Menjadi Bangsa Nuswantara

Kata Nuswa, sering diartikan secara sederhana dengan pulau (nusa). Padahal bisa diartikan jauh lebih kompleks, yaitu tempat hidup atau tempat yang bisa dihuni. Pemaknaan ini akan bisa dikembangkan lebih lanjut untuk memahami diri kita sebagai bagian dari bangsa Nuswantara.

Selama ini dikonsepsikan bahwa Nuswantara/Nusantara adalah sebuah nation/bangsa yang terdiri dari pulau-pulau yang diantaranya ada jarak yakni lautan. Dan lautan adalah pemersatu kepulauan itu. Sehingga menjadi sangat simple, bahwa nusantara ya negeri kepulauan. Itu saja. Tak ada bedanya dengan Karibia, Jepang atau lainnya. Yang lebih bersifat geografis, mencoba mengartikan, bahwa Nusantara adalah negeri yang berada di antara dua samudra dan dua benua.

Menurutku, Nuswantara bisa dipahami sebagai filosofi hidup yang didasarkan atas posisi dan tempat dimana kita hidup. Nuswantara, bukan hanya berarti pulau, tetapi “tempat yang bisa dihuni/tempat hidup”. Bisa dipahami sebagai rumah, desa, kecamatan, negara dan jagad raya. Kehidupan yang kita bangun, dimanapun, maka harus menunjukkan kejelasan jaraknya, bisa antara kiri dan kanan, hitam dan putih dan sebagainya. Kita bisa memiliki warna hitam atau putih, tetapi kita bukan hitam atau putih itu sendiri. Dalam politik, ini bisa dikorelasikan sebagai politik Non-Blok, meski itu adalah blok sendiri.

Ada jalan tengah. Leluhur kita dahulu mengajarkan keseimbangan, antara jagad cilik dan jagad gede, antara dunia dan akhirat, antara diri dan orang lain, demikian seterusnya. Ungkapan, “ngono yo ngono, nanging ojo ngono-ngono”.

Saat ini, bangsa kita sudah tidak memiliki sikap sebagai bangsa Nuswantara. Lebih besar memihak sebelah, namun mengabaikan pihak lain. Nilai-nilai inidviudalitas yang semakin kuat, tanpa keseimbangan sosial. Begitulah seterusnya.

Singkatnya, kita tidak sekedar hidup seperti pulau-pulau, sebagai individu yang disatukan dengan wilayah atau lingkungan, tetapi lebih dari itu, adanya pilihan atas posisi hidup itu sendiri dengan kesadaran akan dua sisi kehidupan.

Siji ganjil, loro genep, telu tunggal.

Salam rahayu.

Semar dan Atlantis

Tulisan ini hanya sekedar merangkai-rangkai berbagai sumber. Soal kebenarannya, jangan dituntut dulu. Lebih baik gunakan imajinasi anda saja agar lebih terasa eksotik.

 

Siapa yang tidak pernah mendengar nama Semar, bagi orang Jawa? Ia sering juga disebut, ya Semar, ya Sabdopalon, dan ya sebutan-sebutan lainnya. Dalam naskah Serat Jangka Syeh Subakir, Semar menyebutkan bahwa dirinya tinggal/menghuni di pulau Jawa sudah 9000 tahun di saat bertemu dengan Syeh Subakir utusan dari Negari Rum. Dari sumber lain, pertemuan itu bisa dikisaran tahun 1400 Masehi. Artinya Semar menempati pulau Jawa itu ya sekitar 7600 tahun. Tapi sejak kapan ia dilahirkan?

Sebuah catatan lain menyebutkan bahwa Atlantis, sebuah negeri kepulauan yang begitu maju kehidupannya dan modern pernah ada. Dan itu berakhir sekitar 9000 tahun sebelum masa Plato, sedangkan Plato dikisaran 400 SM. Artinya Atlantis itu keberadaanya di atas 9000 SM. Dalam catatan itu pula disebutkan sebab alamiah yang menenggelamkan Atlantias, yakni Tsunami (Atlantik). Cerita ini bila disinkronkan dengan catatan lain dari Sejarah Kawitane Wong Jawa lan Konung menggambarkan sekitar 9000 tahun sebelum kedatangan Kin Sheng Dhang (dari Sampit- gelombang eksodus Hainan), berarti dikisaran 9230 SM menggambarkan adanya letusan Gunung Lawu yang mengakibatkan Jawa terbagi menjadi tiga kepulauan besar, Kendheng Utara,Selatan dan pulau satunya (Jawa). Dua catatan yang satu dari Yunani dan Jawa nampaknya ada kemiripan dalam soal mengenai bencana. Ini dalam sejarah arkeologis masuk pada zaman Mesolitikum di mana manusianya hidup di gua dan berburu. Dari sisi geologis, zaman ini termasuk zaman Holosen setelah berakhirnya masa Divilium (masa Es).

