MENCARI TUHAN : BERMULA DARI URUSAN MAKAN

Konon kepercayaan manusia kepada Tuhan, Allah Yang Maha Kuasa bermula dari kesadaran manusia akan urusan makan, urusan perut. Ketika manusia membutuhkan makanan untuk keberlangsungan hidup dan bertahan (sruvive), maka manusia mencoba untuk mencari sumber-sumber makanan dari binatang dan tanaman.  Keyakinan manusia pada makanan sebagai materi sumber energi yang paling menentukan kemudian dijadikan tempat bergantung dari kehidupan manusia. Berburu, bercocok tanam, meladang atau semacamnya menjadi aktivitas manusia yang utama. Keyakinan kepada Zat yang berkuasa selanjutnya disematkan kepada kekuatan-kekuatan yang berada di balik sumber energi tersebut. Tidak mengherankan bila ditemukan bekas-bekas peninggalan peradaban masa lampau yang menunjukkan hal demikian. Kepercayaan kepada Dewa Padi, Dewa Bumi, Dewa Ular, dan sebagainya banyak bermunculan pada peradaban purba. Hal ini bisa dimengerti karena keyakinan yang muncul akibat kebergantungan manusia pada sumber makanan tersebut.


Ketika, sumber makanan semakin beragam, serta cara memperolehnya berkembang, maka diikuti pergeseran-pereseran keyakinan atas Zat yang Kuasa. Manusia sudah mulai mengenal pengolahan materi (makanan) dasar menjadi beraneka ragam jenis makanan. Demikian pula, cara yang digunakan tidak hanya sekedar berburu dan bercocok tanam. Sistem pertukaran sudah mulai menjadi sistem survive dari masyarakat. Kepercayaan manusia mulai bergeser kepada kekuatan-kekuatan yang berada diluar dirinya, dan lingkungan alam sekitarnya. Kepercayaan kepada matahari sebagai sumber energi alam semesta menjadi jenis kepercayaan yang nampak universal ditemui di berbagai peradaban manusia berikutnya.


Di samping perkembangan akan persoalan energi kehidupan  tersebut, ternyata manusia juga dihadapkan pada persoalan kematian, sakit (yang mengancam daya tahan hidup). Manusia tidak mencoba bergantung kepada satu sumber, seperti pada kekuatan/energi hidup, tetapi manusia mencari energi yang bisa mengancam dan mematikan bagi keberlangsungan hidup manusia. Manusia mulai percaya kepada kekuatan alam kegelapan, alam kematian. Manusia dapat memilih zat yang diyakini dalam urusan energi kehidupan dengan mudah dan begitu beragam, tetapi mengalami kesulitan dalam mendefinisikan kekuatan yang mematikan tersebut. Berbagai pengorbanan yang ditujukan kepada zat pemberi kehidupan dimulai, demi mencegah kematian, mempertahankan keberlangsungan hidup ataupun demi memperoleh kenikmatan (seperti hidup di dunia) setelah mati. Ada masyarakat yang memberikan pengorbanan penyembelihan hewan, pemberian berbagai makanan (sesaji), bahkan pengorbanan kepada manusia adalah bentuk rasa kekhawatiran manusia atas ancaman yang menimpa kehidupan mereka.


Maka, di saat besamaan, saat keyakinan akan zat yang kuasa menghidupkan, juga muncul keyakinan atas zat yang kuasa atas mematikan. Keyakinan pada dua kekuatan tersebut dapat dijumpai dengan berbagai sebutan dan berbagai bentuk. Secara garis besar, maka keyakinan kepada zat yang kuasa pada dua hal, yaitu zat yang kuasa atas kehidupan dan kematian.


Ilmu pengetahuan dapat dikatakan sebagai pembuka perubahan yang radikal, cepat dan kompleks. Dengan berbekal ilmu pengetahuan manusia mampu mencitpakan teknologi yang dapat mengembangkan keragaman model pencarian sumber energi hidup dan mampu membangun sistem pengelolaan sumber-sumber tersebut. Pekerjaan muncul sebagai suatu cara yang sistematis dan terstruktur untuk memperoleh sumber kehidupan. Berbagai jenis pekerjaan mulai berkembang, sehingga manusia tidak lagi hanya mengandalkan alam. Mata uang menjadi bentuk baru dari nilai kehidupan, karena dengan uang manusia menyerahkan segala sumber energi untuk dikonversi.


Sistem sosial mulai berkembang dan kompleks. Bahkan dalam sistem sosial yang masih sederhana sekalipun, diferensiasi, spesialisasi telah membentuk tatanan masyarakat tersendiri. Apakah ini berpengaruh kepada jenis keyakinan?


Jika pada masa, berburu, bercocok tanam, manusia tidak lagi mempersoalkan zat yang mana atau siapa yang paling berkuasa dalam memberi kehidupan bagi manusia. Setiap masyarakat mempunyai keyakinan yang berbeda. Misalnya keyakinan yang menyembah dewi padi tidak mengganggu masyarakat yang menyembah harimau, dan sebagainya. Semuanya bersanding dan diberi tempat, karena setiap sumber makanan tidak ada yang lebih tinggi. Seiring pengalaman manusia pada tatanan sosialnya, mereka mulai menyadari akan adanya struktur yang paling tinggi.


