Samin Surosentiko

Orang kebanyakan lebih mengenal Mahatma Gandhi dalam hal perjuangan melawan kolonial tanpa kekerasaan. Tetapi di sisi lain memandang Samin Surosentiko sebagai ikon orang-orang bodoh yang tak beradab dan seenaknya sendiri. Ia lahir di Kedhieren Randu Blatung Blora, dengan nama Kohar, putra Raden Surowijoyo, seorang priyayi dari Bojonegoro, pada tahun 1859.

Soetomo, tokoh pergerakan nasional, malah menjadikan gerakan Samin sebagai inspirasi perjuangannya di kemudian hari setelah berdirinya Budi Utomo. Orang Samin adalah orang-orang yang memegang teguh ajaran pemimpinnya. Meski aturan itu hanyalah tutur ucapan.

Ada yang menyebut masyarakat Samin lahir dari sebuah upaya perlawanan terhadap kolonial Belanda yang terus menerus menindas rakyat kecil, khususnya ketika Belanda hendak terus memperluas hutan Jati di wilayah Bojonegoro. Melawan dengan senjata, maka sudah ratusan tahun tak kunjung menang. Sikap Sikep yang memegang teguh pendirian menjadi tradisi mereka. Dan mereka menyebut dirinya sebagai orang sikep (wong sikep).

Mulanya hanyalah sikap melawan kolonialisme dengan sikap “konyol”, tetapi mereka selalu mempunyai filosofi tersendiri. Misalnya ketika terjadi kerja paksa disuruh mengangkat kayu, orang samin ya hanya mengangkat kayu saja (tidak memindahkannya sama sekali), karena perintahnya hanya mengangkat. Ketika ditanya jumlah anaknya menjawab dua : laki-laki dan perempuan. Jawaban-jawaban yang terkesan konyol ini sebenarnya merupakan sikap untuk melakukan perlawanan dengan caranya sendiri. Bahkan ketika diinterogasi oleh polisi dan ditampar sekalipun orang samin akan meringis saja, tidak akan melawan apa lagi kemudian membakar pos polisi.

Kemudian, ajaran Samin berkembang menjadi sebuah identitas dengan berbagai ajaran menyangkut banyak hal, termasuk soal agama. Mereka menyebut agamanya adalah agama Adam (manusia). Secara garis besar, mereka berpandangan bahwa apa yang menjadi milik mereka adalah miliknya tanpa boleh campur tangan dari pihak lain. Untuk melindungi hak milik mereka akan dilakukan berbagai upaya verbal atau perilaku yang menunjukkan ketidaksenangan kepada pihak lain yang berusaha menguasai hak milik mereka. Maka ketika menghadapi pajak, masyarakat Samin akan menolak, karena mereka merasa tidak berurusan dengan negara. Namun bagi mereka yang bisa memahami orang Samin akan mengatakan :”Dulur...saya ikut menggunakan uangmu ya untuk bangun balai desa...”, maka orang Samin akan memberikan uangnya yang jumlahnya bisa sama dengan pajak atau sumbangan yang harus diberikan.

Mereka merasa sebagai pemegang kedaulatan atas diri mereka, atas tanah mereka, atas sawah mereka dan sebagainya. Namun hebatnya, dalam mempertahankannya, tidak dengan menghunuskan pedangnya.

Saat ini mungkin bangsa Indonesia membutuhkan inspirasi dari Samin dalam rangka mempertahankan identitas kebangsaan dan kedaulatannya.

Memahami Sastra-Gendhing

Ajaran mengenai yang lahir dan batin menjadi begitu sangat penting dalam khazanah budaya Jawa. Keduanya berbeda, keduanya berhubungan, dan keduanya tak dapat dimenangkan sementara lainnya diabaikan. Mengenal dualitas dalam kehidupan adalah sebuah kewajiban bagi hidup manusia Jawa, Ibarat mengenal Sastra dan Gendhing. Orang Jawa yang hanya pandai Gendhing, nembang, bernyanyi, tetapi tak mengenal Sastra dibalik Gendhing yang ditembangkan, maka dia tidak diakui sebagai “famili”. Sebaliknya mereka yang mampu memahami keduanya dan menguasai puncak Sastra disebut sebagai pria sejati, sebagai trah Mataram. Demikianlah dawuh Sultan Agung dalam bait Sastra Gendhing :

“Marma sagung trah-Mataram/Den putus olah raras/Sasmita sandining kawi/Yekti angger satria/Ngolah sastra”.

