh para Sengkuni, maka untuk mengalahkannya adalah membungkam mulut Sengkuni. Ya kelebihannya itu sendiri harus dijadikan senjata makan tuan. Opini dibalas dengan opini, rekayasa dibalas dengan rekayasa. Namun ingat, hanya orang-orang “jujur apa adanya” akan berhasil membungkan Sengkuni. Demikian pula, jika dengan sosok Sadewa, maka harus tahu betul kelemahan Sangkuni, tahu apesnya, tahu jaringannya dan sebagainya, yang penting, peta kekuatan dikuasai betul. Ini adalah kerja intelejen.

Adakah sosok seperti Bima atau Sadewa? Apakah Anas berusaha membangun dirinya seperti salah satu dari mereka? Mari kita sama-sama saksikan pertunjukan selanjutnya....

Selamat menikmati

TAFSIR ATAS TRI TUNGGAL KADEWATAN

Jauh sebelum para tokoh Hastina, Kurawa, Dwarawati, dan lainnya atau kisah Mahabarata muncul, Shang Hyang Tunggal mempunyai tiga putra, yakni Shang Hyang Antaboga, Shang Hyang Ismaya dan Shang Hyang Manikmaya. Boleh dibilang, merekalah penghuni awal Kahyangan Suralaya. Mereka boleh juga dibilang sebagai para dewata awal.

Tafsir atas mereka bertiga sudah banyak tersaji, namun seringkali terpisah. Ada yang lebih suka mengkaji sosok Shang Hyang Ismaya atau yang terkenal dengan Semar  Badranaya. Atau mereka yang selalu menempatkan Shang Hyang Manikmaya, sebagai sosok tak tersentuh, suci. Bahkan ada juga yang suka dengan sosok Shang Hyang Antaboga atau Togog Wijamantri.

Ada sebuah tafsir yang mungkin bisa membantu kita lebih memahami diri kita sendiri. Mereka bertiga tercipta dari telur, yang penciptaannya bersamaan. Konsep telur sebagai awal mula penciptaan sebenarnya sangat cocok dengan konsep ilmu biologi modern, yakni ovum dan sperma yang kemudian terjadi pembuahan dalam bentuk telur janin manusia.

Shang Hyang Antaboga melambangkan indrawi, rasa indrawi, nafsu kemanuisaan atau Rasa. Ia terlahir dari kulit yang kasar, raga kasar sehingga menampilkan sosoknya sebagai bagian dari telur yang kasar. Maka dalam kisah pewayangan, Togod menjadi sosok yang berpenampilan kasar (jelek) dan mendampingi para raja yang berwujud raksasa atau sangat kuat dipengaruhi oleh rasa, nafsu kasar manusia.

Shang Hyang Ismaya dengan nama lain Semar melambangkan hati, keteguhan, tekad dan niat.  Dalam istilah lain adalah Karsa. Ia terlahir dari putih telur, yang lebih jernih, lebih lembut. Sebagai wujud tengah (antara kuning dan kulit telur), maka Semar posisinya membaur di tengah kebanyakan manusia. Ia juga berada pada tengah tubuh manusia, yakni jantung hati manusia.

Sedangkan Shang Hyang Manikmaya atau Batara Guru adalah lambang dari akal, kekuatan penciptaan atau Cipta. Di saat pengangkatannya sebagai Raja Kahyangan Suralaya, Shang Hyang Tunggal berwasiat bahwa kelak Shang Hyang Guru akan menurunkan banyak keturunan, baik berupa raja-raja, manusia biasa, raksasa dan sebagainya. Ia adalah kekuatan kreasi manusia. Apa lah artinya manusia tanpa akal? Tak ada keramaian hidup, tak ada penemuan baru atau kegairahan, meski sudah memiliki nafsu.

Di saat terjadi pertempuran antara Antogo dan Ismaya memperebutkan tahta Kahyangan, memperjelas posisi yang paling tua, Shang Hyang Manikmaya hanya terdiam, namun dalam diamnya ia benar-benar berpikir, bahwa adu kekuatan tidak akan menyelesaikan masalah. Maka tak heran pada akhirnya dialah yang menjadi pemenang sebagai pewaris tahya Kahyangan Suralaya. Sedangkan kedua saudaranya adalah menjaga dan membimbing keturunannya.

Dan kita semua juga tahu, kisah mahabarata tidak selesai pada urusan posisi dewata tersebut, tetapi banyak persoalan yang muncul. Betara Guru boleh banyak akalnya, kearifannya, tetapi sekali lagi dia bukanlah eksekutor lapangan. Togog dan Semarlah yang menjadi penentu eksekusi dari berbagai persoalan, apakah eksekusi itu menuruti hawa nafsu atau hati nurani. Sehebat apapun akal manusia, tetapi dalam urusan Marcapada, tidak menentukan, bahkan terkesan licik dan akal-akalan semata.

