Kang Yatiman (5) : Istikhoroh Pilitik Kyai


Kyai Sujak bagi kang Yatiman adalah sosok yang sangat dikagumi. Selama ini sudah menjadi jujukannya meminta nasehat, pendapat bahkan banyak hal yang paad akhirnya pendapatnya dipakai kang Yatiman. Perkenalannya dengan kyai Sujak sudah lama, sehingga kang Yatiman paham betul bahwa pendapat kyai Sujak bukan sekedar berpendapat, tetapi sudah ditimbang masak dan diupayakan secara ruhani.


Demikian pula Kyai Juki. Dia adalah teladan yang selama ini memberi inspirasi, contoh dan tuntutan bagi kang Yatiman. Sudah lama apa yang diikuti dari kebiasaan kyai Juki diamalkan oleh kang Yatiman. Jangan tanya manfaat yang didapat. Barokahnya demikian melimpah diterima kang Yatiman sekeluarga. Itulah yang menjadi keyakinan kang Yatiman.


Menjadi sulit untuk saat ini bagi kang Yatiman. Harus mengikuti siapa. Ikut kyai Sujak berarti dia mendukung capres yang selama ini tidak disukainya. Sementara membuntut langkah kyai Juki berarti dia harus siap-siap dikritik habis teman dan tetangganya. Tidak mampu kang Yatiman memberi alasan bagi pilihannya itu.


“Kyai,” kang Yatiman matur ke kyai Sujak.
”Mengapa kyai memberi dukungan pada capres yang itu?”.
“Saya sudah pikirkan matang. Sudah istikhoroh. Hasilnya ya itu. Aku mendukung dia.”
“Kang dia itu orangnya punya masa lalu yang buruk?”
“Apa kamu tahu betul latar belakang dia? Kehidupannya di masa lalu?”
“Tidak kyai”
“Ya sudah. Aku saja tidak berani begitu. Aku hanya yakin atas ikhtiarku untuk membuat pilihan”.


Apa yang disampaikan oleh kyai Sujak tidak beda jauh dengan kyai Juki. Keduanya sama-sama atas ikhtiar atau ijtihad yang sudah dilakukannya. Kang Yatiman benar-benar galau, harus pilih yang mana dari kedua pendapat tersebut.


==

Biasanya kang Yatiman meminta pendapat untuk urusan begini dari kang Sakur.
“Kang Sakur, piye menurutmu?”
“Benar semua”
“Kok bisa? Tidak mungkin. Salah satu harus ada yang benar dan satunya salah”.
“Loh, ini kan bukan soal benar salah. Bukan soal ujian anak-anak SD itu kang”
“Ya, tapi apa saya harus memilih keduanya? Kan tidak sah nanti dalam pemilu?”
“lha kan enak, tinggal pilih salah satu. Katanya keduanya menurut sampean baik semuanya? Jadi milih salah satu yang tentu baik. Ya khan?”
“Saya masih bingung, kang”.
“Wes, gini saja kang Yatiman. Seandainya ada sepuluh santri jomblow semua berusaha mencari jodohnya. Kemudian mereka sama-sama istikhoroh. Apa hasilnya sama? Nek, jawabane satu gadis apa tidak gelut? Ha ha ha ....”
“Ini kan urusan presiden, bukan jodoh”
“Ya sama saja. Sama-sama bukan urusan dalil to? Bukan urusan wahyu to?. Ketika satu santri dapat isyarat jodohnya A, ya memang itu yang cocok buatnya. Begitu santri-santri lainnya. Jadi poro kyai itu punya jodoh masing-masing dalam urusan calon presidennya”.
“kalau nanti ternyata yang dipilih itu tidak baik? Apa kyai tidak malu?”
“kenapa mesti malu? Wong itu didasari ilmu dan istikhoroh ruhani kok. Yang suka bikin malu itu kan mereka yang milih jomblow tapi pura-pura istikhoroh...”
“Maksudnya?”
“Ha ha ha ....”

Rupanya kang Yatiman jadi mikir kalimat kang Sakur. Begitulah, harusnya dia mendapat penjelasan gamblang untuk satu hal, tetapi dia malah mencari soal baru yang butuh jawaban lagi.

Pres...capres



Pres...capres
Pres...cawapres
Semua ruwet, saling gores
Bisa beres

Pres...capres
Pres...cawapres
Partai kumpul, jadi bakul
Bisa jujur, bisa ngibul

Pres...capres
Pres...cawapres
Cegah prahara, gandeng raja
Ditambah sa, agar wibawa

Pres...capres
Pres...cawapres
Hindari Owi, ajak sulawesi
JK jadi menggenapi

Pres...capres
Pres...cawapres
Berase kari sak peres
Rupane rembes...
Kokehan mbahas

Pres...capres
Pres...cawapres


 


Kang Yatiman (4) : "Lurah Kyai Yatiman"

Kali ini, Kyai Yatiman menghadapi problem pilihan yang rumit. Dua santrinya, Joko dan Bowo maju sebagai calon kepala desa. Kalau soal restu, sebenarnya mereka sudah mendapat restu untuk maju. Tapi soal dukungan, itulah yang menjadi masalahnya. Tidak mungkin, Kyai Yatiman hanya memberi dukungan kepada salah satunya. Atau membagi santrinya untuk mendukung mereka. Pasti tidak bisa persis. Karena jumlah santrinya juga tidak diketahui persis.