“Maka segenap trah-Mataram/Hendaknya sempurna melatih-rasa/Rahasia dalam sastra/Kerena setiap satria sejati/Adalah ahli-sastra”.

Sastra dan Gendhing menjadi simbol dua hal yang berbeda, bertolak belakang, namun keberadaannya tak dapat dipisahkan. Gendhing adalah ibarat sebuah rangkaian suara indah yang tertata dan berirama. Gendhing adalah petunjuk bagi manusia dalam mengenal Tuhannya.

“…. Pramila gending yen bubrah/Gugur sembahe mring Widdhi/Batal wisesaning salat/Tanpa gawe ulah gending..”

Gendhing ibarat syariat, sedangkan sastra adalah hakikatnya. Demikianlah hendaknya manusia Jawa (muslim) mengenal syariatnya dan rahasia hakikatnya.

Manusia seringkali asyik masyuk dan terbuai oleh indahnya gendhing. Bahkan banyak yang berebut dan pamer memainkan gendhingnya. Parahnya lagi mereka melawan kepada para ahli sastra. Semua itu hanya dilakukan karena kesombongan dan pamer keahlian memainkan gendhing semata.

Sastra dan gendhing dapat menjadi simbl banyak hal. Yang fana adalah gendhing, sedangkan yang abadi adalah sastra. Tidak mungkin yang fana mendahului yang abadi. Hati dan pikiran, suami dan istri, zat dan sifat, yang bercermin dan bayangan, suara dan gema, laut dan ikannya, pemain musik dan alatnya. Kesemuanya ibarat sastra dan gending. Sastra dan gendhing dijadikan ibarat untuk banyak hal.

Jadilah seperti nayaga yang memahami makna dalam suaranya, serta masing-masingnya (gending). Meski demikian :

“Tan dadya nistanya/Minta patweng ulama/Malah tamibeng utami/Yen wus mupakat/Tiga sekawan ngalim”

“Tidak ada celanya/Meminta fatwa para ulama/Malah akan lebih utama/Bila telah rujuk pendapat/Tiga atau empat orang alim”.

Telur Maulid

Saat perayaan maulid Nabi Muhammad SAW tiba, banyak sekali kegiatan dilakukan menyambutnya. Yang sudah menjadi tradisi adalah membuat telur hias. Bahkan di beberapa daerah pembuatan telur hias tersebut sudah dilombakan. Entah sejak kapan tradisi itu dimulai, namun yang jelas, tradisi telur maulid itu sudah menyebar hampir ke seluruh wilayah Indonesia dengan masing-masing kreasi dan bentuknya.

Telur direbus, kemudian ditusuk dengan bambu, dan dihias dengan beraneka ragama warna dari kertas. Ada yang kemudian dipasang di gedebok pisang dengan jumlah tertentu atau digantung. Ada pula yang tidak menusuknya tetapi cukup telur disuguhkan dan dihias ala kadarnya.

Bagi anda yang suka tradisi ini, tentu mempunyai makna penting di dalamnya. Bahwa Maulid, kelahiran Nabi Muhammad SAW disambut dengan kemeriahan telur warna-warni. Telur dijadikan simbol kelahiran, sebab dari telurlah kemudian menjadi anak-anak ayam (bebek/telor). Tusuk bambu melambangkan adanya kelurusan, kekuatan, keteguhan layaknya pohon bambu yang tumbuh menjulang tinggi. Demikianlah Maulid diharapkan memberi makna kepada umat Islam selalu teguh, lurus dan menjulang tinggi meneladani Sang Nabi Muhammad manusia mulia dan luhur.  Dulu sebagian masyarakat hanya menggunakan telur bebek. Ini dimaksudkan  umat Islam mengikuti dan meneladani Sang Nabi layaknya bebek, berbaris rapi, mengikuti panduan sang pemimpin. Rasya syukur menyambut kelahiran Sang Nabi teladan umat Islam diungkapkan dengan rasa gembira, rasa sumringah melalui simbol-simbol aneka warna kertas dan hiasan telurnya.

