Tembang Lir Ilir : Carilah Bekal Meski Itu Sulit

Pengantar
Tembang “Lir Ilir” demikian populer di kalangan masyarakat Jawa. Bahkan muncul beragam versi tembang maupun pemaknaannya. Salah satu penafsiran atas tembang tersebut adalah kaitannya dengan konteks perkembangan Islam di tanah Jawa di masa kerajaan Demak. Bahwa syair ijo royo-royo merupakan deskripsi akan keberhasilan penyebaran Islam. Namun, dalam pandangan saya, tembang lir ilir adalah tembang yang memuat pesan atau seruan kepada manusia untuk selalu mempersiapkan diri menyongsong kehidupan akhirat kelak.

Beberapa kata yang dipilih memiliki makna spesifik yang bisa dimaknai beragam. Seperti kata ijo royo royo, bocah angon, belimbing, dodot dan lainnya. Namun buat saya pemilihan kata penganten memberi ketegasan makna bahwa tembang Lir Ilir ini adalah pesan ajaran tentang mencari bekal di kehidupan dunia untuk akhirat di kemudian hari.

Syair

 Lir ilir, tandure wus sumilir
Tak ijo royo royo
Tek sengguh penganten anyar

 Bocah angon, Peneko blimbing kui
Lunyu-lunyu peneko
Kanggo masuh dodot iro

 Dodot iro, kumitir bedah ing pinggir
Dondomono jlumatono
Kanggo sebo mengko sore

 Mumpung jembar kalangane
Mumpung padang rembulane
Yo..surako..surak....(Hiyo)

Pembahasan

“Tandur” sebagai Lambang Proses Kehidupan
Kehidupan manusia di dunia adalah proses, dari dalam kandungan, kemudian lahir bayi, anak-anak, remaja, muda, dewasa, tua dan mati. Itu adalah proses alamiah yang wajar dan lazim. Semua manusia selalu mengikuti proses yang demikian. Demikian pula “tandur” adalah sebagai simbol proses kehidupan, dimana masyarakat Jawa menanam (tandur) benih, tumbuh, berbuah dan mati. Untuk bisa melalui proses tersebut, manusia bekerja, beraktivitas yang bertujuan untuk bisa hidup wajar dan layak dalam kehidupan.  Itu semua adalah Lir Ilir, upaya-upaya untuk berproses, bertumbuh dan berkembang. Sampai pada tahap tertentu, manusia sudah mulai menunjukkan identitas diri sebagai manusia dan makhluk sosial. Tanamannya sudah mulai menampakkan diri. Tanaman padi yang ditanam sudah kelihatan jelas akan berbuah, sudah ditiup angin ke sana kemari (tandure wus sumilir) dan benar-benar subur tumbuh berkembang dengan baik (ijo royo-royo). Tahap ini dalam proses manusia adalah tahap dewasa, meski belum berbuah. Kondisi dalam usia-usia tersebut sudah mulai kena terpaan angin, namun jelas sebagai manusia ada upaya untuk tetap bertahan dan bisa melalui terpaan angin tersebut. Jika itu hanya angin semilir tentu tidak membahayakan. Sebelum petaka yang lebih besar datang, maka dinasehatkan mengingat akan kematian (tak sengguh penganten anyar).

“Penganten” sebagai Lambang Kematian
Orang Jawa seringkali menafsiri penganten itu sebagai kematian (dalam tafsir mimpi). Mengapa? Penganten adalah wujud bersatunya dua jiwa dalam ritual sakral. Istri atau suami dari proses tersebut disebut sebagai garwo (sigarane nyowo atau belahan jiwa). Manusia hidup di dunia ini ibaratnya jiwa yang masih belum genap atau sempurna. Kesempurnaan itu jika sudah mati dan memasuki alam barzah dan tersibaknya tabir rahasia kehidupan. Hakikat kehidupan manusia di dunia terbuka dengan gamblang di alam tersebut. Kembalinya kesadaran sempurnya tersebut akan terjadi setelah proses “penganten” atau kematian. Jiwa yang meninggalkan dunia akan menemukan pasangannya sehingga kesadaran hakiki diraihnya. Namun, sekali lagi itu bukan proses yang otomatis. Tercapainya kondisi tersebut dapat tercapai hanya dengan persiapan yang matang di dunia. Oleh karena itu perlu mengupayakan meski itu susah payah. Sebab itulah tugas manusia yang sebenarnya di dunia ini.

“Bocah Angon” sebagai Lambang Pendidik
Tugas manusia adalah sebagai penggembala, pendidik bagi dirinya (jiwanya) sendiri agar bisa kembali pulang dalam keadaan selamat. “Bocah angon” atau penggembala bertugas membawa ternak-ternaknya mencari makan. Tetapi jauh lebih penting dari itu adalah mengembalikan ternak ke dalam kandang asalnya. Tiadk sekedar urusan makan dan minum sebagai upaya untuk bertumbuh dan berkembang. Agar bisa mengembalikan ternak (jiwa) tersebut ke tempat asal dengan baik, maka manusia harus mencari petunjuk, ajaran atau bimbingan (blimbing).

“Blimbing” sebagai Lambang Islam
Kata “blimbing” dekat dengan kata “bimbing”, sehingga buah blimbing tidak sekedar bermakna untuk menyegarkan atau kesenangan dalam hidup. Suatu saat bisa menjadi obat, seperti blimbing wuluh yang tidak ada sudut. Bimbingan dengan lambang “lima belahan” pada buah blimbing merujuk pada ajaran dan bimbingan Islam, yakni rukun Islam. Inilah fondasi ajaran untuk bisa menjadi penggembala yang baik yang bisa memulangkan jiwanya, mengantarkan kepada pelaminan hakiki. Namun disadari bahwa untuk mendapatkan itu tidak mudah, licin dan banyak rintangan (dari semut atau rang-rang). Jika tidak hati-hati bisa jatuh dari pohon. Maka lunyu-lunyu penekno, meski licin tetaplah panjat pohonnya untuk mengambil blimbing tersebut. Untuk apa buah itu?

“Dodot” sebagai Lambang Raga (Kehidupan Dunia)
Buah blimbing yang didapat adalah untuk mencuci pakaian (masuh dodot). “Dodot” adalah lambang diri, raga. Dalam menjalani kehidupan di dunia ini, jiwa manusia terhalangi oleh kotoran-kotoran yang ada, sudah terlumuri oleh dosa karena terkena dampak kehidupan (kumitir) sehingga jiwa itu rusak (bedhah ing pinggir). Oleh karena itu perlu dibersihkan, ditambal, diobatai (dondomono) dan diperbaiki, diperindah (jlumatono) melalui bimbingan Islam untuk menghadap kepada Sang Khaliq (sebo).

“Sebo” sebagai Lambang Menghadap
Kematian adalah pintu menuju proses mempertanggung jawabkan amal dalam persidangan Sang Khaliq. Sebuah perjamuan (sebo), pertemuan dengan Sang Pencipta. Perjamuan tersebut akan terjadi ketika manusia sudah tutup usia (mengko sore). Tembang ini mengajarkan bahwa pertemuan tersebut harus disiapkan seperti yang sudah diuraikan sebelumnya.

“Jembar Kalangane” sebagai Lambang Keleluasaan Gerak (atas Ruang)
Konteks lagu ini adalah dinasehatkan kepada semua manusia, baik muda, tua atau lanjut usia. Namun diingatkan bahwa perlu diingat bahwa upaya mencari bekal kehidupan akhirat kelak harus dimulai saat ini (apalagi jika masih muda usia). Selagi manusia masih bisa berbuat banyak (jembar kalangane). Dengan demikian, bukan soal usia, tetapi soal kesempatan yang ada. Kalangan itu liang lahat. Jadi kalau sudah sempit seperti di kubur ya sudah tidak bisa berbuat apa-apa.

 “Padang Rembulan” sebagai Lambang Kejernihan Pandangan (atas Waktu)
Padang Rembulan (terang bulan), malam yang baik untuk “melekan”, berjaga dan beraktivitas. Padang bulan, sebagai simbol keleluasaan waktu meski sudah malam (sebab terang bulan yang puncak pada tengah malam). Oleh karena itu nasehatnya selagi masih ada waktu maka berusalah mencari bekal untuk kehidupan akhirat kelak.

“Surak” sebagai Lambang Respon
Anda mungkin pernah mendengar baris terakhir ini “yo surako...surak hore”.. atau surak hiyo atau surak hayo. Ini adalah respon atar pesan, ajakan dari tembang Lir Ilir. Kita bisa menanggapi hanya sekedar rame-rame atau nggih boten kepanggeh (ya tapi tidak serius atau sekedar hore saja), atau hayo mengajak orang lain (kurang perhatian pada diri sendiri) atau hiyo (iya...sanggup dirinya melakukan dan berusaha).