Jauh sebelum masa pendaftaran, Kyai Yatiman menyampaikan pendapatnya. “Monggo, Kang Joko silakan maju sebagai calon kepala desa. Saya bangga, seandainya kelak sampean yang terpilih.” Kalimat seperti itu juga berlaku bagi Bowo. Tanpa ada penambahan atau pengurangan makna pesannya.  Masa pendaftaran masih terbuka. Namun, calon yang ada masih saja hanya mereka. Padahal, masih memungkinkan adanya calon lain. Pilihannya pada akhirnya ya salah satu dari mereka. Mau tidak mau.

Ada keprihatinan lain bagi Kyai Yatiman. Isu-isu yang beredar berhembus tentang upaya saling menjegal dengan kampanye buruk. Kampanye hitam saling menjelekkan. Situasi seperti ini tentu tidak baik bagi mereka berdua. Apalagi bagi Kyai Yatiman. Semuanya santrinya, tetapi dalam kampanye saling menjelekkan. Ini tidak boleh terjadi.

“Apa benar kamu menjelekkan kang Joko, Wo?” suatu waktu Kyai Yatiman menegur Kang Bowo.
“Bukan kyai. Saya tidak bermaksud demikian. Tetapi, saya dengar di masyarakat ada yang berusaha menjelekkan saya. Membuat fitnah terhadap saya. Tentu ini dari timnya Kang Joko. Apa saya harus diam saja kyai? Apa njenengan rela saya difitnah semacam itu?” Kilah Kang Bowo.
“Lha apa tidak ada cara lain, misalnya sampean datangi langsung Kang Joko?”
“Tidak mungkin kyai, kuatir salah paham, malah kemudian konflik. Kalau saya diam, saya bisa kalah kyai.”
“Oooh, soal kalah menang to ini?”
“Lha inggih kyai. Pilkades kan mencari pemenang?”

 
Rasanya sulit sekali bagi Kyai Yatiman untuk mendamaikan keduanya. Bisa saja, Joko dan Bowo bisa tidak ada masalah. Tim sukses yang menghendaki mereka menang itu tentu tidak terima atau tidak ingin calon yang diusung kalah.
 
==

 
“Assalamu ‘alaikum,”
“Waalaikum salam kyai. Apa yang bisa saya bantu?”
“Saya mau daftar jadi calon kades, pak!”
“Yang benar saja kyai?”

Petugas pendaftar pilkades keheranan. Kenapa Kyai Yatiman mendaftar jadi calon kades. Kedatangannya tidak pernah diduga oleh petugas. Pikiran mereka barangkali Kyai Yatiman akan memberi nasehat atau masukan kepada panitia. Tapi tidak sama sekali. Kyai Yatiman maju sebagai calon kades.

 
Syarat sudah terpenuhi. Kyai Yatiman berhak maju sebagai calon kades. Pilihannya menjadi tiga calon. Kabar ini kemudian diketahui masyarakat luas. Joko dan Bowo benar-benar bingung dengan kondisi ini. Bagi mereka Kyai Yatiman jelas menjadi ancaman. Bersaing dengan gurunya sendiri tentu mereka kalah. Masyarakat jelas lebih condong kepada Kyai Yatiman. Itu jelas dari hitung-hitungan di atas kertas ataupun kondisi riilnya.

 
Bersepakatlah mereka. Kyai Yatiman adalah ancaman kemenangan mereka. Strategi bersama disepakati. Pokoknya jangan sampai kalah dari Kyai Yatiman. Dan benar, kampanye mereka berbalik untuk melemahkan suara pendukung Kyai Yatiman.

 
==
 
Kyai Yatiman. Kyai Yatiman. Joko. Bowo. Kyai Yatiman. Demikian juru hitung pilkades. Sampai jam 3 sore perhitungan selesai, Pemilih yang ikut nyoblos hampir 100 persen. Hasil penghitungan diketahui. Kyai Yatiman memperoleh suara 1233, Joko 543, dan Bowo 542. Jelas hasil ini pukulan telak bagi Joko dan Bowo. Bagaimana bisa kekuatan bersama mereka bisa kalah dengan Kyai Yatiman. Tetapi mereka lupa, bagaimanapun suara mereka dibagi dua, tidak seperti suara Kyai Yatiman yang utuh hanya untuk dirinya.

 
Hasil tersebut kemudian ditetapkan Kyai Yatiman sebagai pemenangnya.
“Terima kasih saudara-saudara atas suara yang diberikan kepada saya. Demikian juga untuk dua santri saya, Joko dan Bowo yang sudah bekerja keras turut serta dalam pemilihan ini” begitulah pidatonya. Tetapi kemudian, “...namun demikian, saat ini juga saya mengundurkan diri sebagai pemenang Pilkades. Tugas saya mengajar tidak bisa saya tinggalkan....”. Semua yang hadir terdiam. Kaget, tidak tahu apa maksud dari semua ini.

 
Kondisi itu tentu menempatkan Joko sebagai pemenang, karena lebih banyak dari Bowo, meski hanya  satu suara. Bagi Joko tetap saja tidak senang dengan hasil ini. Meski menang itu hanya suara sedikit. Bukan yang sebenarnya. Demikian pula kelebihannya dari Bowo. Hal yang lebih membuat Joko tidak suka adalah, kenyataan Kyai Yatiman harus dipenjara. Karena mengundurkan diri dari proses pilihan yang sudah ditetapkan.

 
Joko dan Bowo benar-benar menyesal, kenapa Kyai Yatiman harus masuk penjara akibat pilkades. Saat mereka besuk di penjara kepolisian, Kyai Yatiman berkata kepada mereka,”apakah cara ini bisa membuat kalian rukun?” Sungguh pertanyaan yang menyesakkan dada mereka. Mereka tidak sadar selama ini, keikutsertaan Kyai Yatiman hanya untuk menyadarkan kepada mereka untuk tidak saling menjatuhkan dalam kampanye.