Jadi sebenarnya, Kahyangan itu ada pada diri kita dan kitalah yang menjadi penguasanya dengan kata lain, diri kita adalah penguasa para dewata itu sendiri....

Wallahu 'alamu bishshowab

 

 

 

 

NKRI Harga Mati?

 

Sebuah slogan biasanya lebih dominan sebagai kalimat motivasi, ketimbang sebuah frasa pengetahuan akademis, layaknya proposisi atau tesis. Sehingga dia akan mempunyai makna tertentu bagi sebagian orang dan dalam konteks tertentu. Slogan “Merdeka atau Mati” menjadi begitu bermakna bagi para pejuang dalam meraih kemerdekaan di era masa lalu. Namun, slogan itu akan terkesan lucu ditempatkan menjadi slogan di masa kekinian. Demikian pula slogan “NKRI Harga Mati” menjadi begitu bermakna bagi para pejuang di era perjuangan mempertahankan kemerdekaan, di saat gerakan separatisme begitu kuat di republik ini, khususnya dalam konteks sekitar tahun 50-an dimana keberadaan Republik Indonesia Serikat (RIS) menjadi pilihan bentuk negara saat itu.

Pun demikian, slogan NKRI Harga Mati akan begitu bermakna bagi para prajurit TNI sebagai organ formal negara pengemban amanah menjaga dan mempertahankan kedaulatan republik Indonesia. Maka, slogan tersebut tidak sekedar menjadi sebuah motivator, tetapi sudah menjadi doktrin ajaran yang harus dipegang teguh dan diimplementasikan.

Mengenai bentuk negara, apakah berbasis individualistik monarkhis, serikat federatif, atau integralistik, kesemuanya merupakan output dari proses politik. Di dalamnya mengandung kontrak politik, berupa konsensus atas pilihan dalam menentukan bentuk negara. Maka, ketika perdebatan dengan berbagai argumen, kemudian membuat pilihan pada bentuk negara kesatuan, itu berarti konsensus politik. Dan perlu diketahui, bahwa perdebatan itu telah memakan waktu panjang, sepanjang usia republik ini. Pilihan yang kemudian dicantumkan dalam UUD 1945 Pasal 1 (1) berbunyi : “Negara Indonesia adalah negara kesatuan yang berbentuk republik”. Dalam perjalanannya, konsensus itu pernah berubah melalui Konstitusi RIS berbunyi : “Pasal 1 (1) : Republik Indonesia yang merdeka dan berdaulat ialah suatu negara hukum yang demokratis dan berbentuk republik FEDERASI”. Selanjutnya atas kegagalan Konstituante, maka UUD 1945 berlaku kembali, dan lagi-lagi konsensus politik untuk tetap mempertahankan bentuk negara sebagai negara kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Jika sampai saat ini, kemudian ada upaya untuk melakukan perubahan bentuk negara, maka jalan satu-satunya yang konstitusional adalah melalui perubahan konsensus politik tersebut, yakni amandemen.

Lantas apakah makna dan relevansi slogan “NKRI Harga Mati?” untuk saat ini dan di masa mendatang? Bisa jadi banyak di antara kita saat ini menggugat makna dan relevansi slogan tersebut. Katanya sudah tidak relevan, berlebih-lebihan dan sebagainya. Ya namanya juga slogan, tentu ada bumbu bombastis di dalamnya. “Harga Mati” hanyalah menunjukkan bahwa itu sudah final, tidak bisa dinegosiasikan, tidak bisa dilakukan konsensus ulang atasnya. Maka dengan demikian, upaya untuk mencari bentuk negara yang berbeda (atau baru sama sekali) dianggap penyalahan terhadap konsensus tersebut. Dan akan mengembalikan kita kepada situasi awal merdeka dengan kata lain kita mundur jauh ke belakang.

Persoalan yang jauh lebih penting adalah bagaimana mengantarkan Indonesia masuk ke dalam sebuah negara yang makmur, sejahtera dan adil. Jika masih sibuk menentukan model bangunan, lantas kapan kita mengurusi isinya? Kapan kita membangun? Itulah relevansi, ketika sebuah pilihan pada slogan “NKRI Harga Mati” di saat ini dan masa mendatang. Negara Indonesia didirikan untuk masa depan, dan kita hidup juga untuk masa depan, bukan untuk masa lalu. Akankah kita mengembalikan kepada situasi masa lalu? Jika bentuk negara kesatuan menjadi penghalang kesejahteraan itu, maka lihatlah China, yang tidak sekedar kesatuan, tetapi juga sentralistik, komunis dan sosialis. Ataukah memang energi kita akan habis, hanya untuk berdebat? Otonomi telah memberi ruang untuk berkreasi dan membangun atas kekuatan lokal. Masih kurangkah itu semua? Namun jika para oknum yang menghambat, maka layaklah para oknum itu yang dijebloskan ke penjara.