Penutup
 Sebuah tembang, tidak sekedar memberi keindahan dan kesahduan nada, tetapi diciptakan dengan membawa pesan sebuah ajaran atau ajakan kepada kebajikan. Semoga kecintaan kita pada tembang Li Ilir bisa membuka kesadaran untuk menerima pesan mulia tersebut.

MEMAHAMI POSISI DIRI DALAM KEHIDUPAN : “NGERTI DUNUNGE”

Pengantar :

Para leluhur kita dahulu sudah mengajarkan kepada kita untuk bisa memahami posisi kita hidup di dunia (“dunung marang dumununge”). Dalam khazanah budaya kearifan lokal, saya yakin itu muncul. Karena persoalan posisi manusia dalam hidup di dunia ini menjadi persoalan manusia sejak pertama. Bahkan munculnya agama-agama di dunia ini tak lepas dalam rangka memberi tahu dan menerangkan akan posisi manusia dalam kehidupan dunia.

Ajaran Luluhur Jawa : dari Suluk “Panduking Dunungan” karya Raden Tumenggung Sastranegara

Manusia diajarkan untuk tidak hanyut dalam kehidupan di dunia ini. Baik kehidupan yang dirasakan itu mengasyikkan ataupun menyakitkan.

“Poma-poma anak putu mami, aja tungkul dunya lan kapenak, dene tan ana wekase, tan ana wadinipun, lara pati sira lakoni, tan lana ananira, nora wande mantuk, nora jenak neng dunungan, jroning dunya den padha sira prihatin, aja sah paguneman”

(“Anak cucuku, jangan kau hanyut dalam kehidupan dunia dan kenikmatan, sebab itu akan tiada habisnya, tak ada rahasia yang kaudapatkan, sakit dan kematian pasti akan kaujalani, bagaimanapun tak ada yang kekal, semua akan kembali, kamu pasti tidak jenak di dunia ini, maka hendaklah kalian prihatin, jangan banyak omong”)

Dalam suluk tersebut, nasehat dari para sesepuh kita dulu untuk tidak tertipu keadaan dunia, tertipu dengan yang dinikmati di dunia, sebab posisi (keberadaa) di dunia hanya sementara, pasti akan kembali (pulang). Dengan prihatin, maka kita dalam hidup di dunia akan menemukan banyak rahasia kehidupan yang berguna bagi bekal kepulangan nanti.

Oleh karena itu, bagi kita adalah berusaha menggali rahasia dalam kehidupan kita tersebut.

“Supaya jebeng antuka wisik, yen tan nemen mongsa den-wejanga, den-sareh amet galihe, ewuh wong takon dunung, marga rusit repit aremit, pirantine wus teka, jebeng aja tungkul, poma-poma den-waspada, raganira lir lungan sipeng ing margi, pasthi tan wande pulang”.

(“Agar mendapatkan petunjuk tentang rahasia itu, jika tanpa kesungguhan, meski banyak nasehat, maka akan sia-sia. Hendaknya gunakan hati yang dalam untuk memahaminya, jangan sungkan bertanya. Jika tidak, maka bisa jadi kalian tidak bisa pulang, karena menginap di jalanan”).

Kesungguhan dalam hidup mencari bekal kehidupan kelak di akhirat adalah modal dasar yang mutlak. Agar tidak tersesat, maka jangan pernah malu atau malas bertanya kepada ahlinya, mengenai jalan kepulangan tersebut.

Jangan pernah merasa cukup dengan berbekal tulisan, buku/kitab. Pelajari ilmu hidup dan kehidupan ini agar semakin lengkap. Carilah dan gapailah ilmu itu hingga kita mencapi pemahaman dan mengerti betul posisi (dununge) pribadi dalam hidup ini.

“Aja lali ing namanireki, aja dumeh sira wruh ing sastra, aja tungkul sastra bae, yen durung ngolih tuduh, guguruwa mupung ngaurip, kang anom lan kang tuwa, tan lana neng dunung, tan wande tekeng ngakerat, raga iki nora wurung pulang siti, jebeng paekanana”.

(Jangan lupa diri (namamu), jangan merasa sudah hebat karena menguasai sastra/kitab, jangan terbelenggu mempelajarinya, jika belum mendapatkan petunjuk, maka bergurulah, baik yang muda, tua, carilah dunungmu (posisimu dalam hidup ini sampai akhirat kelak), sebab jasad raga ini pasti akan kembali ke tanah, kemanakah dirimu?)

Penutup

Banyak ajaran dan nasehat dari para leluhur kita dulu jika mau dipelajari dan diperhatikan memuat anjuran yang begitu mulia. Memahami posisi (dan peran) kita dalam kehidupan yang sedang dijalani adalah hal mendasar dan penting bagi manusia. Sebab manusia lahir dan diciptakan tidak dengan sia-sia. Apakah manusia sendiri yang akan menyia-nyiakannya?
Mudah sekali kita baca, namun dipraktekkan, tidak mudah bukan????

Wallahu ‘alam

MENANAM BENIH KETURUNAN : AJARAN DARI LELUHUR

Manusia untuk memperoleh keturunan pada umum dan lazimnya melalui aktivitas seksual, antara suami (laki-laki) dengan istri (perempuan). Banyak hal yang diperhatikan dan dipertimbangkan oleh manusia agar memiliki keturunan yang baik dan berkualitas seperti yang dikehendaki. Baik dari sisi bilogis, psikologis dan agama. Para leluhur (orang Jawa) dulu memberikan ajaran bagaimana perilaku seksual yang baik sehingga dapat menghasilkan keturunan baik dan berkualitas tersebut. Ajaran tersebut bersumber dari serat Centini. Olah seks yang hendak dilakukan oleh suami istri perlu memperhatikan beberapa hal, yaitu : a) perilaku, b) waktu/situasi, c) rasa.
Pertama adalah soal perilaku. Pepatah mengatakan "woh ora ninggal wit" (jatuhnya buah tidak jauh dari pohonnya), maksudnya adalah akan banyak kemiripan antara anak dengan orang tua. Apa yang menjadi perilaku orang tua akan jatuh pula pada anaknya. Atau ungkapan lain "kacang ora ninggal jalarane" (kacang tidak akan menjalar meninggalkan kayu/tiang sandarannya). Dari sisi ilmu genealogy, juga dibuktikan bahwa sifat-sifat kedua orang tua akan ikut dalam anak, melalui kromosom yang dibawa. Para leluhur mengajarkan agar bisa menanam benih keturunan dengan baik, benar dan pener (titis sehingga bisa nitis), maka dalam perilaku kedua orang tua harus :

1) Lila (rela), artinya, khusus dalam olah seks dengan pasangan, maka aktivitas tersebut dilakukan dengan penuh kerelaan. Tak ada paksaan dalam melakukan hubungan seks.
2) Narimo (menerima), artinya dalam melakukan hubungan suami istri, harus saling menerima diri masing-masing. Baik kekurangan atau kelebihan.

3) Temen (bersungguh-sungguh), artinya harus serius dan menepati janji. Ketika berjanji malam jumat berhubungan dengan istri, maka jangan sampai mengecewakan dengan mengingkari atau sengaja menghindari.Atau hubungan yang dilakukan hanya semata-mata kesenangan belaka.

4) Utama (keutamaan), artinya harus menjaga perilaku utama. Baik suami atau istri harus mengedepankan sopan santun, adab dan keutamaan dalam melakukan hubungan seks.

Kedua adalah berkaitan dengan soal situasi/waktu/suasana. Ini harus benar-benar diperhatikan, khususnya situasi psikologis dari keduanya.

1) Eneng (hatinya diam), atau "menep". Melakukan hubungan seks dengan pasangan maka hati harus dalam keadaan tenang dapat kekuatan jiwa dan ini akan berpengaruh terhadap anaknya kelak.

2) Ening (hening), artinya hatinya benar-benar bening, bersih dan bisa menikmati rasa olah asmara dengan pasangannya. Kelak jika berhasil menjadi benih anak akan menjadi anak yang baik.

3) Awas (waspada), artinya dalam melakukan hubungan suami istri harus benar-benar berhati-hati, mengawasi banyak hal yang bisa merusak dan berpengaruh buruk. Tidak boleh sembrono dalam melakukannya.

4) Eling (ingat) atau konsentrasi. Keduanya harus benar-benar menyadari bahwa yang sedang dilakukan adalah proses menanam benih manusia. Harus sadar betul apa konsekuensi yang dilakukan. Oleh karena itu harus mengingat berbagai hal yang sudah diajarkan sebelumnya.

Ketiga adalah berkaitan dengan rasa. Dalam hal ini perlu memperhatikan bagaimana cara mengolah rasa dalam berhubungan.

1) Marahi (mengajak), dalam hal mengajak perlu dilakukan upaya-upaya yang benar-benar menarik pasangan. Sehingga muncul kegairahan serta kerelaan dalam melakukan aktivitas tersebut.