“Tapi...tidak apa-apa itu pilihanku. Toh masyarakat yang menentukan kalian. Dan aku terbebas dari beban memberi dukungan kepada salah satu dari kalian”.
“Tapi kyai”, Joko dan Bowo menyela, “mengapa harus sampai seperti ini?”
“Ketahuilah kalian, do’a restuku itu jauh lebih berharga dari sekedar suara dukunganku”.

 
 

 

 

 

 

 

 

Kang Yatiman (3) : Memilih Rakyat, Bukan Capres

Tumben, Kang Yatiman pagi-pagi sekali berkunjung ke rumahku. Sudah lama sekali, sejak kunjunganku waktu lalu mengundang Haul Kyai Yahya kami tidak bertemu.
“Kang, tolong beri aku nasehat atau petunjuk...”
“Loh, sebagai kyai mosok minta bantuan orang macam saya?
“Ah, jangan gitu Kang Sakur. Sudahlah, beri saja saya petunjuk”
“Soal apa?”
“Pilpres. Menurut sampean, pasangan siapa yang harus dipilih?“
Kang Yatiman mengakui, akhir-akhir banyak warga yang bertamu atau jamaah yang hadir di majelisnya menanyakan soal itu. Maklum, sebagai kyai tentu ditunggu pendapatnya. Bagi jamaahnya, pendapatnya akan membuat tentram hati mereka.
“Ah, jaman sekarang gak usah begitu-begituan Kang”
“Lha gimana to Kang, wong mereka tetap meminta pendapatku”
“Ya, jawab saja sekenanya. Atau serahkan pilihan pada mereka. Kan beres”
“Itu dia, masalahnya, sudah saya lakukan begitu, tetap saja selalu ditanya”.

 

Kang Yatiman, tetap saja mendesakku untuk memberikan jawabannya.

“Wes, Kang. Begini saja. Mulai besok sampai tujuh hari ke depan, sampean saya tugasi marung, jagong di warung kopi”.

“Loh, apa hubungannya?”

“Lah, sampean minta petunjuk. Itu petunjukku. Mau ya sudah, tidak mau ya monggo. Beres.”

 

==

Hari pertama, Kang Yatiman njagong di warung Kopi dekat rumahnya. Seharian dia ngobrol bersama pengunjung lain. Obrolan orang-orang di sana, tak beda jauh dengan yang di rumah. Soal Pilpres tetap jadi pembahasan yang anget. Dia mencoba mencerna bagaimana sebenarnya suara orang-orang itu. Tetap saja, ada dua kubu yang saling memperkuat pilihannya masing-masing.

“Ah, sama saja. Tambah pusing saja. Di mana-mana kok soal capres yang diurus.” Begitu kesimpulannya njagong hari pertama. Demikian juga hari berikutnya, dia mencoba njagong di warung kopi yang agak jauh dari rumah. Sama saja hasilnya. Sampai hari keenam, kesimpulan itu saja terus menerus. Sampai-sampai dia mempertanyakan apa maksud dari Kang Sakur memberi nasehat tersebut.

==

Sudah hampir enam jam dia njagong di warung kopi dekat rumahnya. Itu adalah hari terakhir seperti petunjuk Kang Sakur. Tidak banyak berbeda. Sejak jam delapan pagi, yang didengar adalah obrolah soal capres dan cawapres. Semakin memuakkan saja baginya mendengar diskusi-diskusi seperti itu.

Kang Yatiman tidak menyadari, bahwa masih ada seseorang yang juga duduk di warung tersebut hampir selama yang dilakukannya.

“Kyai, saya perhatikan kok panjenengan lama sekali di warung ini,”

Sedikit kaget, “Oh, kang yanto. Ya kang, saya pengen njagong saja. Lama saya tidak njagong di sini. Padahal dekat dengan rumah.”

“Ooooh. Refreshing begitu kyai?”

“Ya, begitulah. Sampean sendiri sedang apa?”

“Kalau saya sudah biasa begini kyai. Gak ada pekerjaan. Daripada di rumah diomelin istri, mending di sini, cukup modal dua ribu bisa duduk dan ngobrol lama sekali. Nanti kalau sudah sore baru pulang”.

“Sampean kerjanya apa?”

“Gak mesti kyai, serabutan. Pekerjaan saya membuat kasur.”

“Bagus itu.”

“Nggeh, bagus. Tapi kalau sepi order begini saya dak bisa memberi uang belanja kepada istri, apalagi buat biaya sekolah anak-anak”.

“Loh, kenapa tidak datang ke rumah? Kalau pas nganggur begini. Kan dekat dengan rumah saya?”

“Malu kyai, saya tidak bisa ngaji. Jarang shalat. Apa pantas kumpul dengan mereka yang ahli ibadah dan mengaji?”

 

==

Baru kali ini selama masa melakukan petunjuk Kang Sakur. Obrolan ringan, tidak membahas capres, tidak membahas politik. Tetapi membahas soal pekerjaan, soal nafkah keluarga sehari-hari, soal keberagamaan. Padahal, Kang Yanto adalah tetangga dari Kang Yatiman.

Sejak obrolannya dengan Kang Yanto tersebut, Kyai Yatiman memutuskan tidak mau membahas soal capres apalagi memberi pertimbangan dalam memilih capres. Dia baru menyadari bahwa, selama ini sebagai kyai, dia terlalu disibukkan dengan urusan dan kepentingan tamu-tamunya, kepentingan mereka yang suka beribadah, suka mengaji. Tetapi lupa, kepada tetangga yang masih kekurangan ekonomi dan malu beribadah.

