RUWATAN DAN DINAMIKANYA

Konsep Ruwatan

Ruwatan dapat dikatakan sebagai bentuk tradisi Jawa yang sudah sangat lama sekali ada. Bahkan dapat dikatakan sebagai tradisi sebelum kedatangan agama-agama ke tanah Jawa. Kata Ruwat dalam bahasa sansekerta diartikan sebagai pembebasan, penyucian. Kemudian kata yang hampir mirip, yaitu Rawat diartikan sebagai memelihara. Ruwatan adalah upaya untuk membebaskan atau menyucikan dalam rangka sebuah pemeliharaan.

Konsep ruwatan dalam tradisi Jawa, berkaitan erat dengan konsep selamat (keselamatan) pada dua sisi yang sejajar. Bahwa manusia dalam hidupnya di dunia selalu berusaha untuk mencapai keselamatan, baik lahir dan batin, baik kehidupan saat di dunia maupun sesudahnya. Tentu dengan konsep keselamatan itu pula mengandung bahwa dalam ajaran Jawa juga meyakini adanya rintangan, godaan dan gangguan dalam pencarian keselamatan. Maka lahirlah konsep slametan sebagai bentuk upaya menjaga konsistensi dalam meraih keselamatan hidup.

Pengaruh Hindu

Di saat hidup, manusia menghadapi godaan dan sejenisnya, ajaran Jawa juga meyakini bahwa tidak semua manusia bisa mencegahnya dan menghindarinya. Maka manusia sepanjang hidupnya selalu menyandang apa yang sering disebut kotoran, kejelakan, atau dosa. Bahkan meski manusia itu sudah melakukan slametan sekalipun, Tuhan selalu memberi ujian dan cobaan kepada manusia. Oleh karena itu, perlu upaya penyucian, pembebasan manusia dari dosa-dosa dan kekotoran tersebut. Semua dosa, tersebut dalam ajaran Jawa akan berdampak membawa keburukan dan kesialan manusia sebagai buah dari pekerti yang berdosa (kotor).

Seiring masuknya agama-agama ke tanah Jawa, maka konsep ruwatan juga menjadi sasaran dakwahnya. Ketika Hindu dan Budha yang datang dari India masuk ke tanah Jawa, konsepsi ruwatan menemukan legitimasinya melalui kisah pewayangan, yaitu Betara Kala. Sebelum ada konsepsi Kala ini, manusia Jawa meyakini bahwa sumber godaan yang dari luar diri manusia itu adalah bentuk gaib, misalnya demit, jin, setan, gendruwo, dan sebagainya. Dengan kisah pewayangan itu maka sumber dari segala dosa, yang berakibat pada kesialan. Maka SangKala kemudian menjadi simbol dari musuh dan penyebab kesialan yang dihadapi oleh manusia dan dalam lisan orang Jawa disebut sengkolo (Sang Kala).

Kisah Kala sebagai legitimasi sumber kesialan adalah berawal dari Betara Guru yang menggandrungi kecantikan manusia. Dia tidak mampu menahan syahwatnya, maka tertumpahlah air suci (sperma) ke samudra dan berubah menjadi Kala. Batara Guru tak mengakuinya sebagai anak, maka dia bersumpah dan menuntut balas kelak akan memangsa anak-anak manusia. Maka, berubahlah apa yang sudah diyakini oleh masyarakat Jawa, jika sebelumnya makhluk/roh halus sebagai ancaman, dengan kisah dan kepercayaan ini menjadikan Sengkala sebagai sebab dari segala sebabnya kesialan.

Dalam beberapa sumber naskah Jawa, ruwatan kemudian spesifik sebagai upaya pembebasan manusia dari dendam Sang Kala tersebut. Dilakukanlah sesajian untuk menyenangkan Sang Kala agar tidak memangsa manusia (memberi kesialan). Ada bermacam-macam jenis manusia yang menjadi sasaran Sangkala. Dalam versi Serat Centini ada 60 jenis manusia sukerta (penyandang dosa, sial) misalnya : anak ontang anting (tunggal) laki-laki atau perempuan, anak kembar, anak jempina (prematur 7 bulan), orang yang berdiri di tengah pintu, orang yang gemar membakar kulit bawang, dan sebagainya. Versi Ranggawarsito dalam Serat Pusataka Raja ada 136 jenis sukerta tersebut.

