Bertemu Guru

BERTEMU GURU

Seorang pemuda, tapi sudah tidak muda sekali, sudah melewati 30. Begitu gelisah akan dirinya. Sudah banyak dosa yang dilakukan. Besar sekali dosa yang dilanggar. Begitulah beban dalam dada yang menyesakkannya. Tak seorangpun tahu soal itu. Tapi bagaimanpun ia yakin pasti ada yang tahu. Dari hari ke hari, selalu itu saja yang menjadikannya susah menerima nasehat. Semua baginya sia-sia. Tak ada solusi dan mampu menghentikannya untuk berhenti dari kubangan dosa dan lingkarannya.

Melalui seorang kawan lamanya ia diberi arah. Tak ada nasehat atau petuah, memang kawan tersebut tak tahu duduk soalnya. Yang ia tahu, bahwa sahabatnya sedang bermasalah. Hanya itu saja. Petunjuk arah adalah menemui seseorang yang dianggapnya tua, punya banyak ilmu dan nasehat. Sangat layak dijadikan penasehat atau guru yang mulia.

Maka, berjalanlah pemuda tersebut ke arah yang ditunjukkan sahabatnya. Sebuah desa, di kaki gunung mati. Gunung laki-laki di Jawa Timur. Tidak susah mencari namanya. Seorang pecinta, layaknya tokoh Arjuna dalam pewayangan diusia senja atau dalam keadaan pendeta. Di sebuah batu mulia sebagai tempatnya, tempat bertemunya pemuda itu dengan gurunya.

Guru : “saudaraku, sebelum terlalu panjang kau bercerita tentang persoalanmu, ijinkan aku bercerita...”
Demikian, guru tersebut memotong perkenalan pemuda tersebut.

Pemuda : “silakan bapak....”
Guru : “ketahuilah saudaraku, jauh sebelum aku menguasai dan mengenal banyak ilmu, justru denganmulah aku mengenal. Bahwa diriku dulu mendapat tugas untuk mendampingimu, meluruskanmu. Entah apa itu semua, aku hanya diberi tanda dan gambaran tentangmu. Maka saat inilah waktu yang telah dijanjikan kepadaku untuk bertemu denganmu...”

Pemuda : “ oh ...sungguh demikian pentingkah diriku, pak?””
Guru : “entahlah, aku hanya yakin atas petunjuk itu. Dan keyakinanku selama ini selalu bertemu pada sebuah kebenaran, dimana aku sendiri sebelumnya tidak mengetahui, maka ijinkanlah aku menjadi kawan dalam perjalananmu, sudilah engkau menerima diriku ini, sehingga tak ada beban yang harus aku pertanggungjawabkan kelak...bagaimana?”

Pemuda :”baiklah guru.... sumonggo”
Guru :”bukankah selama ini 3 hal yang saudara cari? Kecukupan dalam ekonomi sehingga kau mampu membahagiakan keluargamu, kedekatan kepada Allah, dan manfaat terhadap sesama?”
Pemuda :”sungguh guru, begitu bijaksana dalam memahami diriku, meski belum banyak yang saya sampaikan...”
Guru :”jika bersedia, maka ijinkan saya untuk membantumu dalam menemukan jalan lurus mencapai itu semua....”

Demikianlah pertemuan awal, pemuda dengan gurunya. Tak pernah menyebut murid, tetapi memanggil saudara. Dan sebaliknya si pemuda tetap menyebut sebagai guru. Dan itu berlangsung terus sampai pada akhir bimbingan nanti.

== bersambung.