Kisah Si Jarum Suntik

Jarum suntik, terbungkus rapat, tersegel, kedap udara dan steril dan berjajar rapi di etalase apotik. Nun jauh di tempat lain, di tong sampah dekat rumah sakit, bertumpuk jarum suntik yang kotor, tak utuh dan berkuman. Bekas.

Bagi penjaga apotik atau penjual jarum suntik, bertemu yang ada di tong sampah tersebut bukanlah hal yang menarik hatinya. Sebab baginya adalah bagaimana yang ada di etalase harus terjual. Standar bersih dan sehat adalah motonya dalam menjual. Sebaliknya bagi pemulung, yang ada di tong sampah adalah rezeki, yang dicari untuk dijual. Jarum suntik menjadi sebab mendapatkan uang.

Kita sering berposisi sebagai penjaga apotik dalam memperlakukan orang. Menilai orang lain tak berguna, berbahaya dan kotor. Namun, seringkali kita juga bersikap layaknya pemulung, menilai orang hanya karena dia mendatangkan rezeki, tak peduli. Itu wajar, karena sudut pandang dan kepentingan berbeda yang dijadikan dasarnya.

Seorang Ayah/Suami adalah tiang keluarga, pemimpin, teladan. Pokoknya pahlawan bagi istri dan anak-anaknya. Tetapi di luar, ia kadang hanyi jadi pendengar atau penonton saat kongkow di warung kopi. Atau hanya jadi bahan guyonan saat berkumpul dengan teman-temannya. Tak ada pahlawan di luar rumahnya.

Namun, jauh di atas itu semua, kita perlu mencoba untuk melihat pada penjaga apotik atau pemulung, bukan mengambil cara pandang mereka. Anda mungkin akan seperti orang yang phobia pada jarum suntik, jangankan disuntik, melihat saja sudah risih. Bahkan dihadapan dokter spesialispun berani menolak untuk disuntik. Atau anda begitu bergantunya pada jarum suntik, sehingga dihadapan mantri anda berani memaksanya menggunakan jarum suntik.

Saya yakin, tidak semua dari kita adalah suka disuntik. Tetapi saya juga yakin, sebagiannya adalah sangat ahli menyuntik.

Sang Kiai

CATATAN DARI “SANG KIAI”

Sore ini, aku mengajak anak istriku menonon sebuah film, yakni Sang Kiai. Ada beberapa catatan yang bisa kubagikan, meski saya yakin seyakin-yakinnya anda akan mempunyai pandangan dan catatan tersendiri atasnya.

Sungguh, sejak awal film diputar, rasa dalam dada ini sudah bergolak. Sang sutradara mampu mengajakku untuk menonton dengan perasaan. Air mata tak bisa kubendung (cengeng kali saya). Bagaimana serdadu Jepang dengan pongahnya “menyerbu” Tebuireng. Dengan sigap sosok, ayahanda Cecep Karim Hasyim dengan sontak naik ke lantai dua, dengan membawa bendera merah putih melawan sikap arogan serdadu-serdadu itu. Tak berhenti sampai di situ, bahkan sepanjang film, andai saja anakku bisa tidur nyenyak, mungkin aku leluasa mengucurkan air mata begitu nikmat rasanya. Bahkan istriku yang baru mengenal NU melaluiku, tak kuasa haru dan terhanyut dalam cerita.

Sang sutradara begitu teliti, berusaha menggambarkan detail peristiwa. Salah satu episode di Jembatan Merah menghadang Mallaby, benar-benar di Jembatan itu. Kulihat ada dua truk Brimob yang aku yakin waktu shooting menutup jalan kembang Jepun. Lokasi penjara Kalisosok, desa Teburireng dengan sungainya juga demikian. Bahkan tindak-tanduk Kiai, sampai cara wudlunya kulihat begitu diperhatikan oleh Sutradara. Dus secara keseluruhan, ku menangkap sosok yang begitu lengkap, baik konteks dan tuturnya.

Apalagi, ini yang membuatku tertarik selama menonton. Kisah mispersepsi yang menimbulkan kontroversi antara Kiai dan Harun (santrinya) yang sebelumnya begitu dekat, sejalan, namun Harun memilih jalan berbeda ketika mempersepsikan Kiai telah tunduk pada Jepang. Toah diujung cerita, Harun dengan beraninya (mungkin nekatnya) menembak Wallaby, bisa jadi ini sebagai bentuk menebus rasa berdosa atas kesalahpersepsiannya terhadap sikap Kiai.Sedari dulu, sikap kontroversi atas sikap Kiai sudah jamak lumrah. Namun Kiai selalu bilang, “apa aku harus ceritakan semua yang kupikirkan?”

Di penghujungnya, utusan Jendral Sudirman memohon Kiai untuk melakukan hal sama, mengeluarkan Resolusi Jihad, ketika Belanda masuk lagi (agresi tah 1947). Namun Allah berkehendak lain, di saat mengucap “Masya Allah...Astaghfirullah” dalam posisi duduknya mereaksi laporan kebrutalan Belanda yang sudah sampai Malang mendekati Surabaya, beliau dipanggilNYA. Jadi saya kepikiran, apa yang terjadi kira-kira saat itu (agresi Belanda) resolusi itu keluar lagi?  Hanya Allah yang mengetahuinya.

