Ahmad anak lelaki dari Abdullah cucu dari Abdul Mutholib begitu dipuji oleh mereka yang ada di langit dan dibumi. Disanjung oleh malaikat dan disegani oleh iblis sekalipun. Dia diterima oleh orang Arab, dan menjadi bagian dari kaum Ajam (nonArab). Begitu ia dibela dan dilindungi oleh Abu Tholib pamannya yang tidak menjadi pengikutnya. Para pemuka kabilah di Mekkah menaruh kepercayaan kepadanya untuk urusan yang sangat gawat bagi persekutuan dan kesatuan mereka. Banyak dari generasi saat ini bahkan masa depan begitu mencintainya, meski tidak pernah bertemu atau bertatap wajah dengannya. Bahkan makhluk halus dari bangsa jinpun mengimaninya sebagai rasulnya. Begitu tinggi derajat beliau!!!.
Apakah itu semua didapat take for granted ? Sering diantara kita menjawabnya, “ya wajarlah karena beliau utusan Allah, manusia pilihan”....jawaban itu bagiku adalah jawaban yang merendahkan keagungan beliau. Menafikan kepayahan, pahit getir, perjuangan keras, kesungguhan, konsistensi yang dilakukan oleh Ahmad. Bahkan menganggap Allah menunjuk utusanNYA dengan cara yang ngawur, tidak beralasan dan seenaknya sendiri.
Dengan menggunakan metode verstehen milik Max Weber, saya berusaha menggali jejak-jejak Ahmad yang fenomenal dan penting. Dengan cara berusaha menjadi dirinya, merasakan apa yang dirasakan atau untuk memahami dokter, anda tidak perlu menjadi dokter.
Ahmad bukanlah orang yang lahir dan dibentuk oleh tradisi ilmiah. Tidak seperti Plato, Arsitoteles, Phytagoras dan lainnya yang membiasakan diri dengan tradisi intelektual ilmiah, filsafat dan literer. Tetapi ia adalah seorang yang buta huruf, tidak berpendidikan di sebuah akademia atau sebuah kelompok kaum terpelajar. Memang ia seorang ummy.
Ia tidak seperti Gautama, Sulaiman atau Khidir yang terlahir dari keluarga bangsawan yang mempunyai kuasa untuk mendapatkan berbagai hal yang ia butuhkan. Ahmad juga bukan Isa al masih, Yusuf, Ismail yang mempunyai nasab dekat dengan para nabi atau utusan Allah yang mempunyai tradisi pendidikan keagamaan, ketauhidan. Dia adalah keturunan Ismail a.s yang lahir dengan jarak begitu jauhnya dari moyang tersebut. Dia tidak terlahir dalam masyarakat Yerussalem, Tibet, China, Mesopotamia yang mewarisi tradisi religiusitas dari para pendahulunya. Tetapi ia lahir dalam masyarakat yang kapitalis, pusat perdagangan, metropolis meski di dalamnya menyimpan sisa-sisa ketauhidan Ibrahim dan Ismail yang sudah terkubur oleh perilaku kejahiliyahan masyarakatnya.
Ahmad tidak terlalu memusingkan siapa Tuhan, dimana Tuhan atau seperti apa itu Tuhan? Tetapi yang menjadi keprihatinan dia adalah bagaimana kehadirannya di dunia ini memberi manfaat bagi yang lainnya. Hasrat membantu orang lain, mengasihi sesama manusia sudah tertanam jauh sebelum dia diangkat sebagai Rasul Allah. Ia begitu yakin akan nilai kejujuran dalam kehidupan. Kejujuran benar-benar menjadi bagian hidupnya, jalan hidupnya. Semua yang pernah berhubungan dagang dengannya mengakui betapa jujur dia sebagai pedagang. Dia tidak menggali kejujuran dari bangku akademia seperti Plato atau Aristoteles. Juga tidak menggali dari firman Tuhan melalui ayat-ayat suci, seperti dari injil atau taurat. Bahkan tidak diperoleh dari masyarakatnya yang sudah begitu korup dan zalim.
Begitu memuncak hasrat menjadikan diri bermanfaat buat masyarakatnya, Ahmad berlatih keras, mendisplinkan diri melakukan perenungan, latihan mental yang terus menerus tanpa meninggalkan urusan perdagangannya. Apakah anda membayangkan Ahmad mendapat wahyu pertama di gua Hiro, setelah datang pertama kali? Tentu tidak. Sudah banyak proses dan latihan yang dilalui sehingga sampai pada titik tersebut. Apakah Ahmad memasuki wilayah ka’bah pertama kali dibandingkan yang lainnya saat ada sayembara untuk memindah batu hitam (hajar aswad) adalah sebuah upaya darinya, sebuah ambisi? Tentu tidak, semua seolah kebetulan, hanya karena Ahmad memang sering melakukan latihan mental, spiritual dan tahannuts di tempat tersebut. Semua laku Ahmad memberikan gambaran kepada kita bahwa problem serius yang digalinya adalah mengenal diri sendiri; tujuan keberadaan diri dalam konteks lingkungannya dan kehidupan di dunia; mengenal jati diri dalam konteks pengendalian hawa nafsu dan penanaman nilia-nilai luhur kemanusiaan.