Untuk menghindari ancaman Sengkala tersebut maka inti acaranya adalah pagelaran wayang murwakala (kisah Betara Kala), dengan harapan sebagai pelajaran dan untuk menghadirkan sembari diberi sesajian yang beraneka rupa.

Pengaruh Islam

Para ulama, wali pendakwah Islam yang datang kemudian juga tidak serta merta menghajar, mengahapus apa yang sudah menjadi tradisi masyarakat Jawa. Berbagai upaya dilakukan untuk merubah cara pandang dan perlakuan terhadap penyucian manusia melalui ruwatan tersebut. Upaya tersebut antara lain : kisah pewayangan tidak langsung dirubah namun dirubah dari akarnya, yaitu membuat silislah para dewa sebagai keturunan manusia (silakan dicek mengenai silsilah wayang keturunan nabi Adam). Dengan perubahan ini diharapkan cara pandang masyarakat memperlakukan wayang bukan sebagai ajaran keagamaan tertentu (Hindu), namun sebagai ajaran keluhuran budi pekerti saja. Maka tokoh-tokoh wayang adalah sebagai bentuk perwatakan manusia saja. Betara Kala yang dikisahkan sebagai putra (diluar nikah) disebut sebagai wujud bentuk akibat perzinahan yang bisa berbahaya, hanya sebagai wujud watak manusia yang jahat semata.

Dengan dasar perubahan cara pandang tersebut, maka merubah pandangan terhadap ruwatan juga beriringan. Sesajian yang semula diyakini untuk disuguhkan kepada Sang Kala (Sengkolo) kemudian menjadi bentuk sedekah yang dibagikan dan dinikmati bersama-sama oleh seluruh masyarakat (bukan makanan dewa). Wayang digelar sudah bervariasi, tidak hanya kisah Betara Kala, tetapi bisa saja kisah-kisah lain yang mengajarkan kebaikan, misalnya Bima Suci atau lainnya yang mengajarkan tentang pembersihan jiwa manusia. Demikian pula do’a yang dilakukan juga secara bertahap dan meyakinkan berubah menjadi do’a keselamatan, mendoakan arwah leluhur dan sebagainya, buka puja-puji menghiba kepada Sang Kala.

Maka kemudian, kita akan menyaksikan di beberapa daerah tradisi ruwatan yang sudah beraneka ragam bentuknya, baik cara pelaksanaannya, ubo rampe (perlengkapan) dan do’a-do’anya. Memang di Jawa masih saja ada orang yang mempertahankan keyakinan atas Sengkolo dari dewa Kala, namun sudah banyak yang berubah dan bergeser.

Jenis Ruwatan

Ruwatan dapat dilaksanakan untuk 3 kepentingan : a) ruwatan untuk pribadi, b) ruwatan untuk lingkungan (alam, sungai, sendang dsb); dan c) ruwatan untuk wilayah (desa, kabupaten, kota dan negara). Dengan pembagian ke dalam 3 jenis ini kemudian ruwatan diartikan sebagai upaya membersihkan ketiganya dari kekotoran, kesialan, malapetaka, kejelekan dan sejenisnya.

Di saat pengaruh Islam sudah mulai kuat di Jawa, ruwatan untuk ketiganya dilakukan pada bulan Muharram (Suro). Hal ini sebenarnya dilandasi oleh filosofi, bahwa untuk memulai tahun baru (Hijiriyah), maka upaya pembersihan diri,lingkungan dan wilayah dilakukan. Di beberapa daerah, ruwatan untuk kampung atau desa biasa disebut sedekah bumi. Sedekah dari hasil bumi sebagai rasa syukur dan memohon terhindar dari bala dan kesialan di tahun baru berikutnya. Ada yang menyebut kas desa, berarti acara ruwatan tersebut diambilkan dari kekayaan (kas) desa, juga sebagai bentuk rasa terima kasih kepada masyarakat tutur serta menikmati kekayaan desa yang dimilikinya.