Bukan tugas kita untuk menduga-duga atau mencoba cari tahu jawabnya. Yang penting, bagaimana nasib bangsa kita ini selanjutnya di tangan kita.

 

 

 

 

 

 

ANTARA KH. HASYIM ASY’ARI DAN SYEIKH M.SA’ID R AL BOUTHY

Rasanya kok eman, kurang menggigit jika nanti nonton film Sang Kiai hanya karena merasa orang NU. Atau adanya ikatan-ikatan emosional berlandaskan amaliyah ziarah, tahlilan atau hizib Falah. Jika begitu, bisa jadi nanti keluar dari gedung bioskop, diriku membusungkan dada tanpa makna apapun yang dibawa.

“Bung Karno menitipkan pesan kepada Kiai, apakah hukumnya membela tanah air, bukan membela Allah”. Kemudian, Sang Kiai menjawab : “Hukum membela negara dan melawan penjajah adalah fardlu 'ain".‘Cuplikan diialog dalam trailer tersebut adalah inti dari film keseluruhan, menurutku. Bahwa kemudian, lahir resoulis jihad, perang 10 Nopember, dan kematian jendral Sekutu (Inggris). Kiai Hasyim Asy’arie dengan demikian dapat dikatakan sebagai salah satu tokoh NKRI dalam mempertahankan kedaulatannya, kemerdekaan yang baru diproklamirkan. Pada perang itulah, Sekutu mengalami kekahalan yang cukup tragis. Film ini menggambarkan bahwa peran Kiai demikian luas, tidak hanya urusan domestik, tetapi sudah menjadi gerakan melawan kekuatan global.

Apakah, itu semua karena Bung Karno orang NU? Atau karena pernah mondok dan menjadi santri Sang Kiai? Bukan. Bahwa melawan penjajah, membela negara adalah urusan warga terhadap negaranya.

Mungkin sejarah inilah yang menjadi inspirasi yang pada akhirnya menjadikan Syeih M Said Ramadhan Al Bouthy menjadi korban. Bagaimana kekuatan fatwa Kiai, tokoh agama mempunyai efek luar biasa menggerakkan massa. Apakah Bashar Assad santri Syeh Said? Apakah Syeh Said seorang syiah? Bukan urusan itu. Tetapi mempertahankan kedaulatan Suriah, mempertahankan kedamaian yang selama ini ada adalah sebuah Jihad.

Sungguh bersyukur, film Sang Kiai ini dihadirkan untuk bangsa Indonesia secara keseluruhan. Bukan hanya untuk kalangan NU atau santri. Bahwa kesadaran membela negara kewajiban siapa saja yang menjadi warganya.

Tapi tunggu dulu, jangan senang dulu, jika nanti ada yang mengusiknya. Ada yang menyudutkan Sang Kiai, karena jihad yang digelorakan beliau tidak dilabeli agama, tidak demi membela Allah, tetapi membela negara (yang dipersepsikan sebagai Toghut). Dulu, masalah ini mungkin biasa-biasa saja, tetapi kelak, ini bisa menjadi kontroversi. Sebab membela negara (disebut) tak ada urusannya dengan tauhid, apalagi memurnikannya serta membela negara bukan urusan menegakkan syariah Islam.

Sebelum itu terjadi, mari, saya dan anda untuk menyaksikan film tersebut nikmati, resapi semoga anda mendapat bekal untuk membentengi diri dalam hal kontroversi di masa mendatang.

Pernikahan Sejenis : Masih ada yang layak diperjuangkan

Pernikahan kaum sejenis (Gay, Lesbi) diperjuangkan di mana-mana. Semakin menunjukkan kemenangan mereka. Jika sebelumnya ditentang banyak negara, namun juga tidak sedikit negara yang secara bertahap melegalkannya. Pernikahan model ini lebih menonjol pada budaya-budaya yang sudah demikian maju dari sisi materi. Boleh jadi tradisi itu lahir dari berkuasanya materi atas jiwa-jiwa manusia. Transaksi “dagang sapi” menjadi model utama dalam pergaulan masyarakat semacam ini.

Kata Presiden kaum Jancuker, “Jika cinta saja kau beli, maka kau akan rela menjual apa saja demi cinta”. Pernikahan yang sudah seharusnya kemudian menumbuhkan rasa cinta kasih sudah tidak demikian sakral, karena itu semua bisa dibeli dengan materi. Kita yang konon sangat menentang pernikahan model gay-lesbi ini secara diam-diam tidak pernah memperjuangkan pernikahan dan rumah tangga yang diliputi rasa cinta kasih. Sementara mereka begitu gigih berjuang menunut pengakuan haknya, “seks, bahkan cinta asal sama-sama setuju dipertukarkan adalah barang legal, tak peduli apakah itu sejenis atau bukan”.

Dengan demikian menjadi wajar, jika bencana ditimpakan kepada masyarakat, bahkan secara umum, ketika perkawinan sejenis ini menjadi legal. Ini dari sudut pandang agama. Bukankah perkawinan sejenis hanya salah satu bentuk atas kuasanya materi atas jiwa manusia?