Itu hanya simbol luar saja, tentu penyambutannya tidak sekedar tradisi telur hias, masih banyak aneka kegiatan yang kesemuanya merupakan ungkapan rasa syukur atas lahirnya Nabi Muhammad SAW. Tapi paling tidak itu menandakan adanya kecintaan kita terhadap beliau. Demikianlah para leluhur kita mengajarkan rasa cinta itu.

Masihkan ajaran cinta itu anda jaga?

 

 

NGINANG MENYAMBUT PERINGATAN MAULID

Di Solo, ada tradisi sekaten yang digelar dalam rangka menyambut peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW. Banyak diantara kita lebih tertarik pada sekatennya. Sekaten merupakan kata dari Sahadatain (dua kalimah syahadat). Para leluhur di Jawa dulu, dalam memperingati Maulid melalui grebek Maulud. Sebuah acara besar dengan berbagai macam kegiatan, dari membaca Al Qur’an, shalawat diiringi gamelan dan pertunjukan lainnya. Semua itu dilakukan demi menarik minat masyarakat lebih mengenal Islam. Dan biasanya pada saat itu akan banyak masyarakat berikrar masuk Islam, melalui syahadat. Maka disebut sekaten.

Dalam acara sekaten juga diadakan acara mengunyah kinang atau nginang. Ini dilakukan mereka yang menjadi penonton. Dengan harapan, kegiatan nginang sebagai bentuk persaksian (enang) kepada mereka yang berkirar syahadat (sekaten). Sekaligus biar tetap betah melek dan mengikuti seluruh rangkaian prosesi.

 

Ada-ada saja cara leluhur kita mengajak kepada kebaikan...

 

 

 

 

RUWATAN DAN DINAMIKANYA

Konsep Ruwatan

Ruwatan dapat dikatakan sebagai bentuk tradisi Jawa yang sudah sangat lama sekali ada. Bahkan dapat dikatakan sebagai tradisi sebelum kedatangan agama-agama ke tanah Jawa. Kata Ruwat dalam bahasa sansekerta diartikan sebagai pembebasan, penyucian. Kemudian kata yang hampir mirip, yaitu Rawat diartikan sebagai memelihara. Ruwatan adalah upaya untuk membebaskan atau menyucikan dalam rangka sebuah pemeliharaan.

Konsep ruwatan dalam tradisi Jawa, berkaitan erat dengan konsep selamat (keselamatan) pada dua sisi yang sejajar. Bahwa manusia dalam hidupnya di dunia selalu berusaha untuk mencapai keselamatan, baik lahir dan batin, baik kehidupan saat di dunia maupun sesudahnya. Tentu dengan konsep keselamatan itu pula mengandung bahwa dalam ajaran Jawa juga meyakini adanya rintangan, godaan dan gangguan dalam pencarian keselamatan. Maka lahirlah konsep slametan sebagai bentuk upaya menjaga konsistensi dalam meraih keselamatan hidup.

Pengaruh Hindu

Di saat hidup, manusia menghadapi godaan dan sejenisnya, ajaran Jawa juga meyakini bahwa tidak semua manusia bisa mencegahnya dan menghindarinya. Maka manusia sepanjang hidupnya selalu menyandang apa yang sering disebut kotoran, kejelakan, atau dosa. Bahkan meski manusia itu sudah melakukan slametan sekalipun, Tuhan selalu memberi ujian dan cobaan kepada manusia. Oleh karena itu, perlu upaya penyucian, pembebasan manusia dari dosa-dosa dan kekotoran tersebut. Semua dosa, tersebut dalam ajaran Jawa akan berdampak membawa keburukan dan kesialan manusia sebagai buah dari pekerti yang berdosa (kotor).

Seiring masuknya agama-agama ke tanah Jawa, maka konsep ruwatan juga menjadi sasaran dakwahnya. Ketika Hindu dan Budha yang datang dari India masuk ke tanah Jawa, konsepsi ruwatan menemukan legitimasinya melalui kisah pewayangan, yaitu Betara Kala. Sebelum ada konsepsi Kala ini, manusia Jawa meyakini bahwa sumber godaan yang dari luar diri manusia itu adalah bentuk gaib, misalnya demit, jin, setan, gendruwo, dan sebagainya. Dengan kisah pewayangan itu maka sumber dari segala dosa, yang berakibat pada kesialan. Maka SangKala kemudian menjadi simbol dari musuh dan penyebab kesialan yang dihadapi oleh manusia dan dalam lisan orang Jawa disebut sengkolo (Sang Kala).

