Malam Ketetapan

Qiila : "malam qadar atau lailatul qadar adalah malam ketentuan dan ketetapan. Termasuk di dalamnya ketentuan dan ketetapan mengenai yang akan dijalani oleh manusia". Gampangnya ya takdir manusia untuk satu tahun ke depan (malam qadar berikutnya).

Memohon ampunan pada malam itu merupakan sebuah amalan yang sangat baik. Permintaan ampunan adalah permintaan yang utama di dalamnya. "Allahumma innaka afuwwun tuhibbul afwa wa'fu anny".

Kelahiran dalam kondisi fitrah adalah sebuah takdir yang terbaik. Sebab kelahiran akan melahirkan banyak hal, banyak kebaikan, meski tak sedikit keburukan.

Kesempatan dengan demikian menjadi hadiah terindah bagi manusia sebagai hamba.

Masihkah mengajukan pinta yang beragam? Masihkah meragukan takdir Tuhan atas diri ini?

Lakon Hidup Al Wahsy


Adalah al wahsy, seorang budak yang sudah membunuh Hamzah, orang yang dicintai Allah dan RasulNya. Sebuah pembunuhan yang kejam. Bagi umat Islam, itu tentu sangat menyakitkan. Bahkan bisa jadi bagi kaum Arab Jahiliyah itu merupakan penghinaan yang besar. Bagaimana seorang yang terhomat, dari keluarga terhormat, dibunuh oleh seorang Budak, kaum yang tak dihargai saat itu, yang dihinakan oleh sistem sosial.

Sungguh Allah swt, tlah menyiapkan sebuah skenario besar buat wahsy. saat kepalsuan nabi musailamah merajalela dan merongrong umat Islam, melalui wahsy, Allah swt. mematikan nabi palsu tersebut.

Tentu, tidak mudah mengampuni wahsy yang telah membunuh orang yang dicintai rasulullah s.a.w. Namun sekali lagi, ampunan telah memberi takdir kepada wahsy untuk menebusnya.

"Masihkah aku diejek sebagai pembunuh Hamzah???", ungkapan wahsy yang begitu getir harus melakoni dua takdir yang saling berlawanan. Tidak mudah memang, bagi wahsy, bagi umat islam waktu itu, dan bagi siapa saja menjalani situasi seperti itu.

== akibat nonton pelem tipi......


 

 

Ah itu Biasa ...

FPI melakukan sweeping pada tempat maksiat seperti tempat judi togel, itu hal biasa. Berita biasa. Mungkin, jika para anggota FPI menemui para pelaku maksiat dan keluarganya dengan membawa bingkisan di bulan Ramadhan seperti mie instan baru luar biasa. Apalagi mau mengajak mereka istighosahan dan shalat tarawih.

Peristiwa tabrak lari, kemudian pengemudinya dikejar, dikeroyok dan kendaraannya dibakar massa, juga peristiwa biasa (terjadi). Bahkan, seringkali tidak peduli, apakah kendaraan itu ditumpangi pejabat, tentara, polisi atau orang biasa. Tapi kok ya menjadi luar biasa ya, ketika penumpangnya itu anggota FPI?

Kemudian, pak polisi memproses kasus tabrak lari sesuai prosedur hukum soal tabrak lari ya juga biasa. Dan itu sewajarnya. Baru luar biasa itu, jika pak polisi kemudian memprosesnya dengan undang-undang ormas.  Dan juga sewajarnya, keluarga korban mendapat perhatian dan santunan. Meski masalah hukumnya tetap dijalankan.

Masih juga hal biasa, jika di tempat maksiat itu banyak preman. Mereka kemudian mempertahankan praktek ilegal mereka. Biasa bukan? Apakah mereka itu punya agama, atau agamanya Islam, Kristen dan lainnya.

Semuanya biasa-biasa saja. Namun, semua hal biasa tersebut diberitakan menjadi luar biasa. Kalau perlu yang luar biasa itu dianggap biasa. Kalau banyak pegawai tempat hiburan yang tidak bekerja di bulan Ramadhan dan tidak digaji, kan harusnya luar biasa? Jika korban mati kemudian tak dikasih empati, itu juga luar biasa.

Hanya di tangan orang-orang luar biasa saja, hal biasa menjadi luar biasa. Sebaliknya di tangan orang-orang biasa, hal luar biasa menjadi biasa saja. Pembuat berita dan pembacanya adalah orang-orang luar biasa. Mereka korban kecelakaan, preman, anggota FPI, keluarga kekurangan di bulan Ramadhan adalah orang-orang biasa. Mereka biasa dibuat luar biasa dan dibiasakan diluar perhatian kita.

Menguasai Ilmu Jawa melalui Carakan Jawa

Dalam tulisan saya yang lain, bahwa Ilmu Jawa itu pada intinya adalah menjaga jiwa, menjaga hidup agar hidup dari diri kita juga mampu menghidupkan yang lainnya. Untuk jauh lebih memahaminya, salah satunya adalah memahami aksara (Caraka) Jawa.