Maka, perlu perjuangan ekstra bagi kita yang menentangnya : masih ada model pergaulan, transaksi yang tidak harus berdagang. Masih ada cinta dan kasih sayang di dalamnya yang layak untuk diperjuangkan.

Andai saja, setiap rumah tangga yang ada begitu kuat memperjuangkan ini, niscaya kengototan kaum gay/lesbi tidak sekuat seperti sekarang ini.

Cintailah Istri/Suami anda. Ajaklah bersenggama di saat tanggal tua, agar tak tertukar dengan uang belanja.

Makan Enak, Tidur Nyenyak

Ini adalah nasehat dari Raden Kertawibawa dari Tulung Agung :

MANGAN ENAK LAN TURU KEPENAK

Alangkah bahagianya, jika ada orang yang bisa makan enak dan tidur nyenyak. Namun alangkah jeleknya jika ada orang yang hanya makan dan tidur. Makan bisa enak itu bukan sebab harganya, banyaknya bumbu, atau anehnya pengolahan dan bukan sebab banyaknya yang masuk ke perut. Tetapi sebab cukupnya gizi/zat yang dibutuhkan raga dan laparnya perut (sarine kang mathuk lan luwene waduk). Makanan itu bisa membawa watak baik dan buruk. Pertanda jika makanan berpengaruh pada watak adalah ketika seseorang ditengah makannya menggigit kerikil, atau tak sengaja menggigit cabe yang pedas tentu bikin marah, terkadang bisa marah seharian. Minum arak sedikit saja bisa menimbulkan pertengkaran. Jadi yang dibutuhkan raga itu jika tak serakah bisa baik. Meski minum dawet yang murah bisa membuat tersenyum, anak gembala yang makan kedele bisa rukun, guyon dan akrab.

Tidur itu mengistirahatakan otak yang bekerja keras seharian dan bisa menguras energi dan asupan gizi makanan. Tidur dan makan itu kebutuhan hidup tapi tidak perlu melebih batas cukup yang sudah terasa nikmat. Makan bisa menjaga raga, dan tidur itu bisa mengembalikan energi. Nikmatnya tidur itu jika mengantuk. Tidur yang lama tidak menghasilkan energi besar, malah bisa membuat bebal dan bikin badan tidak enak. Tidur itu datang sendiri, tak bisa diundang. Jika belum mengantuk, meski dipaksa tidak bisa tidur. Orang bisa memastikan dimana ia tidur, tetapi tidak bisa memastikan saatnya tidur, saat “sek’e” tidur, itu semua pertanda bahwa tidur adalah istirahatnya pancaindra. Siapa berani bertaruh bisa tidur persis pada pukul 21.00 WIB?

Makan dan tidur itu bukan hutang piutang. Seandainya mau nonton wayang lima hari, tidak bisa dikebut tidur tiga hari sebelumnya. Begitu pula yang mau berpuasa, sebelumnya makan banyak sekali tetap saja tidak bisa menghalangi rasa lapar. Jika demikian, makan dan tidur itu ibarat berhenti, maka akan datang sendiri, sebelum datang akan ada tanda-tandanya, tak bisa dibuat-buat, maka manusia tidak wajib berhenti (bersengaja tidur, makan) jika belum beraktivitas. Jangan makan tidur saja.

Dinukil dari “Gagasan Prakara Tindaking Ngaurip”, ditulis oleh Raden Kertawibawa, Tahun 1921.

Ci .. Luk....Baaaa !

CI ..LUK...BAAAA !
Anda sering bermain Cilukba, dengan anak-anak anda? Tapi pernahkah anda bertanya bagaimana sih permainan cilukba itu berasal?
Permainan Cilukba, dengan cara menutup muka sambil berkata, Ciluk........disusul Baa....bersamaan membuka tangan. Harapnnya anak-anak atau bayi yang sedang digoga bisa berkomunikasi, tersenyum atau kegirangan. Konon permainan ini berasal dari Bi Hun Ke (sekarang Bangkok, Thailand). Adalah seorang ratu yang mempunyai anak (masih bayi) dengan nama Chi Luk Thong Mi. Mungkin dianggap aneh, karena bayi ini susah tersenyum. Maka disuruhlah para pengemongnya untuk membuatnya tersenyum atau gembira. Maka dua orang pembantu melakukan permainan menutup wajah dengan tangan, kemudian yang satunya memanggil....Chi Luk......Baaaa !!! Ajaib, Chi Luk Thong Mi merespon dan memberikan sambutan gembira. Maka kebiasaan ini kemudian menjadi kebiasaan untuk ngudang bayi, bahkan sampai di sini dengan keragaman bahasa. Namun Cilukba adalah yang sangat populer.

Menurut ahli psikologi, permainan cilukba dapat melatih bayi melakukan fokus, fokus pada wajah yang ditutup kemudian dibuka. Selain itu permainan cilukba melatih anak-anak dengan kondisi ada-kelihangan. Melatih ada ibunya dan tak ada ibunya yang ada disamping. Ketika Ciluk....tertutup dia dilatih kehilangan, kemudian dengan Baaa.... semua ada kembali. Rasa kehilangan dan keberadaan itu telah ditanamkan sejak dini, melalui permainan cilukba....

