Kyai : Sebuah Relasi Agama dan Kekuasaan

Istilah Kyai, menurut pandangan saya merupakan sebuah sebutan yang mencerminkan adanya relasi kekuasaan/politik dan agama. Memahami Kyai sebagai tokoh agama, tidak bisa dilepaskan dan terpisah sama sekali dengan lingkaran kekuasaan. Sekulerisme yang absolut dalam hal ini tidak terjadi. Sebab keberadaan Kyai, sebenarnya tidak bisa dilepaskan dari keberadaan para elit bangsawan di pusaran kekuasaan.


Jika, priyayi adalah sebutan yang merujuk kepada mereka para bangsawan atau lingkaran kerajaan (kekuasaan), maka istilah Kyai juga mengarah kepada hal tersebut. Kata priyayi ada yang menjelaskan sebagai para yayi atau mereka adik-adik raja. Ada juga yang menyebutnya berakar kata priya atau laki-laki. Dus priyayi itu lebih maskulin. Bagaimana untuk yang perempuan, maka digunakan priyayi putri.


Sedangkan Kyai, menurut saya (menurut gothak-gathik-gathuk) saya diurai menjadi Ki Yayi. Ki sendiri berasal dari Kaki, yang berarti kakek atau orang yang sudah tua. Kemudian meluas, tidak hanya ukuran umur, tetapi sepuh dalam pengertian mempunyai kebijaksanaan yang luar biasa, mempunyai keilmuwan yang linuwih, mempunyai kehormatan yang tinggi.


Para tokoh wicaksana yang menjadi penasehat para raja atau priyayi kemudian disebut Kyai. Karena sebenarnya mereka adalah yayi yang lebih tua atau sepuh (jika hanya umur ada istilah raka dan yang muda rayi). Mereka adalah saudara atau orang dekat para raja, seperti para priyayi. Bahkan benda, hewan yang begitu dekat dengan raja yang memiliki kelebihan luar biasa kemudian disebut juga dengan Kyai, misalnya tombak Kyai Plered, kebo Kyai Slamet. Jangan membayangkan bahwa kelebihan itu harus berupa kesaktian atau kekuatan. Kebo Kyai Slamet itu kelebihan fisiknya saja sudah jelas luar biasa, bule. Itu tidak lumrah dan nganeh-anehi. Kyai dengan demikian menjadi elit kerajaan tetapi mempunyai basis legitimasi berbeda dengan priyayi.


Posisi dekat dengan kekuasaan atau kerajaan tidak menyenangkan bagi semua Kyai atau mereka yang disebut dengan Kyai. Mereka kemudian lebih mendekat kepada rakyat. Pergeseran posisi ini tidak begitu saja kemudian menghilangkan strata elit sebelumnya yang sudah disematkan. Mereka tetap elit, tetapi sudah berbeda peran dan perilaku, berbeda orientasi perjuangannya.


Maka, anda tidak perlu heran, jika membaca sejarah para Kyai di Jawa masa lalu, yang tidak bisa dipisahkan dari sejarah kerajaan atau bangsawan di zamannya. Sebab mereka adalah bagian yang tak terpisahkan dari dinamika relasi agama dan kekuasaan.

Aji Saka : Siapa atau Apa?

Berbicara mengenai Aji Saka dalam khazanah peradaban tanah Jawa akan membuka diskusi, perdebatan dan khayal yang luar biasa. Sebagian dengan pengalamannya, yang lain dengan referensinya, dan lainnya dengan usaha gothak-gathik-gathuk berusaha sekuat tenaga untuk menebak-nebak siapa sebenarnya sosok Aji Saka. Mencari dan memperdebatkan sosok manusia “bernama” Aji Saka telah menelan waktu demikian lama, dengan hasil temuan yang diyakini masing-masing. Tak pernah ada kesepakatan tunggal dan universal.