Aksara Jawa jumlahny ada 20, ini adalah aksara dasarnya, yang terdiri dari :

Ha, Na, Ca, Ra, Ka
Da, Ta, Sa, Wa, La
Pa, Dha, Ja, Ya, Nya
Ma, Ga, Ba, Tha, Nga

Dari sekian huruf-huruf tersebut untuk memegang kuncinya adalah memfokuskan pada aksara Ha dan Nga. Dua huruf ini adalah awal dan akhir. Ha dan Nga kemudian dijabarkan menjadi :

Ha = Hana (Ada)
Nga = pergi (luNga)
HaNga = Angen-angen (Angan-Angan)
HaNga = Angin, Nafas
Ha Nga = Hawa Sanga

Kehadiran manusia di dunia ini disebut Ada (Ha), pada mulanya, namun akhirnya akan pergi (Nga) juga. Itu adalah kodrat manusia yang tak bisa dihindari. Kepergiannya ditandai jika sudah tak ada nafasnya (Angin). Sementara kehidupan di dunia menjadi begitu berarti dan bergairah ketika manusia punya angan-angan, cita-cita, ide, inovasi dan sebagainya dalam mengisi kehidupannya.

Namun, manusia tak seperti hewan, dari lahir kemudian mati tak ada jasanya. Oleh karena itu, perlu dipelajari mengenai ilmu Lobang Sembilan (Hawa Sanga), baik yang lahir dan batin. Menguasai Ilmu Jawa, maka hendaknya mampu menguasai 9 lobang dalam diri manusia. 9 Lobang lahir tersebut adalah : Mata (2), Telinga (2), Hidung (2), Wadi (1) Dubur (1), dan Mulut. Itu adalah 9 lobang lahir. Artinya, kita sebagai manusia harus mampu menguasai (“menutup”) lobang-lobang tersebut dari pengaruh yang negatif, tidak baik sehingga akan berdampak pada ketidakbaikan jiwa kita sendiri. Kesembilan lobang lahir ini dapat dilambangkan oleh Na, Ca, Ra, Ka, Da, Ta, Sa, Wa, La.

Demikian pula, kita juga harus mampu menguasi lobang 9 batin, pintu-pintu batin yang dapat menjermuskan jiwa manusia, yaitu : Gemedhe, menghina (merendahkan lainnya),Tamak (berlebih pada dunia), serakah (menguasai bukan haknya), Iri, Dengki, Hasut, Benci dan Dendam. Mengenai lobang batin ini anda boleh berbeda pendapat. Pada intinya, bahwa dalam batin manusia itu juga ada pintu-pintu yang dimasuki untuk mengganggu jiwa manusia, merusak akhlak manusia. Kesemuanya disimbolkan oleh Pa, Dha, Ja, Ya, Nya, Ma, Ga, Ba, Tha.

Kunci menguasai hawa sanga, baik batin dan lahir, adalah melatih nafas, olah nafas yang sampai ke batin. Katakanlah anda sedang membenci seseorang, maka aturlah nafas anda, tahan dan resapi ke dalam jiwa anda. Inilah mengapa, dalam tradisi Ilmu Jawa, olah nafas menjadi begitu sangat penting dalam melatih diri, mempertajam batin dan sebagainya. Sebab HaNga, jika tidak dikendalikan akan menjadi angan-angan yang liar dan menjermuskan manusia pada kegelapan, pada pintu-pintu 18 yang ada dalam diri manusia.

Dalam ajaran tasawuf dikenal dengan zikir batin, ini bertumpu pada nafas. Membaca Al Quran dengan tajwid dan makhraj yang benar juga melatih nafas. Kalimah Hu...Hu....Hu adalah bentuk melatih nafas kita dengan mengikat Dia, Allah Swt.

Maka, jangan biarkan nafas kita meNga, terbuka tanpa diisi oleh zikir yang terarah, sebab jika terbuka demikian, syetanlah yang menjadi penghuninya, dan jiwa kita dikuasai oleh mereka, kemudian jiwa kita terpenjara, tidak merdeka, karena menjadi budaknya.

Bagi, anda yang juga mempelajari ajaran aksara/huruf Arab berjumlah 30, perpaduan dengan 20 aksara Jawa ini akan semakin menambah, memperkaya dan menggenapinya. Orang-orang menyebutnya ilmu 50, separoh dari kesempurnaan 100.

Semoga bermanfaat.

Akar Illuminati dalam Mitologi

Tradisi gnostik, dimana mendasarkan pada aktualitas obyektif yang terukur mengarahkan kepada sebuah tradisi ilmu pengetahuan. Itu kemudian mengarahkan kepada mengutamakan peran akal ketimbang hati, mengutamakan ilmu ketimbang wahyu. Ilmu pengetahuan adalah sumber pencerahan bagi peradaban manusia, sedangkan agama justru dianggap menjerumuskan pada kebutaan fanatis dan gelap.

Inilah yang kemarin saya sebut dalam SERAT MAHAPURWA, bahwa Sang Hyang Adama menyebut Sang Hyang Nurcahya kelak akan menjauhi agama, tidak seperti saudaranya Sang Hyang Nasa (Anwas) yang kelak menurunkan para nabi dan rasul sebagai pembawa ajaran agama.