 

 

 

 

 

 

 

Warga NU Bangkit Berkali-kali

Tahun 1908 dijadikan tahun bangkitnya nasionalisme bangsa Indonesia. Budi Oetomo, sebuah organisasi kepemudaan dijadikan rujukan awal pertanda kebangkitan nasional. Namun, bagi warga Nahdlatul Ulama, kebangkitan itu terjadi berkali-kali. Sekitar tahun 1916, dari para kyai dideklarasikan Nahdlatul Wathan, kebangkitan akan cinta tanah air. Bukan sebuah ormas kepemudaan, namun ditumbuhkembangkan pada diri pelajar. Melalui perguruan Nahdlatul wathan, warga NU sudah bangkit untuk pertama kalinya. Siapa mereka? Kaum pelajar.

 

Kebangkitan berikutnya adalah, nahdlatututtujar, kebangkitan para saudagar. Bukan hanya karena situasi kondisi yang menuntut mereka untuk bangkit melawan kapitalisme, serbuan para pedagang besar kota, tetapi satu target lain, yakni mendukung pembiayaan bagi kebangkitan tanah air dan dakwah para ulama. Jelas sekali, para pengusaha bangkit dalam gerakan kebangsaan.

Berikutnya, meski tidak dengan nama kebangkitan (nahdlat), tetapi taswirul afkar pada hakikatnya adalah sebuah kebangkitan pemikiran. Pergolakan pemikiran menjadi tanda bangkitnya para pemikir, bangkitnya cara berpikira dalam memandang berbagai persoalan dalam bingkai kebangsaan dan dakwah.

Inilah puncaknya, jika sebelumnya para kyai, ulama menjadi motor, pengelola dan pembina, 1926 mereka benar-benar bangkit, dan lahirlah Nahdlatul Ulama. Bangkitnya kaum pelajar, kaum pedagang, kaum cendekia dan pergerakan kemudian diwadahi dalam sebuah kebangkitan para ulama. Satu tujuan dan tekad dalam bingkai kebangsaan dan menyebarkan Islam yang rahmat bagi seluruh alam.

Konteks inilah hendaknya yang dijadikan pijakan kesejarahan Kebangkitan Nasional bagi warga NU, sebuah gerakan kebangkitan yang melibatkan banyak pihak, beragam aspek dan tetap kaidah keagamaan. Kebangkitan yang tuntas atas problem hubungan agama dan negara (bangsa).

Kemudian, bangkitlah para politisi dalam wadah PKB. Ini adalah kebangkitan di era reformasi. Menghadapi masa transisi dan chaos politik menumbuhkan kebangkitan untuk sebuah partai.

Masihkah perlu bangkit kembali? Atau menunggu mati untuk bangkit yang kesekian kali?

 

Nahdlatul Wathan : Madrasah Yang Luar Biasa

 
Banyak peneliti, khususnya yang mengkaji tentang Nahdlatul Ulama (NU) melihat Nahdlatul Wathan (NW) sebagai salah satu pilar dari berdirinya NU. Namun demikian, jangan sampai, karena kebesaran NU, kemudian saya dan anda menganggap kecil atau bahkan meremehkan peran Nahdlatul wathan. Marilah kita perhatikan satu pilar tersebut, meski harus tetap disadari, bahwa itu adalah hanya bagian dari rumah besar, bernama Nahdlatul Ulama.

Paling tidak ada beberapa alasan, jika kemudian saya menyebutnya sebagai madrasah yang luar biasa. Nahdlatul watahan didirikan para ulama, yang dipelopori oleh KH. Wahab Hasbullah. Pertama, ringkasnya nahdlatul wathan itu sekolah (madrasah) yang revolusioner. Saya sebut demikian, karena NW didirikan atas prinsip yang berbeda dengan mainstream waktu itu, yaitu dalam hal perjuangan melawan penjajah. Sebelum NW, sudah banyak berdiri ormas yang berupaya melawan penjajah Belanda, dengan tujuan dan strategi politik. Fokus mereka adalah perjuangan politik dan diplomasi. Di sisi lain, perjuangan fisik juga kuat bergolak di berbagai daerah. Mendirikan madrasah (perguruan) sebagai lembaga pendidikan yang mempunyai target membangun nasionalisme (cinta tanah air) dalam konteks zaman itu adalah revolusioner. Ada banyak sekolah yang sudah didirikan, tetapi ditujukan mengejar kecerdasan dan kepandaian, yang juga diyakini bisa dijadikan alat perjuangan. Menegaskan sebagai perguruan cinta tanah air, bagi NW adalah pilihan yang sangat beresiko. Pada era 1916, NW didirikan di Surabaya dan kemudian diikuti di berbagai daerah. Situasi masa itu adalah sedang kuat-kuatnya kolonialisme di dunia dan Belanda dengan segala cara akan meredam gerakan perlawanan dari rakyat jajahannya. Lembaga pendidikan dengan demikian tegas sekali, dijadikan alat perjuangan kemerdekaan.

Kedua, dalam kalimat singkat, NW adalah madrasah yang komplit dan uptodate. Mengapa demikian? Menurut saya, NW dikelola secara modern, berbasis sistem klasikal dan kurikulum yang seragam di antara sekolah-sekolah di bawah naungannya. Pada masa itu pergolakan pemikiran keagamaan terjadi perdebatan, perbedaan bahkan sampai konflik antar paham. Melalui sistem pengajaran yang sistematis, NW mengajarkan dan mempertahankan paham ahlussunnah wal jamaah, dengan tetap berkiblat pada pendidikan pesantren. Demikian pula, pilihan dalam membangun nasionalisme sangat sesuai dengan kebutuhan zaman itu. Jadi, NW adalah madrasah yang mengajarkan ilmu agama, ilmu pengetahuan umum dan cinta tanah air.