2) Meruhi (mengatahui), dalam hal ini diperlukan banyak wawasan sehingga bisa membedakan bagaimana berhubungan yang baik (menurut ajaran agama), baik menurut kesehatan, baik menurut adat dan sebagainya. Hal ini juga akan mempengaruhi rasa yang ditimbulkan. Tidak hanya sekedar rasa nafsu semata, tetapi rasa yang sudah terdidik oleh pengetahuan.

Nampaknya, ajaran para leluhur tersebut lebih banyak menyoroti soal hati, pikiran dan perasaan. Soal gaya ataupun cara bisa dilakukan sesuai kebutuhan dan kehendakan pelaku. Namun secara prinsip sejak zaman dahulu sampai besok, maka prinsip-prinsip tersebut harus tetap dipegang, sehingga kelak banyak akan lahir manusia yang berkualitas, baik dan berakhlak mulia. Karena menanam benihnya benar-benar dilandasi dengan usaha yang baik dan penuh kesadaran betapa sakralnya hubungan seks suami istri.

wallahu 'alamu

SEPERTI HALNYA DUNIA NYATA : DUNIA MAYA PUN PENUH DRAMA

Pendahuluan

Pernahkah anda merasa tertipu dengan teman facebook anda, ketika bertemu dalam dunia nyata? Apa yang anda persepsikan tentang teman anda seperti “A” atau “B” ternyata seorang yang jauh berbeda dengan persepsi anda itu.

Sudah banyak kejadian penipuan lewat jejaring sosial semacam Facebook. Namun, hal itu tetap tidak menyurutkan bagi mereka yang ingin mengasyiki pertamanan lewat dunia maya. Apa yang terjadi dalam dunia nyata, seperti penipua, percintaan, persahabatan, tolong menolong dan sebagainya juga bisa terjadi di dunia maya. Dunia maya, juga sama dengan dunia nyata, begitulah kesimpulannya.

Setiap individu bisa berperan dalam beberapa situasi dan kondisi yang berbeda. Seorang yang sudah berkeluarga dan mempunyai anak, maka dia memungkinkan menampilkan dirinya sebagai sosok yang penuh kasih sayang dalam keluarga. Penuh kelembutan, bahkan sedikit kasarpun tidak. Namun ketika dia dalam lingkungan pekerjaannya, dia bisa menampilkan diri sebagai orang yang tegas, displin, keras dan tidak toleran. Bagaimana seseorang menampilkan diri dalam lingkungan atau panggung tertentu itulah dalam kacamata sosiologi disebut sebagai dramaturgi atau presentasi diri (The Presentation of Self).

Teori Dramaturgi

Erving Goffman (1922-1982) memperkenalkan teori Dramaturgi, yang pada intinya untuk memahami perilaku manusia dalam kehidupan sosial seperti sebuah pertunjukan drama. Teori dramaturgi menjelaskan bahwa identitas manusia adalah tidak stabil dan merupakan setiap identitas tersebut merupakan bagian kejiwaan psikologi yang mandiri. Identitas manusia bisa saja berubah-ubah tergantung dari interaksi dengan orang lain. Dalam dramaturgis, interaksi sosial dimaknai sama dengan pertunjukan teater.

Setiap individu adalah aktor yang berusaha untuk menggabungkan karakteristik personal dan tujuan kepada orang lain melalui “pertunjukan dramanya sendiri”.   Dalam mencapai tujuannya tersebut, manusia akan mengembangkan perilaku-perilaku yang mendukung perannya tersebut.

Seorang aktor drama kehidupan juga harus mempersiapkan kelengkapan pertunjukan. Kelengkapan ini antara lain memperhitungkan setting, kostum, penggunakan kata (dialog) dan tindakan non verbal lain, hal ini tentunya bertujuan untuk meninggalkan kesan yang baik pada lawan interaksi dan memuluskan jalan mencapai tujuan. Oleh Goffman disebut “impression management” (manajemen daya tarik).

Goffman juga melihat bahwa ada perbedaan akting yang besar saat aktor berada di atas panggung (“front stage”) dan di belakang panggung (“back stage”) drama kehidupan.  Kondisi akting di front stage adalah adanya penonton (yang melihat kita) dan kita sedang berada dalam bagian pertunjukan. Saat itu kita berusaha untuk memainkan peran kita sebaik-baiknya agar penonton memahami tujuan dari perilaku kita. Perilaku kita dibatasi oleh oleh konsep-konsep drama yang bertujuan untuk membuat drama yang berhasil (lihat unsur-unsur tersebut pada impression management diatas).  Sedangkan back stage adalah keadaan dimana kita berada di belakang panggung, dengan kondisi bahwa tidak ada penonton. Sehingga kita dapat berperilaku bebas tanpa mempedulikan plot perilaku bagaimana yang harus kita bawakan.

Tujuan dari presentasi dari Diri – Goffman ini adalah penerimaan penonton akan manipulasi. Bila seorang aktor berhasil, maka penonton akan melihat aktor sesuai sudut yang memang ingin diperlihatkan oleh aktor tersebut

Facebook sebagai “identitas diri”

Facebook merupakan salah satu jejaring sosial yang paling digandrungi saat ini. Melalui facebook seseorang bisa dikenal dan memperkenalkan diri kepada orang lain. Akun facebook sebagai nama, seringkali bukan nama asli pemiliknya. Tetapi nama yang disengaja untuk mewakili “peran” yang akan dimainkan oleh si pemilik.

Demikian pula dalam perkataan, penulisan status, ataupun komentar memang disengaja untuk menampilkan peran dengan tujuan agar orang lain dapat menerima dirinya seperti yang dikehendaki. Bila perlu suatu saat dapat memanipulasi orang agar selalu mengikuti persepsi yang telah dibangun dalam komunikasi. Status atau komentar dalam facebook menjadi panggung depan (front stage) dari diri seseorang. Teman-teman yang melihat dan berinterkasi adalah penontonnya. Dengan usaha dan cara, seseorang akan selalu berusaha mempertahankan peran dalam panggung tersebut. Bagaimana selalu bisa menampilkan peran yang memang disukai oleh penonton atas dirinya, atau peran tersebut dapat mewujudkan tujuan dari seseorang melalui penonton. Bisa jadi tepukan tangan atau standing ovation sudah sangat menyenangkan bagi seseorang, meski tidak sampai berlanjut ke komunikasi yang intensif.

Sebaliknya, ketika seseorang kembali ke dalam kehidupan sehari-hari, panggungnya sudah berubah. Tanpa penonton dari teman-teman di facebook. Maka bisa jadi dan sangat mungkin akan menampilkan peran yang berbeda ketika di facebook.

Tentu tidak mengherankan jika suatu saat anda bertemu teman facebook anda dengan perbedaan yang jauh dari persepsi serta pandangan yang terbangun dalam diri anda ketika berinteraksi lewat panggung facebook. Anda bisa kecewa, kagum atau apalah, tapi percayalah bahwa itu sangat mungkin terjadi.

Penutup

Setiap manusia punya panggung depan (dengan adanya penonton) sebagai media komunikasi dengan orang lain. Namun juga punya panggung belakang untuk melakukan peran, dimana tak ada penonton seperti di panggung depan. Seseorang bisa mempunyai panggung depan demikian banyak dan beragam. Ketika pagi dia berperan di pasar, ketika siang berperan pesantren, ketika malam dia berperan di facebook. Dan di saat malam asyik dengan panggung berdua dengan istrinya. Apakah itu sebuah kemunafikan? Tentu bagi kita, pemahaman dramaturgi kehidupan ini akan semakin menambah kearifan kita dalam menilai orang. Bahwa selalu saja ada peran di balik panggung atau peran di panggung kehidupan lain yang tak pernah kita sangka, dan itu bisa jadi lebih baik dan membuat kita sangat terpesona dengan seseorang.

Wallahu a’lamu

VALENTINE DAY : ABSURDITAS HARI KASIH SAYANG





Pendahuluan



Sebuah peringatan tentu harus ada yang diingat, siapa yang mengingat dan untuk apa dilakukan peringatan. Katakanlah saya memperingati hari kelahiran saya, berarti hari kelahiran itu lah yang saya ingat. Maksud saya memperingati hari kelahiran adalah bertujuan untuk mengingat kembali akan perjalanan hidup saya, usia saya, apa yang sudah saya lakukan dan berbagai makna yang bisa saya produksi untuk memberi arti dari sebuah peringatan yang saya buat. Lantas bagaimana dengan peringatan Valentine Day? Tentu akan kembali kepada “siapa yang memperingati hari itu”. Ketika pertanyaan itu diajukan kepada saya, maka secara jujur tidak ada alasan atau maksud apapun seandainya saya memperingatinya. Kecuali pada tanggal itu (14 Februari) adalah hari perkawinan saya. Jadi yang saya peringati adalah hari perkawinan saya.



