Malam...Lailatul Ijtima

Malam, gelap, kalau toh ada cahaya tidak seterang siang yang benderang
Malam menjadi peraduan bagi mereka yang kelelahan
Malam menjadi pengaduan bagi mereka yang kesusahan
Malam menjadi penenang bagi yang kebingungan
Sebab ada, tidur buat penghibur

Malam, sunyi, kalau toh ada suara tidak sebising siang hari
Malam menjadi waktu mencari bagi para pecinta
Malam menjadi waktu bersuci bagi para pengelana
Malam menjadi waktu berbagi bagi para pujangga
Sebab ada, peluang untuk diri sendiri

Malam, tenang, kalau toh ada gerak tidak sebanyak saat bekerja
Malam menjadi berbeda karena ada sua
Malam menjadi meriah karena ada tawa
Malam menjadi bermakna karena ada jiwa
Sebab ada, kesempatan berbagi cerita

Malam, berkah, kalau toh ada murka itu tidak seberapa
Malam menjadi media cahaya terbuka
Malam menjadi pintu petunjuk bagi kalbu
Malam menjadi surat bagi yang bermunajat
Sebab ada, ketulusan menanti Yang Abadi

Malam, milik semuanya
Malam, mengumpulkan kita
Malam....... lailatul ijtima’

Surabaya, 30 Juni 2011,

Zikir untuk Terapi Diri

Berzikir dapat menenangkan hati. Dengan berzikir, kita berusaha untuk mencari substansi atas masalah yang sedang kita hadapi atau persoalan yang datang kepada diri. Pemahaman akan substansi tersebut menuntun kita pada pemahaman bahwa diri kita pada hekekatnya tidak bisa dan mempunyai kekuatan apapun untuk mengatasi masalah-masalah tersebut, kecuali apa yang sudah diberikan oleh Allah SWT. Berzikir yang demikian tentu akan menghasilkan ketenangan bathin. Alaa bidzikrillahi tathmainnal qulub...berzikirlah kepada Allah, maka akan menenangkan hati(mu).

Bahkan sekarang ini banyak pihak yang mengembangkan berzikir untuk menggali dan mengembangkan potensi diri. Misalnya metode-metode zikir untuk mengaktifkan otak tengah. Atau metode zikir untuk menyembuhkan mereka yang kecanduan narkoba dan sebagainya. Dulu, kata seorang teman, waktu kecil dia sering melakukan metode zikir di pesantren Suralaya, (Sukabumi?) saat liburan sekolah untuk membangkitkan kecerdasan. Dan terbukti dia memperoleh hasil dan manfaat dari zikir tersebut di waktu dia dewasa.

Saya sendiri, sudah berkali-kali membuktikan itu. Bahwa zikir memang dapat menenangkan hati bahkan dapat menjernihkan pikiran kita.

Sewaktu saya menjadi guru sebuah sekolah SMP di Surabaya, ada seorang murid yang mengeluh, katanya dia diguna-guna oleh temannya. Setiap saat, setiap melakukan sesuatu yang teringat hanya wajah cowok tersebut. Bagi dirinya sudah tidak masuk akal. Tetapi begitu sulitnya menghilangkan wajah dari benak pikirannya. Kepada saya dia meminta nasehat dan bantuan untuk mengusir pikiran-pikiran tersebut atau gampangnya menghilangkan pengaruh pelet.

Awalnya saya katakan...”saya dak bisa menghilangkan pelet tersebut, wong saya juga tidak tahu apakah kamu itu kena pelet, atau memang kamu itu jatuh cinta betulan...”. Dia tetap ngotot bahwa dia yakin dipelet, soalnya sudah begitu parah perasaan yang merasukinya.

Maka dengan keyakinan saya, dan yakin atas janji Allah SWT seperti di atas...saya coba membantu murid tersebut. Saya suruh dia pegang sebuah tasbih. Saya suruh dia membaca Laa Ilaaha Illallah...dalam setiap bacaan...maka dalam hatinya harus menegaskan...tidak ada yang paling baik keculai Allah, tidak ada yang bisa menyembuhkan kecuali Allah, tidak ada yang mampu menentramkan kecuali Allah, begitu seterusnya...sampai beberapa butir tasbih dia mampu menegaskan itu. Setelah itu aku coba untuk mempraktekkan, untuk mengingat wajah si cowok dan menyebut satu per satu kebaikannya. Maka dia mulai menyebutkan. Tapi berkali-kali dia coba menyebutkan sifat-sifat si cowok, dia tidak mampu menyebut lebih dari 2 kebaikan. Hanya itu berulang-ulang.

Dengan hasil itu, saya katakan kepadanya, itulah bukti bahwa begitu banyak kebaikan Allah yang bisa dia terima, bisa dia pahami dan dia yakini. Tetapi sekali lagi kepada manusia, tidak akan pernah mampu menghasilkan kebaikan yang begitu banyak. Kesimpulan dari kegiatan itu, aku sarankan, lakukanlah zikir tersebut berulang-ulang di rumah. Satu kalimat laa ilaaha illallah harus diikuti dengan penegasan hati satu sifat Allah, atau satu perbuatan Allah kepada kita. Tak lama, selang 2 hari murid tersebut melaporkan bahwa sudah bisa melupakan cowok tersebut dan dia jauh lebih tenang. Dan dia merasa tidak masuk akal dan berkeyakinan tidak layak mencintai orang tersebut. Allah memberi hidayah kepadanya dan bebaslah dia dari pengaruh kegelisahan jatuh cinta yang tak berujung pangkal tersebut.

Cerita ini dapat memberikan kita inspirasi bahwa setiap bacaan yang kita wirid, zikir selalu membutuhkan hati yang ikut berzikir, bisa jadi di lisan adalah bahasa Arab, tetapi gunakanlah hati dalam bahasa yang paling bisa dipahami untuk memahami apa yang dibaca. Maka dengan berlatih tersebut, antara lisan dan hati akan nyambung dan saling memperkuat. Dan semoga zikir kita benar-benar bisa menenangkan hati dan mendapat barokah dari Allah...barokah apa saja yang menjadi kebutuhan kita. Amiin.

Wallahu ‘alamu bisshowab



Isra' Mi'raj sebuah Berkah dan Fitnah

Jika peristiwa Isra’ Mi’raj tidak menjadi bagian penting dalam hidup anda, dalam perjalanan keimanan anda, atau peristiwa tersebut tidak anda anggap berguna buat diri anda, maka sia-sialah semua ceramah, pidato, mau’idloh, tentang isro’ mi’roj yang anda saksikan di televisi, anda baca dikoran, buku, majalan dan lainnya, atau di tempat-tempat pengajian yang anda datangi. Sebab isro’ mi’roj tidak ada efek buat anda.

Kita sering terjebak untuk intens memperdebatkan soal bagaimana isro’ mi’roj. Kita terbuai oleh betapa dahsyatnya peristiwa itu, padahal kalau mau sedikit cermat dalam membaca ayat tentang isro’ mi’roj, maka ada subyek yang sentral dan itulah harusnya jadi fokus untuk memahaminya. “Subhaanallzdi asro bi ‘abdihi lailan minal masjidil haroomi....” Maha Suci Allah yang telah menjalankan (mengisro’kan) hambanya pada suatu (sepertiga) malam dari masjidil harom ke.....dst. Jelas-jelas ayat ini menegaskan bahwa Muhammad tidak bisa berbuat itu, tidak bisa melakukan itu seperti halnya orang-orang yang meraga sukma, meditasi, tetapi Allah lah yang menjalankannya. Inilah sebenarnya kata kuncinya. Ketika dipahami seperti ini, penjelasan tentang bagaimana, hanya akan memperkuat keimanan anda kepada Allah SWT, bukan memperdebatkannya.

Bagi Allah peristiwa isro’ mi’roj adalah pemberian berkah kepada Muhammad, dan kepada seluruh umat manusia (..”baarokna haulahu linuriyahu min aayaatinaa...”). Bagi diri pribadi Muhammad, bisa jadi inilah hadiah atas kesabaran dan keyakinannya atas seluruh musibah yang menimpanya (secara khusus dalam masa ‘aamul huzni/tahun dukacita). Bagi seluruh umat manusia, maka perintah shalat sebagai “oleh-oleh” bepergian tersebut adalah berkah. Bagaimana tidak, perintah shalat diturunkan pada saat itu, dan Muhammad diajari bagaimana shalat yang benar dan purna. Pernahkan anda mengkaji bagaimana shalat para nabi sebelum Muhammad? Jika sudah, maka anda akan menemukan bahwa shalat yang diajarkan Muhammad SAW adalah bentuk peribadatan yang sudah purna dan holistik. Shalat adalah tiang agama, pokok dari agama, kunci dari segala ibadah. Itulah berkah besar buat umat manusia. Melalui shalat, sudah tersedia media dan ritual berdialog dengan Allah yang tidak hanya baik dari sisi ruhani, tetapi juga baik dari sisi fisik (kesehatan). Pokoknya lengkap lah shalat itu.

Isro’ Mi’roj memang ujian buat kita. Judul di atas saya menggunakan kata fitnah (yang berarti ujian) hanya untuk menyesuaikan irama saja dengan berkah (guru lagu kalau dalam sastra Jawa). Ya, isro’ mi’roj adalah ujian buat kita, apakah kita yakin pada Allah atau tidak? Seandainya kita hidup di zaman rasulullah SAW, belum tentu kita termasuk orang yang percaya. Wong yang menganggap Muhammad SAW gila saja ada. Lha bagaimana tidak, peristiwa yang tidak masuk akal dilakukan oleh Muhammad, manusia biasa, tidak sakti. Tetapi sekali lagi itulah ujian buat kita, jika kita percayanya kepada Muhammad saja, maka saat itu kita bisar runtuh iman kita. Tetapi ketika percaya kepada Allah, maka bagaimanapun peristiwa isro’ mi’roj itu terjadi, pasti percaya. Dan itulah yang ditegaskan oleh Abu Bakar. Dia percaya kepada Allah.

Demikian pula terhadap shalat sebagai “oleh-olehnya”, kita juga diuji untuk meyakininya. Masak hanya dengan jungkar-jungkir bisa menyelamatkan kehidupan manusia, dari dunia sampai akhirat? Percaya mana anda kepada uang? Kekuasaan? Dibandingkan dengan shalat (yang dua rakaat saja di saat fajar) keutamaannya melebihi seluruh isi langit dan bumi? Percaya mana ketika anda sakit diberi resep untuk minum obat dari dokter dengan shalat hajat atau tahajud? Tidak mudah untuk menerima dan meyakini atas shalat sebagai ibadah yang menentukan selamat tidaknya manusia. Karena bisa jadi kita terlalu sibuk mempersoalkan perjalanan dari langit satu menuju ke langit tuju, mempersoalkan 50 waktu menjadi 5 waktu dan sebagainya.

Saya mempunyai kawan, Wasis namanya (semoga Allah memberi umur panjang dan berkah kepadanya), dia dulu tinggal di sebuah desa di Kec. Sumbang Banyumas. Dia pernah bertahun-tahun ingin membuktikan atas kebenaran shalat jika dibandingkan dengan ritual-ritual lainnya. Setelah proses sekian lama, dia dengan hakkul yakin, dengan pembuktiannya sendiri menegaskan bahwa shalat adalah bentuk ibadah menghadap Allah SWT yang paling benar dan valid. Tentu tidak semua orang bisa segila itu untuk membuktikannya. Tapi itulah demi keyakinan, meski harus melewati banyak godaan dan cobaan.

Anda tidak perlu meniru kawan saya tersebut. Anda dan saya, kita hanya perlu membuktikan melalui seluruh shalat yang kita lakukan, dari hari ke hari, dari waktu ke waktu, sampai akhirnya hayat nanti, bahwa shalat adalah berkah buat kita, baik untuk kehidupan di dunia dan akhirat. Sebelum menjadi berkah, biarlah shalat menjadi fitnah (ujian) buat kita. Yang terpenting Isra' Mi'raj menjadi bagian yang terpenting bagi kehidupan dan keimanan kita.