Kisah Kala sebagai legitimasi sumber kesialan adalah berawal dari Betara Guru yang menggandrungi kecantikan manusia. Dia tidak mampu menahan syahwatnya, maka tertumpahlah air suci (sperma) ke samudra dan berubah menjadi Kala. Batara Guru tak mengakuinya sebagai anak, maka dia bersumpah dan menuntut balas kelak akan memangsa anak-anak manusia. Maka, berubahlah apa yang sudah diyakini oleh masyarakat Jawa, jika sebelumnya makhluk/roh halus sebagai ancaman, dengan kisah dan kepercayaan ini menjadikan Sengkala sebagai sebab dari segala sebabnya kesialan.

Dalam beberapa sumber naskah Jawa, ruwatan kemudian spesifik sebagai upaya pembebasan manusia dari dendam Sang Kala tersebut. Dilakukanlah sesajian untuk menyenangkan Sang Kala agar tidak memangsa manusia (memberi kesialan). Ada bermacam-macam jenis manusia yang menjadi sasaran Sangkala. Dalam versi Serat Centini ada 60 jenis manusia sukerta (penyandang dosa, sial) misalnya : anak ontang anting (tunggal) laki-laki atau perempuan, anak kembar, anak jempina (prematur 7 bulan), orang yang berdiri di tengah pintu, orang yang gemar membakar kulit bawang, dan sebagainya. Versi Ranggawarsito dalam Serat Pusataka Raja ada 136 jenis sukerta tersebut.

Untuk menghindari ancaman Sengkala tersebut maka inti acaranya adalah pagelaran wayang murwakala (kisah Betara Kala), dengan harapan sebagai pelajaran dan untuk menghadirkan sembari diberi sesajian yang beraneka rupa.

Pengaruh Islam

Para ulama, wali pendakwah Islam yang datang kemudian juga tidak serta merta menghajar, mengahapus apa yang sudah menjadi tradisi masyarakat Jawa. Berbagai upaya dilakukan untuk merubah cara pandang dan perlakuan terhadap penyucian manusia melalui ruwatan tersebut. Upaya tersebut antara lain : kisah pewayangan tidak langsung dirubah namun dirubah dari akarnya, yaitu membuat silislah para dewa sebagai keturunan manusia (silakan dicek mengenai silsilah wayang keturunan nabi Adam). Dengan perubahan ini diharapkan cara pandang masyarakat memperlakukan wayang bukan sebagai ajaran keagamaan tertentu (Hindu), namun sebagai ajaran keluhuran budi pekerti saja. Maka tokoh-tokoh wayang adalah sebagai bentuk perwatakan manusia saja. Betara Kala yang dikisahkan sebagai putra (diluar nikah) disebut sebagai wujud bentuk akibat perzinahan yang bisa berbahaya, hanya sebagai wujud watak manusia yang jahat semata.

Dengan dasar perubahan cara pandang tersebut, maka merubah pandangan terhadap ruwatan juga beriringan. Sesajian yang semula diyakini untuk disuguhkan kepada Sang Kala (Sengkolo) kemudian menjadi bentuk sedekah yang dibagikan dan dinikmati bersama-sama oleh seluruh masyarakat (bukan makanan dewa). Wayang digelar sudah bervariasi, tidak hanya kisah Betara Kala, tetapi bisa saja kisah-kisah lain yang mengajarkan kebaikan, misalnya Bima Suci atau lainnya yang mengajarkan tentang pembersihan jiwa manusia. Demikian pula do’a yang dilakukan juga secara bertahap dan meyakinkan berubah menjadi do’a keselamatan, mendoakan arwah leluhur dan sebagainya, buka puja-puji menghiba kepada Sang Kala.

Maka kemudian, kita akan menyaksikan di beberapa daerah tradisi ruwatan yang sudah beraneka ragam bentuknya, baik cara pelaksanaannya, ubo rampe (perlengkapan) dan do’a-do’anya. Memang di Jawa masih saja ada orang yang mempertahankan keyakinan atas Sengkolo dari dewa Kala, namun sudah banyak yang berubah dan bergeser.