Nurcahya, adalah cahayanya cahaya. Yang lahir dalam keadaan cahaya, kemudian berguru pada azazil (nar). Sikap pertama ditunjukkan oleh Sang Hyang Nurcahya melihat kematian kakeknya Sang Hyang Adama adalah “mencari ilmu” agar tidak terkena mati. Tentu ini akan berbeda sikap dari para penganut agama, yang menerima sebagai takdir dari Tuhan, mencari hikmah demi perbaikan diri. Perjalanan kemudian berlanjut mengelana mencari ilmu di seluruh penjuru bumi, ilmu terawang (melalui Uzza), ilmu kesaktian (Azazil), ilmu menghidupkan yang mati dan sebagainya. Maka pada puncaknya dia kemudian meneguhkan melalui ilmu/cahaya/dirinya dia mampu mewujudkan banyak impian, bahkan membangun surga kahyangan. Ujungnya dia menetapkan dirinya sebagai Sang Hyang Dewata.

Berturut-turu dia melahirkan Nurrasa, melalui penciptaan cupumanik dan air tirta kamandanu, kemudian melahirkan Hyang Wenang. Ketiga sosok ini dalam kisah pewayangan adanya di alam awang-awung, alam kekosongan, alam awal. Tiga sosok ini bisa dikorelasikan sebagai Akal (Nurcahya), Nurrasa (benih kehidupan) Nafus/kehendak (Wenang), ini juga bisa dikorelasikan dengan Baitul Makmur (Nur cahya), Baitul Muqadas (Nur Rasa) dan Baitul Haram (Wenang). Jadi ada alam ide, kehendak dan kuasa, atau cipta, rasa dan karsa. Inilah kemudian menyatu dalam SangHyang Tunggal.

Eksistensi mereka kemudian semakin jelas dan maujud (emanasi) dalam bentuk 3 putranya, Manikmaya (Guru/Akal), Semar (rasa/hati) dan Antaboga dimana pemujaan utama pada akal (Guru) menjadi lebih utama. Wajar kemudian, keturunan Nur Cahya memiliki peradaban ilmu pengetahuan yang demikian maju, bahkan bisa menandingi keturunan Anwas. Di sinilah bisa dikhayalkan lagi, bahwa kehancuran Atlantis yang berbasis ilmu pengetahuan, jendela dunia (mata sapi) yang dibangun oleh para jin dan sekutunya demikian maju dan kemudian dihancurkan, sehingga kekuatan Agama tetap berkuasa.

Inilah jalur gnostik dalam mitologi wayang. Dan akan semakin jelas, ketika ilmu itu sangat diagung, dengan simbol Manikmaya/Guru yang didewa-dewakan, muncul spesialisasi. Ini seperti pendapat mengenai globalisasi, dimana semakin maju ilmu, akan semakin terspesialisasi. Maka penyembahan kemudian tidak hanya pada Guru, tetapi kepada Bayu, Surya, Agni dan sebagainya dengan spesifikasi penguasaan masing-masing.

 

Kepemimpinan ala Gajah Mada

Siapa yang tak kenal dengan Gajah Mada, seorang Pejabat Majapahit, dan dalam kepemimpinannya mampu mengantar Majapahit berjaya dan menyatukan Nusantara. Beliau menerapkan 18 Ajaran Kepemimpinan (Hasta Dasa Parateming Pramu), yakni :

1)    Wijaya, harus mempunyai jiwa tenang, sabar, tidak mudah panik, dan bijaksana.
2)    Mantriwira, harus berani membela dan menegakkan kebenaran dan keadilan tanpa pengaruh tekanan dari pihak manapun
3)    Natangguan, harus mendapat kepercayaan dari masyarakat dan berusaha menjaga kepercayaan tersebut.
4)    Satya Bhakti Prabhu, harus memiliki loyalitas kepada kepentingan yang lebih tinggi (nusa bangsa).
5)    Magwimak, harus pandai menyampaikan pendapat dengan tutur kata yang tertib, sopan dan menggugah kesadaran masyarakat
6)    Wicaksaneng Naya, harus pandai berdiplomasi dan berstrategi
7)    Sarjawa Upasama, harus rendah hati
8)    Dhirotsaha, harus rajin dan tekun bekerja
9)    Tan Satrsna, tidak pilih kasih, harus mampu mengatasi berbagai golongan
10) Masihi Samasta Bhuwana, mencintai alam semesta dan melestarikannya
11) Sih Samasta Bhuana, mencintai dan dicintai rakyatnya
12) Negara Gineng Prayitna, mengutamakan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi
13) Dibyacitta, harus lapang dada menerima masukan
14) Sumantri, harus tegar, bersih, jujur dan berwibawa
15) Nayaken Musuh, harus mampu menguasai musuh, baik dari dalam dan luar
16) Ambek Parama Artha, harus pandai menentukan prioritas
17) Waspada Purwa Artha, harus waspada dan melakukan mawas diri
18) Prasaja, harus berpola hidup sederhana (apa adanya)

Asal Mula Dewa

Kisah ini merujuk pada judul Serat Mahapurwa. Bisa diartikan sebagai serat/naskah tentang kisah yang sangat awal. Kisah tentang Adam dan kemudian muncul Dewa. Ini fokus pada sosok Sang Hyang Nurcahya yang kemudian menyebut dirinya sebagai Sang Hyang Dewata, Sang Hyang Mahamulia, dan sebagainya. Silakan menikmati.