Wallahu ‘alamu bisshowab

Selamat memperingat hari Isra’ Mi’raj

Silogisme gaya Iblis

Untuk kali ini, saya mencoba menulis secuil pembahasan tentang neraca keadilan, dari Imam Al Ghazaly. Hanya satu contoh silogisme yang saya ambil (dalam kitabnya ada 5 macam), yaitu silogisme ala iblis yang menjadi pertanda adanya kesombongan dalam diri iblis. Bagi anda yang ingin mencari versi lengkap, saya sarankan untuk membaca buku (kecil) berjudul Neraca Keadilan (sudah diterjemahkan) karya Imam Al Ghazaly (untuk judul aslinya saya tidak ingat lagi). Kalau tidak salah diterbitkan oleh Pustaka Sufi.

Dalam Al Qur’an, demikianlah pendapat Al Ghazaly, Allah sebenarnya sudah memberikan ukuran-ukuran dalam pengambilan kesimpulan yang benar dan adil. Ukuran-ukuran tersebut merupakan ukuran cara berpikir kita atas realitas atau fakta. Ukuran tersebut dapat dikenakan untuk beberapa kasus dan dijamin akan kebenarannya, karena bersumber dari Allah dan diajarkan oleh Rasulullah Muhammad SAW.

Silogisme (natijah dalam ilmu mantiq) atau pengambilan  kesimpulan merupakan metode untuk mengambil kesimpulan atas fakta yang didasarkan pada logika deduksi. Dalam silogisme, harus ada premis mayor dan premis minor, sehingga akan menghasilkan silogisme (kesimpulan) atas dasar premis-premis tersebut.

Imam Ghazaly mengajukan satu contoh silogisme yang batal, yakni silogisme (cara berpikir) yang diajukan oleh iblis ketika dia menolak untuk bersujud kepada Adam a.s.  Dalam surat Al A’raf ayat 12: "Allah berfirman: "Apakah yang menghalangi kamu untuk bersujud diwaktu Aku memerintahkan kamu?" Iblis menjawab: "Saya lebih baik dari dia! Engkau ciptakan saya dari api sedang dia Engkau ciptakan dari tanah. Di sini iblis mengajukan kesimpulan (silogisme) “bahwa dia lebih baik dari adam”. Premis mayornya adalah : api lebih baik daripada tanah. Premis minornya : adam diciptakan dari tanah. Maka, iblis yang dicipta dari api menyimpulkan, bahwa dirinya lebih baik dari adam. Iblis sudah salah dalam mengajukan premis mayornya, apakah benar dan diakui oleh umum jika api itu lebih baik dari tanah? Atas dasar apa premis tersebut bisa dibenarkan? Ketika premis mayor sudah salah, maka kesimpulan yang diambil tentu akan salah, meski premis minornya adalah benar.

Allah memerintahkan seluruh malaikat untuk bersujud, karena Allah Maha Mengetahui maksud dan tujuan dari persujudan tersebut. Sedangkan iblis sudah mempunyai penilaian dan kesimpulan yang melampaui batas pengetahuannya.

Apa hubungannya dalam kehidupan kita? Bisa jadi kita secara tidak sadar kita sering melakukan cara-cara iblis tersebut dalam mengambil sebuah kesimpulan. Misalnya “saya ini keturunan bangsawan”, maka saya pasti jauh lebih baik dari orang yang bukan bangsawan. Kesimpulan menganggap diri lebih baik hanya karena asal, keturunan, atau bangsa dan sejenisnya jelas-jelas sebuah kekeliruan yang sudah dicontohkan oleh iblis. Kesimpulan semacam itulah yang mendorong kesombongan, kekafiran. Atau contoh lain : saya ini anak kyai, tentu lebih besar peluangnya masuk surga, dan contoh-contoh lain yang bisa anda kembangkan.

Atau kita membuat kesimpulan terbalik begini :”dia orang rusia, pasti ateis dan tidak masuk surga” atau “dia orang arab, pasti hafal quran, dan pasti dia baik”, dan berbagai contoh lainnya.

Dengan kebiasan menggunakan pengambilan kesimpulan semacam ini kita akan terjerumus pada iri, buruk sangka, dan akhirnya merendahkan orang lain, di sisi lain kurang memperhatikan kekurangan diri sendiri.

Sebenarnya al Quran mengajarkan beragam neraca/silogisme yang lurus dan adil (obyektif). Kita sering terkesima dengan silogisme yang diajarkan oleh aristoteles dan para filsuf lainnya. Dari kisah nabi Ibrahim kita akan menjumpai pelajaran filsafat dan logika yang mendalam, bagaimana Ibrahim menajukan pemikiran filosofinya dan silogisme ketika mencari Tuhan, bagaimana dia membungkam namrud ketika berdebat soal kekuasaan Allah. Dan masih banyak lagi.

Semoga kita dihindarkan oelh Allah dari logika-logika sesat ala iblis.

Allahummarhamny bil qur’an...waj’alhu lyy hujjatan Ya Rabbal ‘aalamiin

Wallahu ‘alamu bisshowab

Holiday atau Hari Libur

Hari ini adalah hari minggu, bagi yang lain menyebut ahad, untuk orang Inggris menamakan Sunday. Apapun sebutan yang diberikan, sebagian besar dari kita menyebut sebagai hari libur. Tapi bagi yang lain, bukan hari libur sebab masih sibuk dengan urusan pekerjaan. Pemahaman kita akan hari libur merupakan sisi lain dari pemahaman kita pada hari bekerja.

Di saat anda memaknai hari kerja (mungkin mulai senin sampai jumat), maka konsentrasi anda, waktu anda, keringat anda dikerahkan habis-habisan, pepatah menyebutnya membanting tulang memeras keringat. Ketika memasuki hari sabtu, maka dalam pikiran anda, adalah menebus segala beban pikiran kerja yang sudah dilakukan pada hari-hari sebelumnya. Tidak ada pikiran pada kerja, tidak perlu membanting tulang atau memeras keringat untuk pekerjaan. Semua ditinggalkan, dan diganti dengan kesenangan, rileks dan aktivitas yang ringan untuk memulihkan energi setelah terkuras. Dalam hal itu anda bisa melakukan banyak hal, mulai dari membaca, pergi ke puncak, ke kebon binatang, masak-masak, berkumpul dengan keluarga atau apa saja, yang penting tidak bekerja. Dengan demikian, hari libur adalah hari bebas kerja.

Jika kita mau meluangkan sedikit waktu untuk mengutak-atik soal istilah, hari libur adalah terjemahan dari Holiday. Padahal terjemahan seperti itu, jelas salah. Holi kan terjemahannya suci, jadi holiday ditranslate hari suci, bukan hari libur. Akhirnya menjad jauh sekali, kata suci diterjemahkan libur.

Saya tidak mencoba untuk mengarahkan bahwa hari minggu atau Sunday adalah hari suci, nanti dikira saya mengajak anda untuk murtad. Saya hanya ingin mengajak utak-atik untuk memaknai holiday sebagai hari suci, hari sakral, dimana awalnya adalah untuk membedakan secara sederhana antara dunia sakral dan profan. Bekerja dianggap sebagai aktivitas duniawi, aktivitas yang profan. Sedangkan hari dimana tidak bekerja adalah hari sakral/suci. Aktivitas ketika holiday adalah melakukan aktivitas ritual sakral untuk meninggalkan urusan duniawi.

Mungkin anda akan berontak, lha kita umat Islam kan punya hari suci, yakni Jumat? Sementara kita pada hari itu masih harus bekerja? Masak harus keluar dari sistem kerja seperti itu? Apa ya pada hari minggu kita ramai-ramai ke masjid? Akan banyak pertanyaan yang diajukan untuk mengkritisi pemikiran ini.

Maksud saya hanya simple. Bahwa pemahaman akan hari/waktu kerja anda akan menentukan pemahaman akan hari/waktu libur anda. Ketika anda benar-benar menganggap urusan duniawi, maka harus ada waktu/waktu yang benar-benar suci. Soal kapan, silakan cari dan sesuaikan dengan kesibukan anda. Kan ada dalam sehari semalam 5 waktu shalat, kalau masih kurang ada sholat duha, sholat tahajud, sholat rawatib, dan lain sebagainya. Anda tidak akan kekurangan untuk menyebutnya atau mencari patokan waktu libur anda.

Mungkin anda akan menjawab, “bekerja adalah ibadah buat saya, jadi tidak perlu waktu khusus untuk melakukan kesakralan, shalat tinggal dijalankan”. Ketika pemahaman bahwa bekerja adalah ibadah seperti, maka anda membutuhkan waktu untuk wuquf, berhenti sejenak. Anda bisa jadi bekerja seperti anda melakukan towaf, sa’i, melempar jumrah. Tetapi tetap harus ada wuqufnya. Bagi anda yang pada hari jumat longgar, maka lakukanlah dengan kelonggaran tersebut. Jika longgarnya, anda bisa lakukan kelonggaran pada hari tersebut. Atau hari apa saja. Dan Allah menyediakan waktu 24 jam untuk kita yang akan rehat sejenak dari hiruk pikuk urusan duniawi dan memfokuskan ritual sakral/suci.

Wallahu ‘alamu bisshowab

Shalawat adalah Cermin

Lailatul Ijtima’ (18) : Shawalat adalah Cermin

Dua kalimah syahadat mengajarkan kepada kita akan keberadaan Allah dan Muhammad. Kesaksian akan kedua hal tersebut dapat dibuktikan melalui berbagai rangkaian ibadah dan perilaku dalam kehidupan kita. Bahwa ketika anda disumpah dalam sebuah pengadilan menjadi saksi, maka keterangan yang anda sampaikan adalah keterangan di bawah sumpah. Kebohongan tentu akan menimbulkan tuntutan dan pidana atas pelanggaran sumpah yang diucapkan. Kesaksian harus didukung dengan pengetahuan, pengalaman dan kejujuran tentang apa yang disaksikan. Ketika anda tidak melihat, tahu tentang sebuah peristiwa, jangan sekali-kali memberi kesaksian atas peristiwa tersebut.

Demikian pula, syahadat sebagai ikrar kesaksian, maka dia membutuhkan kejujuran dan konsistensi kita akan apa yang kita ikrarkan. Maka dalam kerangka pemahaman demikianlah, seluruh aktivitas ibadah kita tujukan, yakni memperkuat kesaksian yang sudah diikrarkan. Tidak lebih dari itu.

Shalat merupakan salah satu bentuk kesaksian, bentuk pembuktian akan kebenaran kesaksian kita. Shalat berarti kita berdoa, mengharap berkah keselamatan atas kita kepada Allah. Shalat berarti bentuk latihan kita untuk semakin mendekat kepada Allah sehingga kita bisa berbisik-bisik dan mengaduh sedemikian dekat. Namun, yang demikian itu tidak mudah. Sebab Allah Maha Ghoib, sementara kita begitu besar dikendalikan oleh indrawi kita, sementara kekuatan ghoib kita, batin kita sering tumpul dan gelap untuk menyaksikanNYA.

Allah Maha Tahu akan kelemahan kita tersebut, oleh karena itu, kesaksian kedua, yakni pada Muhammad SAW sebagai rasulullah akan membantu kita untuk mencapai kesaksian keilahian (syahadat tauhid). Muhammad adalah manusia seperti kita, dari spesies manusia seperti kita. Tentu akan jauh lebih mudah memahami dan membuat kesaksian atasnya, jika dibandingkan dengan kesaksian atas Yang Maha Ghoib. Bagaimana untuk mencapai itu? Shalawat adalah kuncinya. Shalawat dalam pengertian bahasa adalah do’a, permohonan kepada Allah agar melimpahkan berkahNYA kepada Muhammad. Limpahan berkah Allah yang tumpah ruah kepada baginda Muhammad SAW, semoga juga meluber kepada kita. Demikianlah shalawat yang dipahami sebagai do’a.

Anda tidak salah memahami shalawat seperti itu. Tetapi, melalui tulisan ini, saya mencoba memahami shalawat seperti cermin (kaca benggala), wasilah (perantara) buat diri kita. Jika shalat dipahami sebagai upaya untuk mendekat kepada Allah SWT, maka shalawat juga kiranya dipahami sebagai upaya mendekat kepada Muhammad SAW. Semakin kita banyak membaca shalawat tentunya kita semakin mengenal kepada Muhammad, menjadikan beliau inspirasi, menjadikan sebagai cermin perikehidupan kita. Kita bisa belajar melaluinya, kita bisa mendekat kepada Allah SWt seperti Muhammad SAW melakukannya.