Maka, yang ketiga adalah NW menjadi sumber ide, semangat dan manusia dalam perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia. Banyak tokoh-tokoh nasionalis lahir dari perguruan ini. Tidak mengherankan jika kemudian, pad tahun 1945 Surabaya dipenuhi oleh para pejuang yang sangat cinta tanah air dan tidak takut pada penjajah asing.

Masa kini, tentu perlu melihat dan mengkaji apa yang sudah dilakukan oleh Nahdlatul wathan. Satu soal perlu diajukan, apakah pendidikan selama ini kemudian mampu membangun nasionalisme? Kurikulum pada akhir-akhir ini lebih dititikberatkan pada kebutuhan mencetak manusia-manusia kerja, disiapkan bisa mengerjakan sesuatu yang dibutuhkan dalam industri. Tetapi kering dalam sisi nasionalisme. Tidak mengherankan kemudian, banyak profesional dan tenaga ahli lahir dari sistem pendidikan semacam ini yang melupakan naisonalisme, mudah menjual aset kepada asing, kepada mereka yang “dianggap” ahli. Padahal, kalau mau bekerja lebih keras, keahlian yang dimiliki anak bangsa ini tidak kalah dengan orang asing.

Selanjutnya, bagaimana dengan NU? Sebagai rumah besar, mari sama-sama dilihat pilarnya. Satu saja, seperti melihat Nahdlatul Wathan, apakah masih terjaga visi dan misinya? Jika penilaian anda sudah rapuh, maka yang paling masuk akal untuk menjelaskannya adalah disebabkan gerogotan rayap. Tentu itu ada pada pilar itu sendiri atau masih berada di dalam rumah. Semoga saya dan anda bukan bagian dari rayap itu.

 

Selamat Hari Lahir NU yang ke-91 (16 Rajab 1435 H)

 

Pedal dan Cinta

kupancal pedal sepeda
berharap segera berjumpa
meski gelap dan dingin udaranya
malam jumat itu biasanya
hanya agar asyik bercengkrama
yang tua kirim do’a
yang muda bermanja
sekali,
kali kedua kemudian berkali-kali
akhirnya
menjadi ritual mencari cinta
istiqomah tak berbuah hati
apa adanya tak berbunga rasa
menanam pedal memanen kecewa
Surabaya, 14/05/2013, 23:46 WIB

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Antara Pilpres dan Beras

mendekati masa pilpres, perlahan namun pasti
mereka sudah meangalpakan beras
memasuki masa tanam bahkan masa panen
beras tak menjadi tema yang ngetren, kalah oleh pilpres

 
banyak orang, di warung kopi, di kantor,
bahkan di rumah sakit
berdiskusi soal pilpres, tapi lupa membahas beras

 
mereka yang sudah banyak beras,
membujuk, merayu kepada mereka yang kekurangan beras
mereka asyik berbicara capres, lupa di rumah beras hanya segelas peres

 
apa bedanya capres dan beras, bagi rakyat?

 
rakyat bisa marah, jika beras tak tersedia
dengan capres yang melimpah, rakyat juga tak bahagia
 
para capres harus berjuang keras untuk mendapat simpati rakyat
sementara beras, asal hadir rakyat juga beres
 
kadang rakyat harus mendukung capres, hanya demi beras
sementara capres tak peduli demi rakyat mendapat beras

 
bagi rakyat, beras bermanfaat
demi hidup sehari-hari
bagi capres, beras berguna
demi kuasa beberapa masa

 
beras menjadi urusan rakyat
caprespun masalah bagi rakyat
lalu, apa urusan capres?
apakah membeli suara rakyat dengan beras?

 
Surabaya, 14/05/2014, 22:13 WIB

 

 

 

 

 

 

 

Kang Yatiman (Ke-2)

Kudengar Kang Yatiman sekarang menjadi kyai. Memang tidak punya pesantren, tetapi sudah banyak orang bertamu, meminta nasehatnya dan tentu minta amalan-amalan doanya. Kebiasaan sowan kyai masih saja dilakukan. Sudah jarang aku diajak konsultasi, sebab kyai yang dikunjungi demikian banyak. Tihak hanya Kyai Yahya. Kyai-kyai ternama di Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, bahkan Madura dikunjunginya. Maklum, dengan usaha yang digelutinya, tidak mengharuskan dia sendiri yang harus menjalankan sendiri. Tinggal telpon atau sms bisnis sudah bisa berjalan.

Temanku pernah bercerita, “Yai Yatiman itu hebat loh kang,” dia membuka kisahnya,”tidak sekedar bisa kasih do’a, tetapi dia sendiri sudah mampu membuktikan keampuhan do’anya. Dia kaya, anak istrinya juga baik. Pokoknya semuanya baik.” Tak perlu kuceritakan padanya bahwa sebenarnya kukenal Kang Yatiman. Bagi temanku tadi, Kang Yatiman adalah contoh sekaligus guru yang tepat, karena do’a-do’a yang diberikannya sudah terbukti dan semua muridnya sangat mengaguminya. “Saya tidak meragukan sedikitpun padanya,” masih lanjut temanku tadi, “banyak kyai, hanya bisa memberi amalan, sementara dia sendiri tidak bisa menunjukkan keampuhan do’anya. Saya sudah dikasih banyak do’a oleh kyai untuk bisnis, tetapi kyai sendiri tidak kaya, sedankan Yai Yatiman beda, dia sudah mencapai puncak pembuktian.” “Duh!,” batinku menyeru, “benarkah Kang Yatiman sudah menghasilkan murid-murid seperti ini, yang meremehkan para Kyai yang tidak kaya?”.