Anda bisa mengajuka pertanyaan yang sama kepad diri anda. Apa yang anda peringati pada hari valentine day, apa maksud ada memperingatinya. Ini wajar diajukan, ketika anda benar-benar berkehendak mengadakan sebuah peringatan.





Sekilas Valentine Day





Hari Valentine (14 Februari) berakar dari sebuah kisah zaman Romawi berkenaan dengan orang-orang Suci Nashrani, khususnya Saint Valentino. Dia seorang martir yang melawan kaisar Claudius II (268-270 M) yang membuat aturan adanya larangan bagi pemuda Romawi menjalin cinta dan menikah demi kepentingan perang. Akibat perlawanan tersebut dia dijatuhi hukuman mati oleh kaisar. Untuk mengingat kegigihan dan keberaniannya, maka diadakanlah peringatan kepada mendiang Sant Valentino tersebut.



Mengenai tanggal 14 Februari, ada beragam versi yang berkembang. Di antara adalah bahwa pada tanggal tersebut diadakan peringatan hari untuk orang suci Valentino karena adanya keinginan untuk melawan tradisi Romawi yang tiap tanggal 15 Februari mengadakan Lupercalia, penghormatan kepada Dewa kesuburan Lupercus dengan cara berpakaian setengah telanjang dan pengorbanan hewan kambing. Dengan demikian, umat nashrani waktu itu melakukan kegiatan hari Valentine selain untuk mengenang Santo Valentino adalah untuk menandingi atau merubah kebiasaan bangsa romawi dalam penyembahan kepada para dewa.



Ada juga yang berpendapat bahwa pada hari-hari itu, adalah musim para burung mencari jodoh. Tradisi untuk mencari jodoh pada bulan tersebut berkembang pada abad ke-14, dimana ini tradisi yang sudah jauh dari kisah sang santo di jaman romawi. Namun demikian makna dan nilai yang dikembangkan masih saja selalu berkaitan, yaitu kasih sayang dan cinta. Pemaknaan Hari Valentine akhirnya menjadi hari kasih sayang. Dan itu adalah yang dipahami sampai saat ini.







Hari Kasih Sayang : Pemaknaan yang Absurd



Ketika hari ini (14 Februari), sebagai hari Valentine, hari kasih sayang, maka sebenarnya perlu diajukan pertanyaan mendasar kepada siapa yang memperingati. Apa yang anda peringati? Apakah kematian Santo Valentino? Ataukah memperingati para burung yang sedang mencari jodoh? Di sinilah letak absurditas, tidak adanya pijakan yang kukuh sebagai sebuah peringatah hari kasih sayang. Meski anda menyatakan bahwa kasih sayang itu bisa berarti luas dalam bentuk dan sasarannya, namun sekali lagi “ketiadaan peristiwa” yang layak dijadikan sebuah peringatan (untuk diingat), maka peringatah velentine day sebagai hari kasih sayang tidak mempunyai pijakan yang logis dan kuat untuk dilakukan ataupun dimaknai secara mendalam. Semua tanpa makna.



Sebagai umat muslim, maka sebuah pijakan bahwa hari valentine atau kasih sayang dalam rangka memperingati kematian Santo Valentino, maka itu sudah jauh diluar rel yang benar. Ketika anda umat muslim menyatakan bahwa “pencarian jodoh burung” dalam musim kawin Februari adalah yang anda ingat, maka terlalu berlebihan anda membuat pijakan.





Penutup



Ketika sebuah pijakan “peristiwa” apa yang layak diperingati dalam peringatan Valentine Day (hari Kasih Sayang) tidak menemukan jawaban yang jelas, maka kekaburan dan penyelewengan makna sebuah peringatan pasti akan terjadi. Sebab tidak ada pijakan historis yang layak untuk dijadikan sebagai peringatan. Apalagi dijadikan sebuah bentuk ungkapan rasa syukur atau introspeksi diri. Rasa syukur atas apa? Semua serba kabur. Introrspeksi dalam hal apa, dan cermin apa yang akan digunakan? Juga tidak mempunyai jawaban yang pasti. Maka, peringatan Valentine Day sebagai hari kasih sayang, akan menjadi sebuah “pembenar” yang dipaksakan untuk sebuah ritus cinta terlarang anak manusia.





Wallahu ‘alamu























Kesasatan Albany yang Menyatakan Allah Wujud Tanpa Arah dan Tempat

Seperti yang telah masyhur di kalangan Wahhabi Salafy, bahwa Keberadaan Allah itu “Bersemayam diatas ‘Arasy” dalam arti Allah menempati ‘ArasyNya atau menetap, atau duduk, atau tinggal diatas ‘Arasy.

Dan Bahkan dalam kesempatan lain sering mereka meManipulasi Fatwa-fatwa ‘Ulama untuk menyokong akidah rusaknya, bahwa yang di maksud atas itu adalah sebagaimana arah atas yang bisa ditunjuk dengan jari, mereka sangat terkenal mengabaikan Penjelasan Para Mufassir Mengenahi Al ‘Aliyyu .

Namun ketika anda membaca dan mempelajari lebih lanjut di salah satu KITAB KARYA TOKOH WAHABI atau ‘Ulama faforitnya, ada saja sebuah pernyataan yang jauh bertolak belakang dengan apa yang umum beredar di kalangan mereka.

Kali ini Anda akan kami bawa untuk menelusuri sikap dan pernyataan kesesatan al albani yang menyatakan Allah wujud tanpa arah dan tempat, yang mana kepercayaan seperti ini menurut para salafi adalah sebuah kesesatan yang nyata, sebab menurut mereka orang yang menyatakan Allah wujud tanpa tempat adalah orang yang menyalahi teks teks suci yaitu Al Quran dan Hadits yang sahih, klaim mereka “Allah bersemayam di atas ‘Arasy” adalah sebuah tolak ukur keimanan seorang Muslim.

Mari kita simak Kesesatan  MUHADDITS HANDAL IMAM NASHIRUDDIN AL ALBANI sebab  menyatakan Allah Wujud tanpa tempat dan arah, dalam karya monumental seorang ‘Ulama  yang Beliau Tahqiq sendiri yaitu Kitab “Muhtashor Al ‘Uluwwu”





إذا أحطت علما بكل ما سبق استطعت بإذن الله تعالى أن تفهم بيسر من الآيات القرآنية والأحاديث النبوية والآثار السلفية التي ساقها المؤلف رحمه الله في هذا الكتاب الذي بين يديك (مختصره) أن المراد منها إنما هو معنى معروف ثابت لائق به تعالى ألا وهو علوه سبحانه على خلقه واستواؤه على عرشه على ما يليق بعظمته وأنه مع ذلك ليس في جهة ولا مكان.

“Jika (penjelasan) yang lewat telah kamu ketahui, maka dengan izin Allah, dari ayat-ayat al-Qur’an dan hadis-hadis Nabi serta atsar-atsar kalangan salaf yang telah dicantumkan oleh pengarang (al-Dzahabi) -rahimahullah- di dalam kitab ini yang di depanmu ini, maka kamu akan dengan mudah memahami bahwa yang dimaksud dari (teks-teks) itu adalah sebuah makna yang tsâbit dan dapat diketahui, serta yang layak bagi Allah ta‘âlâ. -Makna itu adalah- bahwa tinggi dan istiwâ’-Nya atas ‘arasy adalah berdasarkan yang layak untuk keagungan-Nya. Sementara dengan hal itu, Dia tiada berjihat (arah) dan tiada bertempat”.

Nah beranikah Para Laskar Wahabi menuduh sesat Muhaddits pujaannya sebab pernyataan Beliau “Allah wujud tanpa tempat dan arah” ???

Allahu A‘lam…

WALISONGO : KEHADIRANNYA UNTUK ANDA (ASWAJA) SAAT INI



Pembuka

 Anda boleh berbeda pendapat dan kesimpulan tentang sejarah walisongo di Nusantara, atau khususnya di tanah Jawa. Bagi saya, apa yang saya pahami tentang sejarah dan cerita walisongo hingga sampai kepada saya seolah-olah merupakan skenario besar pemimpin masa lalu demi kepentingan saat ini. Yah... kehadiran mereka seolah dipersiapak buat kita untuk situasi saat ini.

 Walisongo Adalah sebuah Tim Dengan Berbagai Keahlian

Dalam salah satu catatan sejarah, bahwa keberadaan walisongo awalnya adalah atas prakarsa dari Sultan Muhammad I (Penguasa Kekhalifahan di Turki) yang berkuasa 1394-1421 M. Penyebaran islam ke penjuru dunia, sudah dilakukan sejak zaman Rasulullah sendiri. Demikian pula banyak team-team kecil atau besar dikirim ke pelbagai pelosok dunia untuk mendakwahkan Islam. Buat saya keberadaan walisongo adalah paling unik dari sekian peristiwa pengiriman juru dakwah tersebut. Bagaimana tidak, paling tidak buat saya, bahwa sampai saat ini pengakuan masyarakat luas dan ikatan antaranya dengan para walisongo (beserta murid-muridnya) begitu kuat.