=====

Serat Mahapurwa menceritakan kisah Sang Hyang Adama, Sang Hyang Sita, Sang Hyang Nurcahya, Sang Hyang Nurasa, Sang Hyang Wenang, Sang Hyang Tunggal, beserta Sang Hyang Manikmaya. Dasar serat ini merujuk pada Serat Paramayoga karya Pujangga Ranggawarsita di Surakarta yang merujuk Serat Jitapsara karya Begawan Palasara di Astina dan merujuk Pustaka Darya karya Sang Hyang Nurcahya di Lokadewa.

Sang Hyang Adama

Dikisahkan Sang Hyang Adama, sesudah diturunkan ke alam dunia bersamaan dengan ampunan dosa, menjadi raja di Kusniamalabari, merajai hewan-hewan. Makannya dari para pengikutnya. Sang Hyang Adam menciptakan tahun surya dan tahun candra, kemudian menciptakan Tanajultarki untuk permulaan menanam pada tahun 129 SA atau tahun 133 CA. Tak lama istrinya Sang Hyang Adama, yakni Dewi Hawa melahirkan kembar dampit putra-putri. Kembar  pertama buruk rupa, kedua bagus, ketiga jelek dan keempat baik, kelima jelek, begitu seterusnya sampai empat puluh dua kali, tetapi yang keenam dan keempat satu, tidak kembar.

Setelah punya putra kembar lima, Sang Hayang Adam akan menjodohkan putra-putrinya. Putra yang gagah dijodohkan dengan putri yang jelek. Putri yang cantik dijodohkan dengan putra yang jelak. Jadi tak ada perjodohan dengan kembarannya sendiri.

Sedangkan maksud Dewi Hawa, putra putrinya dijodohkan dengan kembarannya, yang gagah dijodohkan dengan yang cantik, yang jelek dengan yang jelek. Perjodohan ini jadi perselisihan antara Sang Hyang Adama dan Dewi Hawa. Perselisihannya sampai adu kuasa mengeluarkan “rahsa pamuja” yang diwadahi cupumanik dan dimintakan kepada Tuhan.

Setelah sampai pada masanya, cupumanik dibuka. Rahsa pamuja di cupumanik Sang Hyang Adam menjadi bayi namun hanya raga; sedangkan Rahsa pamuja di cupumanik Dewi Hawa berwujud darah/benih. Dewi Hawa merasa sedih atas keadaan itu.

Jabang bayi yang ada di cupumanik Sang Hyang Adama dapat dipastikan menjadi bayi yang sempurna dan ada petunjuk dari Tuhan bahwa nama bayi itu adalah Sang Hyang Sita. Beliau bergembira tiada tara.

Tak lama ada peristiwa menggemparkan, cupumanik Sang Hyang Adama tertiup angin puyuh jatuh di pusat laut hitam. Cupumanik tertangkap oleh Danyang Azazil, raja Banujan yang menguasai laut hitam.

Akhirnya Dewi Hawa patuh pada aturan perjodohan Sang Hyang Adama. Semua putra putrinya semua empat puluh kembar, dan ada yang dua tidak kembar yaitu Sang Hyang Sita dan Dewi Hunun.

Putra Putri Sang Hyang Adama, yaitu
1) Sang Hyang Kabila,
2) Dewi Alima,
3) Sang Hyang Habila,
4) Dewi Damima,
5) Sang Hyang Isrila,
6) Dewi Sarira,
7) Sang Hyang Israwana,
8) Dewi Mona,
9) Sang Hyang Basaradiwana,
10) Dewi Dayuna,
11) Sang Hyang Sita,
12) Sang Hyang Yasita,
13) Dewi Awisa,
14) Sang Hyang Sesana,
15) Dewi Aisa,
16) Sang Hyang Yasmiyana,
17) Dewi Ramsa,
18) Sang Hyang Yanmiyana,
19) Dewi Yarusa,
20) Sang Hyang Suryana,
21) Dewi Siriya,
22) Sang Hyang Amana,
23) Dewi Mahasa,
24) Sang Hyang Kayumarata,
25) Dewi Hindunmaras,
26) Sang Hyang Yajuja,
27) Dewi Majuja,
28) Sang Hyang Lata,
29) Dewi Uzza,
30) Sang Hyang Harata,
31) Dewi Haruti,
32) Sang Hyang Danaba,
33) Dewi Daniba,
34) Sang Hyang Bantasa,
35) Dewi Bintisa,
36) Sang Hyang Somala,
37) Dewi Susia,
38) Sang Hyang Jamaruta
39) Dewi Malki,
40) Sang Hyang Tamakala,
41) Dewi Tamakali,
42) Sang Hyang Adana,
43) Dewi Adini,
44) Sang Hyang Harnala,
45) Dewi Harnila,
46) Sang Hyang Samala,
47) Dewi Samila,
48) Sang Hyang Awala,
49) Dewi Awila,
50) Sang Hyang Astala,
51) Dewi Astila,
52) Sang Hyang Nurala,
53) Dewi Nureli,
54) Sang Hyang Nuhkala,
55) Dewi Nuhkali,
56) Sang Hyang Nuskala,
57) Dewi Arki,
58) Sang Hyang Sarkala,
59) Dewi Sarki,
60) Sang Hyang Karala,
61) Dewi Karia,
62) Sang Hyang Dujala,
63) Dewi Dujila,
64) Sang Hyang Katala,
65) Dewi Katili,
66) Sang Hyang Arkala,
67) Dewi Arkali,
68) Sang Hyang Mrihakala,
69) Dewi Mrihakali,
70) Sang Hyang Ardabala,
71) Dewi Ardiati,
72) Sang Hyang Sanala,
73) Dewi Peni,
74) Sang Hyang Pujala,
75) Dewi Puji,
76) Sang Hyang Sasala,
77) Dewi Sasi,
78) Sang Hyang Sahnala,
79) Dewi Sani,
80) Dewi Hunun,
81) Sang Hyang Sahalanala,
82) Dewi Sahini.