Dalam kamus Sansekerta-Indonesia (Drs. Purwadi) mengartikan Aji sebagai raja, ilmu, nilai. Dengan demikian sebuat Aji menunjukkan adanya nilai superlatif (diperbandingkan) atau melebihi kelaziman. Jayabaya sering disebut sebagai Sri Aji Jayabaya dibandingkan dari raja-raja lain dari Kediri. Artinya sebagai raja dipandang punyai nilai lebih dibandingkan raja-raja (Kediri) lainnya.

Sementara, Saka (sansekerta) bisa diartikan sebagai dari (asal/awal) dan tiang. Dengan demikian, Aji Saka adalah sebuah awal yang sangat bernilai. Jika peradaban Jawa dimulai dari legenda Aji Saka, itu berarti perdaban Jawa didasari oleh nilai-nilai yang sangat berharga mengenai tiang, asas, pokok dan asalnya. Apa itu pokok, tiang dan asal?

Maka, aksara Jawa, Caraka dibagi menjadi empat kelompok. Manusia Jawa diingatkan bahwa memulai peradaban harus diawali dengan kesadaran akan asal sebagai utusan (khalifah) di bumi (Hanacaraka). Kemudian hendaknya menjaga kerukunan, menghindari pertengkaran seperti legenda yang dikisahkan (Datasawal). Jika demikian, kejayaaan akan dicapai secara bersama-sama. Kejayaan hanya dapat diraih dengan persatuan, jumbuh lahir batin, jumbuh pemimpin dan yang dipimpin, begitu seterusnya (Padhajayanya). Prinsip keempat yang harus diingat adalah bahwa kelak, bagaimanapun dan pasti semuanya akan mati, berakhir. Setinggi apapun kejayaan yang diraih, akan ada saat berakhirnya. Inilah sebenarnya empat pilar peradaban yang diajarkan.

Masihkah anda berspekulasi bahwa Aji Saka adalah merujuk sosok manusia? Apakah Nabi Iskak? Ataukah orang India? Ataukah orang Thailand? Atau bahkan makhluk kadewatan dari kerajaan langit?   Tetapi melupakan ajaran yang sudah begitu terang, jelas, yang dibawa oleh para utusan (Nabi) sebagai caraka. Lupa pada carakan, pada asal, bibit (carakan) sebagai manusia hidup di dunia ini.

Salam Rahayu------

Hutang Budi Dibalas Dengan Budi

Mesir, hari ini mengalami konflik politik luar biasa, menelan korban jiwa ratusan, bahkan bisa meningkat menjadi ribuan di waktu mendatang. Ini tentu memprihatinkan bagi kemanusiaan. Bangsa Indonesiapun layak, dan selayaknya menunjukkan rasa keprihatinan dan dukungan kepada rakyat Mesir.

Di masa lalu, Mesir punya andil besar bagi kedaulatan NKRI. Mesir menjadi negara pertama yang mengakui kedaulatan RI, di saat yang lainnya masih ragu dan belum berani memberikannya. Kolonialisme menjadi musuh besar saat itu. Pengakuan itu kemudian menjadi bentuk perlawanan yang sangat berani. Itulah budi baik Mesir kepada kita. Bolehlah itu disebut hutang budi kepada Mesir.

Persahabatan kemudian berlanjut. Indonesia dan Mesir terus berjuang melawan kolonialisme dan imperialisme dunia. Bersama beberapa negara lain, membentuk arus non blok. Sebuah sikap netralitas, mandiri dan berdaulat atas dua kecenderungan blok politik saat itu. Lagi-lagi soal kedaulatan dan kemandirian.

Saat ini, saat Mesir dilanda konflik, apakah menjadi momen terbaik membalas budi itu? Apakah Mesir memang akan menagih hutang tersebut? Terlalu naif rasanya jika mengasumsikan Mesir akan menagih utang budi tersebut saat ini. Pengakuan kedaulatan Mesir terhadap RI bukanlah bentuk piutang, tetapi bentuk konsistensi mereka adalah perjuangan dan perlawanan terhadap kolonialisme. Kebersamaan sekian lama dalam memperjuangkan hal itu telah menjadikan Mesir dan RI menjadi sahabat sejati.

