Keimanan dalam kehidupan beragama seseorang merupakan masalah paling mendasar. Dalam Islam disebut Aqidah, sebuah fundamen dalam membangun keagamaan. Bagaimana mungkin seseorang bisa melakukan peribadatan yang mantap dan kokoh tanpa didasari sebuah keyakinan yang kuat pula? Sebut sajalah, melakukan shalat. Seseorang dapat melakukan shalat dengan rajin, khusyu’, tepat waktu dan sebagainya, pasti dilandasi sebuah keyakinan tertentu akan shalat tersebut, apapun bentuk keyakinan itu. Mungkin, karena yakin dengan shalat dapat menebus dosa, atau dengan shalat dapat masuk surga, atau berharap kaya, dan bermacam-macam keyakinan. Itulah sebenarnya yang masuk wilayah keimanan, sementara shalat termasuk dalam wilayah rukun Islam. Dua-duanya tidak dapat dipisahkan.
Di antara kita mungkin pernah diajari bahwa belajar iman, dengan cara banyak-banyak melakukan syariat, peribadatan yang sunah maupun yang wajib. Bahkan ada yang mengajari untuk memperkuat keimanan, seseorang harus melalui sebuah metode-metode tertentu yang rumit dan penuh ritus. Seperti tarekat yang mengajarkan mengenal (beriman kepada) Allah melalui serangkaian prosedur dan amaliyah. Atau bahkan ada yang mengajarkan keimanan melalui tirakat yang berenaka ragam dan penuh rintangan. Saya tidak berupaya menyalahkan atau merendahkan cara-cara seperti itu. Tidak sedikitpun bagiku ada ilmu atau kemampuan yang mampu menafikan kenyataan tersebut.
Saya hanya akan menyampaikan pengalaman sedikit berkenaan ini, ketika saya diberi nasehat oleh seseorang bahwa belajar iman, perlu dilakukan dari urutan keenam, bukan dari yang nomor awal (beriman kepada Allah). Anda tentu tahu rukun yang keenam adalah beriman kepada Qodlo qodar, baik buruk (khirihi wa syarrihi) berasal dari Allah swt. Dalam bahasa saya, belajar iman harus diawali dari realitas diri kita, realitas yang kita hadapi, ralitas yang kita pahami. Kita harus mampu menguak realitas itu semua, memahaminya bahwa itu semua berasal dari Allah, yang baik atau buruk, yang enak atau tidak enak, yang kita suka atau kita senangi, bahkan realitas yang kita anggap biasa saja sekalipun. Saya tidak diajari untuk mengenal Allah, tetapi mengenal perbuatan Allah dalam kejadian, realitas, nasib yang ada pada diri kita, kita lihat, kita rasakan dan sebagainya. Ya...semuanya itu terjadi dari detik ke detik, jam ke jam, setiap hari, setiap saat. Dengan begitu, maka secara bertingkat kita akan mampu memahami akhir dari kehidupan yang kita jalani (hari akhir), mampu menangkap ayat-ayatNYA, mengenal utusanNYA, memahami sistemNYA melalui para malaikatNYA, dan akhirnya mampu menyebut asmaNYA dan menangkap EksistensiNYA.
Dengan demikian, kita tidak perlu belajar yang aneh-aneh, belajar yang ndakik-ndakik, tetapi belajar tentan realitas diri sendiri, belajar tentang hidup kita sendiri, tentang apa hidup kita? Kemana hidup kita? Bagaimana hidup kita? Jika semua berasal dari Allah, maka seharusnyalah kembali kepadaNYA. Itulah keimanan yang tangguh, yang mampu menghadapi hidup dan kehidupan. Dalam pepatah sering kita dengar..”kematian itu sudah pasti, tetapi hidup itulah yang perlu diperjuangkan dan dipelajari”.
Wallahu ‘alamu bisshowab.