 

Kembali ke Semar, jadi seperti diungkap dalam Serat Jangka Syeh Subakir dan Serat Jangka Tanah Jawi, Semar sebelum berdiam di gunung Tidar tinggal di Merbabu dan setelah itu tidak mengetahui perkembanga masyarakatnya. Bisa jadi dia ke situ mengungsi untuk menghindari peristiwa mencairnya es, di akhri zaman Divilium. Tahu-tahu kemudian sudah terjadi perubahan besar, dimana pulau Jawa sudah dikuasai oleh bangsa demit. Bisa jadi juga, Semar adalah salah satu bagian dari masayrakat Atlantsi yang digambarkan oleh Plato tadi, karena dilihat dari beberapa catatan di atas.

Bila, khayalan ini disinkronkan dengan silislah dari Babad Demak Pesisiran, Batara Guru itu urutan ke-6 (Semar merupakan saduaranya, dari sumber lain) dari Nabi Sis (ini disebut silsilah sisi kiri), sedangkan sisi kanan pada urutan yang sama adalah Sultan Barad kemudian Nabi Idris (ke-7). Artinya Semar hidup sezaman zaman ayahnya Nabi Idris (ini jika urutan umur dalam silsilah persis loh ya...). Atau sekitar itu lah. Atlantis dengan demikian ada di zaman Nabi Idris ini. Bukankah gambaran umat Nabi Idris sudah makmur, maju? Dengan perkembangan ilmu pengetahuan? Namun kemudian diturunkan masa-masa paceklik dan penderitaan. Berangsur-angsur memburuk.

Jika semar bisa demikian panjang umur saat bertemu Syeh Subakir, maka apakah dia manusia abadi?

Daripada menerka-nerka itu, lebih baik anda menonton Film Highlander saja, pertempurannya seru dan memunculkan hanya satu pemenang dan dia menjadi manusia kesepian.

Masa Gelap Pulau Jawa

Memang susah untuk mengetahui keadaan, asal usul atau gambaran kondisi sebuah masyarakat nun jauh ke masa lalu. Semakin jauh masa itu, semakin gelap gambarannya. Namun, upaya-upaya ahli sejarah dan lainnya untuk menguaknya patut dihargai. Paling tidak ada sedikit gambaran yang mungkin bisa kita lihat, meski tidak sepenuhnya benar satus persen.

Beberapa naskah yang beredar mencoba menggambarkan hal itu. Seperti dalam Serat Jangka Syeh Subakir.

“Sampun sangang ewu warsa, inggih wonten pulo ngriki, dedukuh ing hardi Tidar, saweg antuk sewu warsi, langkung taun puniki, Sech Bakir gawok angrungu, dika niku wong napa, napa ta ayekti janmi, umur dika dene ta kaliwat-liwat”

“Sudah 9000 tahun, ya (saya Semar) sudah ada di pulau ini (Jawa), di pedusunan di Gunung Tidar, tapi baru 1000 tahun berjalan, di sini, Sech Subakir heran mendengarnya, engkau ini makhluk apa, apa benar manusia? Kok usianya luar biasa?”

Demikian perkenalan Semar dengan Syech Subakir. Selama ribuan tahun itu Semar bertapa di Gunung Merbabu dan tidak mengetahui keadaan manusia di Jawa. Gambaran tentang kondisi Pulau Jawa juga digambarkan dalam Serat tersebut penuh dihuni oleh demit, jin, gendruwo bekasaan dan sejenisnya. Bahkan beberapa utusan dari negeri Rum sebelum Syeh Subakir dimakan demit (Binadog demit). Dari serat ini, ditegaskan bahwa Raja Rum mendapat petunjuk untuk mengisi pulau Jawa : “jeng Sultan Rum kang winarni, angsal sasmitaning Sukma, dinawuhan angiseni, manungsa pilo Jawi,...”