Mungkin anda sudah pernah melampaui jumlah yang sangat banyak dalam membaca shalawat, apakah shalawat nariyah, atau shalawat2 lainnya yang jumlahnya beragam dan banyak. Tetapi pertanyaanya adalah, sudah demikian banyakkah wawasan kita, pemahaman kita akan Muhammad sebanyak shalawat yang sudah kita baca dan wirid?  Ataukah justru terjebak pada kepentingan sesaat dengan atas nama “pendekatan kepada Muhammad’? padahal kita tidak dekat sama sekali.

Mungkin kita bisa berlatih, satu bacaan shalawat mengingatkan kita satu contoh sifat atau perilaku Nabi Muhammad yang kita pegang, jika 10 shalawat maka akan ada 10 contoh yang dapat kita ambil pelajaran. Maka dengan demikian, kita akan memujinya, mendedikasikan kepada beliau, “anta syamsyun anta badrun, anta nuurun fauqo nuuri...” (engkaulah matahari, engkaulah rembulan, engkaulah cahaya di atas cahaya yang menjadi penerang dan penunjuk bagi kehidupan kita, baik di saat malam/gelap ataupun terang.

Wallahu ‘alamu bisshowab





Kucegah diriku berpoligami

Berita perceraian Aa Gym dengan teh Ninih telah menyedot perhatian banyak orang. Apalagi kaum hawa tentu suka sekali untuk mendiskusikannya. Ada sebagian yang bilang,”tuh...kan...Ay Gym selama ini bohong...Aa Gym tidak adil, ternyata lebih memilih istri muda yang lebih cantik dan seksi..” ada lagi yang mengomentari “mana ada wanita yang suka rela dimadu?...tanpa cemburu”. Dan masih banyak lagi komentar, baik yang kritis, santun, santai, kasar dan sebagainya.

Buat saya, kejadian itu wajar-wajar saja. Jika Aa Gym bercerai itu wajar, sebab dia memang menikah. Dia manusia biasa sama seperti kebanyakan lelaki lainnya bisa nikah juga bisa cerai. Teh Ninih cemburu, ya wajar-wajar saja. Memang begitulah, mana bisa seketika rela setelah sekian lama membangun mahligai rumah tangga dengan susah payah, harus berbagi cinta dengan lainnya.

Poligami adalah isu sensitif yang menguras banyak energi untuk perdebatan dan diskusi. Bagi pihak yang setuju, maka diajukanlah dalil-dalil hingga bukti-bukti bahwa poligami itu sangat bermanfaat serta solusi atas berbagai persoalan kemasyarakat. Namun, bagi mereka yang tidak setuju, akan menentang habis-habisan serta didukung oleh hujjah-hujjah yang tidak kalah validnya, mulai dari Nash Al Qur’an, hadits dan bukti pengalaman.

Memang dalam Nash Al Quran, surat An Nisa’ : 3) laki-laki diperbolehkan kok menikahi lebih dari satu wanita. Ini adalah ketetapan. Dan tidak boleh bagiku untuk menganulir atau menafikan. Ya memang boleh. Tapi sungguh Allah memberi peringatan kepada kita, karena begitu sayangnya sama kita. ”jika kalian takut tidak akan dapat berlaku adil, kawinilah seorang saja..” nah inilah warning Allah.

Apakah kita orang yang suka berlaku adil? Apakah kita berhati-hati untuk berlaku adil? Maka dari itu jauh lebih baik untuk tidak melakukan poligami. Inilah bahasa Allah untuk mengajak kita berpikir, merenung, menata niat yang sungguh-sungguh ketika hendak melakukan poligami.

Bagiku, maka pilihan untuk tidak berpoligami adalah sebuah keputusan yang mendasarkan pada warning tersebut. Jika selama dengan yang satu saja kita masih belum merasa adil, belum merasa bisa membahagiakan, belum bisa membimbing dengan tuntas, mana mungkin keadilan akan bisa dijalankan dengan yang lebih dari satu. Jika masalah dengan satu istri saja kita seringkali berantem, berselisih pendapat, mana mungkin lebih dengan lebih dari satu bisa mencegahnya?

Allah sungguh menghendaki kita dewasa dan jujur dalam urusan pernikahan. Peringatan Allah tersebut seperti diperbolehkannya perceraian, namun Allah tidak menyukainya. Siapa bilang cerai dilarang? Tidak sama sekali. Tapi ingat, Allah tidak suka dengan hal itu. Maka renungkanlah dengan masak-masak sebelum mengambil keputusan bercerai.

Pada akhirnya, jika menikah dengan satu istri saja belum tentu mendapatkan sakinah, mawaddah wa rohmah, apalagi dengan lebih dari satu? Jika satu istri satu masalah, maka semakin banyak istri semakin banyak masalah tentunya bukan? Jika sudah tidak cocok dengan istri dan Allah tidak suka jika bercerai, maka yang terbaik adalah, bagaimana membina yang sudah ada saja.

Memang tidak mudah menata rumah tangga, wong baru menata rumah saja susah, apalagi menata (hubungan dengan) tetangga? Tapi disitulah letak ibadahnya, yakni dalam proses berumah tangga. Jika nikah itu ibadah, maka proses membentuk dalam rangka sakinah itulah ibadah, jerih payah yang membutuhkan banyak perjuangan dan pengorbanan.

Tapi kalau toh, hendak berpoligami, saya tidak melarang atau mengharamkan. Wong Al Quran saja tidak ada larangan. Hanya buat saya, lebih baik mencegah diri sendiri untuk berpoligami, untuk menghindari perbuatan zalim, sembari menikmati dan mensukuri apa yang sudah ada.

Wallahu ‘alamu bisshowab





Oalaah ..Sodrooon...Sodron

Temanku tiba-tiba datang menghampiriku dengan wajah kusut dan nampaknya mempunyai sejumlah masalah. Dia Sodron, begitu aku biasa memanggilnya. Kepadaku hanya ingin meminta nasehat atas beberapa persoalan yang sedang dihadapi.

“Kawan...” begitu ia memulai ceritanya. “Aku sudah capek, sumpek, judeg. Kenapa kok dak kaya-kaya? Padahal aku sudah rajin sholat dhuha, wirid Ya Ghoniyyu, dan lain-lainnya”.

Ahaa...dia rupanya kesal dengan riyadhoh (tirakat) yang dijalaninya belum membuahkan hasil.

“Kurang serius kali...” jawabku sekenanya. “Ah...aku sudah serius. Sudah berusaha memenuhi ketentuan2nya, syaratnya, waktunya, jumlahnya bahkan wasilahnya juga detail sudah. Khusyuk lagi. Tapi apa? Sudah lama kok dak ada hasil?”

Wah..kelihatannya serius banget (gumamku). Tidak bisa dijawab dan dijlentrehkan dengan dalil apalagi hikmah. Tanpa pikir panjang kujawab :

“ya kalau mau kaya ya belajar sama kapitalisme. Belajar sama Adam Smith atau siapa, pokoknya kapitalisme, jangan dengan tirakat begitu”.

“Ah...ya dak bisa donk. Kapitalisme kan yang melahirkan imperialisme, penjajahan. Aku tidak mau disebut sebagai penjajah dan dicatat sebagai leluhur penjajah atau antek-antek penjajah oleh anak cucuku kelak”.

Dia menolak saranku, dan masih melanjutkan persoalannya. “karena kondisi itu, aku jadi tidak tenang, hati ini gelisah terus. Apakah aku harus meneruskan riyadhohku atau berhenti dan mencari cara lain, asal tidak kapitalisme. Mungkin pesugihan...ha ha ha. Yang jelas batinku semakin tidak menentu”

Wah-wah kalau ini dituruti dengan jawaban akademis dan ilmiah bisa berantem, “wes, kalau gitu kamu belajar kebatinan, agar batinmu bisa tenang,” jawabku langsung.

“Kamu ini dak tahu aku saja. Aku ini lama belajar fiqih, belajar syariat, belajar agama, masak kamu suruh belajar kebatinan. Apa dak mengorbankan keimananku? Apa dak menjerumuskanku pada syirik? Kalau Cuma mbatin dan mbatin, lha terus kapan kayanya? Malah tidak tenang batinku”.

Dia masih saja mempersoalkan kekayaan yang jadi pokok pangkal persoalannya. “Lha terus bagaimana?”, tanyaku.

“begini lho...aku jadi tidak mengerti, persoalan datang silih berganti. Kalau diitung, enak sama tidak enaknya, masih banyak tidak enaknya. Enak dikit, datang masalah tidak enak yang buanyak. Kayak lingkaran setan, muter terus menerus...”

Dia terus menumpahkan perasaannya, kekesalannya, dan segera kupotong,”lha gimana kalau kamu belajar Budhisme, belajar dari Budha Gautam?”

“Apa???” (sambil mendelik), “kamu ini keterlaluan...mosok aku orang yang sudah sejak lahir belajar Islam suruh mempelajari Budha?, kamu nyuruh aku murtad??”

“bukan begitu bro...kamu kan ngeluh soal lingkaran kesusahan, dan di Budha mengajarkan cara mengatasi itu...kalau dak mau ya sudah...”

“lha gimana, wong dari tadi, dengan cara sholat, zikir saja kamu frustasi kok...kan siapa tahu mencoba yang lainnya bisa paham...” (pembelaanku).

“Iya..ya..tapi ya jangan sampai ke sana lah solusinya...tapi aku sendiri jadi heran kok mengapa ya, mereka yang dak beriman hidupnya enak-enak, kaya-kaya. Malah mereka yang suka maksiat atau melakukan kejahatan kok hidup makmur bergelimang harta?”

Langsung aku timpali saja, “bagaimana kalu jadi atheis sekalian?, malah sudah total itu maksiatnya. Siapa tahu hidupmu menjadi lebih makmur dan kaya raya, seperti yang kau lihat dan sangkakan?”

“Ueadan...kamu malah memberi saran yang terlalu sesat dan menyesatkan”, dia mulai tambah ngamuk. “Dari tadi sarannya kok aku disuruh keluar dari keyakinanku, agamaku?, maksudmu apa?”

“lho aku tidak bermaksud apa-apa kecuali mencba memahami dirimu. Bagaimana bisa aku memberi saran sedangkan aku tidak paham akan dirimu dan masalahmu?”

Kupikir-pikir lama-lama aku bisa berantem sama dia, soalnya dak ada yang masuk dalam pikiran dia. Semua saranku ditelan mentah-mentah. Ah semoga jurus terakhir ini bisa menghentikan dia.

“ya sudah lah. Eh kamu tadi ke sini sudah pamit sama istrimu tidak?” tanyaku. Soalnya ketika dia ke tempatku aku tahu istrinya belum pulang dari kerja.

“memang ada apa? Tanyanya. “Ini saranku terakhir ya...kamu pulang saja lah..nanti kamu temui istrimu, ajaklah dia bercinta (making love), dan bisikkan kepadanya : dik ajaklah aku ke surga...semoga kamu bisa ketemu surga. Sebab seluruh ibadahmu, tirakatmu yang kau lakukan dengan benar, Allah memberi janji surga kelak di akhirat. Jika kamu tidak sabar, maka surga istrimulah yang bisa menentramkan kegelisahanmu, bisa membantumu menguraikan masalah yang sedang kauhadapi saat ini...sebab Rasulullah Muhammad SAW pernah memberikan contoh kepada kita di saat beliau begitu guncang hatinya di gua hiro waktu pertama kalinya mendapat wahyu “Iqro’” dan kepada istrinya lah dia kembali dan itu dia dapatkan”

“oh...begitu ya???. Memang aku kurang perhatian pada istriku, aku terlalu sibuk berdoa, berzikir, sholat sehingga aku lupa padanya....oh terima kasih kawan....”

Oalaaah...Sodroooon...Sodron. Kalau gak kuat nahan ya jangan sok ditahan-tahan dengan berlindung dibalik tirakat....