Konflik saat ini, apakah sebuah bentuk penindasan kolonialisme yang perlu diperjuangkan bersama seperti saat itu? Konflik saat ini adalah konflik internal. Sama ketika di republik ini mengalami konflik politik dan sosial. Apakah Mesir kemudian membela salah satu pihak dalam konflik internal tersebut? Tentu TIDAK.

Kemudian, apakah kita perlu membalas budi dengan memihak pihak-pihak yang sedang bersengketa, apalagi berebut kuasa. TIDAK sama sekali. Jika itu dilakukan, sama saja mencideriai niat baik Mesir kala itu. Menciderai kedaulatan mereka. Apa bedanya dengan perilaku para kolonial? Yang selalu ikut campur dan memihak pihak-pihak bersengketa di negara lain? Padahal itulah sikap yang dibenci oleh Mesir saat itu. Tentu saat ini juga. Mereka tentu tidak mau diobok-obok kedaulatannya. Hutang budi, tak perlu dibalas dengan politik. Tetapi dengan budi pekerti yang utama.

Maka, saya berharap rakyat Mesir segera menyadarinya. Bahwa kedaulatan sebagai bangsa itu lebih utama daripada kekuasaan sebagai pengusa. Mereka memiliki pengalaman sejarah yang amat panjang soal ini. Tak perlu diajari atau digurui. Pengalaman para Pharao di sana sudah demikian banyak dan melimpah.

Mari kita do’akan semoga kedamaian segera terwujud dan Mesir tetap sebagai negara dan bangsa yang berdaulat.

Dirgahayu Republik Indonesia yang ke-68

Tuhan, apakah Engkau?

Tuhan,
apakah malam ini Engkau bergembira, seperti kami?
berkspresi dengan kembang api
kesenangan dengan letusan petasan

Jika tidak, lantas kapan Engkau berbahagia?

Tuhan,
apakah malam ini Engkau berbangga, kepada kami?
menyanjung keagunganMu dengan tetabuhan
memekikkan namaMu di sepanjang jalan

Jika tidak, lantas kapan Engkau berbangga?

Tuhan,
apakah di hari fitri ini Engkau berbagi, seperti kami?
memberikan rezeki kepada yang papa
berbagi angpao kepada yang muda

Jika tidak, lantas kapan Engkau berbagi?

Tuhan,
apakah besok hari Engkau berbaju baru, seperti kita?
berhias maaf sepanjang perjumpaan
bersolek selamat setiap pertemuan

Jika iya, lantas dimana Engkau simpan baju lamaMu?

Tuhan,
apakah setelah Ramadhan ini Engkau berbuat sesuka hati, seperti kami?
terlepas beban dan kepayahan selama sebulan
karena telah kembali fitri dan tak bergelimang dosa lagi

Jika iya, lantas kapan Engkau berkuasa?

Tuhan,
apakah Engkau seperti kami?

Subhanallah

Surabaya, 7-8-2013

Kupat Mbah Munir (Cerpen)

Kupat Mbah Munir

Tema yang paling tepat untuk disampaikan pada pertemuan besok adalah soal ketupat.Kupat. Apalagi ini momennya pas lebaran. Ya sudah. Satu tema ketupat untuk berbagai pertemuan dengan kelompok masyarakat. Sebagai pejabat negara, sebagai bupati aku bisa menjadikan kupat dalam kerangka kebangsaan. Kupat kebangsaan. Masih segar ingatan para pejabat yang besok hadir dalam pertemuan. Tentu mereka akan sepakat denganku, bahwa kupat dengan sudut empat merupakan simbol empat pilar kebangsaan.