Dalam sebuah versi sejarah, walisongo pertama ada sekitar tahun 1404 M. Para ulama yang diutus benar-benar pilihan, dipersiapkan sesuai dengan kebutuhan medan. Bukan inisiatif atas ulama sendiri untuk berdakwah. Ulama dengan berbagai latar belakang keahlian dikirim ke tanah Jawa untuk mendakwahkan Islam. Entah apa pertimbangan sultan Muhammad I waktu itu, mengutus para ulama dengan kriteria dan pengorganisasian yang demikian ketat dan kuat.


Kemunduran Islam di Timur Tengah

Sekitar tahun 1258 M, Irak yang waktu itu menjadi pusat dakwah Islam yang baik dan maju dihancurkan oleh serangan Hulaghu Khan dari Mongol. Banyak kitab yang dimusnahkan olehnya. Bisa dibilang saat-saat itu adalah memasuki masa suram kemajuan Islam dan peradabannya. Kekhalifahan berpindah ke Ottoman, Turki sejak tahun 1299. Pada periode 1400-an kekhalifahan ini mengalami kemajuan dan kejayaan yang luar biasa. Tapi, sekali lagi suatu saat dinasti ini juga mengalami kejatuhan, dan itu seiring munculnya paham wahaby di tanah Arab.

 Walisongo Sebagai Dewan Ulama

Kita tentu lebih mengenal Raden Patah sebagai raja Demak, daripada mengenalnya sebagai salah satu anggowa Walisongo. Demikian pula kita lebih mengenal Sunan Gunung Jati sebagai ulama/wali ketimbang sebagai seorang raja atau pangeran. Kita mengenal Sunan Kalijaga sebagai guru tanah Jawa daripada menyebutnya sebagai putra Bupati Tuban. Apa makna dari itu semua? Bahwa yang kita warisi dari keberadaan walisongo adalah pengenalan kita, kecintaan kita kepada ulama, bukan kepada khalifah/raja. Dinasti atau raja boleh berganti. Dari Demak, ke Pajang, Jipang, kemudian ke Mataram. Masyarakat memaklumi sebagai sebuah sejarah politik. Namun kecintaan mereka kepada walisongo sebagai ulama panutan dan sumber inspirasi tetap melekat sampai saat ini.

Apakah ini sebuah skenario besar saat itu?

 Kadangkala saya berkhayal, apakah dulu Sultan Muhammad I atau para dewan ulama sudah “menduga” bahwa nanti tanah Jawa/Nusantara akan menjadi umat mayoritas dari Islam? Meksi bukan sebagai pusat kejayaan atau pusat ilmu pengetahuan Islam, namun keberadaan mayoritas tersebut merupakan sebuah kekuatan besar. Khayalan saya juga bertanya, apakah mereka dulu “mengantisipasi akan munculnya wahaby atau sejenisnya” yang akan mengancam tradisi keulamaan/bermadzhab? Sehingga saat itu dibentuk tim khusus yang ditugasi untuk menanam tradisi keilmuwan dan keualamaan di tanah Jawa. Para walisongo tidak mengajarkan masyarakat untuk mencintai raja tertentu, atau dinasti tertentu, tetapi mengedepankan mencintai ulama. Orang Jawa Timur tetap mencintai Sunan Gunung Jati, demikian pula orang Sunda tetap mencintai Sunan Ampel. Demikianlah warisan yang kita dapatkan saat ini, bukan khalifah siapa yang harus dicintai.

 Jika memang demikian adanya, maka menjadi tugas para generasi Aswaja untuk tetap melestarikan tradisi keulamaan tersebut. Di belahan dunia manapun, istilah dewan ulama atau walisongo yang masih begitu kuat dikenal dan dikenang oleh masyarakat adalah di tanah Jawa ini. Perhatikanlah, di tempat-tempat lain, orang akan mengenang para pribadi ulama, namun di Jawa, yang dikenal adalah sebuah dewan ulama, yakni walisongo.

 Dan bagi anda para pecinta walisongo (aswaja), maka sadarilah bahwa kehadiran mereka di tanah Jawa ini adalah mempersiapkan anda untuk peran sejarah saat ini. Bagaimana anda tetap bisa mencintai para ulama, bukan raja atau dinasti. Bagaimana anda meneruskan tradisi keilmuwan para ulama, mempertahankan keragaman dalam kesatuan cinta kasih antar sesama. Itulah peran para generasi aswaja saat ini.

Penutup

 Anda boleh menganggap saya sedang berkhayal. Bahkan tidak sepakat secuilpun dengan isi tulisan ini. Tapi itu semua tidak akan menghentikan imajinasi saya. Sebelum berkhayal dilarang di negeri ini.



Wallahu ‘alamu













NASEHAT SUNAN GUNUNG JATI KEPADA SUNAN KALIJAGA : DALAM MENCARI GURU

(sumber : Kitab Primbon, Buku Bagian Walisongo,Pupuh 2, Megatruh)

Sudah saya translate ke bahasa Indonesia. Jika menghendaki teks asli silakan dicari saja. Baboning Kitab Primbon, Buku Walisongo, hal. 40-41, Penerbit Kangaroo, Solo)

“Seorang guru yang sejati itu bukan guru yang mengajar ngaji, mengajar menyanyi, juga bukan guru yang mengajar membaca dan menulis atau mengajar menyusui. Juga bukan mengajari kesaktian. Namun guru yang sejati adalah guru yang memberi nasehat akan “ilmu sejati”.

Janganlah kamu berguru kepada :

a)    Pandhita/guru yang BESUS (suka berdandan), yang menandakan ketamakan

b)    Pandhita/guru yang LENGUS suka iri/serik dengki kepada orang lain)

c)    Pandhita/guru yang GUNDHUL rambutnya, yang menandakan suka berbohong

Carilah guru yang :

a)    Pandhita/guru yang mengaku bodoh, bodoh terhadap perilaku maksiyat

b)    Pandhita/guru yang Zayinnafs, mengihiasi diri dengan perilaku baik, membimbing murid menjauhi maksiyat.

c)    Pandhita/Guru Walidi, guru yang sudah arif, lakunya sufi dan mantap lahir batin

Semoga bermanfaat

JAHILIYAH

Seringkali kita mengatributi sifat seseorang atau sekelompok manusia dengan sebutan Jahiliyah atau menggunakan istilah yang keren, Jahiliyah modern. Sifat atau perilaku yang dianggap belum tersinari dan terbawa Islam adalah jahiliyah. Karena Islam mempunyai tujuan mengentas kehidupan manusia dari periode jahiliyah menuju kehidupan Islamy.



Gambaran apa dalam benak dan pikiran anda ketika mengatakan Jahiliyah? Apakah semacam sifat tak beradab, bodoh, kasar atau deskripsi lain? Tentu dari diri kita masing-masing punya deskripsi khusus tentang jahiliyah. Sadarkah bahwa ketika kita menyebut orang lain berperilaku jahiliyah, sebenarnya dalam diri kita juga memiliki potensi dan sifat itu? Marilah kita bersama-sama berjuang untuk merubah itu semua.



Sifat jahiliyah yang diperangi Islam dan dididik untuk berubah adalah meliputi :

1)    Jahiliyah dalam hukum, dalam bersikap dimana itu semua disandarkan pada hawa nafsu semata. Dengan demikian, ketidakadilan, diskriminasi untuk memuaskan kepentingan diri sendiri, kesenangan sendiri termasuk dalam kategori ini. Dalam setiap sikap dan perbuatan kita yang selalu menuruti hawa nafsu adalah wujud jahiliyah ini. Bahkan atas bungkus nama apapun, ketika hawa nafsu yang menguasai, maka masih tetap berkubang dalam bentuk jahiliyah.



2)    Jahiliyah angan-angan/pikiran. Logika, pemikiran dan angan-angan jahiliyah adalah ketika memandang peristiwa dan kejadian di dunia ini tanpa ada campur tangan Allah, baik itu keberhasilan atau kegagalan. Sekularisme, dalam hal ini merupakan bentuk lain dari jahiliyah. Tak ada selembar daun jatuh dari pohon, kecuali dalam kuasa Allah.



3)    Jahiliyah dalam kesombongan. Jahiliyah macam ini adalah seperti yang dilakukan oleh Iblis, ketika dia begitu meninggikan dirinya karena asal penciptaannya. Kesombongan kita karena asal kita, bangsa kita, kelompok kita merupakan bentuk-bentuk jahiliyah.