Wallahu ‘alamu bisshowab

LailIkhlas? Ya Surat al Ikhlas

Surat Al Ikhlas

Inilah salah satu nama surat dalam Al Quran yang dulu sempat mebuatku merasa ganjil dan aneh. Mengapa tidak? Biasanya yang kuketahui nama surat diambil dari kalimah (kata) yang ada dalam surat tersebut. Tetapi surat ini diberi nama dengan tidak mengambil kalimah (kata) yang ada dalam surat tersebut. Cobalah kita teliti satu persatu kata dalam surat tersebut, tidak satupun menyebut kata ikhlas.

Qul huwa Allahu Ahad

Allahu as-shomad

Lam yalid wa lam yuulad

Wa lam yakun lahuu kufuwan ahad

Sebenarnya kasus surat ini sama anehnya dengan Surat Al Fatihah, dimana nama surat juga tidak menyebut kata yang ada dalam surat tersebut, yakni Fatihah. Mungkin ada jawaban yang simpel dan mengenai, yaitu karena surat tersebut terletak pada awal kitab atau bisa disebut sebagai surat pembuka, dalam bahasa Arab disebut Al Fatihah.

Kembali kepada surat al ikhlas. Lantas hikmah apa yang bisa diambil dari nama tersebut yang tidak mengambil dari kata dalam surat tersebut? Saya mencoba tidak membahas mengenai sejarah pemberian nama surat tersebut (sebab saya tidak mengetahui persis sejarah itu). Menuju pada hikmah adalah jalan yang baik buat saya untuk mendapatkan ilmu, wawasan serta pemahaman yang bisa kupahami dalam akal logisku sehingga surat tersebut bisa menjadi bermakna buat diriku sendiri tanpa harus merusak terjemahan ataupun tafsir yang ada.

Selama ini anda sulit mendapat definisi tentang ikhlas? Atau sulit memahami tentang ikhlas? Maka dalam surat inilah sebenarnya jawaban tentang apa itu ikhlas. Mari kita simak baik-baik, “ Katakanlah (yakinkan pada diri anda sendiri dengan menyuruh batin anda mengatakan, mengakui) bahwa Dialah Allah yang Esa/Tunggal. Allahlah tempat bergantung segala sesuatu”. Cukupkan di sini dulu. Hanya dua ayat. Rasakan, hayati. Bahwa Allahlah bergantung segala sesuatu, apa saja, keberadaan sesuatu, terjadinya peristiwa, berlakunya nasib, takdir semua bergantung pada Allah. Apakah ada yang lain? TIDAK. Hanya DIA yang Esa meliputi segala sesuatu itu. Pahamilah, apapun yang menimpa diri anda, yang berlaku pada anda, berjalan melalui anda adalah bergantung padaNYA. Nafas anda, kesehatan anda, rezeki anda, nasib buruk anda, sakit anda dan lain sebagainya semua bergantun padaNYA. Tidak ada sebab selain DIA. Jika anda sudah mampu menerima ini dalam keyakinan anda, maka anda akan secara perlahan memahami apa itu ikhlas. Oh...ini to yang dinamakan ikhlas. Lepaskan logika anda untuk sementara, kuatkan hati anda untuk meyakini ini semua. Memang akan ditemui berbagai konflik batin, kebimbangan hati, penderitaan yang kuat, namun itu semua belumlah akhir dari segalanya. Teruskan dalam memahami kejadian sehari-hari anda. Terus dan terus. Semakin kuat anda melampau itu semua berbekal keyakinan Allahu as-shomad, maka anda akan menemukan definisi ikhlas yang semakin dalam. Kedalaman ikhlas yang anda pahami akan sangat tergantung dari proses ini (bukan pada ucapan “saya sudah ikhlas”). Dan ini bisa jadi tidak akan ada batasnya, sebab semakin dalam anda menyelam dalam samudra kehidupan, baik lahir dan batin, akan semakin banyak ombak dan batu karang yang menghalangi. Di setiap tahapan akan anda temukan definisi ikhlas yang sesuai dengan tahapan yang anda lalui.

Dengan berbekal dua ayat tersebut, maka ayat selanjutnya adalah penegasan, “bahwa Allah (yang menjadi tempat bergantung segala sesuatu) bukanlah Zat yang melahirkan (menduplikasi) zat-zat yang sebanding dengan dirinya. Saya memahaminya Allah bukan sebagai intervening dari rangkain kalusa sebab-akibat. Demikian pula sebaliknya Allah “juga tidak dilahirkan (disebabkan) oleh zat lain”, sebab Allah “tidak ada yang serupa denganNYA”.

Jika anda sakit, obat atau jamu yang anda minum atau air putih sekalipun, sehebat apapun, dari pabrik tercanggih manapun semuanya hanyalah “lantaran” atau sebab (bukan yang sebenarnya) perantara untuk kesembuhan anda. Rezeki yang datang kepada anda melalui jalan apapun juga demikian. Perusahaan anda, atasan anda, karya anda atau apapun itu hanyalah perantara. Demikian pula ketika rezeki itu hilang, apakah melalui maling yang mencuri, atau lupa yang menimpa anda, atau berpindah tempat, semuanya adalah perantara.

Jika kita yakin bahwa Allah adalah sebab itu semua, mengapa kita tidak berusaha menerimanya? Bukankah itu semua adalah milik Allah? Berasal dariNYA? Dan milikNYA?

Jika kita sudah ridho Allah sebagai Illah (Tuhan) yang Esa, mengapa kita harus memilih apa yang dipilihkan olehNYA? Mengapa harus mengatur DIA untuk berbuat ini atau itu yang sesuai dengan keinginan kita?

Bukankah lebih bijak dan arif jika kita berusaha memahami apapun kehendakNYA dan berusaha menerima apapun pemberianNYA? Bukankah itu jalan yang membimbing kita menuju ikhlas?

Semoga Allah membimbing kita menemukan keikhlasan diri kita masing-masing

Wallahu ‘alamu bisshowab



Sebuah Dialog

Ya Allah ijinkanlah aku banyak tanya KepadaMU Beri pula aku akan jawaban-jawabanMU Ud’uuny astajib lakum... demikianlah Engkau menjamin padaku Apakah shalatku memasukkanku ke dalam surgamu? TIDAK, itu terjadi hanya karena belas kasihKU Apakah dzikirku menjagaku dari godaan syetan? TIDAK, itu terjadi hanya karena Aku memang dekat denganmu Apakah puasaku menghindarkanku dari api neraka? TIDAK, itu terjadi hanya karena AKU yang melindungimu Apakah sedekahku menjauhkan dari bala’? TIDAK, itu terjadi hanya karena AKU memberi kesempatan (ampunan) kepadamu Apakah zakatku membersihkan hartaku? TIDAK, itu terjadi hanya karena AKU yang mensucikannya Apakah hajiku....(maaf tidak kuajukan, karena aku belum berhaji) Aku tahu, TIDAK, itu terjadi hanya karena panggilanKU Apakah duhaku menjamin rezekiku? TIDAK, itu terjadi hanya karena AKU Maha Kaya Apakah tahajudku meninggikan derajatku? TIDAK, itu terjadi hanya karena AKU Maha Tinggi Apakah sholawatku mendatangkan syafaat bagiku? TIDAK, itu terjadi hanya karena AKU mengabulkan pemintaan kekasihKU Apakah bacaanku quranku menambah ilmuku? TIDAK, itu terjadi hanya karena AKU Maha Pandai Apakah hajatku Engkau penuhi? YA, asal hanya AKU yang engkau hajatkan Lantas, untuk apa semua itu, jika jawabannya TIDAK? Itu semua agar kamu mengenalKU melalui sebutanKU yang banyak Hingga kau mampu memahami sifat dan af’al KU Itu semua agar kamu mengenal dirimu melalui ketidak berdayaanmu Hingga kau mampu memahami statusmu sebagai hamba

Do'a buat Anak Kita

Lailatul Ijtima’ (14) : Do’a buat Anak Kita Seringkali kita mendengar atau bahkan kita sendiri mengucapkan do’a untuk anak-anak kita yang kira-kita bunyinya begini : “...semoga anak ini berguna bagi bangsa, negara dan agama...”. Atau mungkin sedikit tambahan atau versi pelafalan do’a tersebut. Secara sekilas awalnya doa itu buatku wajar-wajar saja, tidak ada yang aneh. Dari dulu yang sering kudengar ya seperti itu. Namun lambat laun, mulai terasa ada yang aneh dalam ucapan do’a tersebut, khususnya ketika aku sudah mempunyai anak sendiri. Berguna buat bangsa okelah aku pahami suatu saat kelak, anakku bisa memberi andil dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Apapun peran yang diambil dan diberikan. Skope bangsa atau negara bisa lebih diperkecil, bagi masyarakatnya, bagi tetangganya atau bagi teman-temannya. Yang lebih spesifik bisa berguna bagi saudaranya, keluarganya. Ketika masuk kalimat berguna buat agama...waduh...aku membayangkan...peran apa ya yang bisa dimainkan anakku kelak buat agamanya? Andil apa yang bisa disebut berguna buat agama? Apa jadi kyai termasuk berguna buat agama? Bukankah kyai adalah gelar atau sebutan penghormatan dari masyarakat kepada seseorang yang berjasa buat masyarakat (khususnya dalam bidang agama). Apa ya anakku harus berteriak-teriak...Allahu Akbar...dijalanan...dengan bersemangat membara dengan semboyan “hancurkan orang kafir”, “kita bela Islam”, “Kita bela Allah” dan sejenisnya? Aku jadi takut. Jangan-jangan anakku jadi beringas dan berambisi berebut pengakuan akan peran yang besar. Sehingga berlomba-lomba menjadi syahid..sebuah kewajiban menghancurkan orang kafir demi tegaknya Islam. Sungguh tidak kukehendaki model begitu. Padahal do’a yang kita ucap dengan tujuan adalah untuk kebaikan yang kita do’akan. Sebenarnya tidak ada do’a yang jelek. Kalau jelek berarti bukan do’a namanya, tapi sumpah serapah, umpatan, kutukan (kalau kita emang sakti). Aku mulai berpikir, bukankah Islam diturunkan buat manusia agar hidupnya didunia bisa selamat sampai kehidupan akhirat kelak? Islam diturunkan sebagai ajaran yang menyelamatkan, sebuah solusi kehidupan bagi umat manusia? Apakah Islam membutuhkan peran kita? Atau sebaliknya kita membutuhkan Islam sebagai penerang dan jalan hidup yang selamat? Harusnya do’a yang kita ucapa adalah “semoga agama berguna buat anakku”. Ya...anakku kelak akan menghadapi banyak macam kehidupan, menghadapi banyak ideologi, banyak pemikiran, banyak cara hidup. Hanya berharap dan mendoakan semoga agama Islam lah yang dipilih dan digunakan dalam kehidupannya kelak. Islam digunakan dalam menghadapi berbagai problem kehidupan. Dengan begitu, Islam benar-benar bermanfaat buat anak-anakku. Dan itulah yang dikehendaki Allah atas diturunkannya Islam buat manusia. Ketika diri kita, anak-anak kita, tetangga kita, saudara kita mampu menjadikan agama berguna bagi kehidupannya, pada hakekatnya kita menegakkan kalimah Allah di bumi dan membesarkan Islam (lii’laa’i kalimatillah wa izzul Islam wal muslimiin). Dakwah adalah proses untuk mengajak, memberi contoh dan menyampaikan akan kebenaran Islam yang sudah menjadi bagian hidup kita, menjadi jalan hidup kita. Ketika kita bisa membuktikan manfaat agama buat kita, siapa tahu orang lain akan mencoba membuktikan juga. Semakin banyak yang membuktikan, maka semakin besar Islam dijayakan oleh orang Islam sendiri. Tidak perlu berteriak-teriak yang memekakkan telinga dan mencari dalil buat mereka yang tidak percaya akan dalil yang kita ajukan. Tak perlu meledakkan mercon atau bom untuk membuktikan bahwa Islam adalah benar dan mulia. Kebenaran Islam akan dibuktikan oleh orang-orang yang mau menjadikan Islam sebagai jalan hidupnya, berusaha mencari kegunaan Islam bagi hidupnya. Kemuliaan Islam akan tercermin melalui para pemeluknya yang sungguh-sungguh dalam pembuktian akan kebenaran Islam. Jadi kemuliaan Islam bergantung akan kemuliaan pemeluknya. Semoga anak-anak kita mulia karenanya (Islam).