Jauh sebelum negeri ini berdiri, para leluhur kita membekali kita makanan yang sarat makna filosofis. Sejarah kemerdekaan bangsa Indonesia diproklamirkan bersamaan bulan Ramadhan. Dulu pun masayrakat menyabut kemerdekaan tersebut dengan makanan kupat. Boleh tidak ada lepet, tapi kupat harus ada. Bangsa ini boleh tidak memiliki pesawat tempur canggih, tapi tidak boleh kehilangan salah satu dari empat pilar.


Demikianlah aku berpidato dan menjelaskan filosofi kupat kepada para kepala dinas, satuan kerja perangkat daerah dan tamu undangan di pendopo kabupaten. Sebagai pejabat pemerintah, mereka semua harus paham betul dan turut serta menjaga keutuhan empat pilar tersebut. Tidak boleh lengah sedikitpun.

“Pak, maaf menganggu”, tiba-tiba suara Yanto, dulu teman sekolah SMAku yang serakang kepala dinas sosial.

Ono opo mas..” sahutku.

“Pidatone pancen jos, mas. Njenengan bisa menyampaikan soal empat pilar melalui budaya. Pas lebaran lagi”.

“Dari dulu, aku itu kan selalu berusaha belajar dari sekitar to, Yan. Kamu masih ingat? Waktu kamu dan teman-teman lain membuat prakarya dulu di sekolah. Aku menggunakan bekas sandal jepit.”

“Ya, aku masih ingat mas. Tapi, njenengan apa tidak tahu. Kalau empat pilar sekarang sedang digugat dan dikritik. Harusnya pancasila tidak termasuk satu pilarnya”

“Ah...sak karep mas. Mau digugat, disidangkan, dikritik. Pokoknya ya kupat. Kudu papat. Mau isinya diganti-ganti yo sak karep”.

==

Kali ini dihadapan para tokoh agama, kalangan pesantren dan tokoh masyarakat. Aku masih tetap menggunakan kupat sebagai bahan pembicaraan.

“Hadirin sekalian, Sunan Kalijaga dulu, juga memanfaatkan momen hari raya idul fitri dan hari raya syawal untuk memberi pengajaran melalui kupat. Jadi Kupat menjadi simbol utama pada hari raya tersebut”, begitulah aku membangun pikiran orang-orang yang hadir melalui sosok Sunan Kalijaga. Entah itu memang benar atau tidak, tapi aku yakin bahwa sosok itu bisa diterima oleh masyarakat umum.

Kupat adalah simbol mengakui kesalahan (mengaku lepat). Di hari raya, kita semua saling meminta dan memberi maaf kepada sesama. Kesalahan-kesalahan di masa lalu bisa terhapus. Ini semakin menyempurnakan ibadah puasa yang sudah dijalani selama sebulan. Idul fitri sebagai penghujung, merupakan tanda berakhirnya proses puasa. Semua keprihatinan, jerih payah dan kecapekan tlah terlewati, sudah lebar. Kemudian dari proses ini, mampu memberi, melimpahkan maaf dan kebaikan kepada sesama. Itu lah luber. Semuanya saling memberi dan melimpahkan kebaikan, semua menjadi melebur, menyatu dan melebur keburukan dan dosa-dosa. Betapa indah kehidupan semacam itu. Layaknya seperti penghias. Kebaikan yang melimpah merupakan penghias (labur) dalam kehidupan manusia.

“Pak Bupati, sangat pas yang Bapak sampaikan”, kata Ustad Ghonim saat makan bersama usai acara.

“Betul itu pak”, timpal Pak RT,”jarang pejabat yang mau menggali nilai-nilai budaya atau tradisi. Apalagi jaman sekarang, semua pejabat lebih bangga pada kemajuan negara-negara lain”.

Aku hanya manggut-manggut dan senyum. Tidak berani menjawab. Bisa-bisa lebih banyak perdebatan yang muncul nantinya. Lebih aman, begitu saja. Konsentrasi menikmati suguhan kupat sayurnya.