4)    Jahiliyah berpakaian. Pakaian diciptakan adalah untuk melindungi diri dan menutup aurat/kemaluan. Ketika pakaian yang kita gunakan adalah untuk menambah “penampakan” dari aurat kita, itulah sikap jahiliyah dalam berpakaian. Pakaian begitu penting, paling tidak bisa mengingatkan kita akan siapa diri kita. Kalau pake peci ya malu, jika harus masuk diskotik. Dalam konteks ini mungkin bisa dimasukkan adalah peralatan dan apa saja yang kita pakai. Ketika itu semua melupakan fungsi dan tujuan diadakannya. Apalagi menumbuh suburkan sifat-sifat jahiliyah sebelumnya.



Maka perhatikanlah, sikap jahiliyah itu meliputi pikiran, sikap dan pakaian. Banyak hal kejahiliyiahan itu ada di dalam diri kita, di hati, pikiran kita. Maka berhati-hatilah. Itulah sifat-sifat jahiliyah yang dulu juga berusaha dirubah melalui Islam.



Apakah agama Islam yang kita jalani saat ini sudah membantu diri memerangi kejahiliyahan diri? Ataukah bisa-bisa dengan agama anda akan terjerumus dalam kejahiliyahan yang lebih mengerikan? Jahiliyah dalam beragama.



Mudah diucapkan, tapi sulit untuk dilakukan bukan? Apalagi yang didakwahi adalah diri sendiri.









NGANTUK

MENGANTUK



Menurut Prof. Damarjati Supajar, Javanolog yang sudah ternama, “ngantuk” dalam bahasa Jawa itu mempunyai akar kata “mantuk” (pulang). Dengan memahami akar kata ini, manusia Jawa diajarkan bagaimana memperlakukan sebuah kondisi mengantuk, sebuah proses menuju tidur (Jawa = Sare/Sareh). Bagi kita yang mau sedikit tenggelam dalam dunia makan sebuah kata, pemahaman proses mengantuk ke arah tidur, sebagai proses “mantuk” (pulang, kembali) akan membimbing ke arah pemahaman akan peristiwa tidur itu sendiri sebagai peristiwa “kematian”.



Orang Jawa melihat, bahwa tidur, (sareh) adalah proses “meletakkan semua”, menanggalkan semua beban, pikiran dan rasa yang sudah dialami selama seharian penuh. Hikmah dari pelatihan ini adalah bagaimana mempersiapkan diri terhadap kematian, meninggal dunia yang sesungguhnya. Setiap hari, kita dilatih untuk selalu berniat, dengan sadar pulang, kembali kepada Sang Pencipta, dengan menanggalkan semua yang selama seharian penuh menjadi beban dan ditemui.



“Ngantuk”, yang ditandai dengan “angop” (menguap) adalah pertanda bahwa jiwa kita memaksa diri untuk pulang. Energi untuk bertahap dalam hidup melek ini sudah berkurang. Jika itu sudah tak tertahankan, maka bersegeralah berniat dengan sadar untuk pulang. Sehingga tidur anda bukan sekedar memejamkan mata, merebahkan badan dan berkhayal atau menghitung angan-angan.



Jika anda sudah terbiasa dengan do’a mau tidur “bismika allahumma ahya, wa bismika amuut”. Maka rasakanlah, pemahaman itu akan menemukan pertemuan persenyawaan yang begitu indah. Itulah bukti bahwa Islam bagaimanapun mampu diterima dan tumbuh subur di Jawa dan di belahan bumi lainnya.



Wallahu ‘alam



TRADISI KEILMUWAN : LITERER DAN BERGURU (LISAN)

Tidak semua bangsa di dunia ini bersamaan dalam mengenal huruf atau tulisan. Demikian pula, tidak semua bangsa menemukan jenis huruf yang seragam sebagai simbol dari komunikasi mereka. Bangsa Mesir misalnya sudah jauh lebih dahulu dibanding masyarakat Jawa mengenal budaya tulisan untuk mencatat berbagai kegiatan kehidupannya. Dengan demikian, perbedayaan capaian ilmu pengetahuan dan kebudayaan masing-masing bangsa bisa berbeda, karena melalui tulisan itu semua bisa diwariskan dari generasi ke generasi. Itulah pentingnya buku, pentingnya tradisi literer dalam memperoleh ilmu pengetahuan. Melalui catatan, tulisan dimanapun ditempatkan, tulisan telah menjadi sumber informasi dan ilmu pengetahuan yang demikian luar biasa. Kebiasaan orang-orang kuno yang mengajarkan nasehat ataupun ilmu melalui lisan, tutur telah tergantikan. Ilmu pengetahuan yang awalnya demikian kuat diyakini, melalui lisan semakin lama semakin berkurang nilai informasinya, semakin kacau makna kedalamannya dan akhirnya menjadi mytos belaka. Melalui tradisi baru, tulisan dan catatan, transfer ilmu pengetahuan dianggap menjadi lebih stabil dan valid akan isi informasi yang tersampaikan. Demikianlah akhirnya budaya tulis menjadi sebuah jalur transfer ilmu serta penggalian ilmu pengetahuan dari generasi ke generasi.



Namun, sejarah Islam telah memberikan sebuah bukti yang demikian kuat untuk menjungkirbalikkan itu semua. Melalui seorang manusia yang Ummy, tidak bisa baca dan tulis, puncak dari segala ilmu pengetahuan manusia didapat. Ya beliau adalah Nabi Muhammad SAW. Beliau ternyata mampu menjadi pembaca yang baik. Membaca kondisi sosial, membaca bahasa alam sekitar serta mampu berkomunikasi dengan dirinya sendiri. Wahyu Al Qur’an adalah sebuah bukti, bahwa puncak keilmuwan bukan didasarkan atas catatan dan tulisan. Bahkan semua nabi dan rasul menerima itu secara demikian, meski tidak semua rasul adalah ummy.



Tradisi berdialog dengan sesama, dengan lingkungan dan diri sendiri ternyata menjadi kunci utama dalam mencari ilmu. Dan buku, tulisan atau catatan hanyalah salah satu bagian dari itu. Maka tidak mengherankan mengapa pada masa kejayaan budaya Yunani, ilmu pengetahuan berkembang begitu pesat, karena tradisi lisan untuk berdialog. Ada hubungan antara pencari ilmu (murid) dengan guru (sumber ilmu). Sementara catatan adalah sebagai wadah pengikat ilmu yang diperoleh. Demikianlah selayaknya kita berproses mencari ilmu. Dari dialog lisan dengan sumber, kemudian mencatat ilmu yang didapatkan dari proses itu. Inilah jalan Nabi Muhammad SAW. mencapai puncak keilmuwan dan spiritualitas.



Bagaimana dengan zaman sekarang?? Dengan uraian sebelumnya, maka saya menyimpulkan bahwa, catatan, tulisan, buku atau semacamnya adalah sebuah pintu dari beragam pintu ilmu pengetahuan. Namun ujung dari proses untuk mencapai pengetahuan adalah dengan dialog. Bagaimanapun catatan atau literatur adalah huruf-huruf yang bisu. Dia bisa dibaca sesuka pembacanya. Tulisan “waroeng pojok santri” bisa dibaca “warong santri gendeng”... oleh pembaca yang lagi gila. Atau orang buta huruf, bahkan tidak bisa dibaca sama sekali.



Oleh karena itu, maka tradisi berguru melalui lisan dan dialog adalah sebuah metode belajar yang paling utama. Dengan metode seperti itu sebenarnya kita sudah mengikuti jalan nabi muhammad saw. Jalan itu pulalah yang ditempuh oleh para imam madzhab dan para pewarisnya.



Wallahu ‘alamu bisshowab

SEKATEN : Satu Adat Banyak Manfaat, Kaya Hikmat(h)

Sekaten atau upacara Sekaten (berasal dari kata Syahadatain atau dua kalimat syahadat) adalah acara peringatan ulang tahun nabi Muhammad s.a.w. yang diadakan pada tiap tanggal 5 bulan Jawa Mulud (Rabiul awal tahun Hijrah) di alun-alun utara Surakarta dan Yogyakarta. Upacara ini dulunya dipakai oleh Sultan Hamengkubuwana I, pendiri keraton Yogyakarta untuk mengundang masyarakat mengikuti dan memeluk agama Islam.



Sumber lain mengatakan bahwa acara tersebut merupakan ide dari Sunan Kalijaga, salah satu wali songo tanah jawa waktu itu.



PROSESI :



a)    Untuk mengikuti proses sekaten, maka disyaratkan masyarakat untuk bersuci, dalam konteks waktu itu adalah mengikrarkan syahadattain.

b)    Hari pertama dilakukan proses adalah dikeluarkannya dua set gamelan : Kyai Nogowilogo dan Kyai Gunturmadu menuju ke masjid agung. Disitulah berbagai kegiatan dilakukan, misalnya shlawatan, samroh, pertunjukan wayang, dibaan dan lainnya dimeriahkan dengan musik gamelan. Masyarakat yang mau kengikuti kegiatan itu seperti tadi diharuskan bersyahadattain. Ini dilakukan selama 7 hari sampai dengan tanggal 11 Robiul Awal (5-11). Setelah itu gamlean dipulangkan ke kraton.

c)    Puncak acara tanggal 12 robiul awal, dilakukan grebeg maulid. Salah satu komponen pokoknya adalah berupa tumpeng besar. Grebeg berasal dari kata “anggrebek”, bersam-sama dengan kekuatan penuh berdoa atas hajat (raja) semuanya agar dikabulkan. Makanan berupa tumpeng tersebut dibagi-bagikan kepada masyarakat yang mengikutinya sebagai bentuk sedekah.