Namun Sang Hyang Kabila, Dewi Alima, Sang Hyang Basaradiwana, Dewi Dayuna, Sang Hyang Lata, Dewi Uzza tidak menurut pada aturan perjodohan Sang Hyang Adama. Sang Hyang Kabila tak sejalan, dan menghendaki dijodohkan dengan kembarannya, yaitu jodoh bagi Sang Hyang Habila. Perbedaan memperebutkan jodoh tersebut sampai kematian. Sang Hyang Habila dikalahkan oleh Sang Hyang Kabila. Setelah adiknya mati, Sang Hyang Kabila termenung memikirkan bagaimana caranya mengubur jasad adiknya. Kemudian ada burung gagak mengaduk-aduk tanah. Sang Hyang Kabila mengikuti burung gagak untuk membuat liang lahat.

Sang Hyang Kabila dan Istrinya Dewi Alima serta Dewi Damima diusir oleh Sang Hyang Adama, lalu mengelana sampai tanah Afrika, dibarengi oleh adiknya Sang Hyang Basaradiwana dan Dewi Dayunan. Demikian juga Sang Hyang Yajuja dan kembarannya Dewi Majuja menyusul Sang Hyang Kabila ke tanah Afrika. Sedangkan Sang Hyang Lata dan Dewi Uzza mengelana ke tanah Asia.

Sang Hyang Sita

Setelah dewasa Sang Hyang Sita diberi jodoh bidadari dari Tuhan. Nama istrinya Dewi Mulat. Rumah tangganya saling asah, asih dan asuh.

Dikisahkan, Danyang Azazil raja Banujan di Laut Hitam akan menjodohkan putrinya yang bernama Dayang Dalajah dengan keturunan Sang Hyang Adama agar bisa berkuasa pada manusia. Danyang Azazil memboyong putrinya ke Kusniamalabari. Dengan kesaktiannya Danyang Azazil, putrinya dirubah rupa menjadi Dewi Mulat. Sedangkan Dewi Mulat yang asil hilang sebab disembunyikan oleh Danyang Azazil.

Terdorong rasa terhadap orang yang dicinta, Sang Hyang Sita bersetubuh dengan Dewi Mulat jadi-jadian. Benih masuk ke dalam rahim Danyang Dalajah, kemudian Dewi Mulat jelmaan kembali ke laut hitam bersama ayahnya Danyang Azazil. Dewi Mulat yang asil sudah muncul lagi, tidur bersama Sang Hyang Sita.

Dewi Mulat mengandung bayi. Hari saatnya melahirkan, sekitar fajar, Dewi Mulat melahirkan kembar, yang pertama laki-laki, yang kedua berupa cahaya. Bersamaan itu juga Danyang Dalajah juga melahirkan berwujud darah, kemudian di bawa ke Kusniamalabari oleh Danyang Azazil.

Darah dan cahaya bergulung menyatu jadi bayi laki-laki yang terselimuti oleh cahaya terang benderang yang menyilaukan.

Kakeknya, Sang Hyang Adama, masih menganggap kedua bayi itu kembar. Yang pertama diberi nama Sang Hyang Nasa, yang kedua Sang Hyang Nurcahya, karena berselimut cahaya.

Setelah dewasa, Sang Hyang Nasa suka pada ilmu agama yang diajarkan oleh kakeknya Sang Hyang Adama. Sedangkan Sang Hyang Nurcahya suka bertapa di hutan, gunung atau di dalam gua.

Sang Hyang Nurcahya suka berkelana melanglang buana, kemudian bertemu Danyang Azazil yang malih rupa menjadi maharesi yang sakti mandraguna. Sang Hyang Nurcahya berguru kepada Danyang Azazil, diajari olah kanuragan, kesaktian, ilmu pengobatan dan sebagainya. Sang Hyang Nurcahya tak hangus oleh api, tak basah oleh air, hilang tanpa alat, bisa terbang diatas awan, bisa masuk ke bumi dan masuk lautan.