Syeh subakir mengambil orang-orang Keling (?) untuk dibawa mengisi pulau Jawa, sebanyak 2 laksa (20000) keluarga. Dari serat ini, maka yang mengisi (menjadi penghuni P. Jawa) adalah dari bangsa Keling yang dibawa oleh Syeh Subakir. Padahal dalam naskah itu pula, Semar adalah manusia.

“Sang Hyang Semar lon wuwusnya, gih sumangga karsa Aji, sajatine gih kawula, lan kiraka tiyang Jawi, ing kina prapteng mangkin, kawak daplak inggih ulun, wong Jawa kuna mula, saderenga dika prapti, kula manggen Marbabu pucak haldaka”.

Namun, selama bertapa ribuan tahun itu pula pulau Jawa sudah berubah isinya, bukan manusia seperti Semar, tetapi sudah dikuasai oleh para demit.

Dalam SERAT JANGKA TANAH JAWI gambarannya tidak beda jauh dengan serat Jangak Syeh Subakir, yaitu pertemuan antara Semar dengan Syeh Subakir ketika memberi tumbal (mengusir) para dedemit yang menguasai tanah Jawa. Dalam serat ini ada dialog yang sebenarnya adalah bantahan anggapan bahwa tanah Jawa belum dihuni oleh manusia, hanya oleh bangsa jin dan demit.

“Syekh Bakir lon angandika, sayrkti ing tanah Jawi, pan durung ana manungsa, pan isih rupa wanadri, Hyang Semar matur aris, kawula sajatosipun, ing kina makina, saderenging tuwan prapti, hamba kalih dhedhukuh Rebabu arga”

Syeh Subakir berkata, sebenarnya di tanah Jawa, belum ada manusia, masih berupa hutan. Hyang Semar menjawab dengan lembut, hamba ini sebenarnya, di masa lalu, sebelum kedatangan tuan, hamba berdua (Semar dan Togog) ini penghuni Jawa yang bertempat di gunung Merbabu”.

Namun, dalam serat ini Semar sendiri menjelaskan bahwa dia bukan manusia, tetapi keturunan dewa, Sang Yang Tunggal atau Manikmaya. Agak sedikit berbeda memang dengan serat Jangka Syeh Subakir. Namun pada intinya bahwa Semar dan Togog di masa lalu adalah penghuni pulau Jawa. Apakah hanya mereka berdua? Tentu ini bisa disinkronkan dengan sumber-sumber lain misalnya Babad Demak Pesisiran yang menerangkan silsilah orang tua Syang Hyang Tunggal adalah Sang Yang Wenang, putra dari Sang Yang Wening, putra dari Sang Yang Nurasa, putra dari Sang Yang Nurcahyo atau Sayid Anwar, putra dari Nabi Sis. (dalam versi lain, Sang Yang Wening dan Wenang adalah satu pribadi). Dalam Serat Jangka Tanah Jawi, Semar adalah keturunan dari Nabi Sis (jika digabungkan Babad Demak Pesisiran, karena anak dari Sang Yang Tunggal). Namun, dalam Babad Demak Pesisiran, nama Semar tidak muncul sebagai anak Sang Yang Tunggal. Di sinilah letak gelapnya lagi, Semar di satu sisi mengaku anak Sang Yang Tunggal, namun dalam babad Demak Pesisiran, tidak masuk. Demikian pula dalam Babad Tanah Jawa, Semar dan Togog itu menjadi “penderek” Raden Palasara yang merupakan keturunan dari Sayid Anwar. Dalam babad Tanah Jawa, Palasara merupakan cikal bakal leluhur Jawa, dimana kemudian, Kurawa, Pandawa adalah bagian dari keturunannya (ini menjadi terbalik, bahwa kisah mahabarata itu mulanya dari Jawa).

Dalam serat Babad Demak Pesisiran, Nabi Ibrahim itu berbeda dengan Bathara Brhama. Nabi Ibrahim berada pada garis silsilah Sayid Anwas (saudara Sayid Anwar). Batara Brahma adalah keturunan dari Sayid Anwar.