Wallahu ‘alamu bisshowab

Shalat Hajat

Hajatku beribu-ribu

yang kutuju hanya Satu

Keinginanku bernafsu-nafsu

ingin ini dan itu

mau ini mau itu

Kebingunganku berliku-liku

harus yang ini apa itu

baik yang ini atau itu

Maksudku bertuju-tuju

Hendak ke sana dan ke situ

Mencapai sana dan situ

Keyakinanku penuh ragu-ragu

Mencoba satu atau yang selain itu

Berkesperimen ini atau kata si anu

Pandanganku penuh tipu-tipu

Kelihatan ini namun sebenarnya itu

Tampak tak ragu padahal semu

Oh....hajatku

Apa ini nafsu atau maksud yang lugu...

Oh...hajatku

Hendak kemana engkau menuju

Oh...Gustiku

Duh...Pengeranku

Bimbing aku hanya berhajat kepadaMU

Neraca Amal

Lailatul Ijtima’ (12) : Neraca Amal

Bisa jadi banyak manusia yang mempunyai kebiasaan seperti Madit Musyawaroh Orang Terlanjut Kaya (karakter dalam sinetron berjudul Islam KTP), yaitu mencatat amal kebaikan yang dilakukan. Setiap perbuatan yang mendatangkan pahala ia catat. Sementara amal perbuatan yang mendatangkan dosa tidak dicatat. Kebaikan berpahala menjadi sesuatu yang sangat berharga, karena pahala, karena beratnya timbangan pahala tersebut.

Atau yang agak lebih fair adalah berusaha mencatat atau mengingat dua-duanya, yaitu pahala dan dosa. Semua ditimbang, diperhitungkan mana yang lebih besar. Ketika menemukan bahwa hari itu mempunyai timbangan pahala yang lebih berat, maka melegakan. Sementara ketika mengetahui akan timbangan dosa yang lebih berat, maka menyedihkan. Bahkan jika perlu menangisinya. Maka untuk menutup itu semua dia mencoba memperberat sisi timbangan pahalanya agar seimbang (minimal) atau lebih berat.

Mungkin malah sebaliknya, ada orang-orang tertentu yang hanya mencatat perbuatan berdosa. Amal yang berpahal tidak dihiraukan. Yang terjadi akibatnya adalah sangat tersiksa dan frustasi untuk berbuat kebaikan yang berpahala, karena merasa dosanya sangat menumpuk.

Semua itu bagi mereka yang memandang neraca amal ibarat neraca/timbangan beras, atau timbangan emas. Selalu ada dua sisi yang berbeda yang dilawankan, sisi kanan atau kiri. Pernahkan anda membayangkan bahwa neraca amal itu seperti timbangan berat badan yanh lazim digunakan di klinik-klinik. Tidak ada dua sisi (yang ditimbang dan yang mengukur/menimbang), tetapi berat dicatat melalui angka penunjuk. Bertumpuk menjadi satu, yaitu berat saja. Biar lebih modern, petunjuk dimunculkan melalui model digital.

Persoalan timbangan amal, bagi manusia adalah sebuah dilema. Problematika yang rumit dan menggelisahkan. Apapun itu. Sampai-sampai Abu Nawas membuat syair yang sangat terkenal

Ilahii lastu lil firdausi ahlahu

Wala aqwa ala annaaril jahiimi

....dzunuuby mitslu a’adadirrimali

Fadzanbyy zaaidun kaifa ihtimaali...

.......

Bagi saya, berusaha memahami neraca amal tersebut adalah neraca seperti timbangan berat badan itu, meski sebenarnya juga tidak persis sekali. Sebuah syair lagu....”hati adalah cermin, tempat pahala dan dosa ....”

Ya...hati itulah alat yang diberikan oleh Allah SWT kepada kita untuk berlatih menimbang amal diri kita. (soal mizan/neraca yang hakiki, yang tidak pernah dan akan keliru itu menjadi milik Allah SWT). Kita bisa berlatih menimbang, menghisab diri kita sendiri sebelum dihisab yang sebenarnya. Hati kita ibarat cermin yang bersih cemerlang yang mampu memantulkan cahaya dengan jelas. Dengan perbutan dosa, maka cermin itu telah kita tutup dengan sebuah noktah hitam yang jadi penghalang, menjadi perusak fungsi cermin. Semakin sering, maka semakin tebal dan meluas warna hitam tersebut. Sementara amal sholeh (berpahala), maka dapat diibaratkan sebagai pembersih, penghapus noda hitam tersebut.

Semakin kita rajin membersihkan, maka anda akan semakin memahami bagaimana kecermelangan cermin itu. Seorang cleaning service yang malas tentu tidak akan tahu bedanya kaca yang bersih benar-benar bersih dengan kaca yang kelihatan bersih.

Semakin anda kuat dan mendalami istighfar, maka akan semakin menyadarkan bahwa ternyata cermin kita sudah demikian kotor. Bahkan kita akan mampu dan tajam dalam melihat setitik debu sebagai sesuatu yang mengotori cermin tersebut.

Permasalahannya adalah, apakah debu itu kita anggap sebagai pembersih atau sebagi kotoran hati? Jika kita salah menilai, maka dosa kita anggap pahala dan sebaliknya.

Itulah dialektika, dilema, roda, yang selalu berputar dan rutin kita jumpai dalam hidup kita. Tapi itulah satu-satunya jalan untuk memahami. Itulah jalan yang harus dilalui. Anda tidak akan mampu menemukan warna abu-abu, jika belum mengetahui warna hitam dan putih. Anda tidak akan menemukan warna pelangi, jika anda tidak akan mengetahui warna merah, kuning, hijau, biru dan ungu.

Wallahu ‘alamu bisshowab

Kidung Padange Ati

Dulu, kala saya masih tinggal di kaki gunung Slamet ada salah satu kidung pujian yang kusuka untuk didendangkan. Kira-kira begini...allaahumma sholly alaa Muhammad, abdika, wa rosulika, wa nabiyyika, nabiyyil ummy...Gusti kulo nyuwun padange ati..ya Allah..witing iman, godhong sahadat, kembang sholawat...pentil zikir, wohe puji-pujian, Ya Allah, Amiin, Amiin, Ya Allah Rabbal aalamiin...

Yah...aku begitu suka, bisa jadi karena kidung itu saja yang aku hapal dan pede untuk kudendang ketika menunggu imam hendak shalat magrib. Jadi aku bisa lancar melafalkannya. Tapi, jujur aku sangat suka dengan syair bahasa Jawanya. Entah siapa yang mencipta syair kidung tersebut. Aku tidak tahu. Yang jelas itu kuperoleh dari masyarakat di kaki gunung Slamet, bahkan di tempat asalku di pesisir tidak kudapat ketika aku kecil.

Ada sebuah pencerahan melalui sebuah perumpaan yang digambarkan oleh syair tersebut tentang keimanan. Iman diibaratkan dengan wit (batang pohon). Keimanan seseorang diibaratkan sebuah pohon, dan batang tersebut adalah iman sebagai penyangga pokoknya. Sedangkan daun melambangkan syahadat. Mati hidupnya sebuah pohon ada pada daunnya. Ketika daun itu rontok, maka menunjukkan gejala sekarat (meranggas). Jika pohonnya sehat dan kuat diikuti oleh lebat dan segarnya daun. Artinya, syahadat seseorang yang kuat akan menjadi perlambang hidupnya iman dalam hati. Demikian pula sebaliknya.

Sholawat diibaratkan oleh kembang (bunga). Ya kecintaan kita kepada Rasulullah SAW melalui pujian sholawat melambangkan iman yang berkembang, yang berhias dan semakin indah dilihat. Pohon tersebut tidak sekedar hidup tetapi sudah menunjukkan adanya bakal buah (pentil) sebagai lambang zikir, dan tentu bakal ada manfaatnya sebuah pohon (diri). Manfaat tersebut serasa lengkap jika diakhiri dengan buah (woh-ing) puji-pujian kepada Allah. Hidup kita diabdikan untuk yang lain dengan tujuan memuji Allah. Itulah manfaat diri dalam kehidupan yang berasal dari akar kuat yang melekat dalam batang pohon keimanan.

Dengan sederhana kidung tersebut mengajarkan kepada kita bahwa keimanan akan nampak terasa dan lebih dirasakan keberadaannya ketika dia membawa manusia menjadi manfaat untuk yang lainnya. Ini pulalah yang disebut Rasul SAW, ...khoirun naas, anfa’uhum linnaas...

Masihkah kidung itu dinyanyikan oleh anak-anak di sana? Aku yakin masih dan semoga membawa pencerahan buat yang mendengar dan mengumandangkannya, terlepas anda setuju atau tidak melagukan puji-pujian menjelang shalat berjamaah di musholla atau masjid.

Wallahu ‘alamu bisshowab

Semut Hitam Berjalan di Atas Batu Hitam

Judul tulisan ini yang lengkap adalah “Semut hitam berjalan di atas batu hitam di tengah gelapnya malam”. Kalimat ini begitu terpatri dalam benakku sekian lama. Kalimat itu, persisnya pertanyaan, diajukan oleh Abuya Abdurrahman kepadaku di suatu ketika, yang mana beliau sempat bikin heboh Surabaya, disaat Surabaya juga diguncang isu ninja. Saat itu aku pulang kepagian ke kos, dan aku mampir di sebuah masjid, ternyata juga pondok, dan dengan tiba-tiba beliau memberi pertanyaan tersebut dan diminta untuk menguraikan maksudnya. Lha wong saya ndak ngerti, ya aku jawab secara diplomatis (he he he) bahwa yang nanya jauh lebih mengerti maksudnya.

Kalimat tersebut bagi anda mungkin sudah tidak asing lagi. Apalagi anda yang suka dan bergairah dalam menyelami samudra ilmu hikmah. Kalimat itu sebenarnya sebuah kiasan, sebuah perumpaan terhadap sesuatu. Ya semut sebagai kiasan dosa yang bersemayam dalam hati (batu hitam) di tengah kegelapan malam (tidak ada pencerahan). Secara bodoh, kalimat itu akan mengundang jawaban :” ya tidak kelihatan semutnya donk...”. Memang semutnya tidak kelihatan. Itulah perumpaan dosa yang menempel dalam hati kita, yang seringkali kita tidak sadari, tidak bisa kita hitung dan liat dengan terang benderang. Padahal, banyak ulama sudah menerangkan penyakit hati (dosa hati) yang jumlahnya demikian banyak dan bisa jadi sering kita lakukan tanpa kita ketahui dan sadari.

Sendainya anda menggunakan ukuran global dan gampangan mengenai definisi dosa dengan batasan “segala sesuatu yang menjauhkan dari Tuhan (Yang Kuasa- adoh karo sing kuoso)”, maka banyak sekali aktivitas dan uneg-uneg kita sudah masuk kategori dosa. Buanyak sekali bagaikan buih dilautan. Atau mungkin anda menggunakan definisi lainnya. Silakan saja. Saya yakin anda akan tetap menjumpai dosa yang begitu banyak dalam diri.

Semua itu sering kita abaikan, karena kalpaan atau kesibukan dalam urusan lain (bahasa jawanya ketungkul ngurusi lian), sering kita tidak akui, atau sering kita anggap dosa kecil (padahal yang namanya dosa, kecil apa besar ya tetap dosa) sehingga tidak perlu diperhatikan. Kondisi demikian yang terus menerus dan berulang sekian hari, sekian bulan dan sekian tahun, maka membuat hati kita seperti batu hitam dan kegelapan malam yang menghalangi pandangan akan semut (dosa) yang jumlahnya demikian banyak.

Baru-baru ini seorang sahabat menuturkan bahwa sebuah titik hitam yang ada pada dinding bercat putih, akan nampak putih terang dalam keadaan gelap gulita (peteng det det). Beliau sudah membuktikan itu ketika diuji dalam ketajaman mata batinnya. Katanya semakin tajam maka akan semakin jelas titik hitam tersebut terlihat sebagai cahaya putih. Ini bisa jadi memberi pelajaran kepada kita bahwa untuk mampu melihat semut hitam di atas batu hitam di tengah gelapnya malam hanya akan mudah dilihat jika kita berlatih dan berlatih mempertajam batin kita.