Saat seperti itulah manusia mulai mempedebatkan soal zat kuasa tertinggi, yang paling berkuasa. Saat tatanan sosial menempatkan kepala suku menjadi super prime dari sebuah komunitas, maka masyarakat memerlukan zat yang super prime juga. Kepercayaan kepada zat tunggal paling berkuasa mulai muncul. Perkembangan ini tentu tidak berjalan mulus, tetapi juga diikuti dengan kehendak menaklukan masyarakat atau kelompok lain sekaligus memperkenalkan tuhan yang tertinggi yang disembah. Benturan budaya, benturan kekuasaan menjadi hal yang biasa dalam masa-masa tersebut.


Perkembangan masyarakat yang demikian ternyata tidak menghapus seluruh kepercayaan dan keyakinan yang berkembang sebelumnya. Proses perubahan yang saya sebut tadi tidak berjalan secara linear (gari lurus), tetapi perkembangan yang mana tetap ada bagian-bagian masa lalu yang terikutkan.








Penyembahan kepada zat berkuasa yang berada di luar diri manusia demikian lama berlangsung. Manusia semakin merasa dirinya juga mempunyai kekuatan yang hebat yang mampu mengendalikan lainnya; mengendalikan manusia, binatang, dan lainnya. Kesadaran demikian pada akhirnya jatuh kepada pemberhalaan pada diri manusia. Manusia atau raja yang mempunyai kekuasaan tinggi dalam struktur sosial diberi kedudukan seperti dewa, atau bahkan menjadi dewa itu sendiri. Hal tersebut tentu terjadi dengan berbagai cara pembenaran dan penjelasan yang bisa diterima masyarakat saat itu. Dalam kisah Al Qur’an, disimbolkan dalam diri Firaun.



Dalam tatanan sosial seperti itu, kehidupan seseorang dalam sebuah masyarakat banyak dipengaruhi oleh kebijakan rajanya. Manusia tidak sekedar bergantung hidup kepada makanan, tetapi kepada sebuah kekuasaan yang mengatur kehidupannya. Dengan demikian, maka penyembahan kepada raja/manusia menjadi perkembangan berikutnya.



Manusia, tidak menyerah dengan kondisi yang dihadapi untuk memperoleh sumber makanan/energi baru ketika mereka terhimpit. Sama seperti ketika, berburu sudah tidak bisa diandalkan, manusia berubah bercocok tanam, dan kemudian memasak, dan mengolah bahan makanan yang beragam. Keragaman tersebut memberi pelajaran kepada manusia bahwa tidak ada satu individu yang bisa menguasai semua sumber kehidupan tersebut.



Meski kekuasaan raja demikian besar, masih ada manusia yang berusaha untuk mencari sumber penghidupan yang tidak bergantung kepada raja. Mata uang sebagai alat pertukaran kemudian menjadi bentuk kekuasaan baru. Dimana orang yang mempunyai uang banyak, maka dia akan mampu mendapatkan sumber penghidupan yang banyak pula. Muncullah para pengusaha, saudagar seperti Qorun yang diabadikan dalam Al Quran. Penyembahan kepada kekuasaan modal/harta, kekuasaan uang muncul menjadi zat/entitas yang baru sebagai pengganti tuhan-tuhan yang sudah lama atau sebagian ditinggalkan.



Bagaiaman dengan penguasa kematian? Keyakinan akan hal ini juga berkembang mengikuti keyakinan pada kehidupan, sebab kematian juga dipandang sebagai kehidupan sebelumnya. Pada awal sudah saya uraikan, bahwa kepercayaan kepada zat tunggal sudah berkembang. Dengan demikian zat tunggal tersebut juga berkuasa atas kematian. Pemberian upeti pada penguasa kematian, seperti uang logam/kekayaan yang dibawa oleh mayat diharapkan dapat memudahkan urusan di alam kematian.



Masyarakat sudah demikian komplek mengenal sumber-sumber hidup, kehidupan dan berbagai ragam cara memperolehnya. Keyakinan egosentris, sudah merubah secara radikal keyakinan umat manusia yang sebelumnya percaya kepada kekuatan di luar diri manusia, menjadi pemuja diri sendiri. Penyembahan kepada manusia, berkembang beriring dengan sikap saling merebut sumber penghidupan di luar diri manusia. Begitu kompleks persoalan manusia untuk mempertahankan eksistensinya.



Dalam masyarakat secara diam-diam maupun terang-terangan juga mulai meragukan berbagai keyakinan yang ada. Sikap tersebut kemudian berkembang dalam berbagai bentuk, ada yang skeptis dengan keyakinan yang berkembang dan menolak semua keyakinan yang ada. Bagi kamu skeptis, satu-satunya realitas yang layak diterima hanyalah kenyataan yang dihadapi manusia. Begitu skeptisnya, mereka tidak percaya keberadaan zat yang harus disembah atau yang mahakuasa, apakah yang ada diluar bumi, diluar manusia atau bahkan manusia itu sendiri. Tidak ada urusan dengan zat lain yang layak dijadikan tujuan hidup dan menggantungkan kehidupan manusia. Dalam perkembangannya mereka disebut kaum atheis.