Setelah tamat berguru, Sang Hyang Nurcahya pulang ke Kusniamalabari. Sang Hyang Adama kaget melihat keadaan cucunya. Sang Hyang Nurcahya berbeda dengan kembarannya Sang Hyang Nasa. Namun Sang Hyang Adama tak samar jika itu semua disebabkan oleh Danyang Azazil.

Sang Hyang Adama berkata kepada putranya Sang Hyang Sita menyampaikan jika Sang Hyang Nurcahya akan berpaling dari ajaran agama, dikarenakan menganut ajaran Danyang Azazil. Sang Hyang Sita diam termangu, menyesal sebab kelakuan Sang Hyang Nurcahya.

Saat umur 900 tahun Sang Hyang Adama meninggal dunia. Semua ilmunya diwariskan kepada Sang Hyang Sita, sedangkan kekuasaannya diserahkan kepada Sang Hyang Kayumarata, putra ketiga belas. Pembagian tersebut didasarkan atas kualitas dari putra-putranya. Sang Hyang Sita menjadi penguasa masalah rohani, sedangkan Sang Hyang Kayumaratan menjadi penguasa urusan jasmani.

Sang Hyang Nurcahya

Meninggalnya sang kakek, Sang Hyang Adama menjadikan kaget cucunya Sang Hyang Nurcahya. Apalagi menyesal sebab Sang Hyang Adama mati karena sakit. Dia kemudian membayangkan dirinya, Seumpama dia masih memakai ilmu Sang Hyang Adama, pasti bakal terkena mati. Kemudian Sang Hyang Nurcahya meninggalkan Kusniamalabari akan mencari ilmu yang tidak bisa kena kematian sehingga hidupnya sehat abadi.

Sang Hyang Nurcahya berkelana sampai keluar batas negeri Kusniamalabari. Masuk hutan, Sang Hyang bertemu dengan Danyang Azazil. Dia dibantu menuju ke daerah Awinda, yaitu daerahnya para siluman, yang terkenal angker, adanya di pojok bumi, tak pernah tersentuh cahaya. Di sana ada Air Tirtamarta Kamandalu, yaitu air kehidupan yang dari mustika mega.

Sang Hyang Nurcahya dan Danyang Azazil memohon ke Tuhan supaya dikasih air Tirta Kamandalu. Kemduian ada mega yang memancarkan air kehidupan dari Lautan Rahmat. Sang Hyang Nurcahya diperintahkan mandi dan minum air Tirtamarta Kamandalu. Sang Hyang Nurcahya tanpa wadah. Danyang Azazil memberi wadah Cupumanik Astagina yang sebenarnya kepunyaan Sang Hyang Adama waktu tertiup angin sampai ke pusat lautan hitam daerah kekuasaan Danyang Azazil. Cupumanik Astagina punya kesaktian apa yang didalam wadah tak bakalan habis.

Kemudian Sang Hyang Nurcahya keluar dari daerah Awinda, dan Danyang Azazil hilang. Sang Hyang Nurcahya meneruskan perjalanan seorang diri. Di sebuah daerah dia menemukan sebuah pepohonan yang akarnya bisa menyebabkan hidup kembali, kembali ke asal, kerbau pulang ke kandang, sumber kehidupan alam dunia, yang mendapat sebutan Lata Maosadi.

Di saat Sang Hyang Nurcahya mau pulang ke Kusniamalabari bingung, tak ingat jalannya. Dia tersesat mengelana, bertemu jurang, gunung dan hutan belantara.

Di suatu hari dia sampai di pantai, dan melihat ada dua makhluk di atas lautan. Sang Hyang Nurcahya meluncur di atas air mendekati. Yang satu bernama danyang Haruta dan kedua Danyang Maruta. Dulunya, makhluk itu namanya Sang Hyang Isyana dan Sang Hyang Isaya yang mendapat hukuman dari Tuhan sebagai hukumannya menjadi banujan yaitu bangsa jin.

Danyang Haruta dan Danyang Maruta mengajarkan Sang Hyang Nurcahya masalah bumi, hari, bulan, bintang, yang disebut ilmu falakiah dan ilmu hikmah.

Sang Hyang Nurcahya berkisah jika dia ingin ke surga. Danyang Haruta dan Danyang Maruta bercerita jika sruga itu adanya di hulu sungai yang besar di daerah Afrika. Sang Hyang Nurcahya percaya saja pada dongeng itu, kemudian berkelana ke surga yang ada di sungai itu.

Sang Hyang Nrucahya bertemu dengan paman dan bibinya, yaitu putra-putri Sang Hyang Adama yang kelima belas bernama Sang Hyang Lata dan Dewi Uzza saat bertapa di sisi sungai tersebut. Sang Hyang Nurcahya bercerita jika dia adalah putra Sang Hyang Sita. Sang Hyang Lata dan Dewi Uzza menerima kedatangan Sang Hyang Nurcahya, kemudian diajari ilmu “kawruh sak durunge winarah” semua yang sudah dan bakal terjadi.