Anda ingin membuktikannya...sumonggo....

Wallahu ‘alamu bisshowab

Diakhiri kalimah Laa ilaaha illallaah

Nabi Muhammad SAW pernah menegaskan .”barang siapa diakhir hidupnya, kalimah yang terakhir adalah laa ilaaha illallah, maka dia masuk surga”.

Sungguh yang sangat, bahwa kematian adalah salah satu rahasia yang besar dan begitu sulit untuk dijlentrehkan kejadiannya. Terlebih lagi menyangkut hembusan terakhir atau ucapan yang benar-benar terakhir keluar dari lubuk hati dan terlisan melalui mulut. Sebab kematian menyangkut ruh, menyangkut perjalanan ruh, menyangkut garis batas ruh menempuh perjalanan. Ruh adalah urusan Allah SWT, dan sangat-sangat sedikit sekali yang diketahui oleh manusia.

Alangkah indahnya jika akhir dari ucapan kita adalah seperti itu. Alangkah agungnya kematian kita bisa mengikrarkan kalimah kesaksian tersebut. Tapi apakah begitu mudah itu dapat terjadi dan terwujud???

Seorang kyai dari desa pelosok di kaki gunung Slamet memberi ibarat kepada saya...cobalah perhatikan burung beo. Dia dilatih tiap hari untuk mengucap salam...”assalamu ‘alaikum’...begitu terus. Dan setiap ada  orang yang masuk rumah pemiliknya dia memberi salam. Alangkah berbedanya ketika yang mendekat kepadanya adalah seekor kucing...dia berteriak...”ciet..cet...ciet..”..kembali kepada suara aslinya, bukan salam yang sudah sering diajarkan dan dipraktekkan. Itulah bisa jadi gambaran diri kita.

Memang kita bukan burung beo. Memang kita punya nalar dan hati. Kesaksianku atas meninggalnya beberapa orang (yang sangat dekat denganku) mengajarkan kepada saya, bahwa tidak mudah dan sangat sulit untuk mewujudkan dawuh Nabi SAW tersebut di atas. Bagaimana bisa dengan mudah lisan mengucapkan, jika dengan perlahan ruh berjalan dari kaki ke atas, kemudian menggerogoti kemampuan dan daya juang fisik/lisan untuk mengucap. Jika toh masih ada daya, mungkin mata yang akan menyisakan kemampuan itu, serta ucapan dan penegasan yang tersembunyi dalam hati. Dan kita yang menyaksikan jelas tidak tahu menahu soal itu.

Hanya pertanda, hanya gejala menjelang peristiwa itu yang mungkin memberikan makna kepada kita. Kegelisahan macam apa yang mengiringi kita. Dan itu semua akan sangat bergantung kepada, bagaimana di saat ajal belum menghampiri kita berucap dan berikrar dalam hati. Memang kita bukan burung beo, tentu dengan kesadaran dan keteguhan dalam berlatih..ya berlatih dalam keseharian kita akan membantu di saat-saat akhir tersebut. Dimana keteguhan tersebut telah teruji dari berbagai rasa waswas, rasa takut akan segala persoalan dunia, atas semua beban hidup di dunia. Walaa hooufun alaihim walaahum yahzanun....

Kita hanya berharap akan rahmat Allah dan syafaat Rasulullah SAW, semoga perjalanan kita mampu mempertahankan kesakisan kita di dunia, penegasan kita..dan ikrar kita  untuk melewati batas itu...penegasan bahwa Laa ilaaha illallah...Amin.

Wallahu ‘alamu bisshowab

Perkumpulan Istri Taat Suami....weleh...weleh

Hari ini aku baca di media cetak, adanya peresmian Perkumpulan Istri Patuh Suami. Setelah aku baca isinya rasanya miris juga.

Bisa jadi ini lagi-lagi soal ekspor orang Malaysia ke Indonesia. Aku inget dulu ada perkumpulan poligami, ekspor pengebom...entah apa lagi nanti. Yang membuat saya benar-benar miris adalah pernyataan salah satu dari mereka, “bahwa kepatuhan istri, kalau perlu dalam urusan ranjang harus memberi layanan melebihi pelacur kelas elite...”. Jian....analoginya kok sama pelacur...kok ketaatan istri yang diniati ibadah Cuma dianalogkan dengan urusan seks semata.

Jika dilihat dari kacamata nasionalisme, sebenarnya kita tidak perlu impor yang begini-beginian. Di Jawa saja ada semboyan “suwargo nunut neroko katut” buat istri (sekali lagi ini pedoman buat istri tidak boleh dipakai suami...bisa rusak tatanannya nanti).

Jika dilihat dari kacamata agama, wah mereka lupa bahwa urusan seks itu kan urusan nafkah, urusan sedekah. Oleh karena itu perlu dilandasi rasa tanggung jawab dan keikhlasan. Bukan sekedar urusan enak atau gaya atau eksperimennya. Kalau pelacur kan urusan jual beli. Situ beli saya jual. Kalau urusan sama istri atau suami dilandasi jual beli, wah ya runyam jadinya.

Apalagi kalau label agama...saya yakin seandainya Nabi Muhammad kok sangat ngurusi urusan seks...dijamin beliau dak kober lah opo lah opo...dak kober Jibril menemui dan memberi wahyu kepadanya. Justru karena Nabi Muhammad sangat memahami seks sebagai nafkah dan sedekah (idholussuruur), maka kenikmatannya tidak bisa dianalogikan dengan pelacur...tetapi dianalogikan dengan penyaksian ketauhidan.

Ketika akad nikah, pada dasarnya suami istri melakukan syhadat, ikrar kesetiaan dan ketaatan kepada Allah. Jadi sebenarnya bukan urusan istri taat suami, atau istri sayang sama istri, tetapi urusannya adalah suami dan istri sama-sama taat kepada Allah. Persoalannya, suami diberi tugas sebagai pimpinan dalam hal ini. Kata ajaran Jawa, “bisoo aweh peparing ayem marang keluarga (bisalah memberi ketentraman kepada keluarga)” dan ini senafas dengan tujuan pernikahan itu sendiri, menuju sakinah. Ketika suami bisa taat, maka ketataan istri kepada suami adalah ketaatan kepada Allah, sebab suami yang taat pada Allah tidak akan mengajarkan atau memimpin keluarganya untuk keluar dari rel Allah. Dus..jika sudah mencapai itu, maka surga istri katut...bersama surga suami.

Tetapi jika suami mengajarkan istri ketaatan dan kepatuhan pada suami, maka dia sudah membangun berhala baru bagi istri dan keluarganya. Dan itu perlu diwaspadai...Dengan niat dan ikrar untuk membangun visi dan misi yang sama dalam rangka taat kepada Allah....niscaya hubungan, dinamika dan komunikasi antara suami dan istri menjadi setara dan seimbang.

Semoga kita semua bisa menggapainya. Dan selalu berusaha dari mulai awal untuk berusaha mewujudkan itu...maka Allah pasti akan memberi surga kita di dunia ini (juga di akhirat kelak)....baytyyy jannatyyyy.......dapat dobel kan....????

wassalam

Ilmu "Ndablek

Sekitar dua minggu lalu, saya diberi sebuah label oleh saudara tua, yang sudah aku anggap sebagai pembimbing selama bertahun-tahun. Memang aku tidak menemuinya secara rutin, dalam waktu-waktu tertentu. Aku datang lebih banyak karena merasa ada dorongan hati. Ya...aku disebut sebagai orang yang ndablek, (cuek kali ya dalam bahasa Indonesia). Katanya : aku datang tidak hanya untuk satu kasus dan selesai, tetapi kok datang meski banyak kegagalan atau cobaan yang saya hadapi, pokoknya saya menjadi bimbingannya ketemu enak lah...malah banyak susahnya. Kira-kira begini : ini kok dak capek ya...padahal ketemu dak enak terus. Padahal dari sekian ribu orang yang pernah ditanganinya, kalau udah selesai masalah atau terkabul ya sudah selesai. Kalau dak berhasil ya berhenti. Lha ini kok malah ndablek ae...he he he.

Memang ada semacam keyakinan dalam diri saya sendiri, untuk urusan mendekat kepada Allah SWT saya menggunakan ilmu dablek/cuek. Maju terus. Meski diri ini belepotan lumpur dosa dan lupa. Bisa jadi saya lupa dalam waktu lama, sesat dalam waktu yang cukup. Tapi keinginan untuk mendekat tidak terhalangi oleh hal itu.

Meski banyak cobaan yang saya hadapi dan kelihatan tidak pernah selesai saya berusaha cuek saja, berusaha mendekat. Meski tidak ada tanda-tanda yang aku lihat sudah dekat, aku tetap berusaha mendekat.

Logikaku sederhana sekali. Kalau kita tidak ndablek..memang apa yang harus dicari? Apakah aku akan berganti Tuhan selain Allah? Meski banyak dosa, apakah ada yang bisa memberi ampunan? Allah sudah tegaskan...Laa yaghfirudzunubba illallaah...tak ada tempat di alam ini selain milik Allah. Apakah kita sudah baik atau masih jelek, toh tetap saja Allah lah yang wajib disembah, Allah lah tempat bergantung.

Memang dulu ada seorang Kyai (Kyai Cholil semoga Allah memberi rahmat dan ampunan kepadanya dari daerah Juwana/Pati) yang memberi nasehat...terhadap Allah...kamu ndablek saja....soal diterima atau tidak cuek saja..yang penting kamu jalani, kamu lakukan sekuatmu...

sebenarnya tidak ada yang sia-sia...sebenarnya Allahh tidak membiarkan hambanya yang sungguh-sungguh...(ndablek)...tergantung kita bisa peka melihatnya dan merasakan atau tidak. Banyak anugrah dan berkah melimpah buat diriku dan keluarga...meski itu kutemukan dibalik kepayahan, kesulitan dan cobaan hidup....

Wallahu 'alamu bisshowab...

Selamatan An Naas

Inilah nama surat terakhir (susunannya) dalam Al Qur’an. Firman Allah yang mengupas tentang Manusia. Bagaimana seharusnya manusia memahami akan kemanusiaannya. Biasanya surat ini dibaca dirangkai dengan surat al ikhlas dan al falaq. Dan seringkali surat-surat tersebut dirangkai menjadi sebuah tolak balak atau doa keselamatan. Memang itu tidak salah. Toh barokah Allah yang ditempatkan dalam ayat-ayat suci Al Qur’an demikian melimpah. Bolehlah kita memohon barokah tersebut buat keselamatan diri kita hidup di dunia ini dan kalau perlu sampai besok di akhirat. Ngomong-ngomong soal keselamatan, dalam tradisi masyarakat jawa dikenal “selametan”. Dalam temuan Clifford Greetz, masyarakat Jawa sangat akrab dengan tradisi tersebut. Keyakinan mereka bahwa manusia (anak) hidup dunia ini penuh ancaman. Ancaman khususnya dari hal-hal gaib. Maka kita kenal ruwatan, slametan desa, atau “bancaan2” lain yang tujuannya adalah mohon keselamatan. Memang begitulah takdir manusia di dunia dalam keyakinan orang Jawa. Ritual selamatan bermacam-macam, dari mulai puasa, kenduren, sesajen, bubur, atau pagelaran wayang. Kesemuanya itu adalah simbol memohon keselamatan buat diri manusia. Ritual bisa dilakukan dalam jangka tahunan, selapanan (weton kelahiran), atau waktu khusus lainnya. Dalam budaya manapun, doa keselamatan akan kita temukan, karena manusia menyadari bahwa kehidupan di dunia ini memang penuh rintangan dan ancaman yang sewaktu-waktu dapat mempengaruhi perikehidupan manusia. Dalam Al Qur’an diajarkan kepada kita bahwa dalam diri manusia sebenarnya terdapat ancaman, yang tidak enteng, bahkan serius, sampai-sampai perlu dicantumkan secara khusus dalam sebuah surat. Seringkali manusia melihat ancaman itu datang dari luar dirinya, tetapi tidak melihat dirinya sebagai ancaman. Islam mengajarkan jalan keselamatan, jalan yang lurus berpegang kepada Allah dan upaya kembali kepadaNYA dengan tenang, ridho dan diridhoi. Ancaman atau musuh yang perlu disadari oleh manusia adalah dirinya sendiri, apa yang ada dalam diri manusia dapat menjadi ancaman yang sangat serius. Dengan bahasa singkat dan padat ancaman tersebut berupa bisikan-bisikan, yang berhembus-hembus (bisikan hati, lintasan hati, krentek ati, niat, dan sebagainya) baik yang potensial/tidak nampak (dari golongan jin) dan yang nampak jelas nyata (dari golongan manusia sendiri, baik manusia lain maupun dirinya sendiri)... Alladzii yuwaswisu fii shuduurinnaas minal jinnati wannaas...Memang hati atau qolbu adalah wadah dimana bersemayam berbagai macam rasa, niatan dan sebagainya. Dia sering berbolak-balik dan memunculkan kebimbangan dan keragu-raguan ataupun bisikan-bisikan yang jika kita perhatikan dengan cermat ramainya akan melebihi keramaian sebuah konser dangdut atau rock sekalipun. Begitu riuh rendah dan bergemuruh saling berebut untuk mendapat tempat khusus dan diperhatikan oleh diri kita. Melalui surat An Naas, Allah menyadarkan bahwa ancaman yang datang dari diri sendiri adalah sangat serius, juga seserius ancaman atau bahaya dari luar (dalam surat al Falaq). Oleh karena itu, kesadaran akan kelemahan diri akan meneguhkan kita untuk selalu memohon pertolongan Allah, menegaskan dan melatih hati untuk selalu berlindung dibalik Kuasa Allah SWT, karena Allah lah pemelihara dan raja manusia (dan tentu menguasai segala macam isi hati yang datang berbisik-bisik tersebut). Hanya mengandalkan kekuatan diri kita, mengandalkan kekuatan hati kita semata, maka bersiaplah jatuh terpeleset terbujuk rayu oleh motivasi yang menggoda dalam diri sendiri. Yakinkanlah akan hal itu setiap kali membaca An Naas...agar menjadi keyakinan yang terpatri dan mendapat perlindungan Allah SWT. Amiin. Wallahu ‘alamu bisshowab