Jenis Ruwatan

Ruwatan dapat dilaksanakan untuk 3 kepentingan : a) ruwatan untuk pribadi, b) ruwatan untuk lingkungan (alam, sungai, sendang dsb); dan c) ruwatan untuk wilayah (desa, kabupaten, kota dan negara). Dengan pembagian ke dalam 3 jenis ini kemudian ruwatan diartikan sebagai upaya membersihkan ketiganya dari kekotoran, kesialan, malapetaka, kejelekan dan sejenisnya.

Di saat pengaruh Islam sudah mulai kuat di Jawa, ruwatan untuk ketiganya dilakukan pada bulan Muharram (Suro). Hal ini sebenarnya dilandasi oleh filosofi, bahwa untuk memulai tahun baru (Hijiriyah), maka upaya pembersihan diri,lingkungan dan wilayah dilakukan. Di beberapa daerah, ruwatan untuk kampung atau desa biasa disebut sedekah bumi. Sedekah dari hasil bumi sebagai rasa syukur dan memohon terhindar dari bala dan kesialan di tahun baru berikutnya. Ada yang menyebut kas desa, berarti acara ruwatan tersebut diambilkan dari kekayaan (kas) desa, juga sebagai bentuk rasa terima kasih kepada masyarakat tutur serta menikmati kekayaan desa yang dimilikinya.

Perubahan bentuk ruwatan, ubo rampe dan tata cara semakin hari-semakin berubah dan menyesuaikan dalam konteks kekinian dan pemahaman. Misalnya ruwatan untuk diripribadi ditekankan pada puasa 3 hari (dalam sebulan), puasa bulan suro, bancaan/sedekah dengan bubur merah dan putih saja tanpa sesajian atau makanan lain. Jika toh ada cukup dengan jajan pasar. Semuanya tidak mengurangi niat untuk melakukan upaya penyucian diri. Begitupun acara ruwatan wilayah, juga sudah bermacam-macam, misalnya dengan pengajian, sholawatan dan sebagainya. Dapat dikatakan perubahan-perubahan tersebut semakin hari menunjukkan kesederhanaan dalam pelaksanaan ruwatan tanpa meninggalkan esensi sebagai upaya pembersihan diri. Dan yang paling penting perlu dicatat adalah sejak peran andil para ulama, wali di tanah Jawa, sisi substansi dari keyakinan, pemahaman, do’a-do’a sudah berubah drastis yang semula percaya kepada dewa-dewa, sesajen kepada dewa, roh/makhluk halus berganti menjadi sedekah kepada sesama manusia.  Bukankah Islam mengajarkan sedekah untuk menolak bala dan membersihkan dosa? Di sinilah letak kearifan para ulama tempo dulu, bagaimana berdakwah, merubah keyakinan dan mengarahkan kepada ajaran yang benar tanpa menghancurkan, tanpa pertumpahan darah serta mencerdaskan masyarakat yang didakwahi. Masyarakat melalui wayang, pertunjukan seni tersebut diajarkan untuk kritis, bahwa kejelekan pribadi yang nampak dalam watak tokoh pewayangan harus dibersihkan, harus disucikan dan itu semua juga bisa diperoleh dari kisah wayang, salah satunya adalah kisah Bima Suci yang kemudian menggeser kisah batara Kala dan sekaligus ajaran pembersihan diri yang benar. Pembersihan melalui pentahapan dari mengendalikan nafsu lawwamah, supiyah, amarah dan mutmainah. Penyucian dalam menghadapi dan kendala seperti tergambar dalam diri naga samudra berkepala dua, hutan belantara, kera dan sebagainya. Semua itu hanyalah gambaran/wayang semata untuk diambil hikmahnya, tak perlu meributkan sosok-sosok dewa yang harus disembah dan diberi sesajen.

