Dinamika Istilah GUSTI

Kata GUSTI merupakan bahasa Jawa yang sudah dikenal lama dan luas oleh masyarakat. Namun demikian, tidak semua orang memiliki pemahaman yang sama persis untuk memberi arti atau makna kata GUSTI. Bahkan ada sekelompok orang benar-benar tidak setuju menempatkan kata Gusti bersanding dengan Allah, yakni kata Gusti Allah.

Saya tidak sedang berusaha membantah atau memberi penguat atas sikap mereka. Namun saya hanya berusaha menyampaikan bahwa kata GUSTI telah mengalami proses perubahan pemaknaan sehingga melahirkan beragam pengertian, meski sebenarnya ragam itu lebih cenderung pada dua kategori.

Pertama adalah, GUSTI yang dirujukkan pada Raja/Pangeran atau keluarga para raja, para priyayi, bangsawan dan sejenisnya. Kata Gusti dalam kamus berarti Tuan, Paduka, Tuhan (Kamus Sansekerta-Indonesia, Purwadi dan Eko Priyo Purnomo). Arti ini menunjukkan bahwa kata GUSTI berarti yang dimuliakan, bisa raja, bangsawan dan priyayi, termasuk Tuhan. Dengan demikian istilah Gusti Allah sudah bisa dipahami, untuk mengungkapkan kedudukan Allah sebagai Tuhan, Yang dimuliakan.

Menurut Onghokam (2000), kata Gusti diterjemahkan Sapi, Lembu Anggini, kendaraan para dewa. Dengan demikian, sebutan Gusti sebagai sebutan memuliakan bisa dicarikan akarnya dari sini, yakni istilah yang berasal dari Mythologi Hindu.

Kedua adalah, GUSTI dipahami dengan cara Jarwa Dhosok atau Kerata Basa. Semacam Akronim yang luwes mengambil suku kata, akhir atau depan. Pemahaman akan bahasa dengan kerata basa merupakan tradisi masyarakat Jawa. Saya belum menemukan bukti sejarah sejak kapan hal itu muncul pertama dan dilakukan oleh siapa. Namun dari penjabaran atau praktek kerata basa, banyak menggunakan kata-kata Jawa yang sudah akhir atau muda, setelah masa Majapahit atau Demak.

Dalam kategori ini, GUSTI diartikan sebagai baGUSe aTI. Raja merupakan sosok yang bagus hatinya. Masyarakat bawah memandang para elit adalah sosok yang baik dan merupakan pemilik legitimasi langit dan bumi (makro dan mikrokosmos). Ketika kata GUSTI Allah bisa dipahami, bahwa Allah adalah Zat yang baik hati, welas asih terhadap seluruh makhlukNYA.

Namun, hebatnya, dengan kerata basa, berbekal othak-athik gathuk yang canggih, akan ditemukan varian baru dalam memberi arta sebuah kata. Dan ini sangat memungkinkan bahasa menjadi semakin dinamis di masa mendatang. Itulah warisan leluhur kita yang bisa membantu kita cerdas dalam memahami kata, bahasa sebagai simbol dari komunikasi manusia. Tentu berharap semakin menjadi arif, bukan malah bermain-main dengan kata untuk mencari legitimasi.

Salam Rahayu

==
Referensi : Oghokam, 2000, “Pengislaman Kultus Dewa-Raja di Jawa”, 31 Nopember 2000.