Sebuah Nama : ISLAM

Lailatul Ijtima’ (6) : Nama Islam

TULISAN INI MERUPAKAN CATATAN SAYA TENTANG SEBUAH KHUTBAH PADA SHALAT JUM’AT BEBERAPA WAKTU LALU, DAN SAYA MERASA BENAR-BENAR TERINSPIRASI. TEMA KHUTBAH WAKTU ITU ADALAH MENGENAI SEBUTAN AGAMA ISLAM. Tulisan ini tidak hendak merendahkan agama atau umat agama lain, hanya sebatas bentuk introspeksi diri dan upaya menemukan kebenaran yang selama ini saya yakini dalam memeluk Islam.

Islam adalah agama yang unik. Nama Islam sendiri adalah istimewa. Keyakinan dalam Islam juga menunjukkan adanya keterkaitan sejarah dan perkembangan peradaban manusia, sejak manusia awal hingga akhir zaman. Mengapa Islam unik? Ya, karena nama Islam, nama sebuah agama tidak dinisbahkan (dikaitkan dan didasarkan) pada penemu/pemula, tempat, atau yang dipuja. Agama Islam tidak disebut sebagai agama Muhammadiyah atau Ahmadiyah (karena beliau adalah pembawa ajarannya), juga tidak dinisbahkan kepada sebuah tempat, yakni Arabiah atau Quraisyiyah. Cobalah sekedar membandingkan : agama Yahudi dinisbahkan kepada pembawa yaitu Yahuda (putra Nabi Ya’qub a.s) yang kemudian keturunan Nabi Ya’qub disebut sebagai bani Israil. Agama Nashrani dinisbahkan kepada tempat kelahiran Isa a.s, yakni nasharet.

Mengapa nama Islam istimewa? Ya, karena yang memberi nama itu adalah Allah sendiri. Firman Allah SWT ...dan telah AKU sempurnakan kepadamu Islam sebagai agama...Cobalah anda cari dalam agama lainnya, dimana Tuhan sendiri yang memberi nama. Manusia, umat agama tidak bisa memberi label tentang agama, sebab agama bukan buatan manusia, tetapi agama diturunkan oleh Sang Pencipta buat manusia.

Islam benar-benar mengajarkan sebuah pembangunan peradaban keberagamaan yang berjalan dan bertahap disesuaikan dengan zaman. Semua para Nabi dan Rasul dalam Islam tidak dibedakan...Firman Allah SWT...Laa nufarriqu baina ahadin min rosuulihi....Ibrahim a.s, Musa a.s, Yusuf a.s (putra Ya’qub), Isa a.s. semua diakui keberadaannya sebagai pemabwa dan pemeluk Islam. Syariat masing-masing nabi tersebut sangat disesuaikan dengan zaman atas kehendak Allah. Bahkan pada akhir zaman nanti, penutup dari kehidupan ditutup dengan kewalian Nabi. Isa a.s. yang hidup di zaman sebelum Muhammad SAW. Para rasul adalah orang-orang yang disebut sebagai pelaku hanif jalan lurus dan kaum yang berserah diri kepada Allah. Demikian pula Muhammad SAW membawa ajaran tersebut dengan tetap mengajarkan kepasrahan kepada Allah, menempuah jalan lurus untuk kembali kepada jalan penghambaan kepada Allah SWT. Dan itulah jalan keselamatan, jalan yang menyelamatkan. Dan itulah Islam (keselamatan). Siapa saja menempuah jalan tersebut, apakah dia hidup pada zaman purba ribuan tahun sebelum Muhammad SAW atau bahkan jutaan tahun setelah Muhammad SAW tetap disebut sebagai orang Muslim.

Apakah kita masih meragukan Islam sebagai jalan keselamatan? Solusi menyelematkan hidup kita di dunia dan akhirat kelak? Wajar saja jika itu masih bersemayam dalam hati anda. Sebab itulah qolbu (berubah ubah). Yang terpenting buat diri kita adalah membuktikan itu semua. Jika para Nabi, waliullah bisa membuktikan itu, Allah memberi kesempatan yang sama buat kita. Bagaimana membuktikan bahwa Islam menyelematkan hidup kita hanya dengan satu cara, membuktikan dengan pengalaman sendiri. RELIGION IS EXPERIENCE. Agama adalah pengalaman. Tanpa pengalaman agama hanyalah slogan, hanyalah candu yang sekedar melupakan penderitaan, hanya penghias kehidupan.

Anda tertarik membuktikannya? Mari bersama-sama membuktikan itu semua, biar tidak sekedar jare...(katanya...katanya...katanya...).

Wallahu ‘alamu bisshowab

Anak Sholeh

UNTUK MEMAHAMI HIDUP DI DUNIA, MUNGKIN KITA PERLU MENGINGAT DAN MERENUNGI SEBUAH KALIMAT YANG BIASA KITA KENAL DAN UCAPKAN KETIKA ADA ORANG MENINGGAL, YAKNI INNAA LILLAAHI WA INNAA ILAIHI ROOJI’UUN...(Kita sesungguhnya milik Allah dan akan kembali kepadaNYA).

Apa kaitan kalimat tersebut dengan anak sholeh? Begitulah kira-kira muncul dalamm pikiran anda. Memang kalimat itu adalah disebut dalam Al qur’an ditujukan untuk menunjukkan orang yang bersabar atas musibah yang menimpanya. Tetapi itulah sebenarnya cermin dari pemahaman akan kehidupan dunia.

Kita hidup dunia ini bukan dalam peristiwa ajaib, tanpa ayah dan ibu (memang beberapa orang berbeda dengan kita, misalnya saja Nabi Isa a.s, Nabi Adam a.s, Hawa r.a, atau lainnya). Apapun itu, apapun bentuk kejadian itu, adalah kita berasal dari Allah dan akan kembali kepadaNYA. Hidup di dunia ibaratnya adalah kita keluar dari kesadaran akan hal itu, oleh karena itu pada dasarnya hidup di dunia adalah perjalan, sebuah upaya untuk kembali kepadaNYA. Dalam khazanah ilmu masyarakat Jawa disebut Sangkan Paraning (asal – tujuan) Dumadi (Manusia).

Wa ilaihi rooji’uun, bukan sesuatu yang otomatis. Mungkin pernah kita dengar, “orang kalau udah mati ya berarti otomatis kembali kepada Allah/Tuhan?, orang yang sudah meninggal ya otomatis udah tenang, enak di sana? ...buktinya mereka tidak kembali..” Apakah demikian? Oh...jelas tidak. Bagaimana kita bisa kembali kepada Allah? Sedangkan jiwa kita terbelenggu dalam sangkar dunia, nafsu, harta, wanita dan kuasa. Jiwa kita akan terus menerus dan selalu (memohon) untuk terikat oleh kesenangan dan yang kita sembah selama ini.

Sejak nenek moyang kita dulu, sejak nabi Adam as, ya begitulah keyakinannya. Demikian pula leluhur kita, kakek nenek, bapak ibu kita semuanya seperti itu perjanalannya. Ketika beliau-beliau sudah berpulang dulu, meneruskan perjalanan yang abadi, maka akan sangat bergantung pada amal ketika di dunia, apakah mengikatkan jiwanya pada selain Allah? Salah satu amal yang bisa menyelematkan perjalanan mereka, mengurangi beban mereka dalam menempuah kembali kepada Allah adalah anak yang sholeh.

Hidup kita saat ini adalah sebuah perjalanan, bisa jadi meneruskan perjalanan orang tua kita atau kita mengikuti jejak perjalanan tersebut. Katakanlah, para leluhur kita menempuh perjalanannya mencapai jarak 50% (dari 100%), maka sebagai anak kita seharusnya dan didorong untuk mencapai perjalanan yang lebih dari itu. Jika para leluhur kita/orang tua kita sudah menempuh 80%, maka kita seharusnya mengikuti mereka dalam perjalanan tersebut, siapa tahu kita tidak bisa mencapai apa yan sudah dicapai oleh para pendahulu kita.

Itulah anak yang sholeh, anak yang mampu meneruskan dan mengikuti perjalanan kembali kepada Allah SWT. Yang dalam hidupnya berusaha dalam kesadarannya mendekat dan selalu berusaha agar lebih dekat kepada Allah SWT. Maka anak yang seperti itu tentu akan mendoakan para pendahulunya, dan tentu akan diridhoi Allah untuk meringankan beban dan dosa para leluhurnya. Demikianlah kita bisa memahami, mengapa para leluhur Nabi Muhammad SAW, dijaga dan disucikan oleh Allah. Ya..karena beliau adalah contoh sempurna sebagai anak yang sholeh.

Kita yang sudah mempunyai anak, tentu sangat berharap agar diberi anak yang sholeh. Tetapi apakah kita sudah menjadi anak sholeh bagi orang tua kita? Mungkin di antara pembaca sudah menikah tetapi belum dikaruniai anak. Maka, yang paling penting adalah itu tadi, mendapatkan tugas meneruskan perjalanan tersebut. Bagi yang sudah punya anak seperti saya, maka kewajibannya adalah menunjukkan perjalanan tersebut, memberi teladan bagaimana cara menempuah perjalanan tersebut, sehingga suatu saat mereka benar-benar akan mampu meneruskan apa yang sudah kita rintis saat ini.

Wallahu ‘alamu bisshowab

Rahasia Sunnah (Seks Suami Istri) Malam Jum'ah

Malam Jum’ah (atau bisa disebut hari Jum’at-kan dalam kalender Qomariyah magrib sudah berganti hari) adalah hari yang (di)mulia(kan) oleh Allah. Banyak amalan ibadah yang disunnahkan pada hari tersebut. Juga disunnahkan/diwajibkan ibadah yang sifatnya kolektif (bisa duo, atau lebih dari itu). Saking mulianya, hari Jumah disebut sebagai hari raya, atau shalat Jumat seolah-olah menjadi ibadah hajinya orang-orang miskin. Sementara di kalangan masyarakat Jawa, diyakini bahwa malam jum’ah adalah malam berkumpulnya para waliullah (dan malam sabtunya persidangannya).

