Berikut ini merupakan catatan saya atas wedaran Si Mbah mengenai Manunggaling Kawulo Gusti
Pembahasan saya tentang Manunggaling Kawulo Gusti dari sisi kebahasaan membawa kepada beberapa kesimpulan, yaitu :
1) Adanya aktivitas yang berarah/bertujuan kepada Gusti Yang Mahasuci. Dengan demikian, konsep Manunggaling Kawulo Gusti adalah konsep aplikatif, praktis dan eksperimental. Tanpa adanya praktek-praktek yang seperti dikehendaki dalam konsep tersebut, maka penghayatan akan konsep tersebut akan menjadi kering, membingungkan dan bias.
2) Adanya dua (2) subyek dengan keber-ada-annya dan kedudukannya yang berbeda, sehingga menjadi jelas mana yang menjadi tujuannya. Subyek tersebut adalah Kawulo dengan keber-ada-an yang sudah mendapat imbuhan “ala” (jelek), sementara Gusti dengan Keber-Ada-annya Yang Mahasuci, dan ini sekaligus menjadi tujuan akhir atau arah yang dituju oleh aktivitas Kawulo
3) Ada unsur “tengah” atau antara, atau bisa disebut sarana, media atau jalan atau penunjuk arah agar aktivitas dari Kawulo menjadi terarah kepada Gusti Yang Mahasuci. Apa itu? Bagus-bagusnya hati. Posisi hati (Kawulo) inilah yang menjadi unsur tersebut. Dengan adanya unsur tersebut akan terjadi kesambungan, antara Kawulo dengan Gusti Yang Mahasuci.
Dengan kesimpulan-kesimpulan tersebut, maka saya berpendapat bahwa segala bentuk amal perbuatan kita :
1) Selalu membutuhkan dan melibatkan hati, jangan sampai berbuat sesuatu tanpa ada “rasa” dari hati, akal semata-mata. Nasehat yang sering kita dengar adalah “berhati-hatilah”, ini menasehati kita agar kita benar-benar memperhatikan hati kita, bukan sekedar hati-hati tidak melanggar rambu lalu lintas, atau berkendara pelan. Dengan hati-hati berarti, kesadaran akan kondisi sebagai Kawulo, dan bukan sebagai Gusti Mahasuci. Perluasan konsep ini dalam nasehat-nasehat leluhur kita muncul misalnya dalam ungkapan :”ojok rebutan bener, tapi rebutana salah”, maksudnya ketika sedang berselisih cobalah berusaha mencari kesalahan diri lebih dulu.
2) Segala bentuk amal perbuatan kita (termasuk amal ibadah) merupakan proses dalam rangka membagusi hati, membersihkan kondisi Kawulo. Amal perbuatan bukan sebuah tujuan akhir, tetapi sebagai standar prosedur berproses. Puasa, sholat, berzikir dan lainnya bukankah sering disebut sebagai pembersih? Tujuannya adalah membentuk amal yang didasari oleh “rasa kehati-hatian” sehingga menjadi hati yang bagus dan tercermin dalam perbuatan yang mulia.
3) Ada arah yang jelas, arah lurus dalam berpandangan dan berorientasi. Segala amal perbuatan kita hendaknya digerakkan seperti busur panah yang ditujukan pada titik tertentu, yaitu kepada Gusti Yang Mahasuci. Ketika arah panah mulai tengak-tengok bersegeralah diperbaiki arahnya agar tetap lurus menuju kepada tujuan akhir.
Beberapa konskuensi logis dari pemahaman tersebut di atas, maka akan mendidik diri kita untuk selalu berusaha berbuat dan beramal dalam kerangka jalan luru, dari arah Kawulo melakukan pendekatan kepada arah yang lebih baik, lebih bersih sehingga bisa dekat dengan Gusti Yang Mahasuci.
Hati adalah kekayaan yang tak ternilai, dia bisa seluas samudra bahkan seluas angkasa raya, jika dilatih membesarkan dan melapangkannya. Dia bisa menjadi cermin tembus pandang yang dapat mengenalkan kita kepada berbagai rahasia dan kesejatian hidup. Jika sering dikotori, maka dalam membersihkannya harus jauh lebih sering. Dan itu semua harus dengan amal perbuatan yang melibatkan hati.
(Sumber : Kitab Teles, Bab Kajaten, Pasal Manunggal)
Wallahu ‘alamu bisshowab