Mungkin, bagi orang Jawa bukan itu kisahnya. Ciluk......dilik diluk..........baaa.... maka kemudian permainan ini tidak sekedar menutup wajah, tetapi sudah berkembang layaknya petak umpet.
Bagaimanapun permainan itu ada manfaatnya juga.... meski sekedar Cilukba....tapi kalau itu diterapkan bagi orang dewasa..... apa ya masih bermanfaat?

Kebangkitan Nasional ?

Kebangkitan terjadi jika sesudah ada kematian. Baik kematian beneran atau perumpamaan. Dulu, ketika Kebangkitan Nasional lahir, sebagai bangsa, Indonesia bisa dikatakan mengalami kematian. Keterpurukan ekonomi, keterbelakangan pendidikan, keterjajahan dan penderitaan-penderitaan lainnya merupakan kematian. Kesadaran akan senasib mengalami kematian-kematian itulah yang mendorong kebangkitan nasional. Kemerdekaan adalah wujud dari kebangkitan itu. Terbebas dari belenggu penjajah adalah pengejawantahan dari kebangkitan nasional.

Di jaman sekarang, di era demokrasi, perasaan dan nasib itu sudah demikian terfregmentasi ke dalam partai, organisasi, komunitas atau individu. Keterbelakangan di Papuan tak dirasakan bagi mereka yang di Jawa atau Sumatra. Keterpurukan ekonomi masyarakat pedesaan tak menjadi problem warga kota.

Jika logikanya dibalik, penderitaan yang merata akan memicu kebangkitan bersama. Jadi kematian macama apakah yang bisa diwujudkan pada hari-hari ini agar kebangkitan nasional kedua muncul?

Mungkin dengan menutup layanan Facebook untuk Indonesia akan menjadi “kematian” yang cukup dramatis dan masif. Dan jelas mungsuhnya adalah kapitalis, kemudian muncul situs sejenis yang jauh lebih nasionalis. Jika hanya Indonesia saja tentu tidak adil. Maka penutupan FB diseluruh dunia, yang terjadi adalah bangkitnya khilafah, sebab pasti musuhnya semakin jelas, yakni Zionis.


Tapi kasihan bagi mereka jomblower belum sempat menemukan pasangan FB yang pas sudah ditutup.

SELAMAT MEMPERINGATI HARKITANAS

Jangan Lupa Diri : Lupa Budaya

Bagi masyarakat mana saja mengenal diri sendiri, mengenal jatidiri budayanya merupakan sebuah tuntutan yang seharusnya diprioritaskan. Budaya, ilmu, pengaruh dari luar budayanya tidak selalu membawa sebuah perubahan yang lebih baik.

Para leluhur dulu sudah jauh-jauh hari mengingatkan akan hal tersebut, bahkan dalam kehidupan beragama, dimana budaya akan bersinggungsentuhan dengannya. Dalam Serat Wedhatama Pupuh III Pucung disebutkan :

06
Durung pecus,kesusu kaselak besus, amaknani lapal, kaya sayid weton Mesir, pendhak-pendhak angendhak gunaning janma.
(Belum becus tergesa-gesa berlagak, Menjelaskan kandungan yang diucapkan, Gayanya bagaikan profesor dari Mesir, Setiap kali meremehkan kepandaian orang lain).

07
Kang kadyeku, kalebu wong ngaku-aku, akale alangka, elok Jawane denmohi, paksa ngangkah langkah met kawruh ing Mekah.
(Yang seperti itu, tergolong orang yang cuma mengaku, Hasil pemikirannya tak ada, Kebudayaan Jawanya dijauhi, Memaksa diri melangkah menimba pengetahuan di Mekah).

08
Nora weruh, rosing rasa kang rinuruh, lumeketing angga, anggere padha marsudi, kana-kene kaanane nora beda.
(Tidak tahu, bahwa sarinya rasa yang dicari itu, Melekat dalam diri sendiri,
Asal diusahakan dengan sungguh-sungguh, Di sana (Mekah) dan di sini (Jawa) tak ada bedanya).

09
Uger lugu, den ta mrih pralebdeng kalbu, yen kabul kabuka, ing drajat kajating urip, kaya kang wus winahyeng sekar srinata.
(Asal jujur, yang Anda lakukan untuk memperoleh kearifan, Bilamana terkabul niscaya terbuka, Derajat yang dihajatkan dalam hidup, Seperti yang dipaparkan dalam kitab suci).

Jadi, tak perlu susah, jika tidak tahu dalilnya ...

Mandi dan Berwudlu Menarik Hati Mereka Memeluk Islam

Banyak cara untuk berdakwah, mengajak kepada kebaikan, mengenalkan Islam kepada orang kebanyakan. Terkadang cara-cara sederhana, bahkan tak ada kaitannya secara langsung. Salag satu contohnya adalah kegiatan mandi dan berwudlu telah menarik beberapa penduduk Wamena, Papu terketuk hatinya memeluk Islam. Menurut Ade Yamin, seorang Staf Pengajar di STAIN AL Fatah, Jayapura menjelaskan bahwa sebagian masyarakat di Wamena tertarik dengan cara kehidupan pendatang yang dilihat lebih beruntung dan baik. Salah satunya adalah kebiasaan mandi dan berwudlu sebelum shalat yang dilakukan oleh para keluarga pendatang yang bertugas sebagai Pelopor Pembangian Irian Barat (PPIB) pada tahun 1965-an.