***---------

Sengaja aku mampir warung kopi yang tidak jauh dari rumah Kang Yatiman. Benar, banyak tamu yang datang ke rumahnya.”Biasanya kalau hari minggu lebih ramai mas,” ungkap si Mbok penjual kopi,”tamunya dari mana-mana, ada yang minta doa agar bisnisnya lancar, ada yang untuk kepentingan sekolah anaknya, bahkan ada juga lo pejabat yang minta dido’akan agar karirnya sukses,”. Aku langsung menyahut,”Sampean kok tahu betul tamu-tamu Yai Yatiman?”, bagaimanapun aku juga harus memanggilnya Yai. “Loh, banyak tamu yang mampir ke sini mas, mereka suka bercerita, malah kadang ada yang datang ke sini dulu, sambil nanya-nanya tentang Yai Yatiman,”.

Tak berapa lama, datang seseorang, penampilannya gagah, seperti seorang tentara. “Bu, saya minta kopinya,” pintanya kepada Si Mbok tadi,”wah susah juga ya ketemu sama Yai Yatiman”, tiba-tiba dia mengeluh,”saya mengantar Bapak saja harus menunggu 2 jam lebih baru bisa diterima. Padahal, Bapak itu pejabat penting di pemerintahan,” dia masih melanjutkan, “heran juga, Bapak kok ya begitu fanatiknya sama Yai Yatiman,” langsung saja Si Mbok menjawab, “loh sampean belum tahu to mas, Yai Yatiman itu ampuh, banyak orang yang datang berhasil, kabul kajatnya, dan Yai Yatiman sendiri sudah tidak begitu membutuhkan uang, dia sendiri juga sudah kaya kok,” timpal Si Mbok sambil menaruh kopi di hadapan pemuda tadi.

Seorang Bapak yang sudah duduk lama di seberang meja menimpali, “bener itu Mbok, saya sendiri pernah, mau memberi uang kepada Yai Yatiman, dia menolak halus. Yai, menyuruhku memasukkan ke kotak amal buat pembangunan masjid”, timpalnya”. Si Mbok menyahuti, “ah itu sih iya, malah saya sering kecipratan uang-uang itu, tidak banyak, tapi lumayan buat jajan anak-anak”. Dari pembicaraan mereka semakin yakin, kalau memang ilmu kang Yatiman benar-benar bermanfaat bagi tamunya dan tetangganya.

****-----

Tiga bulan berikutnya aku memang sengaja berkunjung ke Kang Yatiman. Selama ini hanya kudengar beritanya dari orang-orang lain. Sengaja aku ke sana untuk melihat dan mendengar langsung darinya. Namun, sebenarnya ada kabar yang akan aku sampaikan kepadanya, tentang Kyai Yahya. “Kang, bagaimana kabarmu?,” demikian aku memulai pembicaraan dengannya di ruang tamu. “Alhamdulillah kang, kamu lihat sendiri, aku sudah demikian. Semua itu adalah jasa para kyai, guru-guru yang selama ini aku sowani. Tidak sia-sia mereka memberikan ilmu kepadaku,” demikian ia ungkapkan kisahnya dengan sedikit membanggakan para gurunya. “Kabarmu sendiri bagaimana kang?,” dia tanya kepadaku, “yah, biasa to, dari dulu aku ya begini ini, Jadi orang biasa saja,” jawabku singkat.

“Kang Yatiman, sebenarnya kedatanganku ke sini membawa kabar,” aku memberanikan diri untuk menyampaikan, “kabar apa kang?” tanyanya, “sampean saya undang acara haul,” dia langsung bertanya,”haulnya kyai siapa, kang?”, jawabku, “Kyai Yahya, ini adalah yang pertama”, di saat kalimat ini didengar dia langsung terdiam, wajahnya pucat dan kaget luar biasa, ”loh kenapa kang?, bukankah selama ini sampean sering sowan kepada Kyai Yahya? Bukankah sampean menyatakan kalau mendapat manfaat luar biasa darinya? Bukankah sampean mengakui kalau Kyai Yahya sangat berjasa dalam bisnis sampean?”, aku tak sadar menerocos mengajukan pertanyaan tersebut.

“Kang Sakur,” dengan nada berat dan terdiam cukup lama, “aku sudah lama, tidak sowan kepada beliau sehingga tidak tahu kabar berita tentangnya, bahkan soal kewafatannya,” sambil tersedu dia mengaku, “Ya Allah, maafkanlah diriku, aku selama ini hanya mengejar ilmu, mengejar fadlilah dari do’a-do’a para kyai, sementara kyainya aku lupakan...”

“Kang Sakur, antarkan aku ke makamnya, sekarang juga”, desaknya padaku, “aku tahu, aku sudah salah, sudah lupa akan asal ilmuku, sekali lagi bantu aku untuk menemukan jalan asalku,” aku tak kuasa menolaknya, “Baiklah kang, mari”. Kami bergegas pergi meninggalkan rumah, sementara tamu-tamu yang sudah antre ditinggalkan semuanya, tanpa penjelasan apapun dari Kang Yatiman, hanya dia bilang, “ngapunten semuanya, terserah panjenengan mau ikut atau mau nunggu atau mau pergi, terserah, aku tak peduli”.