Slogan tetaplah slogan ... namun dalam konteks dan makna tertentu ia akan mempunyai relevansi yang nyata dan praktis. Ataukah memang kita senang perang slogan? Sehingga slogan ini dibalas slogan itu, dan seterusnya......sampai kapankah itu...???

Burung Garuda, Lambang Negeri Thoghut?

Garuda-Pasai-150x150

Banyak kisah/riwayat yang menceritakan bahwa lambang negara, berupa burung Garuda diambil dan diilihami oleh kisah Ramayana, yakni Jatayu, ya si Garuda. Sehingga, sebagian pihak akhirnya menyebut bahwa lambang negara Indonesia tidak bersumber dari nilai-nilai Islam. Kisah Ramayana, adalah kisah yang diambil dari umat Hindu. So... Indonesia dengan demikian, bukanlah negara yang mengadopsi nilai-nilai Tauhid.

Pada awal tahun 1950, Presiden Soekarno membentuk panitia teknis dengan nama Panitia Lencana Negara yang diketuai oleh Menteri Negara Zonder Porto Folio Sultan Hamid II dengan susunan panitia teknis Muhammad Yamin sebagai ketua, Ki Hajar Dewantoro, M. A. Pellaupessy, Mohammad Natsir, dan RM Ngabehi Poerbatjaraka sebagai anggota.

Terpilih dua rancangan lambang negara terbaik, yaitu karya Sultan Hamid II dan karya M. Yamin. Pada proses selanjutnya yang diterima pemerintah dan DPR adalah rancangan Sultan Hamid II. Karya M. Yamin ditolak karena menyertakan sinar-sinar matahari dan menampakkan pengaruh Jepang.

Rancangan awalnya, adalah seperti garuda, namun dengan kepala manusia. Namun atas masukan berbagai pihak, kemudian rancangan final tersebut diajukan ke negara. Dan bentuknya ya seperti yang kita kenal saat ini.

Bentuk garuda/rajawali dengan perisai tersebut, sebenarnya bukan satu-satunya lambang negara di dunia ini. Bahkan diyakini, lambang Garuda yang dipakai oleh Indonesia terinspirasi dari lambang Kerajaan Samudra Pasai yang notabene adalah sebuah kerajaan Islam di Sumatra. Bila kita cermati perisai, juga terbagi ke dalam lima kotak. Kotak tengah (1) adalah syahadat = ketuhanan YME, kotak 2 adalah sholat =kemanusiaan, kotak 3 adalah puasa = persatuan, kotak 4 adalah zakat = kerakyatan dan kotak 5 adalah haji = keadilan sosial.

Nah bagaimana menurut anda, masihkah negeri ini sebagai negeri Thoghut, karena lambangnya pake burung Garuda? 

Sejarah Peringatan Kematian

Selama ini banyak di antara kita berkeyakinan bahwa tradisi “kirim do’a” atau mendo’akan keluarga yang meninggal dengan hitungan 3, 7, 40, 100 dan 1000 hari adalah tradisi asli Jawa. Bahkan ada yang menyebut itu berasal dari sisa-sisa ajaran Hindu, karena tumbuh subur sejak jaman kerajaan Majapahit yang Hindu.

Menurut Muhammad Sholihin (2010) dalam bukunya Berjudul “Ritual dan Tradisi Islam Jawa” menyebutkan bahwa tradisi kematian tersebut berasal dari tradisi sosio-religi bangsa Campa Muslim. Sementara mereka mewarisinya dari kultur kaum mulsim kawasan Turkistan, Persia, Bukhara dan Samarkand, dimana dari kawasan tersebutlah Islam berkembang sampai ke Nusantara.  Di Nusantara, salah satu tokoh yang menyebarkan tradisi tersebut adalah Sunan Ampel, yang diteruskan oleh Sunan Bonang, Sunan Kalijaga, Sunan Gunung Jati dan sebagainya.

Sedangkan dalam masyarakat Jawa asli, dan demikian pula dalam Hindu serta Budha, tradisi peringatan kematian hampir tidak ada, kecuali yang disebut sraddha, yakni sebuah upacara meruwat arwah orang yang meninggal dilakukan pada tahun ke-12 tahun Jawa (sekitar 11,5 tahun Masehi). Dalam naskah-naskah Jawa disebutkan tradisi tersebut dilakukan oleh Prabu Hayam Wuruk (Nagarakertagama pupuh 2/1 dan pupuh 63-67). Upacara ini dilakukan pada bulan Badra tahun Jawa 1284 atau 1362 Masehi. Sebelum datangnya pengaruh muslim dari Campa yang dipengaruhi tradisi Persia dan Samarkand, tradisi peringatan kematian belum dikenal masyarakat Jawa.

Sumber :

KH. Muhammad Sholihin, 2010, “Ritual dan Tradisi Islam Jawa”, Penerbit Narasi, Yogyakarta. Halaman :437-440.