Penuturan Musa Wuka bisa mencerminkan hal itu :

“Waktu itu, saya dengan teman-teman saya, kita melihat anak-anaknya, orang-orangnya itu, ternyata kebersihannya lebih tinggi dari kami di sini, berpakainnya, badannya semuanya bersih...saya tertarik, mereka perlengkapan ke mushola itu lengkap, semua yang tinggal di lokasi ini masuk semua, dari subuh ... ada apa dalam pikiran saya?”

Ketertarikan pada cara hidup yang lebih baik, bersih dan selalu mandi terlebih dahulu sebelum shalat ternyata telah menarik beberapa anak-anak Wamena waktu itu untuk lebih dekat mengenal aktivitas di Mushalla. Lama-lama kemudian mereka mendekat kepada keluarga pendatang dan mau masuk sekolah. Setelah perkenalannya dengan Pak Jarim (guru sekolah dasar), kemudian dia diperkenalkan Islam. Namun, jangan dibayangkan ajaran apa yang diberikan. Tutur Musa Wuka :

“...dia bilang begini, kamu bisa begini (takbiratul ihram-dengan peragaan)?, saya jawab “elok (bisa)”, kalau begitu kamu pergi mandi, kemudian ke rumahnya, habis itu kita disuruh baca bismillah, baca itu terus, setelah satu jam baru ditambahi bismillahirrohamanirrahim besoknya, kita mahir dalam seminggu itu saja, sesudah itu kita disuruh ikut cara-cara ambil air wudhu, untuk mandinya, habis itu belajar untuk wudhu saja makan satu bulan...”

Begitulah sebuah kisah, bagaimana Islam menyapa warga Wamena, Papua. Anak-anak tertarik pada hal-hal sepele, yaitu kegiatan mandi dan berwudhu. Bagi mereka itu adalah kebiasaan yang lebih baik, lebih membuat bersih diri. Selain itu tentu ada daya tarik lain, bahwa keluarga pendatang yang menarik hati mereka kehidupannya dianggap jauh lebih beruntung dan baik.

Pergaulan dengan demikian menjadi kunci dalam dakwah ini. Bagaimana agar diri diterima oleh masyarakat, menarik dan dipercaya. Kemudian memperkenalkan hal-hal yang tidak memberatkan mereka, hanya mengenal bacaan basmalah harus seminggu mengenal wudhu sebulan dan seterusnya. Proses seiring dalam pergaulan telah menimbulkan cahaya Islam di lembah Baliem, Wamena.

Tulisan ini disarikan dari artikel Ade Yamin berjudul “Generasi Pertama Orang Dani Pemeluk Islam (3)”, dapat diakses di ethnohistori.org

Sasi Rejeb

Nama Rajab sebagai bulan memang bukan istilah Jawa. Tapi sebutan Rejeb, Rajab sudah umum dipakai oleh masyarakat Jawa. Setelah sasi Rejeb kemudian Ruwah (Sya’ban) dan Poso (Ramadhan).

Kata Rejeb bisa “dimistik” dengan ilmu kerta basa sehingga menghasilkan pemahaman unik di dalamnya. RAJAB bisa diuraikan menjadi RAsa ngaJAB. Ada rasa berharap dalam diri manusia, berharap apa itu? Berharap di bulan Rajab ini mendapat ampunan dari Gusti Allah, dengan memasuki bulan Rajab ini akan dipanjangkan umur dan mampu beribadah dengan tekun berharap, bercita-cita memasuki bulan Ramadhan (Poso). Maka dalam konteks ini pujian-pujian di musholla akan sering terdengar “Allahumma barik lanaa fii rojaban, wa sya’banan, wa balighna romadhona..”

Kedua adalah REJEB, yang “dimistik” menjadi REgete di JEBol. Maksudnya memasuki bulan Rejeb, banyak-banyaklah membersihkan diri, memohon ampunan kepada Gusti Allah atas menumpuknya kotoran, noda dan dosa diri. Dalam pengertian ini bisa dipahami banyak kyai yang menganjurkan dalam bulan REJEB ini banyak-banyak beristighfar. Bahkan membersihkan diri/fisik, lahiriah, batiniah dengan banyak berpuasa sangat dianjurkan, sehingga memasuki sasi RUWAH, sudah memulai perubahan lebih serius menyambut tamu agung Ramadhan.

Wallahu 'alamu Bishshowab

Selamat memasuki bulan Rejeb.....

Siapa itu Leluhur?

Kata Leluhur (=Jawa) merupakan kata “Dwipurwa” yang berasal dari kata “lingga” (dasar) “LUHUR”, maksudnya suku kata awal (LU) doble/ganda sehingga bentuknya menjadi LULUHUR dan berubah ucapan LELUHUR. Arti kata LUHUR adalah atas. Namun dalam penggunaanya, bisa diartikan dengan “Utama, Penting, dan Baik”. Misalnya : Budi Pekerti Luhur yang diartikan dengan budi pekerti yang utama/baik.