 

 

 

Kang Yatiman

Kebiasaannya sowan kepada kyai kira-kira sudah lebih dari dua tahun. Kulihat Kang Yatiman sekarang berbeda dengan dulu. Sekarang, sebentar-bentar sowan ke kyai. Apakah ada masalah atau tidak. “Loh, kang kok sowan ke Kyai Ismail?”. Dia menjawab, “Ah hanya ngalap barokah kok kang”. Dulu dia bercerita kepadaku, bahwa kebiasaannya sowan kepada kyai telah banyak merubah hidupnya. Usaha jualan kambingnya makin maju. Ditambah lagi, istrinya yang buka warung juga banyak pelanggannya. Anak-anak mereka rajin mengaji, shalatnya rutin dan berbagai macam kebaikan-kebaikan yang diperolehnya.

Aku pernah bertanya, apa saja yang diberikan oleh kyai-kyai itu kepadanya. “Yah, waktu aku jualan kambing dulu itu sulit laku. Aku sowan ke Kyai Yahya, dia memberikan wirid, membaca alam nasyroh sebanyak 12 kali setiap hari, kamu tahu kang? Setelah dua minggu aku lakukan, kok yang biasanya sulit membeli kambingku, malah datang ke rumah.” Itu adalah salah satu contoh manfaat yang dia ceritakan kepadaku, dari hasil kebiasaannya sowan kepada kyai.

Katanya juga, waktu anak perempuannya sakit panas, dia sowan ke Kyai Suleman, diberi air untuk diminumkan anaknya. Tak lama, sembuh. Pokoknya bagi Kang Yatiman, banyak manfaat hasil dari sowan kepada kyai. Itu termasuk kemajuan warung istrinya yang sekarang. Kemudahan hidup dan kemakmuran begitu melimpah setelah Kang Yatiman rutin sowan kepada kyai-kyai. Memang, dia tidak pernah lupa bersedekah atau memberi amplop ala kadarnya kepada kyai-kyai tersebut.

Meski tidak ada masalah atau keperluan, Kang Yatiman tetap sowan kepada kyai. Waktunya bisa tiap dua hari atau bahkan tiap hari dalam seminggu. Rasanya tidak enak jauh dari kyai. Pernah dia, beberapa kali lupa sowan ke kyai karena harus mencari kambing ke daerah untuk dijual. Yang terjadi adalah dia begitu sulit mendapatkan kambing. Akhirnya dia teringat bahwa masalah tersebut diakibatkan karena dia lupa sowan kepada kyai. Harusnya dia mencari kyai di sekitar daerah yang dikunjungi, tapi dia benar-benar lupa. Para blantik menjadi jujugannya. Saat kejadian itu, warung istrinya juga ndilalah menjadi sepi pengunjung. Kemudian Kang Yatiman berkesimpulan bahwa sowan ke kyai adalah cara terbaik menjaga kestabilan hidup dan keluarganya. Termasuk kemakmurannya.

Lama sekali, aku tidak berjumpa dengannya, ya kira-kira selama dia menekuni kebiasaannya itu. Maklum, aku bukan kyai atau kalangan santri yang bisa diharapkan berkahnya. Aku pikir, hanya diriku yang mendapat perlakuan seperti itu. Rupanya teman-teman yang dulu sering jagongan dengannya juga lama tidak dikunjungi. Persis sama denganku. Beberapa waktu lalu, pernah kutanyakan kepada Kang Yatiman, “Kang, apa kamu sudah lupa sama aku? Sama teman-teman dulu yang sering jagongan, sering mendengar keluh kesahmu?”. Dengan agak berat dia menjawab, “Kang Sakur, bukan begitu. Aku hanya ingin menjaga hatiku, keimananku. Kedekatanku kepada kyai-kyai selama ini telah menyelamatkan kehidupanku. Dulu banyak dosa yang bisa kulakukan tiap hari. Sekarang, itu sudah jauh bisa kutinggalkan, karena ada kyai-kyai yang selama ini menasehatiku, mengingatkanku. Dan jangan lupa kang, kehidupanku jelas berubah lebih baik,” jawaban yang kedengarannya memukul batin persahabatanku. Namun aku tetap berusaha tenang untuk mendengarnya sambil menyeruput kopi dan menghisap rokok. Dia masih melanjutkan jawabannya, “Maaf lho kang Sakur, bukan kemudian aku menilai sampeyan itu tidak baik, menyebabkan aku jadi orang tidak baik, bukan, bukan seperti itu. Menurut pengalamanku, setelah aku sowan ke kyai-kyai dan dekat dengan mereka, aku jadi lebih tentram, lebih makmur kehidupanku dan anak-anakku, jadi lebih giat beribadah”.

Tiba-tiba kami dengar suara salam, “Assalamu ‘alaikum...”, kuberanjak dari kursi dan menyambutnya, “wa alaikum salam.....oh....sampean to kang, monggo-monggo”. Kang Yatiman yang semula duduk di kursi, sontak berdiri dan menyalami tamu yang baru kupersilakan masuk, “Assalamu ‘alaikum kyai...... kok kyai sudah kenal sama Kang Sakur?”.

“Loh, gak kenal gimana to Man? Wong dia itu temanku ngaji dulu”, jawab Kyai Yahya yang membuat Kang Yatiman kaget dan wajahnya penuh selidik. Aku hanya diam dan tersenyum. “Kamu sendiri, di sini lah opo Man?”, “Ya, main-main saja kyai”, jawab segera Kang Yatiman. “Lha yo eman to Man, wong sama Kang Sakur kok mung dolan?”, kulihat wajah Kang Yatiman semakin penuh selidik.

