Berkurban Dalam Membentuk Pribadi

Hewan qurban yang disembelih pada Hari Raya Idul Adha adalah sajian yang bisa dinikmati oleh banyak orang. Terlebih bagi mereka fakir miskin. Kenikmatan daging sebagai menu makanan akan memberi kegembiraan. Meski itu sedikit. Bagi yang berkurban, merupakan bentuk persembahan ketaatan, keikhlasan dalam berkurban bagi sesama.

Kesempurnaan berkurban bukan pada seberapa banyak kambing atau seberapa besar sapi yang disembelih. Tetapi kerelaan berbagi kepada sesama itulah yang menjadi fondasinya. Itupun masih sebagian kecil yang bisa dikurbankan. Kemudian meningkat pengurbanan apa-apa yang menjadi miliknya lainnya, berbagi dengan apa-apa yang dicintainya, yang bernilai.

Sang Resi Bisma bertutur : “Ing layang Wedha awewarah, yen mangreh pribadine iku angungkuli sesaji”. Dalam Serat Wedha diajarkan, jika kehendak membentuk pribadi unggul jauh lebih mulia ketimbang sesaji. Jumlah hewan kurban atau besarnya daging kurban, masih kalah jauh timbangannya dibanding jika berkurban adalah diarahkan pada pembentukan pribadi.

Nabi Ibrahim melalui kurban berkehendakan untuk semakin meneguhkan kecintaannya kepada Allah swt. Kerelaan Ismail a.s. disembelih menjadi media membentuk pribadi yang rela turut dalam kecintaan tersebut, bukan karena yang berkehendak adalah Irbahim, Bapaknya.

Melatih diri pribadi adalah melatih jiwa. Wong bisa sinau anyegah, sarana lair tuwin batin, nanging panyegah ing dalem batin iku luwih rekasa. Wong ora bisa dadi yogi mung sarana panganggo kang katon, ananing mung saka jejeging suksma tuwin pedhoting tali pepenginan. (Orang bisa belajar mencegah, melalui lahir dan batin, tetapi mencegah/mengendalikan dalam batin itu lebih berat. Orang tidak bisa menjadi pertapa hanya dengan pakaian yang terlihat, tetapi hanya karena keteguhan suksma dan putusnya tali nafsu).

Berkurban di Hari Raya Idul Adha adalah hari raya bagi semua umat muslim. Jika kita tak punya hewan untuk disembelih, maka sembelihlah tali nafsu kehewanan yang ada dalam diri kita. Dengan demikian, kita semua masih bisa merayakan hari Agung tersebut.

Selamat hari Raya Idul Adha 1434 H

Nahnu KULI Kulliyah

Dulu untuk menyebut wartawan adalah kuli tinta. Sebutan ini terdengar sedikit memberi cita rasa, tanpa merendahkan profesi wartawan. Sementara, sebagian orang menganggap remeh profesi kuli. Mereka yang bekerja sebagai pembawa barang dengan tangan atau badan fisiknya disebut kuli. Kata kuli sendiri diambil dri kata Mikuli (memikul) barang-barang. Di pelabuhan, pasar, terminal atau proyek pembangunan akan ada orang-orang yang menawarkan jasanya atau bertugas membawa barang-barang untuk diantar ke suatu tempat. Mereka itulah yang sering disebut kuli.

Potret lusuh, penuh keringat dan mengandalkan tenaga fisik dari kuli, menjadi wajah yang ditangkap oleh khalayak. Akhirnya, sebagian menilai bahwa kuli adalah para pekerja kasar, kotor dan rendahan. Berlanjut kemudian membuat stigma memasukkan para kuli menjadi lapisan sosial yang rendah.

Cobalah sedikit berbeda fokus yang kita gunakan memandang kuli. Lihatlah beban yang dipikulnya. Beras sekwintal, sayuran, tepung atau lainnya. Perhatikanlah, para kuli memanggul beban begitu berat dengan kekuatan fisiknya. Bahwa beban itu, seperti beras adalah beban penjual, beban konsumen, beban petani yang harus terangkut serta beban ekonomi keluarga yang harus dihidupi. Kuli merupakan bagian dari sistem sosial yang turut serta menahan beban orang lain dan keluarganya.

Apapun pekerjaan kita, terdapat beban yang ada di pundak kita, di pikiran kita, di hati kita, seperti kuli. Hanya karena fisik yang dipakai oleh kuli, maka keringatlah yang mengucur. Jika kekuatan fikir yang digunakan, maka stresslah yang menggurat. Jika mulut yang diandalkan, maka celotehlah yang menerocos. Nahnu kuli kulliyah. He he he, mungkin ini istilah yang pas untuk menggambarkan itu.

Masihkan anda dan saya meremehkan kerja keras para kuli?

Membina Budaya, Membangun Peradaban

Budaya, sering dipahami dalam bentuk fisiknya yang terlalu kecil. Ketika pemerintah mengurusi festival film sudah disebut sebagai upaya membina budaya. Padahal, jika mau jujur, masih jauh dari kata tepat. Demikian pula perlakukan-perlakuan terhadap bentuk fisik sempit lainnya, seperti wayang, musik, patung dan lainnya.

Budaya, gampangnya adalah budi dan daya. Polah dan kemampuan. Aktivitas manusia bisa disebut budi. Sedangkan kemampuan beraktivitas sampai pada batas tertentu menunjukkan kemampuan manusia. Dalam pengertian ini, budaya memiliki puncak-puncaknya. Itulah peradaban, dimana aktivitas dan kemampuan sampai pada titik tertentu yang mewujudkan nilai adab, etika dan estetika.

Kesenian yang hanya berujung pada rusaknya mental atau degradasi moral sebenarnya bukan budaya yang bisa membangun peradaban. Itu hanya menunjukkan budaya saja. Dus, budaya itu bisa saja berupa budaya yang tidak beradab dan beradab.

Titik tolah pemahaman budaya dan perabadan secara demikian akan membimbing kita untuk mencari-cari budi dan daya yang bisa membimbing manusia dalam membentuk akhlakul karimah. Di sinilah relevansi segala bentuk jenis budaya yang ada kemudian bersesuaian dengan visi agama Islam.

Para wali (songo) dahulu, memahami persoalan kebudayaan tidak dilepas dari peradaban. Wayang bukan sekedar hiburan atau cerita pengantar tidur bagi anak-anak atau orang dewasa waktu itu. Tembang mocopat, syiiran, seni ukir dan sebagainya pada ujungnya adalah membentuk Etika Islam.

Anda kemudian, saat ini masih bisa melihat bangunan peradaban itu. Tradisi penghormatan kepada leluhur, merupakan bentuk budaya yang membangun etika dasar bagi generasi muda (anak-anak) kepada orang tua. Tembang-tembang yang begitu dihayati masyarakat dan bertahan lama, ratusan tahun, dengan segala variasi dan perubahannya. Itu semua menunjukkan bahwa budaya bukan untuk budaya, tetapi untuk adab manusia.

Akhir-akhir ini, berbagai jenis wujud budaya telah diabdikan bagi industri pemuas konsumsi manusia. Manusia bisa bahagia dan tertawa darinya. Tetapi jenis adab macam apakah yang akan diukir melalui budaya semacam ini?