Masa-masa gelap ini memang memunculkan banyak versi mengenai leluhur Jawa. Buku lain, yaitu SEJARAH KAWITANE WONG JAWA LAN WONG KANUNG menggambarkan : pertama jaman jamajuja (puluhan ribu- buku ini ditulis pada tahun 1931) sudah ada manusia, tetapi masih bertelanjang, seperti kera, hidupnya di gua-gua. Masih dalam masa jamajuja periode 5000 tahun (sebelumnya) manusianya sudah mengalami kemajuan, sudah memakai cawet dari dedaunan, sudah menempati di luar gua. Mereka sudah berkumpul dalam sebuah komunitas. Masyarakat ini disebut dengan masyarakat Lingga (Suku Lingga). Masa kuna (sebelum masehi), orang-orang Sampit berhijrah ke Nusa Kendheng yang kemudian disebut sebagai orang Jawa. Kata Jawa sendiri dirujukkan pada sebutan Bantheng yang “gemati” penuh perhatian terhadap anaknya. Sebab bantheng perempuan disebut Jawi, yang “gemati” kemudian disebut Jawa. Orang-orang Sampit yang mengungsi ke Jawa ini kemudian membuat pertanda awal sebagai orang Jawa, yaitu 230 tahun sebelum masehi (bukan saka). Tahun itu disebut tahun Hwuning (pengingat). Tokoh pimpinan rombongan eksodus ini namanya Khi Seng Dhang, yang kelak kemudian disebut Dhang Hyang (Danyang). Mereka berasal dari Sampit yang keturunan dari suku Hainan. Dari catatan ini, maka orang Jawa (dalam pengertian) pendatang baru yang “gemati”, mau menghormati orang Lingga adalah 230 SM. Namun penduduk Jawa asli, Suku Lingga kemudian bercampur dan kelak memenuhi Jawa.

Dengan demikian, catat buku ini menyebut mulainya peradaban Jawa itu 230SM, karena adanya kebudayaan Hainan yang dibawa, sementara suku Lingga yang masih tertinggal, hidup di gua, hutan dan bergantung pada alam, belum disebut sebagai orang Jawa. Ini tentu berbeda dengan versi Serat Jangka Syeh Subakir dan Serat Jangka Tanah Jawi. Jika kita lihat kedatangan Syeh Subakir di tanah Jawa dari sumber lain, sekitar tahun 1404. Jika berasumsi bahwa sebelum tahun itu tanah Jawa tak ada manusianya, maka akan muncul banyak persoalan, bagaimana dengan kerajaan Singasari, Kediri dan lainnya yang sebelumnya ada? Tentu membaca SERAT JANGKA SYEH SUBAKIR dan SERAT JANGKA TANAH JAWAI ini tidak bisa seleterlek ini. Mungkin butuh analisis simbol, semiotik, hermeneutik dan lain sebagainya agar mendapat pemahaman yang lebih luas. Sebab SERAT JANGKA itu pesan besarnya adalah mengenai “prediksi” masa depan Jawa dalam periodisasi tertentu, bukan membahas asal usul bangsa Jawa.

So, masih terbuka lebar untuk penilitan yang lebih jauh dan mendalam siapa sebenarnya leluhur orang Jawa di masa lampau sekali. Tentu tidak akan ditemukan jawaban tunggal, sebab sebuah masyarakat terdiri dari berbagai unsur, keluarga dan sebagainya, maka akan dimungkinkan banyak versi.

Kembali lagi, bahwa kata Jawa itu bisa diartikan “gemati”, perhatian, menghargai, menyayangi. Jadi siapapun mereka bisa melakukan itu semua di pulau Jawa ini, akan menjadi leluhur Jawa, entah dia dari belahan dunia manapun.

Salam Rahayu.....

*) Catatan : Keling, dalam wikipedia adalah daerah yang sekarang bernama India (benua Keling), seperti tercantum dalam sejarah melayu.Pada masa iniperkataan ini kebiasaannya merujuk kepada suku bangsa Dravida termasuk kaum TamilTelugu dan Malayalam. Di kawasan yang dulunya Kalinga, penduduknya pada hari ini bertutur dalam bahasa Bahasa Telugu dan Bahasa Oriya.