==

“Bapak tidak berangkat ke balai desa?”, tanya istriku. Aku tidak mengerti. Balai desa. Ada acara apa ya.

“Kan warga desa malam ini mengadakan acara bersih desa, pak. Mereka kumpul di balai, sekalian katanya acara halal bi halal”.

“Oo, acara itu, bu.”, sahutku, baru ingat sekarang. Seminggu yang lalu aku menitipkan uang untuk kepentingan acara tersebut.

“Malam ini aku janjian sama orang Jakarta, Bu. Investor besar yang rencananya mau nanam investasinya di daerah kita”, jawabku.

“Ini pak, tadi kita dikirimi makanan. Kupat” kata istriku, sambil menyodorkan kiriman yang masih utuh.

“Bu..! ini siapa yang ngasih?, kok seperti ini? Masak ada ketupat dari plastik? Ujungnya kok sudah dipotong?, apa Ibu yang memotongnya?”, dengan agak marah aku bertanya pada istriku.

“Tidak kok, pak. Dari tadi saya tidak buka sama sekali.”, jawab istriku.

“Baiklah, besok akan kuselesaikan ini”, gamamku.

“Assalamu alaikum, mbah”, aku menghampiri rumah Mbah Munir. Ia sesepuh desa yang selama ini aku kagumi. Bahkan, tanpa dukungan beliau, belum tentu aku bisa jadi seperti ini, bisa jadi Bupati.

“Waalaikum salam..wah Pak Bupati...mari-mari pak,” jawab Mbah Munir yang tetap saja menghormatiku, tetap saja menyebut jabatanku. Padahal aku ini dulu bisa dikatakan muridnya.

“Begini, mbah. Kemarin saya dapat kiriman makanan, tapi aneh mbah, kupatnya kok terbuat dari plastik, dan ujung-ujungya sudah dipotong, tidak lancip. Jadi sudah bukan kupat lagi,” dengan agak jengkel aku sampaikan unek-unekku.

“Saya tidak tahu, apakah semua warga sini dapat sama seperti saya?, tapi yang jelas saat acara bersih desa kemarin, aku dapat kupat yang sudah tidak jelas itu,” lanjutku.

“Mbah, jujur. Saya tersinggung, sebagai pejabat, sebagai tokoh masyarakat saya tersinggung dengan pemerian seperti ini. Apa susahnya membuat kupat dari janur?, kan saya juga nyumbang?”, semakin kesal aku.

“Sabar to Nak,” demikian Mbah Munir menahan emosiku. Cukup ampuh juga sebutan Nak untuk meredamnya. Sudah lama aku tidak mendengar sapaan itu dari Mbah Munir.

“Nak Bupati, apakah nanda selama ini sadar dengan penilaian, harapan dan kangennya warga terhadap Bapak?”, wajah serius seperti ini sudah biasa. Pasti akan ada sesuatu yang disampaikan. Dan itu sangat penting.

“Tahukah, maksud plastik untuk pada kupat yang Bapak terima? Sebab semua sekarang sudah serba imitasi, seperti plastik. Kupat yang sejati terbuat dari Janur, Jatining Nur,hati nurani. Beras sebagai perlambang nafsu, keinginan, cita-cita dan kreativitas terbungkus oleh hati nurani. Semuanya sudah tak terkendali, tanpa nurani. Amarah dibakar dimana-mana, di masjid, vihara, kantor polisi, pasar dan sebagainya,” kalimat ini mulai menyerang jantungku.

“Apakah uang yang Bapak sumbangkan sudah menyelesaikan semuanya? Apakah gotong rotong, kerjasama dan kerukunan kita sebagai warga desa selama ini sudah cukup diganti dengan uang? Apakah sumbangan Bapak demikian sangat besar, sehingga tidak perlu berkumpul lagi? Ataukah Bapak sedang terkena musibah?,” sungguh ini sangat menyakitkan.