Perubahan bentuk ruwatan, ubo rampe dan tata cara semakin hari-semakin berubah dan menyesuaikan dalam konteks kekinian dan pemahaman. Misalnya ruwatan untuk diripribadi ditekankan pada puasa 3 hari (dalam sebulan), puasa bulan suro, bancaan/sedekah dengan bubur merah dan putih saja tanpa sesajian atau makanan lain. Jika toh ada cukup dengan jajan pasar. Semuanya tidak mengurangi niat untuk melakukan upaya penyucian diri. Begitupun acara ruwatan wilayah, juga sudah bermacam-macam, misalnya dengan pengajian, sholawatan dan sebagainya. Dapat dikatakan perubahan-perubahan tersebut semakin hari menunjukkan kesederhanaan dalam pelaksanaan ruwatan tanpa meninggalkan esensi sebagai upaya pembersihan diri. Dan yang paling penting perlu dicatat adalah sejak peran andil para ulama, wali di tanah Jawa, sisi substansi dari keyakinan, pemahaman, do’a-do’a sudah berubah drastis yang semula percaya kepada dewa-dewa, sesajen kepada dewa, roh/makhluk halus berganti menjadi sedekah kepada sesama manusia.  Bukankah Islam mengajarkan sedekah untuk menolak bala dan membersihkan dosa? Di sinilah letak kearifan para ulama tempo dulu, bagaimana berdakwah, merubah keyakinan dan mengarahkan kepada ajaran yang benar tanpa menghancurkan, tanpa pertumpahan darah serta mencerdaskan masyarakat yang didakwahi. Masyarakat melalui wayang, pertunjukan seni tersebut diajarkan untuk kritis, bahwa kejelekan pribadi yang nampak dalam watak tokoh pewayangan harus dibersihkan, harus disucikan dan itu semua juga bisa diperoleh dari kisah wayang, salah satunya adalah kisah Bima Suci yang kemudian menggeser kisah batara Kala dan sekaligus ajaran pembersihan diri yang benar. Pembersihan melalui pentahapan dari mengendalikan nafsu lawwamah, supiyah, amarah dan mutmainah. Penyucian dalam menghadapi dan kendala seperti tergambar dalam diri naga samudra berkepala dua, hutan belantara, kera dan sebagainya. Semua itu hanyalah gambaran/wayang semata untuk diambil hikmahnya, tak perlu meributkan sosok-sosok dewa yang harus disembah dan diberi sesajen.

Pertanyaan sering muncul, apakah bisa melakukan ruwatan tanpa menyelenggarakan pagelaran wayang dan sebagainya? Jika saya maka menjawab bisa saja, bahkan cukup berbagi bubur merah putih sudah cukup, disertai do’a keselamatan dan mendoakan leluhur yang sudah mendahului kita. Bahkan sedekah uang yang sering kita berikan tanpa niat itu sebenarnya adalah wujud dari ruwatan, karena dengan mengurangi sedikit harta kita, termasuk upaya mengurangi beban cinta kepada dunia. Kemudian kita tidak terbius oleh kenikmatan duniawi dan bisa lebih mawas diri dan menyerahkan diri dan mencintai kepada Allah SWT. Sang Pencipta. Sikap mawas diri akan membimbing manusia menghindari bencana dan kesialan. Bukankah esensi ruwatan adalah seperti itu? Bukankan itu yang sejak lama, sebelum berbagai agama masuk ke Jawa kehendaki, membersihkan diri dari dosa, menyucikan diri dari berbagai hal yang mengotorinya?

Wallahu ‘Alamu Bisshowab