Dan salah satu sunnah Rasul SAW dalam memulikan malam Jumah adalah hubungan seks (bagi suami istri). Wah tentu enak betul ya? Sudah nikmat, masuk kategori ibadah besar (pahalanya) karena memuliakan malam Jumah. Tapi tunggu dulu, sebagian orang dihadapkan pada beberapa persoalan, begini kira-kira pertanyaan yang diajukan :

1. Dengan seks, kita berarti menuruti nafsu, padahal malam jumah lebih mulia digunakan untuk qiyamullail (menegakkan malam dengan berbagai amal ibadah)? Apa ini bisa nyambung?

2. Ah..mana mungkin kita bisa maksimal?. Habis hubungan, tentu kita capek dan lebih baik tidur (tertidur), atau tentu mandi malam dingin dan bisa2 jadi penyakit...dan ini tentu memperkecil kita peluang menegakkan malam tersebut? Jadi lebih baik memilih salah satu saja.

3. Ada yang lain : udah deh...pokoknya dijalanin aja...kalau toh tertidur, kita sudah menjalankan sunnah, kalau kok bisa bangun tengah malam ya sholat malam...gitu aja kok repot..

Daftar problem dan pertanyaan bisa lebih dari itu, atau bahkan anda yang membaca bisa mengajukan persoalan lain. Memang KUNCINYA adalah kita perlu membuktikan, bahwa sunnah yang dianjurkan Nabi SAW adalah benar-benar bermanfaat buat kita (ndak usah ngitung pahala deh...udah ada yang nyatet dan tidak mungkin keliru catetannya).

Buat saya, seks (suami istri) perlu dipahami sebagai sebuah sedekah (spirit sodaqoh) dimana kata kuncinya adalah idholussuruur (memasukkan/memberikan kebahagian/kesenangan). Mungkin konsep ini lebih tepat dipegang atau jadi pedoman buat para suami, soalnya sedekah tersebut dalam bingkai memberi nafkah. Seringkali kita (kaum lelaki...bisa juga perempuan/istri) memandang seks adalah sebagai sarana menyenangkan diri sendiri (coba deh...jujur pada diri sendiri....), bahkan seringkali kita jatuh pada aktivitas swalayan....atau bahkan mencari berbagai cara bagaimana agar diri kita bisa puas-sepuasnya. Padahal dalam konsep sodaqoh, justru sebaliknya bagaimana sebesar-besarnya memberi kesenangan (tentunya buat istri). Dalam spirit tersebu tentu dibutuhkan prasyarat, adanya komunikasi yang harmonis, saling terbuka, mampu menerima kekurangan dan kelebihan. Jika konsep demikian yang dipakai, maka tidak ada namanya pemaksaan, tuntutan yang berlebihan (dan percayalah istri akan bisa mengerti dan tidak menuntut macam2 pula). Maka adalah sebuah kesalahan besar jika suami menuntut atau membatin bahwa istrinya memberikan layanan seperti pelacur elit atau bintang pelem porno. Suami tidak akan menuntut pelayanan, tetapi mendahulukan memberi (maka istri dijamin akan memberi pelayanan yang maksimal). Sebab sodaqoh adalah memberi, itulah memberi nafkah batin (kalau dianggap batin). Jadi layanan seks dari istri bukan suatu transaksi atas pemberian nafkah lahir dari suami. Bukankah dalam akad nikah memang suami wajib memberi nafkah lahir dan batin terhadap istri? Jika konsep meminta layanan, maka sebenarnya suami sedang transaksi.

Dengan memahami konsep hubungan seks suami istri demikian, maka anda akan mampu melanjutkan malam jumah dengan kekhusyuan yang dalam, karena begitu tenangnya anda, sudah tuntas dalam memenuhi kewajiban batin dan anda tentu mendapat kesenangan serta otot2 dapat rileks. Apa tidak capek? Aha...jika dilakukan dengan ketulusan dalam rangka sodaqoh, memberi apalagi buat yang dicintai, maka saya yakin rasa capek dan kantuk akan sirna. Dan anda akan mendapatkan energi baru yang lebih segar dan besar untuk melanjutkan ibadah malam (qiyamullail) dengan lebih tenang.

Anda boleh percaya atau tidak. Tetapi itulah sunnah yang diajarkan Rasul Muhammad SAW kepada umatnya. Jika anda sudah mencoba, bisa berbeda temuan anda dengan saya. Jika anda merasa tertantang silakan mencoba, manfaat dan pahala toh buat anda sendiri. Apalagi anda pada siang harinya (kamis) melakukan puasa tentu akan ada sensasi laen yang bisa didapat (kayak roko’an ae...).



Wallahu ‘alamu bisshowab...

Mulainya Hari

BEBERAPA KAWAN, KENALAN DAN KERABAT BERTANYA TENTANG WAKTU JAM 11 MALAM TERMASUK HARI BERIKUTNYA ATAU MASIH HARI YANG SAMA? AKU JAWAB SAJA MASIH HARI YANG SAMA. Pertanyaan tersebut tentu tidak akan muncul dari orang Inggris, atau Arab. Biasanya pertanyaan itu muncul dari orang-orang Indonesia, khususnya orang Jawa, mengapa? Ya karena, di Jawa, persoalan perhitungan kalender mengalami beberapa perubahan dan pengaruh. Dulu, kata si Mbah, orang Jawa mengenal dan menghitung hari ya 5, Kliwon, Legi, Paing, Pon dan Wage. Kemudian dalam perkembangannya, pengaruh kalender Matahari (Syamsiyah) mulai masuk, maka dikenal 7 hari, yang akhirnya seperti sekarang kita kenal, Ahad, Senin sampai Sabtu. Perubahan tersebut sebenarnya sudah mengandung banyak pengaruh. Misalnya soal nama : kata-kata itu banyak pengaruh Arab. Masih kata si Mbah, penanggalan Jawa pada dasarnya adalah berdasarkan matahari (syamsiyah) atau berdasarkan revolusi terhadap matahari, seperti halnya kalender masehi (mungkin juga China, Persi atau lainnya). Kalender matahari menempati urutan yang terbanyak digunakan. Hari dimulai pada pukul 00.01 atau jam 12 malam sudah masuk atau batas hari. Setelah Sultan Agung di Mataram mendeklarasikan kalender Jawa yang sudah terdapat pengaruh Arab/Islam, maka perhitungan hari sudah didasarkan pada perputaran bulan (Qomariyah). Nah disinilah repotnya penanggalan versi mataram ini sudah mencampuradukkan banyak budaya. Hitungan hari sudah dimulai pada terbitnya bulan atau tenggelamnya matahari. Pada akhirnya di kalangan masyarakat Jawa ada yang menggunakan hitungan bulan dan sebagian masih tetap menggunakan matahari. Itu belum termasuk perbedaan perhitunan awal tahun, dimana di Jawa juga mengenal perpuataran tahun dalam satu windu (8 tahun). Maka tidak perlu heran ada kelompok yang menggunakan kalender Aboge (tahun Alip dumulai pada hari Rebo Wage). Terus apa urgensinya? Disinilah perdebatan akan semakin rumit dan bisa-bisa subyektif. Penanggalan Jawa awal (sebelum pengaruh Islam), kalender adalah berkaitan dengan perbintangan, musim atau hanya sebagai penanda alam dan kejadian-kejadian alam. Hal ini juga berlaku bagi kalender masehi dan lainnya. Jika lebih ekstrim, itu bisa berkaitan dengan nasib atau takdir manusia. Sementara kalender Islam (Hijriyah) lahir didasari atas kerangka pendidikan, tarbiyah dalam pembentukan karakter dan kepribadian manusia. Cobalah anda perhatikan nama-nama bulan dalam kalender hijriyah, ada muharrom, safar, ramadhan dan sebagainya mempunyai arti harfiah dan maknawiyah sebagai pendorong dalam mendidik karakter manusia. Misalnya bulan Ramadhan dimaknai sebagai bulannya puasa (artinya panas yang membakar dosa-) atau muharrom (banyak hal diharamkan atau mensucikan). Hal ini mirip yang ada di Jawa dengan nama-nama tembang (lagu) dari Mijil sampai pocung (dari lahir sampai mati). Pemahaman akan mulainya hari (dan waktu secara keseluruhan), akan menuntun kita pada beberapa pemahaman akan praktik-praktik ritual yang berkaitan dengan waktu. Kita akan bisa memahami mengapa dalam keyakinan Jawa dianjurkan ibadah pada jam 12 malam dengan neng ning nung. Dengan itu pula, kita akan paham mengapa Rasulullah begitu memuliakan sepertiga malam akhir sebagai malam yang mustajabah dan waktu subuh/fajar adalah waktu para malaikat menebar rezeki. Demikianlah Allah sudah mengatur agar menjadi tanda-tanda yang meneguhkan keimanan. Wal ashri...innal insaana lafii husrin...illalladzina aaamanu....(dan seterusnya) Wallahu ‘alamu bisshowab

Shalat

Innaa sholaty wa nusuky wa mahyayaa wa mamatii lillahi robbil aalamin

Sesungguhnya sholatku, manasikku, hidupku dan matiku hanya untuk Allah tuhan semesta alam.

Disadari bahwa hidup ini harus dilandasi oleh sebuah niat, ya niat menghadap, memandang Wajah Sang Pencipta. Dengan kalimah Takbiratul Ihram...berarti betapa kecilnya diri, betapa najisnya selainMU bersemayam dalam hati. Itulah mengapa Allah sangat membenci manusia yang sombong berjalan di muka bumi.

Fatihah, adalah niat kesadaran bahwa segala sesuatu diawali dengan Asma Allah. Fatihah adalah deru doa dan usaha dalam aktivitas sehari-hari. Sebab hidup adalah memilih, jalan yang diridhoi atau sesat dan dibenci Allah. Itulah jalan lurus...dimana Hati selalu menatap lurus pada Sang Pencipta.

Ruku’ adalah kesediaan menerima kesetaraan, kesetaraan sesama makhluk Allah. Ya kebersamaan dalam berbakti dengan seluruh makhluk. Semua punya peran dan posisi. Tak perlu ada yang harus merasa lebih tinggi, oleh karena itu...Sami’allahu liman hamidah (percayalah...Allah tahu siapa yang benar-benar memujiNYA).

I’tidal adalah kesadaran kembali kepada tatapan, kesendirian dalam ketegaran menatap Sang Pencipta. Tak perlu mudah kagum (ojo gumanan) atas kehebatan makhluk.

Sujud adalah kesadaran ke dalam diri. Bahwa akal, tak berarti apa-apa. Tanah adalah mula kehidupan di dunia dan akhirnya. Pantat jauh lebih tinggi, meski hakikatnya tetap pada hati yang menjadi inti. Yang Maha Tinggi tetap Allah.

Itulah gerak, itulah simbol pembelajaran dalam menjalani hidup.

Gerak-gerak dalam sholat ibarat aktivitas dalam kehidupan. Setiap berganti gerakan haruslah dikumandangkan Takbir (Allahu Akbar). Tak boleh ada kesombongan, yang ada adalah kesetaraan. Yang ada adalah menebarkan salam, menebarkan kedamaian. Kesemuanya akan terlaksana jika kita dalam keadaan suci dari hadats dan najis. Suci dari hati yang mengeluarkan kotoran (hadats), dan terhindari dari kotoran yang masuk ke hati (najis).

Jika ini dijalankan dengan sungguh-sungguh inilah sholat yang mencegah perbuatan keji dan munkar. Inilah mungkin yang disebut shalat da’im dan dipergunjingkan oleh para pengikut dan pengkritik Siti Jenar.

Menuju Lailatul Ijtima'

Ya Allah, aku hanyalah makhlukmu, seperti halnya batu, kayu, rembulan, dan lainnya...sebab antara aku dan mereka berbeda pada bentuk dan gunanya saja...sungguh masih jauh bagiku untuk mengklaim sebagai hambaMU...sebagaimana Kau sebut dalam "ya ayyatuhannafsul muthmainnah irji'i ila robbiki rhodliyatan mardliyah....", aku masih gelisah atas diriku...belum bisa tenang, aku masih belum bisa seridho-ridhonya atas kehendakMU, meski Engkau sebenarnya ridho...(catatan menjelang Lailatul Ijtima')