“Bukan begitu, Mbah. Kemarin malam itu, saya ada janji bertemu investor dari Jakarta,” aku berusaha memberi penjelasan.

“Nah, klop kan. Uang. Demi Uang. Apakah invetasi yang Bapak harapkan juga pasti menjamin kesejahteraan warga?”, semakin tegas Mbah Munir seolah semakin menekan batinku.

“Budi pekerti, hati nurani sudah tidak dijadikan pedoman. Itulah ketupat yang sudah bocor di setiap ujungnya. Yang terlihat hanya nafsu, angan-angan dan harapan semata-mata,” batinku benar-benar diserang habis-habisan. Tapi aku masih berterima kasih, karena yang menyampaikan itu adalah Mbah Munir.

“Janur adalah daun muda”, lanjut Mbah Munir,  “janur juga melambangkan generasi muda. Bapak selama ini melupakan generasi muda, generasi mendatang, harusnya pembangunan yang dilakukan saat ini selalu diorientasikan ke masa depan, yang memperhatikan generasi muda saat ini. Bukankah, dalam pilkada lalu, merekalah yang menjadi pemilih banyak Bapak?”

“Benar, Mbah.” Hanya itu yang bisa kusampaikan kepada Mbah Munir.

Jujur Saja

JUJUR SAJA

Jujur saja, jika ramadhan ini
biasa-biasa saja
tetap biasa makan banyak, biasa tidur banyak, biasa leha-leha

Jujur saja, jika malam-malamnya
asyik-asyik saja
tetap asyik nonton tivi, asyik puter lagu, asyik nytatus facebook

Rasanya
Tak ada yang istimewa, meksi lailatul qadar katanya
Istimewa
tetap saja lawakan dan film sebagai tontonan istimewa

Rasanya
Tak ada yang luar biasa, meski tarawih katanya
luar biasa
tetap saja luar biasa capeknya, luar biasa malasnya

Nampaknya
Tak ada perubahan berarti apa-apa
Semua masih sedia kala, masih saja laiknya waktu-waktu sebelumnya
paling hanya merubah waktu berbuka dan sarapan pagi

Nampaknya
Tak ada hasil nyata yang kudapat
semua masih saja tetap, masih saja seperti hari-hari sebelumnya
paling hanya mengganti atau menukar waktu saja

Ramadhan hampir usai
Haruskan kubersedih atas perginya?
Haruskah kugembira menyambut hari raya?
Jujur saja, ku tak tahu harus bagaimana
Jujur saja, ku tak tahu harus berbuat apa
Kecuali
Bersikap biasa-biasa saja
Surabaya, 6-08-2013

Tradisi Mudik

Mudik atau pulang kampung itu adalah sebuah tradisi. Sekali lagi tradisi atau kebiasaan saja. Persoalannya kemudian itu dinilai sebagai amal ibadah atau foya-foya saja, itu soal laen. Dan saya tidak akan membahas dan mempersoalkan itu. Sekali lagi, bukan wilayah saya untuk menilainya apalagi menghukuminya, sebab saya bukan ahli hukum atau juru nilai.

Pulang kampung akan menjadi sebuah aktivitas biasa saja atau individual, jika hanya dilakukan oleh para individu, tanpa melibatkan sistem, nilai, norma dan adat sosial. Dalam pengertian ini, anda atau siapa saja bisa mudik kapan saja, tanpa harus menunggu momen sosial. Mudik hanya terjadi pada mereka yang bermigrasi, perantau. Bagaimana bisa dikatakan mudik, jika ia menetap atau berdiam di kampung halamannya.

Dalam kerangka ini, mudik dapat terjadi di berbagai kelompok masyarakat di berbagai belahan dunia. Di Amerika saja bisa terjadi kok aktivitas mudik, mungkin saat perayaan thank giving atau natal. Di China, Bangladesh, Malaysia, Nigeria dan sebagainya. Memang biasanya, mudik itu dikaitkan dengan momentum hari raya sebuah masyarakat, apakah hari raya keagamaan ataupun budaya. Mudah dipahami dengan demikian, karena hari raya akan dihormati oleh negara. Kemudian diberikan hak libur yang “cukup” untuk merayakannya. Kesempatan ini lalu digunakan untuk menengok kembali pada sanak keluarga dan orang tua di kampung asal.

