Orang-orang jahiliyah (kafir quraisy), keliru dalam meyakini siapa Dzat yang Mutlak dan Wajib disembah. Mereka menempatkan berhala sebagai DIA yang Mahakuasa. Pengetahuan akan Allah hanyalah sekedar sebutan dan nama. Ada logika yang benar-benar salah dalam mengkonsepsikan Tuhan. Sesuatu yang tidak memberi manfaat dan tidak bisa berbuat apa-apa diyakini sebagai Tuhan.
Sementara itu, logika yang sebaliknya, Namrud dan Fir’aun, sangat fatal dalam melihat dirinya, sebagai manusia yang mempunyai banyak kehebatan sebagai Yang Mahakuasa. Kekuasaan mereka bisa membunuh, membebaskan tahanan dari hukuman kematian diyakini sebagai kekuasaan menghidupkan dan mematikan manusia, laiknya Tuhan belaka.
Ketakjuban pada kehebatan manusia, pada sisi lainnya, menjerumuskan kaum nashrani menjadikan Nabi Isa sebagai Tuhan itu sendiri (paling tidak sebagai anak Tuhan). Kesesatan logika, konsepsi terhadap Zat Mahakuasa yang seharusnya tak ‘kan pernah bisa diserupakan dengan sesuatu apapaun diseluruh alam, baik nyata maupun alam pikir, benak dan imajinasi manusia, sudah dibongkar oleh manusia-manusia terpilih jauh sebelum Nabi Muhammad saw.
Ibrahim a.s adalah orang yang berusaha memahami konsepsi Tuhan dengan jalan logis, melalui jalur induksi, perbandingan dengan puncak bahwa Tuhan adalah Zat Tertinggi yang tiadabandingnya dengan seluruh semesta raya. Dia adalah Esa, tak ada satupun yang menyerupainya. Maka dengan apa yang sudah dipahaminya, Ibrahim a.s mampu membungkam Namrud yang memandang dirinya paling berkuasa dengan logika perbandingan pula.
Musa a.s adalah manusia yang menyadari dengan benar keterbatasan manusia untuk mengurai konsepsi Tuhan dengan pembuktian empiris obyektif. Dengan itu pula dia menghancurkan keyakinan Firaun akan dirinya sebagai tuhan, bahkan membuka mata para penyihir Fir’aun dengan sebuah perlawanan keajaiban. Musa sekali menegaskan bahwa pembuktian empiris obyektif terhadap Zat Tuhan akan gagal total.
Nabi Muhammad saw. datang dengan penguatan-penguatan akan apa yang sudah dilalui oleh sejarah manusia sembari menata dan memperbaiki keadaan. Pembuktian empiris obyektif terhadap ketaklayakan berhala sebagai Tuhan digunakan. Perbandingan-perbandingan akan kuasa alam semesta, terhadap Zat Mahakuasa mengarahkan kepada penempatan dan perlakuan yang layak bagi semuanya. Begitulah beliau menempatkan kakbah sebagai kiblat, memperlakukan malaikat sebagai kawan, memandang iblis sebagai lawan yang tak harus dimusnahkan, memahami nafsu sebagai potensi kebaikan dan kesesatan, memperlakukan orang saleh sebagai kekasih Tuhan, dan tidak terjebak pada ketakjuban diri. Demikianlah nabi Mauhammad saw. tetap kukuh sebagai manusia, sebagai utusan dan selamanya akan demikian. Laa ilaah illallah Muhammad Rasulullah.
Tuhan tetaplah Tuhan, dan manusia tetaplah manusia. Selamanya tidak akan pernah bergantian posisi, bagaimanapun keadaan zaman. Muhammad saw, telah mengajarkan kita dalam melihat dan memperlakukan alam dan seisinya.Perlakukan untuk penyamaan kekuasaan alam dengan Tuhan jelas tidak layak. Cara pandang seperti inilah yang perlu mendapat perhatian, bukan pada bentuk penyerupaannya. Bisa jadi apa yang dilakukan manusia adalah sujud terhadap batu kotak (kakbah), namun apakah berarti dia menyembah batu itu? Mencium batu hitam (hajar aswad) bukan pula bentuk penyucian/pengkultusan terhadapnya, namun ada penempatan batu tersebut sebagai sebuah makna bagi yang menciumnya.
Maka, soal keimanan kepada Tuhan yang layak adalah bagi mereka yang sudah dewasa, baik logika dan pemahaman akanNYA. Bagi mereka yang sudah mampu mengenal dirinya (sebagai makhluk dan bagian semesta), tentu jauh lebih bisa memahami bahwa Tuhan adalah Zat yang takterserupakan dengan apapun yang terlihat dan terlintas oleh manusia. Jika terpaksa disampaikan kepada anak-anak, maka berhati-hatilah dalam menyampaikannya.
Wallahu ‘alamu bisshowab