Tiga proses ini sungguh indah bila kita mau sedikit merenung dan menggali makna di dalamnya. Syarat bersyahadat bukanlah wajib, dalam pengertian yang menontonpun masih diberi kebebasan. Namun bagi mereka yang tertarik dan ingin memeluk Islam, maka syahadat adalah menjadi syarat. Pengenalan akan syahadat sebagai dasar beragama Islam, begitu halus dilakukan.



Berbagai kegiatan di dalamnya juga dilakukan kegiatan yang bernafaskan kegamaan. Pertunjukan wayang tentang pusaka Jamus Kalimosodo adalah sebuah pembelajaran mengenai syahadat itu sendiri yang dilakukan oleh masyarakat sebelumnya. Kegiatan selama 7 hari sungguh luar biasa, masyarakat bisa mengenal banyak sekali khazanah keislaman selama itu.





Memperingati kelahiran nabi yang dilakukan dengan sedekah (bagi raja) dan bentuk ungkapan doa merupakan puncak acaranya. Berdoa dengan bahasa inggris, arab, jawa baik-baik saja. Demikian pula bentuk cara berdoa, ada yang dengan melakukan perbuatan (sedekah) ada yang disimbolkan dengan nasi tumpeng (mengerucut ke atas) seperti simbol menengadahkan tangan terbuka ke atas.



Sekaten, begitulah orang Jawa mengenalnya. Maulid itu bahasa santrinya (yang memperkenalkan dua kaimah syahadat). Para leluhur kita, melalui sekaten, memperkenalkan banyak konsep keagamaan, konsep tentang syahadat, tentang maulid, tentang nabi, tentang agama Islam, tentang budaya yang islami, tentang beramal dan sebagainya. Begitu cerdasnya para leluhur kita dalam berdakwah.



Bagaimana dengan sekarang?







YANG SELALU DIPERSELISIHKAN : ANTARA DEFINISI AGAMA, ISLAM DAN BID’AH



DEFINISI AGAMA :



Agama menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah sistem yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan Yang Mahakuasa serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia serta lingkungannya.



DEFINISI ISLAM



Dari segi kebahasaan Islam berasal dari bahasa Arab, yaitu dari kata salima yang mengandung arti selamat, sentosa, dan damai. Dari kata salima selanjutnya diubah menjadi bentuk aslama yang berarti berserah diri masuk dalam kedamaian.



Oleh sebab itu, orang yang berserah diri, patuh, dan taat disebut sebagai orang Muslim. Orang yang demikian berarti telah menyatakan dirinya taat, menyerahkan diri, dan patuh kepada Allah Swt. Orang tersebut selanjutnya akan dijamin keselamatannya di dunia dan akhirat.



DEFINISI IBADAH



Kata ibadah berasal daripada kalimat `abdun’. Ibadah dari segi bahasa bererti patuh, taat, setia, tunduk, menyembah dan memperhambakan diri kepada sesuatu. Ibadah secara bahasa (etimologi) berarti merendahkan diri serta tunduk.



Ibadah adalah merendahkan diri kepada Allah Azza wa Jalla, yaitu tingkatan tunduk yang paling tinggi disertai dengan rasa mahabbah (kecintaan) yang paling tinggi.



Ibadah adalah sebutan yang mencakup seluruh apa yang dicintai dan diridhai Allah Azza wa Jalla, baik berupa ucapan atau perbuatan, yang zhahir maupun yang bathin. Yang ketiga ini adalah definisi yang paling lengkap.



DEFINISI BID’AH



Bid’ah menurut bahasa, diambil dari bida’ yaitu mengadakan sesuatu tanpa ada contoh.



Barangsiapa membuat suatu perkara baru dalam agama kami ini yang tidak ada asalnya, maka perkara tersebut tertolak.



Ringkasnya pengertian bid’ah secara istilah adalah suatu hal yang baru dalam masalah agama setelah agama tersebut sempurna.





RINGKASAN :



1)    Agama : tata keimanan, peribadatan, pergaulan (manusia dan lingkungan).

2)    Islam : ketundukan, kepasrahan kepada Allah swt

3)    Ibadah : ketundukan, penghambaan, penyembahan.

4)    Bid’ah : perkara baru.



CAKUPAN :

1)    Agama mencakup 3 hal : keimanan, peribadatan dan pergaulan

2)    Islam : dunia dan akhirat.

3)    Ibadah : dicintai dan diridhloi

4)    Bid’ah : perkara agama



BEBERAPA KESIMPULAN YANG BISA DIAJUKAN :



1)    BID’AH yang dimaknai sebagai perkara baru dalam agama, maka akan mencakup urusan/perkara yang berkaitan dengan dunia dan akhirat.

2)    BID’AH yang dimaknai sebagai perkara baru dalam agama, maka akan mencakup urusan keimanan, peribadatan dan pergaulan.

3)    BID’AH yang dimaknai sebagai perkara baru dalam agama yang mencakup masalah ibadah saja, maka agama hanya dipahami sebagai peribadahan saja.

4)    BID’AH yang dimaknai sebagai perkara baru dalam ibadah, maka akan mencakup perkara berkaitan dengan urusan yang dicintai dan diridhloi Allah swt.

5)    BID’AH yang dimaknai sebagai perkara baru dalam agama, sedangkan perkara dunia bukan BID”AH, maka sebenarnya urusan dunia dianggap tidak menjadi bagian dari perkara agama.



CATATAN :

1)    Agama yang diridloi Allah adalah Islam.

2)    Islam adalah agama yang sudah sempurna

3)    Kesempurnaan Islam juga termasuk kesempurnaan dalam mengatur urusan dunia dan akhirat, urusan keimanan, peribadatan dan pergaulan.

4)    Menjadi muslim yang sempurna (kaffah) berarti menjadi orang yang selalu menundukkan segala urusannya, baik keimanan, peribadatan dan pergaulan (urusan dunia) kepada Allah swt.

























Sama-sama Bid'ah Ya....

Kali ini si Murid tergesa-gesa segera menemui si Cantrik :



Murid : “Trik...maulidan yang kaulakukan itu bid’ah..bener kok bid’ah...”

Cantrik : “lha ya...dari kemarin kan kamu selalu bilang begitu....”

Murid : “maksudku begini, trik. Yang aku sebut bid’ah itu ya waktu pelaksanaannya, kegiatan yang dilakukan seperti shalawat. Sedangkan memperingatinya tidak....”



Cantrik : (wah.....jadi aneh gini....ketularan siapa ya? Jangan-jangan dia sudah mau berpindah pemahaman...). Maksudmu bagaimana?

Murid : “begini trik....nabi sendiri memang memperingati hari kelahirannya, yaitu dengan puasa senin, makanya ada sunnah beliau yaitu puasa senin...”



Cantrik : “oooo...itu toh....hadis soal puasa senin”.

Cantrik : “ wah bagus itu .... berarti kamu sudah bisa menerima maulidan donk...”

Murid : “ya tetap bid’ah lah yang kamu lakukan. Wong nabi itu dengan puasa, sedangkan kamu dengan lainnya....itu melanggar sunnah....”



Cantrik : “berarti maulidanmu tiap hari senin ya? Wah jadinya ada puasa maulid donk....”

Murid : “kok jadi gitu .... ya bukan itu donk...”

Cantrik : “kan katanya mengikuti nabi, puasa senin sebagai peringatan akan kelahirannya....jadinya puasamu hari senin itu puasa maulid donk....”



Murid : “ya tidak bid’ah lah...itu sunnah....”

Cantrik : “eh...lahirmu hari apa???”

Murid : “apa maksudmu?...lahirku hari minggu...”

Cantrik : “harusnya sunnahnya nabi yang kamu ikuti itu ya puasa hari minggu bukan senin....”

Murid : “nah itu malah bid’ah.....puasa sunah kok hari minggu...”

Cantrik : “katanya mengikuti nabi...kan nabi punya alasan puasa hari senin karena memperingati kelahirannya. Jadi kamu mengikutinya juga harusnya hari minggu karena kelahiranmu minggu....”

Murid : “ %^&????!!@???....”

Cantrik : “nah jadinya kita sama-sama ahli bid’ah...ya...”





Bid'ah Dunia

Kali ini si Cantrik heran dengan kegiatan si Murid yang sibuk dengan internet, bikin blog dan memposting artikel-artikel keagamaan. Sebab dalam pikiran Cantrik, aktivitas Murid ya baca Qur’an, Hadits, Kitab, shalat sunnah atau yang sejenis.