Pertanyaan sering muncul, apakah bisa melakukan ruwatan tanpa menyelenggarakan pagelaran wayang dan sebagainya? Jika saya maka menjawab bisa saja, bahkan cukup berbagi bubur merah putih sudah cukup, disertai do’a keselamatan dan mendoakan leluhur yang sudah mendahului kita. Bahkan sedekah uang yang sering kita berikan tanpa niat itu sebenarnya adalah wujud dari ruwatan, karena dengan mengurangi sedikit harta kita, termasuk upaya mengurangi beban cinta kepada dunia. Kemudian kita tidak terbius oleh kenikmatan duniawi dan bisa lebih mawas diri dan menyerahkan diri dan mencintai kepada Allah SWT. Sang Pencipta. Sikap mawas diri akan membimbing manusia menghindari bencana dan kesialan. Bukankah esensi ruwatan adalah seperti itu? Bukankan itu yang sejak lama, sebelum berbagai agama masuk ke Jawa kehendaki, membersihkan diri dari dosa, menyucikan diri dari berbagai hal yang mengotorinya?

Wallahu ‘Alamu Bisshowab

 

 

 

 

 

 

 

PASARAN (PANCAWARA) dan SISTEM PEREKONOMIAN

Jika kita mendengar kata Legi, Pahing, Pon, Wage, Kliwon sering kali pikiran langsung merujuk pada sosok dukun, klenik atau tahayul. Karena memang tidak pernah berusaha memahami bagaimana istilah-istilah itu lazim digunakan pada mulanya.

Orang Jawa dulu membagi siklus waktu ke dalam berbagai istilah dengan ketentuan tertentu, seperti model saat ini menyebut siklus tahunan (1 tahun) itu terdiri dari 12 bulan, siklus bulanan (1 bulan) terdiri dari 30/29/28 hari. Salah satu siklus tersebut adalah siklus pasaran atau PANCAWARA (yang lebih sering disebut sebagai siklus mingguan).

Siklus pasaran ini digunakan oleh pemerintahan Jawa masa lalu dalam menata perekonomian, dimana basis kegiatan ekonomi utama adalah pasar. Pasar diciptakan sesuai dengan siklus tersebut, dimana pasar Legi berarti dikembangkan di titik sebelah timur (pusat pemerintahan), Pahing sebelah selatan, Pon sebelah barat, Wage sebelah utara, dan Kliwon di pusat pemerintahan. Dengan pembagian semacam ini diharapkan diseluruh pelosok pemerintahan muncul pusat-pusat perekonomian masyarakat dan bisa menjadi pasar besar. Keberadaan pasar-pasar lain tetap ada, namun pada hari-hari tertentu sesuai pasaran, maka para pedagang dan pembeli akan menunju dan berkonsentrasi pada satu titik.

Seiring dengan perkembangan sosial masyarakat sistem ini sudah tidak laku diterapakan. Pasar diciptakan dimana-mana, dan bisa sekehendak hati membuatnya besar. Katakanlah Mall X, tak perlu menunggu siklus (5 harian) itu untuk mereguk keuntungan besar. Setiap hari bisa diraihnya dengan berbagai strategi dan promosi. Siapa yang kuat dan mampu menarik pengunjung, maka dialah yang akan berkembang dan maju. Demikian pula, sistem kerja juga  telah menjadikan akhir pekan (sabtu dan minggu) sebagai puncak keramaian pasar-pasar.

Maka, yang terjadi saat ini adalah tak ada giliran yang direkayasa. Tak ada sistem yang tertata dan merata. Siapa yang paling mahir melakukan rekayasa maka dialah yang akan mendapat keuntungan besar dibanding lainnya, kapanpun dan di titik manapun.

Wallahu ‘Alamu

Jangan Remehkan Yang Remeh Temeh

Janganlah menyepelekan hal-hal kecil, niku dawuhe Mbah-Mbah Mbiyen, sebab “kriwikan iso dadi grojokan”.

Hal-hal yang sudah kita anggap lumrah, remeh temeh dalam konteks tertentu bisa menjadi pemicu munculnya ide-ide besar. Bagaimana Soekarno jagongan dengan seorang petani, dikemudian hari melahirkan Marhaenisme. Bagaiman suasana kos-kosan di rumah HOS Tjokroaminoto nyatanya lebih efektif membentuk para patriot dan pejuang kemerdekaan daripada sekolah-sekolah elit. Bagaimana Newton dengan buah apelnya yang mengguncang dunia science itu.

Bukan pada persoalan itu biasa atau luar biasa, tetapi bagaimana pandangan dan perlakuan kita pada sesuatu itu, apakah biasa saja atau luar biasa?

Meski itu remeh temeh, hendaknya jangan diremehkan.... 