“Sudah-sudah, monggo Kang Yahya, pinarak,” sergahku memotong pembicaraan keduanya. Setelah duduk, mereka kutinggalkan. Ke belakang aku membuat kopi kesukaan Kang Yahya. Namun, kudengar juga Kang Ilyas dengan nada agak keras, “Man, weruho yo, Kang Sakur itu dulu yang ngasih wirid alam nasyroh itu. Dulu waktu Kyai Dasuki sebelum sedo, sebelum sedo beliau mewasiatkan wirid itu kepada Kang Sakur, meski aku ada disebelahnya. Namun, Kang Sakur memohon kepada Kyai Dasuki agar aku juga ikut diijazahi. Atas permintaannya itu, akhirnya dapat ijazahnya. Jadi secara tidak langsung sebenarnya Kang Sakur itu yang memberi wirid itu kepadaku, dan pantas jadi guruku,”.

“Ah, ndak usah buka-buka rahasia to kang...”, aku segera memutus kata-kata Kang Yahya, “yo tetep sampean mendapat ijazah itu, mosok yang ada dua orang kok hanya aku yang dikasih kan ya tidak elok. Maka saya minta sampean juga diberi ijazah”. Sambil menaruh kopi itu di hadapan Kang Yahya, dia memotong omonganku, “Ah ya ndak gitu kang, wong dari dulu Kyai Dasuki itu pengennya sampean jadi penerusnya. Sampean saja yang ndak mau jadi kyai. Maunya jadi petani saja”. Seketika itu berubah wajah Kang Yatiman, dan dalam pembicaraan berikutnya dia menggunakan bahasa halus kepadaku. Agar suasana tetap cair, aku katakan kepada Kang Yatiman, “sudah dak usah sungkan Kang, kyai atau bukan itu kan hanya sebutan to, yang penting kan ilmu dan amalnya to?”.

Sejak kejadian itu, Kang Yatiman berbeda perlakuannya kepadaku. Bahkan setiap mau sowan kepada Kyai Yahya dia selalu menanyakan dulu hal-hal yang nanti akan ditanyakan kepada Kyai Yahya.

 

 

Bathara Kala di Jaman Ini

Para pinisepuh dulu memperingatkan akan bahaya Kala, yakni makhluk menyeramkan pemakan anak manusia. Hampir semua menjadi sasaran dan korbannya. Itu bisa dihindari dengan cara melakukan ruwat kepada anak-anak. Akhir-akhir ini, bahkan sebelumnya banyak orang tua menolak peringatan tersebut disebabkan karena ketidaksetujuannya atas cara atau ritus yang dilakukan. Kemudian meluas pada substansi nasehat para pinisepuh.

Kala, di zaman ini berubah menjadi para pelaku pedophilia. Semakin banyak terungkap anak-anak yang menjadi korban pencabulan dan pelecahan seksual. Tak peduli itu di kampung atau bahkan di sebuah lingkungan sekolah, bahkan terjaga dengan standar kemanan yang super ketat.

Dulu biasanya anak-anak itu diruwat dengan berbagai cara, dari yang sederhana sampai yang paling rumit. Ada yang hanya sekedar menyajikan bubur abang-putih, kemudian dibagibagi kepada tetangga. Atau menyajikan berbagai aneka makanan yang dijadikan sajian para tetangga. Cara ini sebenarnya adalah bentuk sedekah, mendekatkan anak-anak kepada nilai sosial, keterjagaan secara sistem sosial bersama. Namun apalah saat ini. Anak-anak diajari untuk menyendiri, selfies dan orang tua juga mengabaikan kekompakan sosial.

Wayang merupakan salah satu media ruwatan yang paling populer. Lakon Kala menjadi favoritnya. Anak-anak dan orang tua dulu selalu diingatkan dan diingatkan akan bahaya serta ancaman terhadap anak-anak. Pertunjukan wayang adalah media mengingatkan para orang tua.

Do’a wetonan, harian dan sebagainya yang ditujukan kepada anak-anak begitu diperhatikan oleh para pinisepuh. Bahwa setiap anak-anak punya saudara, punya kawan, maka disatukanlah perkawanan tersebut. Tidak dibiarkan bermain sendiri, tidak jelas temannya atau dilepas pada komunitas yang tidak jelas.

Ruwatan pada akhirnya tidak sekedar rawatan (merawat). Tidak sekedar, sudah disekolahkan, sudah diberi uang saku, sudah dibelikan ini dan itu. Ada sisi ruhani pribadi dan ruhani sosial yang tetap perlu dijaga.

Anda boleh tidak setuju dengan wayang, dengan bancaan ataupun dengan sajian kembang dan lainnya, tetapi ingatlah anda tidak boleh melupakan bersedekah untuk anak, mendoakan anak, merawat ruhaninya, mendidik akan adanya ancaman Kala yang setiap waktu dapat menyerang.

Wallahu ‘alamu

PENDIDIKAN Itu ...

PENDIDIKAN itu bukan pendudukan yang bertujuan mendominasi atau memaksakan kehendak atas peserta didik. Tetapi sebuah proses membentuk, layaknya seorang Empu yang mengolah dan membentuk berbagai bahan menjadi keris. Seorang empu tak akan membuat keris dalam bentuk dirinya. Ia bisa membuat keris sesuai dengan karakter dan fungsinya yang hendak diwujudkan.

PENDIDIKAN itu bukan pendadakan yang hanya bernafsu instan dalam perwujudan. Tetapi sebuah proses yang membutuhkan waktu dan tahapan di dalamnya.

PENDIDIKAN itu bukan pendodokan yang berhasrat memoles diri. Tetapi sebuah upaya membentuk jati diri yang kuat. Para pendidik bukanlah tukang ketog mejik yang mampu memoles dan merias.

Selamat, Hardiknas