Kemudian, bentuk LELUHUR diartikan “Yang Di atas-atas”. Dalam bentuk Dwipurwa ini sudah mengarah kepada pengertian tertentu, yaitu “yang di atas”, kemudian menjadi istilah orang tua dan seterusnya (ke atas) yang menurunkan diri kita.

Setiap diri kita mempunyai leluhur, yang dekat itu bapak dan ibu. Bapak dan ibu kita juga punya bapak dan ibu. Demikianlah seterusnya, merekalah itu para LELUHUR.

Yang sudah menikah mempunyai istri dan mempunyai orang tua berjumlah empat (4). Mereka mempunyai orang tua delapan (8) yang disebut SiMbah atau Eyang. Eyang yang 8 mempunyai orang tua 16, yang disebut Buyut. Orang tuanya buyut berjumlah 32 yang disebut Canggah. Leluhur selanjutnya disebut Wareng yang berjumlah 64. Kemudian Udeng-udeng berjumlah 128. Kemudian atasnya lagi disebut Gantung Siwur berjumlah 256. Berlanjut disebut Gropak Senthe berjumlah 512, kemudian Kandang Bubrah berjumlah 1024. Atasnya lagi disebut Debok Bosok berjumlah 2048. Demikianlah seterusnya yang disebut Leluhur dalam konsep masyarakat Jawa.

Andai saja anda punya istri 4, maka tentu semakin banyak leluhur dalam diri anda. Tanpa keberadaan mereka kita tidak akan eksis di dunia ini. Maka sudah layaknyalah kita Meluhurkan para leluhur, atau nywargakne para leluhur. Jangan sampai, kita ini kehilangan uceng/sumbu tak tahu asal usul diri kita.

Antara Takhayul dan Kekayaan Alam

Orang-orang tua dulu menasehati agar jangan merusak punden, tapaan, atau pohon keramat. Kita hanya ditakut-takuti agar tidak melakukan itu semua, dengan momok hantu, seperti banaspati, sundel bolong, wewe gombel, ular naga dan sebagainya. Dan intinya kita tidak berani melanggar. Paling mudah untuk menjelaskan sikap ketaatan ini adalah karena takut momok2 itu, bukan karena memang ada tidak momok itu. Ditambah lagi ketaatan kita pada orang-orang tua.

Jangankan membongkar makam atau menghancurkan pohon keramat atau punden-punden itu, mengotori saja kami tidak mau/berani. Ternyata di kemudian hari, nasehat-nasehat itu mempunyai arti yang sangat penting. Dengan keberingasan nafsu menggunduli hutan, kami menderita kekeringan luar biasa. Dengan hancurnya punden, sumber mata air di sekitarnya juga hilang. Ternyata dibalik takhayul menyimpan kekayaan masa depan luar biasa. Dan begitu sederhananya leluhur kita menjaganya. Dan begitu baiknya kita menjaga dengan ketaatan bodoh kita.

Namun, akhir-akhir ini sudah mulai banyak upaya-upaya untuk menghancurkan hal-hal seperti itu. Berita beredar ada di Mali. Maka berdasarkan pengalaman itu, satu pertanyaan sederhana diajukan, “kekayaan apa yang tersimpan di bumi Mali?”. Meski makam-makam itu tak ada bukti kaitan langsung, tetapi paling tidak, masih ada yang harus dijaga. Jika makam leluhur saja sudah tak ada gunanya, maka jangan heran kekayaan yang sudah lama dijaga oleh nasehat leluhur juga tanpa sungkan dikeruk....

Eh... ada apa ya di Mali?... konon.. di sanalah intan berlian tersimpan....

 

 

"Barzanjy" Ala Jawa

Jika anda biasa membaca kitab Barzanjy, yang berisi sejarah dan pujian kepada Nabi Muhammad SAW. ternyata di Jawa juga ada yang demikian. Secara pribadi, saya baru menemukan ini, namanya SERAT PARAS. Dari namanya dapat diartikan KITAB/NASKAH WAJAH, ya paras Kanjeng Nabi Muhammad yang sedang diceritakan. Terdiri dari 7 Pupuh, yaitu Asmaradana, Sinom, Kinanthi, Sinom, Asmaradana, Kinanti, Dandhang Gulo. Susunan Pupuh ini sebenarnya menarik, karena menampilkan 4 jenis mocopat (semuanya kan ada 12). Jadi siklusnya Asmaradana, Sinom dan Kinanti kemudian diakhiri dengan Dhandanggulo. Seolah-olah penulis tidak menghendaki adanya siklus yang biasa dalam Macapat, ada Mijil = Lahir kemudian diakhiri tahapan Megatruh, Pocung dan Wirangrong. Sehingga kesannya adalah serat ini tidak menempatkan Kanjeng Nabi sebagai manusia yang meninggal dunia dan tidak berguna kemudian. Tetapi jauh lebih penting adalah mengenal keteladanan beliau dan meski sudah meninggal bagi kita hendaknya tetap menjadikan beliau teladan.