SEKOLAH LABEL INTERNASIONAL ATAU PEMBASMI NYAMUK???

Label standar internasional atau nasional atau bahkan tanpa label seperti itupun buat saya bukan persoalan mendasar. Dalam pandangan saya, ada satu indikator yang justru harus diutamakan, yaitu kompetensi lulusan. Ketika lulusan dari sebuah sekolah mampu bersaing dan berdaya juang pada level internasional maka sekolah tersebut layak diberi label internasional.

Jadi, RSBI itu konstitusional atau inkonstitusional, buat saya ya biasa saja. Jika bahwa RSBI sering hanya dipakai alat mengeruk keuntungan atau kata lain membuat biaya pendidikan mahal, maka kata mahal menjadi bahan debat yang tak kan kunjung usai. Sebab setiap orang akan berbeda penilaian soal itu.

Realitasnya seringkali label itu pentingnya luar biasa dan menjadi faktor yang menentukan eksistensi sebuah lembaga pendidikan. Saat ini muncul macam-macam label yang semua bertujuan menarik perhatian agar mau masyarakat menyekolahkan anaknya pada lembaga tersebut. Label internasional, gratis, akhlakul karimah dan sebagainya.

Untuk mendapat label internasional, disepakati harus ada akreditasi yang melibatkan negara-negara anggota OECD. Intinya ada standar proses, isi dan kompetensi. Parahnya itu hanya dipahami berkaitan dengan bahasa asing semata.

Kita sering mengalami amnesia dalam melihat realitas. Jauh sebelum ini, lembaga pendidikan seperti pesantren buat saya sudah berstandar internasional. Mengapa? Banyak lulusan pesantren melanjutkan studi ke luar negeri, mampu bersaing di tingkat internasional.

Pun demikian, sudah banyak sekolah-sekolah yang dilahirkan dari pesantren menggunakan proses  dengan  standar yang plus-plus (boarding school). Namun, lagi-lagi itupun bisa dituduh akal-akalan untuk mengeruk keuntungan, karena mahal.

Nah, semua bergantung kepada kearifan anda dalam mengukur mahal tidaknya diri sendiri. “Jika ada yang lebih bagus, mengapa beli yang mahal?” itu semboyan sebuah iklan produk obat nyamuk..... apakah sekolah hanya sekedar pembasmi nyamuk?....

Sumonggo.....

AKULAH GATHOLOCO Sang LELAKI SEJATI

Namaku adalah GATHOLOCO, gelarku adalah Lanang Sejati (Lelaki Sejati). Orang bisa menyebutku sebagai Barang Kinisik (Barang yang digosok-gosok) atau Barang Panglusan (Barang dielus-elus). Kalian boleh menyebutku apa saja, karena kauanggap aku makhluk menjijikkan, tidak tahu aturan, tidak tahu sariat, tidak tahu agama. Tetapi ketahuilah bahwa pengetahuanku akan rahasia penciptaan manusia telah meneguhkanku bahwa aku memang GATHOLOCO.

Masihkah kalian, hai para santri menyebutku sebagai anak demit? Anak setan? Atau kalian sendirilah yang tidak menyadari darimana kamu diciptakan?

Orang boleh menyebutku sebagai manusia kotor, penuh dosa, karena berkata dan bertutur tak pantas menurutnya. Apa yang kukatakan, apa yang kuperbuat menurut sariat yang dipahami telah mengantarkan kepada penyebutan diriku sebagai demikian. Lantas dengan apa aku harus bersuci?

Jika bersuci dengan air, maka tubuhku sudah penuh air. Jika dengan menggunakan api tubuhku penuh unsur api. Jika menggunakan tanah tubuhku berasal dari tanah. Jika menggunakan angin, tubuhku adalah sumber dari angin. Masihkah ada yang mampu mensucikan diriku?

Itulah mengapa aku adalah LELAKI SEJATI, karena aku bersuci dengan Air Tekad Suci, yang tidak terkotori oleh berbagai perbuatan salah. Karena aku benar-benar telah memahami bagaimana aku harus meLOCOkan GATHOku, dimana dan kapan. Aku tidak sembarangan melakukan itu semua, sebab itulah rahasia diriku sejatinya.

*) Digubah dari naskah serat gatholoco (Pupuh II Dhandanggulo)