Kemudian Sang Hyang Nurcahya meneruskan mencari surga sampai ke telaga di hulu sungai yang ada di puncak gunung Kaspia. Sang Hyang Nurcahya bingung, sebab taka ada tanda-tanda surga.

Ada suara dari dalam kawah gunung Kaspia yang mana apinya menyala, mengaku jika suara itu suara Tuhan Penguasa Bumi yang memiliki surga dan neraka. Suara itu adalah suara Danyang Azazil yang berubah warna. Sang Hyang Nurcahya masuk ke permata bernama Ratnadumilah, melihat keindahan semua isi surga.

Setelah keluar dari permata, Danyang Azazi yang berubah menyamar menjadi Tuhan Amurma Bumi (Penguasa Bumi) memberikan Ratnadumilah kepada Sang Hyang Nurcahaya. Kesaktian permata tersebut semuanya yang dikehendaki bisa terwujud, yang diharapkan datang, tidak kena sakit. Kemudian Sang Hyang Nurcahya diajari ilmu menitis pangiwa, memasuki akhir kematian, dan jalannya cakramanggilingan.

Sang Hyang Nurcahya tidak mau pulang ke Kusniamalabari. Danyang Azazil menunjukkan sebuah tempat yang bisa ditinggali oleh Sang Hyang Nurcahya yang disebut Lokadewa. Kemudian Sang Hyang Nurcahya pergi ketempat itu.

Di Lokadewa, Sang Hyang Nurcahya meneruskan tapanya di puncak gunung. Di saat fajar menghadap timur, di tengah hari menghadap ke atas, saat sore menghadarp ke barat. Lama tapanya tujuh tahun, sampai meraga sukma masuk ke dalam alam kosong, yakni alam Banujan. Sang Hyang berada dalam alam tersebut selama 1000 tahun.

Dikisahkan ada satu raja jin yang menguasai Lokadewa bernama Danyang Maladewa, putranya Danyang Harataketu. Dia saat mengelilingi bumi melihat ada cahaya bersinar bukan matahari bukan bintang seperti permata bukan rembulan, tetapi cahaya sukma keturunan Sang Hyang Adama.

Danyang Maladewa mau memegang cahaya itu namun tak bisa. Kemudian menjadi pertempuran dan sukma cahaya itu mengaku-aku Amurbamisesa Alam. Danyang Maladewa kalah tunduk pada Sang Hyang Nurcahya, yang kemudian memperistri putrinya Danyang Maladewa yang disebut Dewi Mahamuni. Semua keluarga dan balatentara Danyang Maladewa sama2 menghadap tunduk ke Sang Hyang Nurcahya yang disebut Dewata yaitu guru mulia Lokadewa. Itulah awal mulanya disebut Sang Hyang menjadi sebutan yang dipakai oleh Sang Hyang Nurcahya.

Diceritakan Sang Hyang Nurcahya bergelar Sang Hyang Dewata, Sang Hyang Dewapamungkas, Sang Hyang Atmadewa, Sang Hyang Sukmakawekas, Sang Hyang Amurbengrat, Sang Hyang Manon, Sang Hyang Permana, Sang Hyang Permata, Sang Hyang Mahawidi, Sang Hyang Mahasidi, Sang Hyang Mahamulia, Sang Hyang Kahanantunggal, Sang Hyang Jagatmurtitaya, adalah putra Sang Hyang Sita, cucu Sang Hyang Adama.

Sang Hyang Nurcahya punya putra tunggal dari istrinya Dewi Mahamuni, yang namanya Sang Hyang Nurasa sebab tercipta dari cahaya dan rahsa (benih/rahsa) yang disirami air Tirtamarta Kamandalu.

Sang Hyang Nurasa

Setelah Sang Hyang Nurasa dewasa, kemudian Sang Hyang Nurcahya mewariskan kerajaan kepada putranya dan memberi Cupumanik Astagina, Lata Maosadi, dan Ratnadumilah. Sang Hyang Nurcahya kemudian mencipta Pustaka Darya, yaitu kitab pengingat hari, mantra tanpa suara, suara tanpa tulisan, yang menceritakan tentang dirinya. Psuta Darya juga dikasihkan kepada Sang Hyang Nurasa.

Sareat dan Puasa

Apa itu Sareat?

Dalam Serat Hidayat Bahrul Qulub (Serat Syeh Jangkung) disebutkan :

Mengertio sira kabéh, narimoho kanthi saréh, opo kang dadi toto lan aturan, opo kang dadi pinesténan, anggoning ngabdi marang Pangeran

(Mengertilah kalian semua,terimalah dengan segala kerendahan jiwa,terimalah dengan tulus dan rela,apa yang menjadi ketetapan dan aturan,apa yang telah digariskan,untuk mengabdi pada Keagungan Tuhan)

Basa sarak istilah ‘Arbi, tedah isarat urip niki, mulo kénging nampik milih, pundhi ingkang dipun lampahi, anggoning ngabdi marang Ilahi