Cantrik : “Mas...sampean sibuk juga ya bikin blog. Ati-ati lho..itu bid’ah (sindir Cantrik)”



Murid : “ah ya tidak to. Ini kan urusan dunia. Pembaharuan (bid’ah) dalam urusan dunia itu tidak apa-apa. Nabi sendiri mengatakan, “antum alamu bi umuriddunyakum”



Cantrik : “oh...gitu to. Jadi ada bid’ah dunia dan bid’ah agama...katanya semua bid’ah itu sesat...”



Murid : “antum ini keliru dalam memahami hadis soal bid’ah. Yang dimaksud nabi itu ya bid’ah agama yang sesat, seperti tahlilan, maulidan, membaca shalawat yang tidak diajarkan nabi....”



Cantrik : “kok bisa begitu??”

Murid : “lha ya...kan nabi menyebutkan bahwa pembaharuan perkara (urusan) agama itu yang disebut bid’ah, dan bid’ah sesat dan masuk neraka. Intinya membuat perkara baru dalam ibadah..itu bid’ah”.



Cantrik  : “lha kalau begitu...apa yang kau lakukan saat ini sia-sia donk. Kan urusan dunia semua. Tidak ada pahalanya...antum melakukan yang sia-sia...hati-hati lo nanti jadi amalan setan...”

Murid : (mulai mengernyitkan dahi...). lho saya nulis artikel diblog ini kan dakwah, saya niati untuk berdakwah, jadi berpahala donk. Tidak sia-sia...gimana seh..”



Cantrik : “katanya tadi urusan dunia, tidak berlaku kaidah agama...”

Murid : “lha kan segala sesuatu yang bermanfaat dan mengantarkan kepada agama itu baik, dan tercatat sebagai amal berpahala....”



Cantrik : “ya berarti itu urusan agama donk. Ada penilaian baik buruk, berpahala tidak berpahala.....”

Murid : “ah...dasar kamu kagak paham-paham juga. Nulis di blog itu urusan dunia, jadi dulu dakwahnya tidak pake blog, sekarang pake blog. Itu pembaharuan urusan dunia....bukan agama...”



Cantrik : “lha kenapa kamu nilai sebagai amal kebaikan, berpahala, amal dalam agama?.....kalau begitu kan jadi urusan agama??? Apakah ketika kamu mengelola blog itu sedang tidak ada kaitannya dengan agama, terus ketika menulis artikel baru berurusan dengan agama....wah jadi sekuler donk kamu....”

Murid : “kok malah nuduh sekuler.....gimana seh...wong jelas-jelas menurut syechku pembagian dan penjelasan bid’ah begitu kok....”

Cantrik : “ooooh....kata syechmu ya.......maumu aku ikut syechmu juga to? Kok selaluuuu begitu.....pake mbuleeeeeeeeeeeetttt kayak susur....”

Murid : “&^@#???!#@....”





Membid'ahkan dan Mengkafirkan

Kali ini debat si Cantrik dengan si Murid lebih serius dan tegang :



Murid : “Trik....kamu ini benar-benar bebal kok. Sudah dibilangin mulidan itu bid’ah dan sesat. Kok masih ngeyel. “



Cantrik : “lah..memang kenapa? Kan memang beda pendapat kita. Antum menilai maulidan itu bid’ah. Dan saya menganggapnya bid’ah hasanah. Memang sih...sama-sama bid’ah. Cuma saya membedakan adanya bid’ah yang baik dan dibolehkan”.



Murid : “semua bid’ah itu sesat, dan sesat pasti neraka. Semua amalan bid’ah itu tertolak....percuma jadi orang Islam.



Cantrik : “wah....berarti sama dengan orang kafir donk saya. Tempatnya udah jelas di neraka. Dan semua amal saya tertolak..”



Murid : “ah...ya tidak begitu....antum tetap muslim kok. Asal tidak syirik ya tidak kafir. Orang kafir itu kekal dalam neraka...”



Cantrik : “kok bisa begitu????”



Murid : “kafir itu kekal di neraka, sementara ahlu bid’ah tidak kekal. “

Cantrik : “terus kapan keluar dari neraka???”

Murid : “Ya nunggu dulu....”



Cantrik : “Nunggu siapa?...nunggu kamu? Memang surga punya mu apa? Kok kamu yang nentuin?....apa nunggu stempel sohih dari syechmu?.......”



Murid : “bukan begitu...nunggu keputusan Allah.....”

Cantrik : “ya berarti kita sama-sama nunggu......tapi kamu sudah memvonis kalau maulidan itu sesat dan masuk neraka?”

Murid : “itu kan sesuai dengan sabda nabi.....”

Cantrik : “memang nabi mengatakan kalau maulidan itu bid’ah?”



Murid : “ya bukan...menurut ulama yang mengikuti manhaj salafus solih...maulidan itu bid’ah... ya sesuai kaidah nabi jadi sesat”...

Cantrik : “ oh...itu pendapat ulama antum to......apa kamu kepengen saya mengikuti ulama antum? Gitu aja kok....mbuleeeeeeeeeeeeeeettt kaya susur....”



Murid : “huh.......#$#???!@@###”













Jangan Taklid Buta

Kali ini Cantrik sama Murid agak sedikit bersitegang :



Murid : “Trik, janganlah kau taklid buta kepada kyai...?”

Cantrik : “loh, memang kenapa? Tidak boleh ya?”

Murid : “Tidak boleh itu, nanti amalanmu jadi sesat. Ikutilah Nabi, dan rujuklah Al Qur’an dan Sunnah”

Cantrik : “kamu sendiri bagaimana?”

Murid : “Aku selalu merujuk kepada Qur’an dan Hadits Nabi” (Sambil menunjukkan beberapa kitab).

Cantrik : “Lah..kamu malah mengikuti kitab. Sama saja kan. Bedanya aku sama orang kamu sama kitab rujukannya”

Murid : “beda donk. Ini kitab-kitab sudah sohih, valid sebagai rujukan”.

Cantrik : “Memang yang nulis kitab-kitab itu siapa?...Nabi sendiri? Atau sahabat?”

Murid : “Ya..ndak lah..para ulama yang mengikuti nabi dan salafus solih...”

Cantrik : “kalau begitu ya sama saja....sama-sama kepada manusia. Situ kamu sebut ulama, saya sebut kyai...”

Murid : “tetap beda....ulama yang menulis ini benar-benar menempuh ijtihad dalam menulis kitab...”

Cantrik : “lha apa kamu kira, para kyai itu dak bisa baca kitab apa? Tidak berguru pada ulama? Tidak mengkaji naskah-naskah para mujtahid apa?....”

Murid : “tetap beda....kalau kitab ini sudah disahihkan.....”

Cantrik : “disohihkan sama Nabi?...kalau YA saya mau ikut.....maunya kamu kan aku pindah ngikuti ulama mu to?......gitu aja kok mbulet kayak susur....”

Murid : ............%$%$&^#?!&

Belajar Kitab Gundul

Dasar si Murid sudah tidak suka dengan kebiasaan si Cantrik ngaji kitab gundul, maka terjadilah debat kusir berikut :



Murid : “trik, mbok ya jangan ngaji dengan kitab gundul. Itu kan karangan manusia. Lebih baik ngaji Qur’an dan Hadits”

Cantrik : “Iya seh, memang itu sangat baik kok. Tapi kenapa mesti tidak boleh ngaji kitab gundul?”



Murid : “yang sunnah itu yang tidak gundul akhi. Ada jenggotnya, apalagi panjang...”

Cantrik : (ketebulan bawa kitab Al Ibriz) “ooh...kayak yang ini ya?......”

Murid : “Nah...benar-benar seperti ini. Dibawah tulisan ada jenggotnya. Ada harokat sehingga mudah dibaca...ini yang sunnah akhy”

Cantrik : “kalau yang ini malah lebih panjang (kebetulan si Cantrik habis ngaji Fathul Muin, dengan tulisan tangan untuk memberi makna). Bagaimana akhy?”

Murid : “wah ini malah lebih bagus lagi.....lebih panjang dan lebat lagi jenggotnya...”

Cantrik : “bisa baca juga?”

Murid : “Tidak akhy.......”

Cantrik : “Pantes...memang itu tulisanku....menghina apa? Kalau tulisanku jelek?....”

Murid : “Oh bukan begitu..akhy....kalau itu tulisan kamu, berarti kamu malah bid’ah, menambah-nambahi....”

Cantrik :”gimana to, katanya gundul itu tidak boleh, bisa menyesatkan, ada makna gandulnya kayak jenggota, baik, sunnah. Ini malah jenggot lebat..dibilang bid’ah....sebenarnya kamu ngerti ndak kitab gundul?”.....

Murid : “......@#???^&##

Cantrik : “dasar...gundulmu...ngono....”