Dalam konteks sosial demikian, mudik telah menjadi bagian dari aktivitas negara, masyarakat, keagamaan dan kebudayaan. Kita jadi lebih bisa memahami bahwa mudik benar-benar sebuah tradisi, karena adanya libur yang diberikan bagi para pekerja imigran, kebutuhan menengok keluarga, menghabiskan waktu libur dan tentu ada nilai-nilai sosial yang hendak tetap dijaga.

Jika demikian, maka salah satu cara menghilangkan tradisi mudik adalah melalui tradisi juga. Ciptakan tradisi baru yang lebih menjanjikan ketimbang mudik dan itu harus bisa diterima secara massive, misalnya berikan bonus besar-besaran dan adanya aturan keras bagi para pekerja yang mudik. Penjarakan bila perlu mereka yang mudik. Tapi siapkah dengan segala resiko sosial politik akibat itu?

Jangan Meninggalkan Sejarah

Sayyidina Umar bin Khattab, setelah perjanjian perdamaian dengan keuskupan di Yerussalem. Tibalah waktu shalat. Sang Uskup menawarinya gereja, beliau menolaknya, karena dikira nanti akan dikira menjadi tempat ibadah orang Islam dan merebutnya. Bahkan ketika ditawari halaman atau dekat pintu gereja, tetap menolaknya. Kekuatiran kelak akan saling memperebutkan sebagai tempat Ibadah.

Mana batu jejak petilasan Nabi Muhammad ketika isra'a mi'raj. Begitu tanyanya kepada uskup. Dan ditunjukilah beliau di sebuah tempat yang tak terawat. Sayyidina Umar. r.a. kemudian membersihkannya. Lokasi batu itu dijadikan tempat shalat, dibangun masjid al aqsha.

Disaat berkuasa, tetap menjaga tempat ibadah mereka yang ditaklukannya. Saat berjaya tak lupa pada jejak pendahulunya yang sudah meninggalkannya, dirawat dan diperbaiki.

Menghargai sejarah, menghargai jerih payah para leluhur, menjadikan sebuah peristiwa penting itu tetap menjadi penting akan membantu kita tidak lupa diri. Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah.

=== edisi nonton tipi agustusan

Ilmu Lembu Sekilan

Kebutuhan manusia itu kalau dipikir2 ya berujung pada perut dan sekitarnya. Kalau mau agak detail ya, sekitar sekilan ke bawah dan ke atas. Jadi ya urusan perut, sekilan ke bawah dan sekilan ke atas.

Nah, apakah kemudian agama mampu memenuhi itu semua? urusan perut adalah makanan. Sekilan ke bawah ya syahwat. Sekilan ke atas ya rasa. Nampaknya, banyak urusan yang sulit disambungkan dengan agama. Jangan heran jadinya, manusia juga sulit untuk mendalami agama. Tapi ya silakan sih, kalau mau dipaksa-paksakan, ketiganya dipenuhi dengan agama. Tidak mudah lo mengolah menjadi menu yang pas buat ketiganya. Jika hanya sibuk pada timbangan ke bawah, jadinya urusan bawah saja. Lain lagi kalau mau naik.

Ilmu lembu sekilan, akan menghindarkan pemiliknya dari serangan yang membahayakannya. Kuncinya adalah menguasai itu tadi sekilan ke bawah dan ke atas dari pusat (pusar).

Tak perlu ngrowot atau mutih dan sebagainya. Mau mengusainya?
Ya monggo, jangan berguru pada saya. Tapi jangan sampai belajar dari mereka yang tak punya pusar, sebab akan sulit menentukan jarak sekilan tersebut.