Maka, tembang Asmaradana sebagai wujud sukur kita dan memuji kepada Kanjeng Nabi. Sinom melambangkan bahwa Nabi akan tetap selau hidup bagi umatnya serta Kinanti, kelak kita nantikan syafaat beliau di akhirat. Itulah menurutku mengapa SERAT PARAS ini memilih empat jenis tembang dalam susunannya.

Pada Pupuh I, secara ringkas menceritakan asal-usul Nabi Muhammad dari Arab, yang mulia, dari keturunan mulia. Misalnya dalam bait ke-15 Pupuh I disebutkan :

Kang ibu namine singgih / Aminah nami ika[21] / kang rama ika westanya / abdulah asal wong Ngarab / anak puntune Nabi Adam / saturu turune iku / saking Nabi Ibrohim ika//

Pada Pupuh II digambarkan mengenai ciri-ciri fisik, tutur kata, suara, perilaku dan sebagainya dari beliau yang mengagumkan. Pupuh III, IV dan VI mengisahkan hubungannya dengan jibril serta dimuliakannya oleh para bidadari, serta meninggalnya. Pada pupuh VII ditutup dengan Kidung Rumekso Ing Wengi.

Dus SERAT PARAS ini adalah karya Kanjeng Sunan Kalijaga. Untuk lebih dalam dan mendalami, silakan dicari dan bertanya kepada Mbah Google. Selamat menikmati.

GETAR KHILAFAH CETAR MEMBAHANAH

Gaung Khilafah terdengar nyaring kembali. Ini tidak terlepas dari perkembangan di Suriah yang diyakini semakin memperkuat kelompok oposisi yang berusaha menggulingkan Bashar Assad.

Mungkin anda akan menjawab : “Ah, itu tidak mungkin terjadi. Lantas siapa yang akan menjadi Khalifah? Apakah mereka bersedia menerima satu sama lain? Tidak semuanya mempunyai pandangan demikian. Belum lagi negara/kerajaan yang selama ini menjadi pendukung perlawanan mereka apa mau tunduk di bawah khilafah tersebut?”

Oke. Khilafah memang satu bendera, satu kedaulatan politik, bisa satu negara. Tetapi untuk mewujudkan model khilafah seperti sebelumnya tidak mudah untuk zaman saat ini, karena adanya negara-negara atau kerajaan yang tidak begitu saja menyerahkan kedaulatannya. Tetapi atas nama Khilafah ala minhajinnubuwah, model khilafah yang ditawarkan bisa semacam perserikatan tetapi dengan adanya kekuasaan tertinggi, bisa jadi kekuasaan FATWA AGAMA. Ini semacam Vatikan, tetapi dengan kekuatan memaksa yang lebih kuat, karena fatwa dari khilafah tersebut mengikat seluruh muslim di dunia, di berbagai negara muslim dunia. Ini menembus batas negara, meski tanpa meleburkan negara menjadi satu.

Maka menjadi sangat logis, jika kemudian Suriah dijadikan tempat yang layak untuk berdirinya khilafah, karena mereka berpegang ““Idza fasada Ahlu as-Syam la khai ra fikum”. (1). Ini semakin menemukan titik berkelindan yang terang ketika ada upaya-upaya untuk menguasai Al Azhar (2). Semua orang tahu bahwa Al Azhar dapat dikatakan sebagai pusat ilmu pengetahuan dan fatwa yang dikeluarkan didengar oleh umat Islam di dunia. Apalagi di negeri kita ini, NU menjadi sasaran tembak terus menerus. Awalnya dicoba untuk menarik simpati bahwa NU termasuk pengusung khilafah. Namun, lama-lama diserang habis-habisan, karena NU tidak ada niat untuk itu. Di Indonesia yang penduduk muslimnya besar menjadi garapan utama dalam rangka pendirian khilafah ini, maka muktamar khilafah nanti akan menjadi bukti yang dapat disiarkan ke seluruh dunia, bahwa Indonesia juga siap menerima khilafah yang akan berdiri di Suriah. Klop sudah.

Tapi apakah ini akan berjalan mulus? Bagi mereka tegaknya Panji Hitam “Laa ilaaha illallah” sudah demikian jelas dan yakin akan bisa berdiri. Tentu banyak pihak yang mencurigai akan membahayakan stabilitas dunia. Bagi AS, China utamanya ini akan menjadi kekuatan tanding bagi mereka. Dan tentu mereka tidak mudah rela. Tetapi, di sisi lain, dengan kesibukan umat Islam mendirikan khilafah, Israel diam-diam melancarkan aksinya untuk semakin mengokohkan Israel Raya. Jadi kelak bisa sama-sama muncul khilafah, Israel Raya, ditambah lagi Imamah Syiah di area yang tak berjauhan.

Bagaimana dengan Indonesia? Semuanya tergantung warga Indonesia sendiri. Termasuk saya dan anda.

Wallahu 'alamu bishshowab

(1) Analisa Politik Islam : Jika Khilafah Berdiri di Suriah, Detik Islam

(2) http://www.mosleminfo.com/dr-ahmad-karimah-ikhwan-dan-salafi-berusaha-tutup-al-azhar-wawancara-eksklusif/

Kitab Teles Dalam Bentuk Buku

Cover Kitab Teles

Bagi kawan-kawan yang sudah lama membaca tulisan-tulisan saya, baik dalam status FB maupun dalam blog pribadi saya ini, sekarang catatan-catatan tersebut saya kumpulkan menjadi sebuah buku bentuk PDF. Agar bisa dinikmati tanpa harus membuka link satu persatu.