Sikap yang lain adalah mencoba mencari pembuktian akan keyakinan yang diyakini oleh para pendahulu atau yang berkembang di masyarakat. Seperti Plato tentang manusia gua (Ide), Tales, Socrates dan sebagainya. Salah satu kisah proses pencarian jejak pembuktian eksistensi akan Zat Mahakuasa, dalam Al Quran diwakili oleh keberanian Ibrahim dalam mencari pembuktian yang melelahkan dan penuh resiko.



Pengembaraan dan penaklukan manusia atas makanan, sumber energi dengan segala bentuk variasinya, baik yang berasal dari perut bumi atau berkaitan dengan langit, melahirkan keyakinan baru dimana zat tunggal tersebut adalah yang Mahakuasa atas semua yang ada di bumi dan di langit. Zat tersebut meliputi segalanya, mengatur segalanya yang tidak terjangkau oleh manusia, baik akal, logika, dan indranya. Manusia mulai menggunakan hati untuk menangkap keberadaan zat tunggal tersebut. Zat tersebut juga menguasai kehidupan dan kematian, karena sifatnya yang meliputi segalanya.



Keyakinan, berkembang menjadi persoalan hati, intuisi, akal budi, yang berada jauh dalam diri manusia, tetapi tidak menjadi bagian dari manusia itu sendiri. Muhammad SAW mendapatkan pengalaman dan keyakinan untuk menyembah kepada zat yang tunggal tersebut dengen definisi kalimah persaksian “Laa ilaaha illallah..”. bentuk penegasian kepada ilah-ilah yang sudah ada, berkembang, dengan segala nama, segala bentuk, baik ilah purba, maupun ilah modern. Dan itu menuntun Muhamamd SAW ke arah penyembahan kepada Zat Mahatunggal (Tuhan) setelah penegasian semuanya. Keyakinan ini memang mengandung pemahaman yang demikian sulit untuk dipahami, karena bentuk negasi dan afirmasi dalam satu kalimah persaksian (konradiktsi logika). Tetapi itulah kunci pemahaman yang bisa diterima, baik oleh filsafat, obyektivitas ilmu pengetahuan, maupun bahasa batin.



Muhammad SAW mendapat kesempurnaan persaksian tersebut melalui bentuk latihan yang berat dan disiplin. Ia meniru tradisi Ibrahim a.s dengan proses pembuktian yang melelahkan. Ia meneruskan Musa a.s yang berusaha menangkap kalimat-kalimat Tuhan dengan hati. Ia meneruskan Isa a.s dalam keheningan menangkap ayat-ayat Tuhan. Saat di gua hiro, Muhamamd SAW menerima jawaban atas kegelisahan manusia dalam mencari Tuhan yang sudah lama dilakukan, melewati jebakan obyektivitas, menanggalkan keangkuhan akal, memperdalam keheningan dalam sebuah gua. Pada suatu malam, diantara malam-malam atau waktu yang sudah dilaluinya, jawaban tersebut begitu tegas, Tuhan memperkenalkan diriNYA dan menunjuk Muhamamd SAW menjadi pembawa pesanNYA, itulah Lailatul Qodar.



Malam itu hanya terjadi pada bulan Ramadhan. Bulan dimana manusia diperintah berpuasa. Bulan dimana manusia diajarkan untuk kembali menapaktilasi perjalanan manusia sejak purba untuk mencari Zat Mahakuasa, Allah SWT. Dengan belajar manahan makan, minum, begitu sederhana memang, tetapi bukankah itu awal dari semua pencarian manusia akan Tuhannya???



Selama sebulan penuh manusia diajari untuk mengendalikan diri dalam menghadapi sumber energi, dari yang paling sederhana, makan dan minum. Pemahaman manusia akan sumber energi, sumber hidup itulah yang akan menuntun manusia kepada pengenal kepada Tuhannya, yang layak disembah dan digantungkan segala urusan kehidupannya. Ketika proses itu dilalui, maka di saat selesai, memasuki Syawal, manusia bisa memahami apa makna : makan dan minum; hidup, kehidupan bahkan kematian. Saat berbuka, manusia akan menjadi kembali fitri, kembali berbuka, kembali makan dengan spirit baru, penemuan makna hidup lebih segar, sehingga layak menjalani kehidupan berikutnya yang lebih luas dan bersih.



Pertanyaan buat diri kita : apa yang benar-benar menjadi gantungan hidup dan kehidupan kita saat ini? Jawaban atas itu, akan menuntun kita pada jawaban akan keyakinan kita pada Tuhan yang hendaknya disembah.



Selamat menunaikan ibadah puasa Ramadhan, semoga kita menjalaninya dengan penuh keimanan dan kehati-hatian. Semoga bermanfaat bagi hidup dan kehidupan kita, semoga Allah memudahkan untuk kita menjalaninya.



Wallahu 'alamu bisshowab