Dari beberapa jejak Ahmad tersebut ada satu nilai yang bisa merangkai kesemuanya menjadi satu pemahaman akan kemuliaan Ahmad sehingga benar-benar terpuji (Muhammad), yakni tahu diri, mengenal diri.
Ahmad tidak berusaha secara langsung dan geram menghancurkan berhala-berhala di sekitar ka’bah, meski beliau sering melakukan aktivitas kerohanian di sana. Dia tidak seperti Ibrahim yang mencari-cari Tuhan dengan filsafat dan pembuktian empiris. Dia tidak seperti Musa yang merengek minta melihat Tuhan. Ahmad benar-benar tahu diri. Keyakinan akan adanya Yang Esa, sudah tertanam, tetapi yang jauh lebih penting adalah tentang keberadaan dirinya sendiri. Keyakinan akan Wujud Yang Esa tidak akan berarti tanpa diikuti oleh manfaat keradaan diri dalam kehidupan. Itulah yang kelak, mengapa Islam menegaskan sebaik-baik manusia adalah yang banyak manfaatnya bagi lainnya. Dalam kerangka seperti itulah rukun islam dijalani. Dalam konteks seperti itulah rukun iman akan mempunyai makna bagi manusia.
Sifat tahu diri yang begitu luar biasa benar-benar menjadi karakter Ahmad. Maka menjadi wajar, ketika mendapat perintah Iqro’ begitu ketakutan dan tidak mengerti. Sampai-sampai meriang. Istrinya mampu menenangkan dan mencari tahu jawaban atas kejadian tersebut bahwa itu adalah pengenalan Tuhan dan pengangkatan dirinya menjadi utusan melalui paman Khadijah yang mengetahui nubuwat sebelumnya. Sungguh seolah-olah Ahmad begitu tidak tahu, begitu lugu menerima derajat dan tugas mulia tersebut. Sikap tahu diri yang dimiliki Ahmad inilah bisa jadi merupakan bentuk jawaban tegas Allah ketika DIA merencakan dan menetapkan manusia menjadi khalifah di bumi mendapat pertentangan dari iblis, dan keraguan dari malaikat. Dua makhluk Allah tersebut bagaimanapun dekat dengan Allah, mengenal Allah, tetapi tidak tahu apa-apa tentang rahasia terbesar Allah. Keraguan malaikat akan tabiat manusia yang menumpahkan darah serta penolakan iblis karena kualitas bahan manusia yang dianggap lebih rendah. Allah melahirkan rahasia tersebut melalui diri Muhammad dengan sejelas-jelasnya bahwa ada kemuliaan yang dimiliki manusia yang tidak mungkin dimiliki oleh malaikat maupun iblis.
Muhammad begitu terheran dan kaget ketika Allah menghendakinya menghadap. Dalam bahasa seperti itu, seolah-olah Allah mengundang Muhammad bertemu DIA, bukan sebaliknya Muhammad merayu-rayu, merengek-rengek meminta bertemu DIA. Bahkan Allah mengirim penjemput yang sangat istimewa. Peristiwa isra Mikraj mengajarkan kepada kita seolah Muhammad sudah mampu menjawab apa yang dikehendaki oleh Allah atas penciptaan dirinya. Rasa sakit, penderitaan, kepedihan yang dialaminya ternyata membuat Muhammad tidak menjauh dariNYA, tetapi semakin berusaha memahami dirinya sendiri dan mengakui kerendahan sebagai hamba dan ketinggia DIA Yang Esa.
Begitulah Ahmad menjadi manusia yang sangat terpuji (Muhammad). Kesadaran akan diri sebagai hamba yang begitu mendalam, tidak menuntut hak istimewa sebagai kekasihNYA, tetapi berusaha berbuat untuk memanfaatkan dirinya bagi manusia dan alam semesta itulah spirit dari ajaran yang dibawanya. Kesadaran berjarak sebagai hamba terhadap Tuannya, meski keduanya begitu dekat; kesadaran aktivitas hamba atas kemauan Tuannya, meski banyak potensi dan kemampuan yang dimilikinya; dan kesadaran-kesadaran lain yang mengenal jati diri tersebut benar-benar mengankat derajat Ahma menjadi hamba yang sangat terpuji diabadikan oleh Allah dalam sebuah kalimah persaksian Laa ilaaha illaa Allah, Muhammadun Rasulullah.
Siapa saja bisa menirunya, menempuh jalan hidupnya, dengan demikian akan menjadi orang yang benar-benar terpuji. Itulah sebenar-benarnya agama (Ad Diin). Kapanpun dimanapun, dan dari bangsa manapun dapat menempuh jalan hidup tersebut (Ad Diin) yang lurus dan menyelamatkan manusia dalam kehidupannya.
Semoga Allah memasukkan kita termasuk orang-orang yang berada di jalan tersebut.
Wallahu ‘alamu bisshowab.