Bagi anda yang baru mengenal ini, ini sebagai awal, semoga bisa berlanjut ke jilid-jilid berikutnya.

Anda bisa download disini.

Terima kasih semoga bermanfaat.

Guru (nanti) hanya menjadi pembantu

Kita sudah sering membaca lencana (bedge) yang menempel di topi anak-anak sekolah, atau baju seragam atau papan nama sekolah-sekolah di negeri ini. Ada semboyan yang menjadi filosofi dunia pendidikan, yakni “Tut Wuri Handayani”. Semboyan ini adalah penggalan semboyan dari Ki Hajar Dewantara, “Ing ngarso sung tulodho, Ing madya mangun karso, Tut wuri handayani”. Bisa diartikan “di depan memberi teladan, di tengah membangun semangat, di belakang mendorong motivasi”. Semboyan ini lebih ditujukan bagi para guru, bukan untuk murid. Inilah yang sering kurang mendapat perhatian.

Saya sendiri juga heran, mengapa hanya semboyan yang terakhir yang dipakai? Apa yang terjadi, maka guru lebih banyak bermain di belakang meja, tidak mau terlibat bersama-sama siswa, apalagi menjadi teladan bagi murid-muridnya. Akhirnya guru hanya sekedar menjadi motivator yang tidak terlibat kebersamaan dengan siswa.

Saat ini jarang sekali menemukan guru yang bersungguh-sungguh memikirkan murid-muridnya sepenuh waktu. Jam mengajar di kelas dijadikan pembatas. Apapun yang dilakukan di luar itu, sudah dianggap bukan menjadi tanggung jawabnya.

Para guru bisa berdalih, mereka juga memerlukan waktu buat keluarga, masyarakat dan lainnya. Tapi ini seringkali sekedar dalih untuk beralibi. Proses pendidikan hanya sekedar menyampaikan ilmu, berceramah tanpa ada ikatan guru-murid yang bertanggung jawab.

Guru adalah sosok penting dalam proses pendidikan. Namun jika hanya di belakang terus, kapan bisa maju pendidikan di negeri ini? Guru kurang bersemangat menambah ilmu, menambah keahlian yang terus berkembang. Jika ini dibiarkan, guru hanya sekedar pembantu, konco wingking (pembantu).

Selamat Hardiknas

Buruh yang "Weruh Butuhe"

Kita semua mungkin termasuk kategori buruh. Tapi tidak semuanya memperingati Hari Buruh sedunia atau dikenal dengan May Day. Salah satu tuntutannya waktu itu adalah “delapan jam sehari” diberlakukan sebagai waktu standar bagi para buruh bekerja di pabrik/perusahan di AS tahun 1800-an, karena mereka dipekerjakan lebih dari 8 jam sehari, bahkan 19 jam sehari, tentu dengan upah yang tidak memuaskan.

Buruh, dalam konteks ilmu gothak-gathik-gathuk bisa dijlentrehkan sebagai “ora Butuh weruh”, tidak perlu tahu. Para buruh tidak perlu tahu berapa laba yang dikeruk oleh pemilik perusahaan. Tidak perlu tahu bagaimana cara menghitung upah minimal yang harus dibayarkan. Bahkan standar kelayakan hidup yang sering dijadikan dasar menghitungnyapun, tidak semua buruh paham. Yang dibutuhkan adalah dengan upah yang diperoleh, buruh bisa hidup layak dengan keluarganya. Itu saja. Dak mau tahu urusan yang njlimet-njlimet. Dalam konteks ini, buruh sering dijadikan alat politik, pengumpul suara di saat-saat pesta demokrasi.

Bila, buruh diartikan sebaliknya, “Butuhe weruh”, maka dia harus tahu seberapa besar keuntungan yang didapat oleh pengusaha, dan berapa yang layak diberikan kepada buruh. Di sini buruh benar-benar berjuang karena pengetahuannya dan memperjuangkan apa yang harus diketahui.

Manusia dalam beraktivitas seringkali didasari atas relasi aktivitas-upah, layaknya buruh. Bahkan dalam beragama, pemikiran ini demikian menguasai. Lagi-lagi manusia adalah buruh dari Sang Maharaja alam semesta. Menjadi buruh dengan demikian bisa memotivasi manusia untuk selalu berusaha tahu apa yang dikehendaki Majikan. Tapi kadangpula mencari tahu bagaimana Majikan membagi upahNYA.

Namun, apakah kita sering melakukan unjuk rasa seperti para buruh dalam memperingati May Day menuntuk hak-hak yang layak dari Sang Mahamajikan? Atau anda dengan tegas dan istiqomah “ora butuh weruh” urusan Sang Majikan? Tetapi “weruh butuhe” Sang Majikan kepada diri kita, jika demikian anda tidak akan menjadi buruhNYA, dan tidak menuntut pengurangan jam pengabdian anda seperti yang dilakukan oleh para buruh ratusan tahun silam.