(Istilah syarak adalah bahasa Arab,yang berarti petunjuk atau pedoman untuk menjalani kehidupan ‘agama’,untuk itulah diperbolehkan memilih,mana yang akan dijalani sesuai dengan kemampuan diri,guna mengabdi pada Keagungan Ilahi)

Saréngat iku tan ora keno, tininggal selagi kuwoso, ageming diri kang wigati, cecekelan maring kitab suci, amrih murih rahmating Gusti

(Apa yang telah di-syari‘at-kan hendaknya jangan kita tinggal,selama diri ini mampu untuk menjalankan,aturan yang menjadi pegangan hidup kita,aturan yang sudah dijelaskan dalam kitab suci al-Qur’an,Itu semua, tidak lain hanya usaha kita untuk mendapat rahmat, dan pengampunan dari Yang Maha Kuasa)

Saréngat iku keno dén aran, patemoné badan lawan lésan, ono maneh kang pepiling, sareh anggoné kidmat, nyembah ngabdi marang Dzat.

(Syariat juga diartikan, sebuah pertemuan antara badan dengan lisan,bertemunya raga dengan apa yang dikata,ada juga yang memberi pengertian,bahwa syariat adalah pasrah dalam berkhidmat,menyembah dan mengabdi pada Keagungan Yang Mahasuci)

Saréngat utawi sembah raga iku, pakartining wong amagang laku, sesucine asarana saking warih, kang wus lumrah limang wektu, wantu wataking wawaton

(Syari`at atau Sembah Raga itu,merupakan tahap persiapan, di mana seseorang harus melewati proses pembersihan diri,dengan cara mengikuti peraturan-peraturan yang ada,dan yang sudah ditentukan—rukun Islam)

Syaringat ugi kawastanan, laku sembah mawi badan, sembah suci maring Hyang, Hyang ingkang nyipto alam, sembahyang tinemu pungkasan

(Syariat juga dinamakan, melakukan penyembahan dengan menggunakan anggota badan, menyembah pada Keagungan Tuhan, Tuhan yang menciptakan alam, Sembah Hyang, begitu kiranya nama yang diberikan)

Salah satu sareat Islam adalah Puasa (Poso). Inilah sarat rukunnya :

Islam, balék, kiat, ngakal, papat sampun kinebatan, wonten maleh ingkang lintu, Islam, balék lawan ngakal, dados sarat nglampahi siam.

(Islam, baligh, kuat, berakal, empat sudah disebutkan, ada juga yang mengatakan, Islam, baligh, dan berakal, menjadi syarat menjalankan puasa)

Kados sarat rukun ugi sami, kedah dilampai kanthi wigati, niat ikhlas jroning ati, cegah dahar lawan ngombé, nejo jimak kaping teluné, mutah-mutah kang digawé.

(Seperti syarat, rukun juga sama, harus dijalanlan dengan hati-hati, niat ikhlas di dalam hati, mencegah makan dan minum, jangan bersetubuh nomor tiga, jangan memuntahkan sesuatu karena sengaja.)

Papat jangkep sampun cekap, dadus sarat rukuné pasa, ngatos-ngatos ampun léna, mugiyo hasil ingkang dipun seja, tentreming ati urip kang mulya.

(Empat genap sudah cukup, menjadi syarat rukunnya puasa, hati-hati jangan terlena, semoga berhasil apa yang diinginkan, tentramnya hati hidup dengan mulia)

Dikutip dari : “Serat Hidayat Bahrul Qulub”

Islam bisa diterima di Jawa

Di Jawa, satu tradisi yang dari sejak jaman nenek moyang sampai sekarang adalah tradisi slametan. Bahwa ajaran para leluhur tersebut yang diwariskan kepada kita adalah pencapaian keselamatan dalam hidup dan setelah kehidupan. Dari bangun tidur sampai tidur kembali, permohonan dan ritualnya adalah memohon slamet. Dari awal kejadian (kehamilan), berubah segumpal daging, utuh menjadi An-nas yang lahir, berdiri, berjalan, anak-anak, remaja, menikah, dan begitu seterusnya bahkan sampai setelah kematiannya.

Pernahkah anda melihat tradisi semacam ini di belahan dunia lain?

Selain itu, kepercayaan kepada Hyang Taya, Dia yang Tanpa Kinoyo, Dia Yang Tak Termisalkan, Tak Terserupakan oleh apapun, juga sudah menjadi bagian keyakinan masyarakat Jawa Purba.

Namun, lagi-lagi materialisme kemudian membelokkan itu semua. Hyang Toyo dimaterialkan, maka lahirlah baTu, dan sejenisnya. Berbagai sajian yang material. Demikian pula, "slametan" menjadi tradisi materialistik, terjebak pada materi-materi ritual, melupakan esensi dari permohonan kepada Hyang Toyo memperoleh keselamatan hidup di Archapada dan alam pangrantunan.

Datangnya Islam dengan kemudian di Jawa, membuka itu semua, mengembalikan itu semua, untuk memalingkan dari materialisme dunia dan kembali kepada Dia Yang Esa, laisa kamitslihi syai'un.

Percayalah, Allah swt, telah menyampaikan ajaranNYA di seluruh muka bumi melalui hamba-hambaNYA.