Mengenang Gus Dur

Saya bukanlah santri atau kalangan pesantren yang sudah dekat dengan Gus Dur. Pengalaman ini saya dapatkan ketika menjadi pengurus IPNU Kecamatan Kembaran Banyumas. Sekitar tahun 1993-1997 dan masa itu adalah kepemimpinan Gus Dur. Secara pribadi jauh dari dekat. Apalagi bisa beriskusi dan bercengkerama. Bersalamanpun sekali, di saat peresmian kantor PCNU Banyumas. Ada pengalaman yang menarik buat saya untuk saya bagi. Gus Dur buatku, saat itu menjadi inspirasi, penguat keberanian.

Masa itu, tidaklah mudah mengadakan pengajian dengan mengumpulkan banyak jamaah. Apalagi atas nama NU. Tidak mudah. Harus berbelit dalam urusan perijinan. Kegiatan IPNU tingkat kecamatan harus dapat ijin Polres. Pengajuannya paling lambat 2 minggu sebelum pelaksanaan. Meski itu hanya pengajian atau kumpul2 di sekolah, seperti Pengkaderan Makesta, Lakmud dan sejenisnya. Anda bisa saja menganggap wajar prosedur itu. Tetapi pada tahun2 itu sedikit terasa berbeda. Tidak semuanya pasti dapat ijin.

Sering saya mengadakan kegiatan pengkaderan atau pengajian dengan jumlah banyak jamaah, menyampaikan hanya surat pemberitahuan. Bukan surat mohon ijin. Logikanya, mengapa harus ijin? Wong ya tidak ramai yang menutup jalan, di dalam sekolah. Kenapa harus ijin polisi? Toh ini bagian dari pelaksanaan berserikat dan berorganisasi. Surat pemberitahuan itu selalu saya kirim dan tidak peduli mau diijini atau tidak. Pokoknya kegiatan jalan. Tidak berniat membuat kerusuhan.

Keberanian bersikap seperti itu, karena saya dan kawan2 melihat, ada Gus Dur di atas (struktur PBNU) yang juga nekat dalam membesarkan NU. Tidak takut diatukut2ti prosedur dan perijinan. Toh terbukti tak ada pengajian NU dan Banomnya berujung kerusuhan atau makar ke pemerintah. Dengan itu, kami semakin merasa Gus Dur menjadi faktor spirit dan penyemangat bagi kader2 di bawah. Meski itu semua jauh sekali bertemu dan lama berkumpul.

Dan sekarang, begitu mudah mengadakan pengajian tak perlu ada rasa takut. Padahal bisa jadi berujung makar.

Spirit Jihad di Malam Jum'at

Nyunnah di malam Jum’at, lebih spesifik soal suami istri menjadi lazim diperbincangkan. Ada semacam spirit jihad di dalamnya. Bahwa memberi nafkah bathin kepada istri, ya MEMBERI adalah menyenangkan, menggembirakan dan sejenisnya. Idholussurur demikianlah ringkasnya. Di dalamnya ada pertarungan antara memberi dan meminta. Seringkali ini tidak dibedakan dengan jelas. Tidak mudah membedakannya, apalagi meneguhkan dalam perbuatan nyata. Jelas pertarungan antara Egois dan Altruis, mementingkan diri sendiri atau demi pasangannya.

Pada saat yang sama, jua terjadi pertarungan antara MENGABDI dan DILAYANI. Banyak sunnah yang diajukan untuk menempatkan manusia MENGABDI kepada Sang Khaliq, namun juga “Mengabdi/memberi” kepada pasangannya. Namun, yang terjadi tidak jarang yang minta dilayani. Lagi-lagi menghendaki kepuasan diri, memupuk egoisme.

 

Pertarungan antara egois dan servis, antara mengabdi dan dilayani adalah sebuah pertarungan yang tidak mudah, tidak enteng. Membutuhkan perjuangan, ketenangan, kejujuran dan ketulusan dalam melakukannya.